Benarkah Tarawih 20 Rakaat? (4)
Masih dari sumber: http://qa.sunnipath.com/
Kami meringkasnya, dan membuang hal-hal yang kami anggap tidak perlu atau di luar konteks.
BAB 4
Hadits Aisya ra
Ada pendapat bahwa sembahyang 8 rakaat tarawih adalah berasal dari Rasulullah saw. Mereka mengutip hadits sahih Bukhari dari Aisya ra berikut ini;
Aisya ra ditanya tentang sembahyang Rasulullah saw. Beliau menjawab,”Rasulullah saw sembahyang tidak melebihi dari 11 rakaat di bulan ramadlan maupun di bulan-bulan yang lain. Beliau biasa mengerjakan sholat 4 rakaat dan jangan tanya bagusnya dan lamanya sholat beliau. Kemudian mengerjakan 4 rakaat lagi dan jangan tanya bagus dan lamanya. Kemudian beliau mengerjakan 3 rakaat. Kemudian Aisya ra bertanya kepada Nabi saw,” Yaa Rasulullah, apakah engkau tidur sebelum mengerjakan witir?” Beliau saw menjawab,” Yaa Aisya, mataku tidur tapi tidak dengan hatiku.” (Bukhari)
Hadits ini jelas menunjukkan bahwa Rasulullah saw biasa mengerjakan sembahyang 8 rakaat dan 3 witir.
Pendapat ini (bahwa 8 rakaat tarawih berasal dari Rasulullah saw) keliru, dengan beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama
Dalam hadits ini, kata-kata ‘di bulan-bulan yang lain’, yaitu selain ramadlan. Di bulan-bulan lain beliau saw juga biasa mengerjakan sembahyang 11 rakaat menunjukkan bahwa pertanyaan kepada Aisya ra itu berkenaan dalam hal sembahyang tahajud yang mana beliau saw mengerjakannya di semua ke dua belas bulan itu. Aisya ra juga mengatakan hadits berikut:
“Dalam sepuluh malam ramadlan, Rasulullah saw lebih-lebih lagi, selalu terjaga sepanjang malam dan membangunkan keluarganya juga.” (Bukhari)
Dari sini, pertanyaan mungkin muncul bahwa beliau saw menambah sembahyangnya di bulan ramadlan. Padahal Aisya ra menyatakan bahwa kebiasaan sembahyang Rasulullah saw adalah 11 rakaat. Ini secara jelas membuktikan bahwa hadits tersebut (yang pertama di atas) adalah berkenaan dengan tahajud dan bukan tarawih.
Kedua
Anggaplah bahwa hadits di atas tentang tarawih juga, maka hal itu akan berselisih dengan bahwa Rasulullah saw sembahyang tidak melebihi dari 11 rakaat, karena ada hadits yang lain Aisya menyatakan bahwa Rasulullah saw mengerjakan 13 rakaat.
Pensyarah hadits semisal Hafidz Ibn Hajar menyelaraskan kedua hadits ini dengan menyebutkan bahwa keduanya merujuk kepada kondisi dan waktu yang berbeda. Kadang-kadang Rasulullah saw mengerjakan sembahyang 13 rakaat dan di waktu lain hanya 11 rakaat. (Fathul Bari vol 3, hal.14)
Moulânâ Abdur Rahmân Mubârakpûri (1353 A.H.), salah seorang ulama wahaby juga mengakui fakta bahwa Rasulullah saw juga mengerjakan sembahyang 13 rakaat. (Tuhfatul Ahwazi vol.2 hal.3)
Hadits 13 rakaat ini secara tegas menolak klaim bahwa Rasulullah saw tidak pernah sembahyang melebihi dari 11 rakaat.
Syeikh Suyuti mengutip kalimat dari Allamah Baji bahwa kata-kata Aisya ra ‘tidak melebihi’ berarti kebiasaan yang paling sering beliau saw kerjakan, dan bukan selama-nya/terus menerus. (Tanwirul Hawalik vol.1 hal.142)
Ke tiga
Imâm Muhammad Ibn Nasr Marwazi (294 A.H.) menulis satu bab mengenai jumlah rakaat tarawih di dalam kitabnya ‘Qiyamul Layl’. Dalam bab ini beliau menunjukkan banyak sekali hadits, tetapi beliau tidak secara jelas mengarah kepada hadits Aisya ra di atas. Ini membuktikan bahwa hadits di atas adalah tentang sholat malam, dan bukan tarawih.
Ke empat
Di akhir hadits, Aisya ra bertanya kepada Rasulullah saw apakah beliau tidur sebelum witir, dan Rasulullah saw menjawab bahwa mata beliau tertidur tetapi tidak dengan hatinya. Tidak ada petunjuk yang jelas di dalam hadits apakah Rasulullah saw mengerjakan 8 rakaat dan kemudian tidur sementara para sahabat ra menunggu-nya. Namun demikian, beliau biasa mengerjakan tahajud di rumah dan kadang-kadang tidur sebelum witir. Dan juga, dalam tarawih, Aisya ra akan kelihatan di barisan perempuan di belakang laki-laki dan para jamaah akan mengetahuinya. Kenyataan bahwa mereka tidak melihatnya menandakan bahwa sembahyang tahajud dilakukan sendirian di rumah dan itu bukan tarawih.
