Sejarah Wahaby (1)

Ini tulisan berasal dari http://paramadina.wordpress.com/

Sejarah kelompok wahaby dalam membentuk negara dan kekuasaan. Cukup bagus, referensi jelas. Menambah pengetahuan sejarah panjang tentang wahaby dan lika-likunya.

Aliansi al-Wahhab-al-Sa`ud

Muhammad ibn Sa`ud menerima Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan memberinya perlindungan dari musuh-musuhnya.

Muhammad ibn Sa`ud menyambut Muhammad ibn Abd al-Wahhab dan mengatakan, ‘Oasis ini adalah milikmu, jangan takut pada musuh-musuhmya. Demi Allah, walaupun seluruh Najd berkumpul untuk mengusirmu, kami tidak akan setuju.’ Muhammad ibn Abd al-Wahhab membalas, ’Kamu adalah penguasa di pemukiman ini dan orang yang bijaksana. Saya minta engkau bersumpah bahwa engkau akan melaksanakan jihad terhadap orang-orang kafir. Sebagai gantinya, engkau akan menjadi imam, pemimpin masyarakat Muslim, dan aku akan menjadi pemimpin di bidang agama.’ (Al-Rasheed, 2002: 17).

Pada tahun 1744, kemitraan al-Wahhab dengan Muhammad ibn Sa`ud dimulai lewat upacara sumpah yang menetapkan Ibn Sa`ud sebagai amir (pemimpin sekular) dan al-Wahhab menjadi imam – dan kemudian berubah menjadi Syeikh al-Imam. Putra tertua Muhammad ibn Sa`ud, Abd al-Aziz ibn Sa`ud dinikahkan dengan putri al-Wahhab. Muhammad ibn Abd al-Wahhab mulai menyebarkan ajarannya di masyarakat Dir`iyyah dan yang malas mengikuti pengajiannya disuruh membayar denda atau mencukur jenggot. Dinasti Sa`ud-Wahhabi pun terbentuk, demikian pula dinasti yang nanti menjadi penguasa Sa`udi Arabia (Allen, 2006: 52).

Al-Rasheed menyebutkan beberapa faktor di balik keberhasilan Muhammad ibn Abd al-Wahhab mendapatkan kepercayaan dari klan Al-Sa`ud. Ajaran baru tersebut dapat menjadi sumber legitimasi bagi penguasa Dir`iyyah. Selain itu, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menjanjikan mereka kekayaan lewat zakat yang diperoleh seiring dengan perluasan pengaruh Wahabiyah. Akhirnya, persaingan amir `Uyaynah dan Dir`iyyah juga memainkan peran. Pemukiman Dir`iyyah yang kecil dan tidak berpengaruh ingin menyaingi `Uyaynah yang ketika itu lebih penting di bidang ekonomi dan politik.

Gerakan Wahabiyah dan dinasti Sa`ud sejak kemunculannya berusaha menundukkan suku-suku di jazirah Arab di bawah bendara Wahabi/Sa`udi. Menyamun, menyerang, dan menjarah suku tetangga adalah praktik yang luas dilakukan suku-suku Badui di Jazirah Arab sepanjang sejarahnya. Pada tahun 1746 Imam al-Wahhab mengeluarkan proklamasi jihad terhadap siapa saja yang menentang al-Da`wa lil-Tauhid. Gazwah mulai dilangsungkan ke daerah suku-suku yang sekarang dinyatakan kafir – biasanya dengan menyerang yang lebih lemah terlebih dahulu dan mengadakan kesepakatan nonagresi dengan suku yang kuat (Allen, 2006: 54-55).

Kelompok-kelompok suku di Najd yang bergabung dengan sekte Wahabi tidak hanya berjihad menyebarkan paham Wahabiyah. Melalui jihad, mereka juga memperoleh pendapatan dan pampasan perang dari penaklukan, penjarahan, dan pembunuhan yang mereka lakukan. Sebanyak seperlima dari perolehan tersebut diberikan kepada amir dan sisanya dibagi oleh suku-suku yang ikut berjihad. Kaum ulama mendapatkan zakat sebagaimana biasa. Jadi, semua mendapat bagian (Allen, 2006: 55).

Pada tahun 1765, Muhammad ibn Sa`ud dibunuh ketika sembahyang. Ia digantikan putranya, Abd al-Aziz ibn Sa`ud. Abd al-Aziz melanjutkan, dan dalam banyak hal, meningkatkan peperangan dan penyergapan yang dimulai ayahnya, dengan bantuan mertuanya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab. Mertua dan menantu ini memperkenalkan senjata api kepada para pengikut mereka, dan mengajari mereka bagaimana menggunakannya sebagai pengganti tombak dan pedang. Ia juga membentuk pasukan elit dengan persenjataan yang lebih memadai. Merekalah yang menjadi tulang punggung ghazwah yang dilancarkan ke berbagai kawasan di Jazirah Arab.

Negara Wahhabi pertama (1745-1818) yang gagal;

Di bawah kepemimpinan militer `Abd al-`Aziz, anak Muhammad ibn Sa`ud, mereka mulai ekspansi mereka ke Riyadh, Kharj, dan Qasim di wilayah Arabia Tengah pada 1792. Setelah berhasil menduduki wilayah itu, mereka melanjutkan ekspansi ke timur ke Hasa, dan menghancurkan kekuasaan Banu Khalid di wilayah itu. Para pengikut Syi`ah di kawasan ini, yang jumlahnya cukup banyak, dipaksa untuk menyerah dan mengikuti Wahhabisme atau dibunuh. Lalu, ekspansi dilanjutkan ke Teluk Persia dan Oman: Qatar mengakui kekuasaan Saud-Wahhabi pada 1797, dan Bahrain menyusul tak lama kemudian. Mereka semua diwajibkan untuk membayar zakat ke Dir`iyyah.

