Snouck Hurgronje

Saya copypaste dari : http://indrayogi.blogs.friendster.com/

Kejahatan Snouck Hurgronje terhadap Islam dan Aceh

Snouck Hurgronje , ia lahir di Osterhoot, Belanda pada 8 Pebruari 1857 dan meninggal di Leiden pada 26 Juni 1936. Menyelesaikan pendidikan tinggi dalam bidang bahasa-bahasa Semith pada tahun 1880 dengan desertasi yang berjudul ‘Perayaan Makkah’. Ia berasal dari keluarga Pendeta Protestan Tradisonal, mirip Orthodox, namun lingkungan belajarnya sampai tingkat tertentu adalah liberal. Snouck berpendapat bahwa al-Qur’an bukanlah wahyu dari Allah, melainkan adalah karya Muhammad yang mengandung ajaran agama.

Seorang peneliti Belanda kontemporer Koningsveld, menjelaskan bahwa realitas budaya di negerinya membawa pengaruh besar terhadap kejiwaan dan sikap Snouck selanjutnya. Pada saat itu, para ahli perbandingan agama dan ahli perbandingan sejarah sangat dipengaruhi oleh teori “Evolusi” Darwin. Hal ini membawa konsekuensi khusus dalam teori peradaban di kalangan cendikiawan Barat, bahwa peradaban Eropa dan Kristen adalah puncak peradaban dunia. Sementara, Islam yang datang belakangan, menurut mereka, adalah upaya untuk memutus perkembangan peradaban ini. Bagi kalangan Nasrani, kenyataan ini dianggap hukuman atas dosa-dosa mereka.

Ringkasnya, agama dan peradaban Eropa adalah lebih tinggi dan lebih baik dibanding agama dan peradaban Timur. Teori peradaban ini berpengaruh besar terhadap sikap dan pemikiran Snouck selanjutnya.

Pada tahun 1876, saat menjadi mahasiswa di Leiden, Snouck pernah berkata: “Adalah kewajiban kita untuk membantu penduduk negeri jajahan -maksudnya warga muslim Indonesia- agar terbebas dari Islam”. Sejak itu, sikap dan pandangan Snouck terhadap Islam tidak pernah berubah.

Snouck pernah mengajar di Institut Leiden dan Delf, yaitu lembaga yang memberikan pelatihan bagi warga Belanda sebelum ditugaskan di Indonesia. Saat itu, Snouck belum pernah datang ke Indonesia, namun ia mulai aktif dalam masalah-masalah penjajahan Belanda. Pada saat yang sama perang Aceh mulai bergolak.

Saat tinggal di Jedah, ia berkenalan dengan dua orang Indonesia yaitu Raden Abu Bakar Jayadiningrat dan Haji Hasan Musthafa. Dari keduanya Snouck belajar bahasa Melayu dan mulai bergaul dengan para haji jemaah Dari Indonesia untuk mendapatkan informasi yang ia butuhkan.

Pada saat itu pula, ia menyatakan ke-Islam-annya dan mengucapkan Syahadat di depan khalayak dengan memakai nama “Abdul Ghaffar.” Seorang Indonesia berkirim surat kepada Snouck yang isinya menyebutkan “Karena Anda telah menyatakan masuk Islam di hadapan orang banyak, dan ulama- ulama Mekah telah mengakui keIslaman Anda”. “Seluruh aktivitas Snouck selama di Saudi tercatat dalam dokumen-dokumen di Universitas Leiden, Belanda.

Snouck menetap di Mekah selama enam bulan dan disambut hangat oleh seorang ‘Ulama besar Mekah, yaitu Waliyul Hijaz. Ia lalu kembali ke negaranya pada tahun 1885. Selama di Saudi Snouck memperoleh data-data penting dan strategis bagi kepentingan pemerintah penjajah. Informasi itu ia dapatkan dengan mudah karena tokoh-tokoh Indonesia yang ada di sana sudah menganggapnya sebagai saudara seagama. Kesempatan ini digunakan oleh Snouck untuk memperkuat hubungan dengan tokoh-tokoh yang berasal dari Aceh yang menetap di negeri Hijaz saat itu.

