Sejarah Wahaby (2)

Masih dari : http://paramadina.wordpress.com/

Negara Wahabi/Saudi II (1824-1891)

Pada tahun 1824, Turki ibn Abdullah (ini adalah nama orang, bukan negara), putra dari penguasa Saudi yang dipenggal di Istambul, mengambil alih Riyad, sebuah pemukiman di sebelah selatan Dir`iyyah yang dikemudian hari menjadi kota penting. Ini dapat terjadi karena pasukan dari Mesir mengundurkan diri Dari Najd pada 1821. Dari sana, kekuasannya meluas ke daerah `Aridh, Kharj, Hotah, Mahmal, Sudayr dan Aflaj. Pada 1830, ia juga berhasil memperluas kekuasaan sampai ke wilayah Hasa, salah satu medan perang saudara di antara faksi-faksi klan Saudi. Amir Turki sendiri tidak mengutak-atik kekuasaan Usmaniyah dan Mesir di wilayah Hijaz, yang menjamin keamanan kafilah-kafilah haji. (al-Rasheed, 23).

Konflik internal di dalam negara Wahabi/Saudi kedua sudah dimulai sejak masa Amir Turki, Salah seorang musuhnya adalah Mishari, seorang saudara sepupu yang ia angkat menjadi Gubernur di Manfuhah, berada di balik komplotan yang membunuh Turki pada 1834, selepas salat Jumat. Ia digantikan anaknya, Faisal, yang dengan bantuan `Abdullah ibn Rashid, Amir dari Ha’il, berhasil membalas kematian ayahnya pada tahun yang sama. Tetapi, ia tidak lama berkuasa. Karena menolak membayar upeti kepada pasukan Mesir yang menduduki Hijaz, pada tahun 1837 ia ditangkap dan dikirim ke Kairo. Perebutan kekuasaan terjadi lagi di Riyad, di antara sesama keluarga Saud.

Pada 1840, Mesir meninggalkan Arabia dan pada tahun 1843, Faisal ibn Turki al-Saud melarikan diri dari Mesir dan kembali ke Riyad dan menjadi amir kembali sampai wafat pada 1865. Selama berkuasa, Faisal mengakui kekuasaan Khilafah Usmaniyah dan membeyar upeti kepada Khalifah. Setelah kematiannya, putra-putranya (dari istri yang berbeda-beda) bertarung memperebutkan kekuasanaan. Mereka adalah `Abdullah, Sa`ud, Muhammad, dan `Abd al-Rahman. `Abdullah, anak tertua yang menggantikan Faisal, bersaing dengan saudara-saudaranya. `Abdullah bahkan pernah meminta bantuan dari Midhat Pasya, Gubernur Usmaniyah di Baghdad, supaya membantunya dalam pertarungannya melawan saudara-saudaranya. Permintaan ini dipenuhi dan invasi dari Bagdad terjadi pada 1870, walaupun hanya berhasil menghentikan perang saudara sebentar. Demikian pula, Sa`ud memerangi abangnya dengan bantuan dari konfederasi suku-suku yang ingin bebas dari kekuasaan abangnya, dan dari dominasi klan Sa`udiyyah. `Abdullah menyerah dan Sa`ud praktis berkuasa sejak 1871 sampai ia wafat pada 1875. Setelah itu, perebutan kekuasan dilanjutkan `Abd al-Rahman, `Abdullah, dan keturunan Sa`ud (Al-Rasheed, 2005: 24,36; Al-Fahad, 2004).

Pada tahun 1887, `Abdullah meminta Muhammad ibn Rasyid, peguasa Ha’il, supaya membantunya menyingkirkan keturunan Sa`ud yang juga keponakan-keponakannya. Muhammad ibn Rasyid, pemimpin klan yang sudah lama menjadi musuh klan Sa`udi, bersedia. Setelah membasmi sebagian besar keponakan `Abdullah, sisanya kucar-kacir melarikan diri. Akan tetapi, Ibn Rasyid sendiri mengkhianati orang yang mengundangnya. Ia menawan `Abdullah dan mengasingkannya ke Ha’il, ibukota klan Rasyidi. Klan Rasyidi kemudian menguasai Riyad dan banyak wilayah Najd lainnya, atas nama Khalifah Usmani. Setelah `Abdullah wafat pada 1889, `Abd al-Rahman, yang sempat menjadi gubernur di bawah kekuasaan Rasyidi, masih berusaha merebut kekuasaan dari keluarga Rasyidi akan tetapi gagal. Muhammad ibn Rasyid mengalahkannya pada 1891 dan `Abd al-Rahman harus melarikan diri ke beberapa tempat sampai akhirnya, sejak 1893, ia menetap di Kuwait di bawah perlindungan klan al-Sabah, penguasa Kuwait yang ketika itu merupakan salah satu pelabuhan penting yang di kawasan Teluk, tempat Khilafah Usmani dan Inggris berebut pengaruh dan kekuasaan, dengan kemenangan Inggris melalui traktat perlindungan yang ditandatangani pada 1899.

Pada masa Negara Saudi II yang penuh pergolakan, ulama Wahabi secara politik didukung oleh Amir Turki dan Faisal. Setelah menguasai Riyad, Amir Turki segera meminta `Abd al-Rahman ibn Hasan, cucu pendiri Wahabiyah, supaya kembali ke Riyad dan menduduki jabatan yang dulu dipegang kakeknya, yaitu menjadi pemimpin agama dan penasihat penguasa.

Ulama Wahabi menjadi kadi dan guru agama, sambil menyebarkan paham Wahabiyah di wilayah-wilayah yang dikuasai Amir Turki dan Faisal. Para ulama Wahabi, yang menguasai pengetahuan keagamaan yang bersumber dari kitab suci, hadis, dan keteladanan al-salaf al-salih. Selain itu, jika diingat bahwa banyak ulama Wahabi adalah keturunan dari Muhammad ibn `Abd al-Wahhab dengan julukan Al al-Syaikh, maka ulama Wahabi juga memiliki status sosial yang terhormat.

Kadi, yang juga wakil resmi Wahabiyah, menjadi arbitrator sengketa, khatib salat Jumat, imam salat, dan guru agama di masjid agung kota-kota. Jika dikaitkan dengan dukungan politik yang mereka peroleh dan kaitan “kelas” ulama dengan Al al-Syaikh, jelaslah tidak banyak ruang bagi penolakan terhadap paham Wahabi. Salah satu di antaranya adalah kota `Unayzah di wilayah Qasim. Wilayah Qasim, dengan dua kota utama `Unayzah dan Buraidah, menentang Faisal, memiliki kontak yang lebih sering dengan daerah Usmaniyah melalui perdagangan, sebagai jalur utama orang naik haji dari Irak dan negeri-negeri Muslim di Timur ke Makkah dan Madinah, dan pendidikan, serta kalangan ulamanya juga tidak pernah seluruhnya menjadi Wahabi sehingga dapat mempertahankan tradisi mereka. Kekuasaan dinasti Rasyidi di wilayah ini turut menopang semangat menentang Wahabi (Al-Fahad, 2004: 505; Al-Rasheed, 2002: ).