Benarkah Tarawih 20 Rakaat? (1)

Menyongsong bulan ramadlan.

Sudah lama mengkaji dan mencari, berapakah yang lebih sahih jumlah rakaat sholat tarawih. Setelah googling di berbagai literatur, internet, akhirnya ku pilih salah satu tulisan yang ku anggap layak, dan paling kuat hujahnya.

Namun demikian, tarawih adalah sholat sunnah. Kita kerjakan yang 20 rakaat .. dapat pahala..:)). Mengerjakan yang 8 rakaat.. dapat pahala juga.. :). Tidak mengerjakan tarawih pun tak pe, tidak berdosa.

Semoga dapat diambil manfaatnya. Kebenaran adalah dari Allah swt, dan kesalahan adalah semata-mata dari kami.

Wallahu a’lam.

sumber: http://qa.sunnipath.com/

Pendahuluan
Adalah suatu kenyataan bahwa sholat tarawih merupakan sholat sunnah tambahan yang dilakukan pada bulan ramadlan. Hanya syiah saja yang menolaknya. Demikian juga dengan salafy/wahaby, mereka tidak menganggap bahwa shalat tarawih adalah sholat sunnah tambahan di bulan ramadlan. Mereka meyakini bahawa sholat tahajud yang dikerjakan malam hari di bulan-bulan biasa juga merupakan sholat malam di bulan ramadlan. Jadi tidak ada sholat tambahan di bulan ramadlan. Mereka adalah firqah yang tidak bermadzab, dan mengklaim mengambil hukum langsung dari hadits-hadits nabi saw.

Ada riwayat yang mendukung bahwa tentang adanya (bagusnya) tambahan sholat sunnat di bulan suci ini. Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa baginda Nabi saw bersabda:

Barangsiapa menghidupkan malam-malam di bulan ramadlan dengan iman dan mengharap pahala, semua dosa-dosanya di masa lalu akan diampuni (Shahih Muslim, vol.1, hal 259)

Hadits ini menandakan bahwa Rasulullah saw menganjurkan umat untuk menghidupkan malam-malam selama bulan ramadlan, semisal dengan sholat malam. Tapi apakah beliau menambah-nambah juga sholat sunnahnya (di bulan suci ini) ?

Mungkinkah beliau seorang Nabi yang menganjurkan sholat malam di bulan ramadlan sementara beliau malah tidak mengerjakannya? Sejarah beliau membuktikan bahwa sabda beliau sesuai dengan perbuatannya. Beliau memberi contoh praktek apa yang beliau katakan. Jadi adalah tidak mungkin beliau meninggalkan sholat sunnah di bulan ramadlan. Beliau pasti mengerjakannya.

Dalam hal jumlah rakaat sholat tarawih, telah berlaku selama dua belas abad, umat ini telah melakukannya dengan 20 rakaat tarawih tanpa ada bantahan dari pihak manapun. Ini telah dipraktekkan sejak masa Rasulullah saw, masa sahabat ra, tabi’in, dan para ulama rhm sampai dua abad yang yang lalu, ketika muncul firqah baru yang menamakan dirinya ahlul hadits mencetuskan teori bahwa tarawih hanya 8 rakaat. Sampai sekarang, sholat tarawih di tanah haramain (Mekkah dan Madinah) adalah 20 rakaat dan ribuan umat islam menyaksikan dan mengerjakannya di bulan ramadlan.

Jika kita anggap bahwa 8 rakaat tarawih adalah yang benar, maka itu berarti bahwa mayoritas umat islam telah menyalahi amalan yang telah dilakukannya selama berabad-abad. Demikian juga, tidak ada masjid dari masa baginda nabi saw sampai dua abad yang lalu mempraktekkan sholat tarawih 8 rakaat. Ada madzab tertentu denagn delapan rakaat, sebagaimana ulama seperti imam Tirmidzi mengatakan dalam Jami’-nya, tetapi tidak ada keterangan dalam kitab-kitab hadits shahih yang menyatakan ada orang mempraktekkan 8 rakaat di masjid manapun.

Dalam tulisan ini, akan dibuktikan bahwa sholat tarawih adalah sholat sunnat tambahan di bulan ramadlan, dan bahwa jumlahnya adalah 20 rakaat. Harapan kami, tulisan ini menghilangkan semua keraguan dan mengklarifikasi masalah-masalah di antara umat islam. Semoga Allah meridloi. Amien.

Bab Satu

Masa-Masa Awal

Ibn Sihab mengisahkan bahwa setelah Nabi saw wafat, orang-orang tetap mempraktekkan sholat tarawih secara sendiri-sendiri dan itu kerjakan di era sayidina Abu Bakar ra dan di awal-awal masa kekhalifahan Umar ra.