Snouck kemudian menawarkan diri pada pemerintah penjajah Belanda untuk ditugaskan di Aceh. Saat itu perang Aceh dan Belanda mulai berkecamuk. Snouck masih terus melakukan surat menyurat dengan ‘Ulama asal Aceh di Mekah.

Snouck tiba di Jakarta pada tahun 1889. Jendral Benaker Hourdec menyiapkan asisten-asisten untuk menjadi pembantunya. Seorang di antaranya adalah warga keturunan Arab, yaitu Sayyid Utsman Yahya Ibn Aqil al Alawi (klik untuk lihat foto). Ia adalah penasehat pemerintah Belanda dalam urusan Islam dan kaum Muslim.

Selain itu, ia juga dibantu sahabat lamanya ketika di Makkah, Haji Hasan Musthafa (klik untuk lihat foto) yang diberi posisi sebagai penasehat untuk wilayah Jawa Barat. Snouck sendiri memegang jabatan sebagai penasehat resmi pemerintah penjajah Belanda dalam bidang bahasa Timur dan Fiqh Islam. Jabatan ini masih dipegangnya hingga setelah kembali ke Belanda pada tahun 1906.

Pembersihan Aceh

Misi utama Snouck adalah “membersihkan” Aceh. Setelah melakukan studi mendalam tentang semua yang terkait dengan masyarakat ini, Snouck menulis laporan panjang yang berjudul kejahatan-kejahatan Aceh. Laporan ini kemudian jadi acuan dan dasar kebijakan politik dan militer Belanda dalam menghadapai masalah Aceh.

Pada bagian pertama, Snouck menjelaskan tentang kultur masyarakat Aceh, peran Islam, ‘Ulama, dan peran tokoh pimpinannya. Ia menegaskan pada bagian ini, bahwa yang berada di belakang perang dahsyat Aceh dengan Belanda adalah para ‘Ulama. Sedangkan tokoh-tokoh formalnya bisa diajak damai dan dijadikan sekutu, karena mereka hanya memikirkan bisnisnya.

Snouck menegaskan bahwa Islam harus dianggap sebagai faktor negatif, karena dialah yang menimbulkan semangat fanatisme agama di kalangan muslimin. Pada saat yang sarna, Islam membangkitkan rasa kebencian dan permusuhan rakyat Aceh terhadap Belanda. Jika dimungkinkan “pembersihan” ‘Ulama dari tengah masyarakat, maka Islam takkan lagi punya kekuatan di Aceh. Setelah itu, para tokoh-tokoh adat bisa menguasai dengan mudah.

Bagian kedua laporan ini adalah usulan strategis soal militer. Snouck mengusulkan dilakukannya operasi militer di desa-desa di Aceh untuk melumpuhkan perlawanan rakyat yang menjadi sumber kekuatan ‘Ulama. Bila ini berhasil, terbuka peluang untuk membangun kerjasama dengan pemimpin lokal. Perlu disebut di sini, bahwa Snouck didukung oleh jaringan intelijen mata-mata dari kalangan pribumi.

Cara yang ditempuh sama dengan yang dilakukannya di Saudi dulu, yaitu membangun hubungan dan melakukan kontak dengan warga setempat untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan. Orang-orang yang membantunya berasumsi bahwa Snouck adalah seorang saudara semuslim. Dalam suatu korespondensinya dengan ‘Ulama Jawa, Snouck menerima surat yang bertuliskan “Wahai Fadhilah Syekh AIlamah Maulana Abdul Ghaffar, sang mufti negeri Jawa. ”

Lebih aneh lagi, Snouck menikah dengan putri seorang kepala daerah Ciamis, Jawa Barat pada tahun 1890. dari pernikahan ini ia peroleh empat anak: Salamah, ‘Umar, Aminah dan Ibrahim (klik untuk lihat foto). Akhir abad 19 ia menikah lagi dengan Siti Sadijah (klik untuk lihat foto), putri khalifah Apo, seorang ‘Ulama besar di Bandung. Anak dari pernikahan ini bernama Raden Yusuf.

Snouck juga melakukan surat menyurat dengan gurunya Theodor Noldekhe, seorang orientalis Jerman terkenal. Dalam suratnya, Snouck menegaskan bahwa keIslaman dan semua tindakannya adalah permainan untuk menipu orang Indonesia demi mendapatkan informasi.