Ke lima
Umumnya para muhadditsin mengklasifikasi setiap hadits dengan memberikan judul terlebih dahulu. Judul itu akan sesuai dengan materi subject yang dibahas. Faktanya, semua muhaddits tidak memberi judul dengan nama tarawih pada hadits ini. Ini menunjukkan bahwa hadits ini merujuk kepada shalat malam biasa dan bukan tarawih.
Imam Muhammad, seorang hakim agung, mengatakan bahwa alasannya adalah bahwa Rasulullah saw tidak melakukan penambahan pada tahajud karena adanya tambahan shalat ramadlan yaitu tarawih. Itulah hubungan antara hadits Aisya ra dengan judul bab hadits.
Hadits Aisya ra muncul beberapa kali di dalam Sahih Bukhari di dalam bab-bab berikut:
1. Kitabut Tahajud – Bab mengenai ibadah Rasulullah saw di malam bulan ramadlan dan bulan yang lain. (Referensi ini dan seterusnya merujuk kepada Qadimi Kutub Khana print of Sahih Bukhari, Karachi, Pakistan)
2. Kitabus Saum – Bab tentang keutamaan ibadah di bulan ramadlan
3. Bab – Rasulullah saw tertidur matanya, tidak dengan hatinya.
4. Bab tentang Witir.
Bab-bab tersebut secara jelas menunjukkan pada sembahyang tahajud. Bukan sholat tarawih. Imam Muslim, Imam Malik, Imâm Abdur Razzâq, Imâm Abu Dawûd, Imâm Nisâi, Imâm Tirmizi, Imâm Abu Awânah, Imâm Ibn Khuzaimah, Imâm Marwazi, Imâm Dârimi, pengarang Bulughul Marâm dan Mishkât semua merujuk hadits ini dalam karya mereka tetapi tidak ada di antara mereka yang meletakkannya di dalam Bab Tarawih.
Imam Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi menuliskan hadits ini dalam Qiyamul Layl (Muslim vol.1 pg254; Abu Dawud vol.1 pg.189; Tirmidhi vol.1 pg.99). Imam Tirmidzi bahkan tidak menyebutkan 8 rakaat dalam hal tarawih. Hal ini menandakan bahwa sampai masa Imam Tirmidzi, tidak ada pendapat ulama bahwa tarawih adalah 8 rakaat, dan tidak pula menghubungkan hadits ini kepada sembahyang tarawih.
Imam Malik dan Imam Nisai menuliskan hadits ini di dalam Bab Witir. (Muwatta Imam Malik pg.102, Nisai vol.1 pg.248)
Hadits ini juga diriwayatkan di dalam Bab Tahajud di dalam kitab-kitab Mishâtul Masâbîh, Musannaf Abdur Razzâq, Abu Awânah, Sahîh Ibn Khuzaimah, dan Sunan Dârimi.
Hafidz Ibn Hajar mengatakan:” Tampak padaku bahwa kebijakan tidak mengerjakan sembahyang lebih dari 11 rakaat adalah bahwa tahajud dan witir merupakan sholat malam sementara sholat siang yaitu Dhuhur (4 rakaat), Asr (4 rakaat) dan Maghrib (3 rakaat) juga total 11 rakaat. Sangat selaras jika jumlah sholat malam bersesuaian dengan jumlah sholat siang. (Fathul Bari vol.3 pg.16)
Ke enam
Aisya ra tidak pernah menggunakan hadits ini untuk menolak sembahyang 20 rakaat sepanjang era Umar ra, Utsman ra dan Ali kwh. Faktanya, hadits ini juga telah diriwayatkan oleh banyak sahabat ra, tetapi tidak ada seorangpun di antara mereka yang mengutip hadits ini untuk membantah orang-orang yang mengerjakan 20 rakaat.
Bahkan kaum salafy/wahaby tidak menggunakan hadits ini sebagaimana mestinya. Hadits ini menyebutkan “selain ramadlan”, tetapi apakah mereka mengerjakannya pula di luar ramadlan? Hadits ini menyebut empat-empat, tetapi ada yang mengerjakan dua-dua, Hadits ini menunjukkan bahwa sholat dilakukan di rumah, mereka mengerjakannya di masjid. Hadits ini menunjuk sembahyang dilakukan sendirian, mereka melakukannya dalam jamaah. Hadits ini menyebut tidur sebelum witir, mereka tidak tidur sebelum witir.
Wallahu ‘alam
Bersambung ……………..
[…] Bersambung ………………. […]