Abdur Rahman Ibn Abdil Qarri mengisahkan bahwa dia keluar bersama Umar ra di satu malam dalam bulan ramadlan ke masjid. Orang-orang sedang mengerjakan sholat dalam kelompok-kelompok. Beberapa sholat sendirian atau satu orang sholat sebagai imam dengan beberapa kelompok di belakangnya. Umar ra mengemukakan keinginan beliau untuk menyatukan orang-orang itu di belakang satu imam dan berharap mereka melaksanakan sholat dalam satu jamaah. Beliau berpendapat bahwa hal itu sangat lebih baik dari pada orang-orang bersholat dalam kelompok-kelompok atau sendirian. Kemudian beliau mewujudkan keinginan beliau, menghimpun orang-orang sholat di belakang Ubay Ibn Ka’b ra. (Bukhari vol. 1, hal 269)

Urwa ra mengisahkan bahwa Aisya ra memberitahukan padanya bahwa Nabi saw keluar ke masjid di tengah malam dan bersholat bersama-sama dengan beberapa orang. Keesokan harinya orang-orang itu mengabarkan akan hal ini dan semakin banyak orang yang ikut berjamaah di malam berikutnya. Keesokan harinya kembali orang-orang membicarakan akan hal ini. Pada malam ketiga, masjid penuh. Pada malam ke empat, masjid tidak dapat memenuhi lagi jamaah. Nabi saw hanya datang keesokan harinya untuk sholat subuh. Setelah sholat subuh, beliau berpidato dan mengatakan kepada jamaah bahwa dia mengetahui kehadiran mereka di masjid tetapi beliau tidak datang karena takut bahwa tarawih menjadi diwajibkan atas mereka. Beliau takut bahwa umatnya tidak akan mampu untuk mengerjakannya. (Bukhari vol. 1, hal 269)

Istilah Sunnah
Ketika kata sunnah dipakai, itu tidak hanya sunnah dari Rasul saw, tetapi juga praktek dari empat khalifah sesudahnya. Hal ini diambil dari hadits Rasul saw yaitu,

Peganglah kuat-kuat sunnahku dan sunnah khulafaurrasyidin.(Abu Dawud vol 2 hal 635, Tirmidzi vol 2 hal 108, Sunan Darimi vol 1 hal 43 dan Ibn Majah hal 5).

Hadits ini terang-terangan menandakan bahwa umat islam juga meneladani perkataan dan perbuatan khulafa. Beberapa ulama seperti Syeikh Abdul Ghani Muhaddits Dhelwi memperluas bahwa kata khulafa adalah umum dan menunjuk kepada orang-orang yang mengikuti jalan Rasulullah saw, empat Imam dan khalifah Umar Ibn Abdil Aziz. (Inhajul Hajah hal 5).

Hadits di atas juga secara jelas dapat dijelaskan bahwa sebagaimana wajib mengikuti sunnah Rasulullah saw, juga perlu mengadopsi jalan yang ditempuh khulafaurrasyidin. Dan pendapat para ulama, bahkan jalan yg ditempuh para mujtahid pun seharusnya diadopsi. Semua khulafa dan mujtahidin tidak mengerjakan (sholat tarawih) kurang dari 20 rakaat. Sehingga mengerjakannya kurang dari 20 rakaat adalah berselisih dengan sunnah khulafa.

Sheikh Badrudîn Aini (855 A.H.) berkata dalam tafsirnya tentang Hidayah:

Tidak ada keraguan bahwa pahala diperoleh jika mengikuti Abu Bakar dan Umar ra dan seseorang akan mendapat dosa jika tidak mengikutinya karena kita diperintahkan untuk mematuhi mereka. Rasulullah saw bersabda, “Ikuti keduanya setelah aku yaitu Abu Bakar dan Umar”. Jadi mencontoh jalan mereka adalah wajib dan jika menolaknya harus dicela dan dihukum. (Majmuatul Fataawa, vol.1 hal 215)

Kamâluddin Ibn Humâm (869 A.H.) menuliskan dalam Tahrîrul Usûl: Ulama-ulama Hanafi membagi azimah menjadi:

(a) Fardu – yang mana kewajibannya adalah mutlak
(b) Wajib – yang mana kewajibannya adalah sangat mungkin
(c) Sunnah – cara yang diadopsi dari baginda rasul saw, dan khulafaurrasyidin atau salah satu dari mereka.

Ditunjukkan pada masa tabi’in, Hussami mencatat bahwa istilah sunnah merujuk pada perkataan/perbuatan Rasulullah saw atau Khulafaurrasyidin. Pendeknya, istilah sunnah adalah berlaku umum, merujuk pada sunnah Rasul saw dan sunnah Khulafa. Dan sunnah khulafa adalah 20 rakaat tarawih. Tidak ada di antara mereka yang mengerjakannya kurang dari itu. Mereka yakin bahwa itu adalah petunjuk dari Rasulullah saw untuk bersembahyang lebih di bulan ramadlan.

Bersambung …….

Selengkapnya (1-7) telah saya pdf-kan. Dapat di-download di –Benarkah Tarawih 20 Rakaat.