Ia menulis “Saya masuk Islam hanya pura-pura. Inilah satu-satulnya jalan agar saya bisa diterima masyarakat Indonesia yang fanatik. ”

Temuan lain Koningsveld dalam surat Snouck mengungkap bahwa ia meragukan adanya Tuhan. Ini terungkap dari surat yang ia tulis pada pendeta Protestan terkenal Herman Parfink yang berisi, ‘Anda termasuk orang yang percaya pada Tuhan. Saya sendiri ragu pada segala sesuatu. ”

Komentar Dr. Van Koningsveld

Dr. Veld berkomentar tentang aktivitas Snouck: “Ia berlindung di balik nama “penelitian Ilmiah” dalam melakukan aktifitas spionase, demi kepentingan penjajah”. Veld yang merupakan peneliti Belanda yang secara khusus mengkaji biografi Snouck menegaskan, bahwa dalam studinya terhadap masyarakat Aceh, Snouck menulis laporan ganda. Ia menuliskan dua buku tentang Aceh dengan satu judul, namun dengan isi yang bertolak belakang. Dari laporan ini, Snouck hidup di tengah masyarakat Aceh selama tiga puluh tiga bulan dan ia pura-pura masuk Islam.

Dalam rentang waktu itu, ia menyaksikan budaya dan watak masyarakat Aceh sekaligus memantau perisriwa yang terjadi. Semua aktivitasnya tak lebih dari pekerjaan spionase dengan mengamati dan mencatat. Sebagai hasilnya ia menulis dua buku. Pertama berjudul “Aceh,” memuat laporan ilmiah tentang karakteristik masyarakat Aceh dan buku ini diterbitkan. Tapi pada saat yang sama, ia juga menulis laporan untuk pemerintah Belanda berjudul “Kejahatan Aceh.” Buku ini memuat alasan-alasan memerangi rakyat Aceh.

Dua buku ini bertolak belakang dari sisi materi dan prinsipnya. Buku ini menggambarkan sikap Snouck yang sebenarnya. Di dalamnya Snouck mencela dan merendahkan masyarakat dan agama rakyat Aceh. Laporan ini bisa disebut hanya berisi cacian dan celaan sebagai provokasi penjajah untuk memerangi rakyat Aceh.

Disadur dari :

– Tulisan : Dr. Daud Rasyid, MA, Fenomena Sunnah di Indonesia, Potret Pergulatan Melawan Konspirasi Hal. 196-199 (Usamah Press, Jakarta Cet I Agustus 2003)

Yang ini saya cp dari : http://aansubhan.multiply.com/

Snouck Hurgronje

Christiaan Snouck Hurgronje merupakan tokoh peletak dasar kebijakan “Islam Politiek” yang merupakan garis kebijakan “Inlandsch politiek” yang dijalankan pemerintah kolonial Belnda terhadap pribumi Hindia Belanda. Konsep strategi kebijakan yang diciptakan Snouck terasa lebih lunak dibanding dengan konsep strategi kebijakan para orientalis lainnya, namun dampaknya terhadap umat Islam terus berkepanjangan bahkan berkelanjutan sampai dengan saat ini.

Snouck lahir tanggal 8 Februari 1857 di Oosterhout Belanda,
merupakan anak keempat dari pasangan Pendeta JJ Snouck Hurgronje dan Anna Maria. Nama depannya diambilkan dari nama kakeknya, pendeta D Christiaan de Visser.

Pada tahun 1874 selepas dari pendidikan HBS di Breda, ia melanjutkan ke Fakultas Teologi Universitas Leiden. Tahun 1878 ia lulus kandidat
examen (sarjana muda) kemudian ia meneruskan ke Fakultas Sastra
Universitas Leiden. Semasa di Universitas Leiden, Snouck dibimbing
oleh para tokoh aliran “modernis Leiden”, seperti CP Tieles, LWE
Rauwenhoff, Abraham Kuenen, MJ de Goeje.

Aliran pemikiran “modernis Leiden” ini berpandangan liberal dan
rasional. Dalam aliran pemikiran ini, agama hanyalah sekedar
kesadaran etis yang ada pada setiap manusia dan budaya Eropa
memiliki superioritas kebudayaan sehingga interaksi antara agama
Kristen dengan budaya Eropa adalah proses puncak perkembangan
kebudayaan, sedangkan kebudayaan lain -Islam dan budaya dunia Timur-
merupakan suatu bentuk “degenerasi” kebudayaan.