Ekspansi awal Wahhabi-Saudi yang menentukan berlangsung ke barat, khususnya ke Hijaz, di mana dua kota suci Islam, Mekkah dan Madinah, berada. Dalam ekspansi ini mereka berhadapan dengan otoritas keagamaan yang lain, yakni Syarif Mekkah, yang memperoleh legitimasinya dari Khalifah Turki Usmani. Terlepas dari upaya keras orang-orang Hijaz untuk bertahan, koalisi Wahhabi-Saud berhasil memantapkan hegemoni mereka di Ta’if pada 1802, Mekkah pada 1803, dan Madinah setahun kemudian. Setelah kemenangan itu, para ulama Wahhabi memerintahkan penghancuran kubah yang ada di makam-makam Nabi Muhammad dan para sahabatnya di Madinah.

Kemenangan di Hijaz mendorong koalisi Wahhabi-Sa`ud untuk meneruskan ekspansi ke wilayah selatan ke `Asir, di mana para pemimpin lokalnya segera memeluk Wahhabisme dan ikut serta dalam ekspansi selanjutnya ke Yaman. Kuatnya pertahanan orang-orang Yaman, ditambah dengan kondisi geografis yang kurang dikuasai pasukan Wahhabi, membuat Yaman tidak berhasil ditundukkan sepenuhnya.

Ekspansi lain mencapai ladang subur Mesopotamia, sekaligus mengancam bagian-bagian penting daerah kekuasaan Turki Usmani, Pada 1802, di hari suci `Asyura, mereka melabrak tembok Karbala dan membunuh 2.000-an pengikut Syi`ah yang sedang bersehbahyang sambil merayakan Muharram. Dengan kemarahan yang tak terkontrol, mereka menghancurkan makam-makam Ali, Husayn, imam-imam Syi`ah, dan khususnya kepada makam puteri Nabi Fatimah.

KEBRUTALAN SA’UD DI KARBALA: Laporan hidup mengenai kebrutalan tersebut, yang diberikan oleh pencatat sejarah Saudi, ‘Utsman b. ‘Abdullah b. Bisyr, dalam `Unwan al-Majd fi Tarikh Najd:

Pada tahun 1216 (H) Sa’ud [anak ‘Abd al-‘Aziz] mulai bergerak dengan dukungan tentara dan pasukan kavaleri yang direkrutnya dari kalangan penduduk kota maupun suku-suku nomaden di Najad, dari wilayah selatan, dari Hijaz, Tihama dan tempat-tempat lainnya. Ia mencapai Karbala dan mulai memerangi penduduk kota al-Husayn itu. Ini terjadi pada bulan Dzu’l-Qa’da. Kaum Muslim [yakni, kaum Wahhabi] menaiki tembok, memasuki kota secara paksa, dan membunuh mayoritas penduduknya di pasar-pasar maupun di rumah-rumah mereka. Lalu mereka menghancurkan kubah di atas makam al-Husayn yang dibangun oleh orang-orang yang percaya dengan hal-hal semacam itu. Mereka mengambil apa saja yang ada di dalam kubah itu dan di sekelilingnya. Mereka mengambil pagar-pagar teralis di sekeliling kubah itu, yang dihiasai dengan batu emerald, batu ruby dan batu-batu permata lainnya. Mereka menjarah apa saja yang ada di kota itu: berbagai macam harta-benda, senjata, pakaian, karpet, emas, perak, salinan-salinan al-Quran yang indah, dan benda-benda lainnya yang tak terbilang. Mereka tinggal di Karbala hingga pagi hari, dan pada siang harinya mereka pergi dengan membawa segala macam harta-benda yang telah mereka kumpulkan, dan mereka telah membunuh sekitar dua ribu orang. Lalu Sa’ud pergi meninggalkan kota itu melewati jalan Ma’ al-Abyad. Di hadapan Sa’ud terkumpul harta jarahan. Ia mengambil untuk dirinya sendiri seperlima bagian dari harta jarahan tersebut, lalu membagikan sisanya di antara kaum Muslim [yakni, kaum Wahhabi], dengan satu bagian untuk para prajurit pejalan kaki dan dua bagian bagi para prajurit berkuda. Lalu ia pulang ke rumah. (Dikutip dalam Algar, 2003: 24-25)

Hal ini membuat marah pengikut Syi`ah, dan pada 1803, pemimpin klan Saudi `Abd al-`Aziz dibunuh oleh seorang pengikut Syi`ah di sebuah masjid di Dir`iyyah (al-Rasheed, 2002: 22).

Terlepas dari itu, kaum Wahhabi terus melanjutkan gerakan mereka ke utara menuju Mesopotamia dan jantung Kekaisaran Turki Usmani. Baru pada titik inilah mereka memperoleh perhatian dari Khalifah Turki Usmani. Pada 1818, Perdana Menteri Mesir, Muhammad Ali (1769-1849), atas persetujuan Khalifah Usmani, mengirim pasukannya ke Semenanjung Arabia. Tentara Mesir ini dengan mudah mengalahkan kaum Wahhabi yang sebenarnya miskin peralatan perang dan kurang terlatih. Kedua kota suci Mekkah dan Madinah kembali berada di bawah kekuasaan Syarif dan kaum Wahhabi dipaksa untuk mundur ke Najd, menandai berakhirnya upaya pembentukan negara Wahhabi yang pertama.