Dari Abraham Kuenen -ahli perjanjian lama- Snouck mendapat pelajaran
tentang Kritik Biblik / Kritik Kitab Suci. Hal itu mendasari
pemikirannya dalam menolak hal-hal yang irasional dalam agama yang
dianutnya -Kristen- seperti Trinitas dan kedudukan Yesus sebagai
Anak Allah. Disamping itu ia juga belajar bahasa dan sastra Arab
dari RPA Dozi dan MJ de Goeje.

Snouck menyelesaikan pendidikan formalnya pada tahun 1880 dengan
disertasi berjudul Het Mekkaansche Feest yang membahas tentang
Ibadah Haji. Kemudian ia mengajar di “Leiden & Delf Academi”, tempat
dimana semua calon pejabat pemerintah kolonial Belanda dididik dan
dilatih sebelum mereka dikirim berdinas di Hindia Belanda.

Tahun 1884 -atas prakarsa JA Kruyt Konsul Belanda di Jeddah- Snouck
dikirim ke Makkah untk melakukan penelitian tentang Islam. Untuk
mendapatkan ijin tinggal di Makkah, Snouck mengganti namanya menjadi
Abdul Ghaffar, ia juga mengerjakan Shalat dan ritual agama Islam
lainnya. Dengan sikap tersebut, Snouck dapat mengenal lebih dekat
kehidupan sehari-hari umat Muslim di Makkah serta dengan mudah
bergaul erat dengan para pelajar dan ulama, terutama yang berasal
dari Hindia Belanda.

Dalam penelitiannya tersebut, Snouck memusatkan perhatiannya pada
tiga hal. Pertama, dengan cara bagaimana sistem Islam didirikan.
Kedua, apa arti Islam didalam kehidupan sehari-hari dari pengikut-
pengikutnya yang beriman. Ketiga, bagaimana cara memerintah orang
Islam sehingga melapangkan jalan untuk mengajak orang Islam
bekerjasama guna membangun suatu peradaban yang universal.

Snouck tahun 1889 dipindah tugaskan ke Hindia Belanda, oleh Gubernur
Jenderal Pijnacker Herdijk, ia diangkat sebagai peneliti dan
penasehat urusan bahasa-bahasa timur dan Islam. Guna memuluskan
tugasnya dan memperkuat penerimaan masyarakat, Snouck mengawini
wanita Muslim Pribumi secara Islam. Snouck melangsungkan
perkawinannya dengan Sangkana, anak tunggal Raden Haji Muhammad
Ta’ib, Penghulu Besar Ciamis. Dari perkawinannya itu terlahir empat
orang anak, Salmah, Umar, Aminah, Ibrahim. Pada tahun 1895, Sangkana
meninggal dunia, kemudian tahun 1898 Snouck mengawini Siti Sadiyah,
putri Haji Muhammad Soe’eb, Wakil Penghulu kota Bandung. Pada tahun
1910 Snouck melangsungkan pernikahan dengan Ida Maria, putri Dr.AJ
Oort, pendeta liberal di Zutphen, perkawinannya yang ketiga ini
dilangsungkan di negeri Belanda.

Berdasarkan konsep Snouck, pemerintah kolonial Belanda dapat
mengakhiri perlawanan rakyat Aceh dan meredam munculnya pergolakan-
pergolakan di Hindia Belanda yang dimotori oleh umat Islam.
Pemikiran Snouck -berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya- menjadi
landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam
sebagai Agama, melainkan Islam sebagai Doktrin Politik”.

Konsep Snouck berlandaskan fakta masyarakat Islam tidak mempunyai
organisasi yang “Hirarkis” dan “Universal”. Disamping itu karena
tidak ada lapisan “Klerikal” atau kependetaan seperti pada
masyarakat Katolik, maka para ulama Islam tidak berfungsi dan
berperan pendeta dalam agama Katolik atau pastur dalam agama
Kristen. Mereka tidak dapat membuat dogma dan kepatuhan umat Islam
terhadap ulamanya dikendalikan oleh dogma yang ada pada Al-Qur’an
dan Al-Hadits -dalam beberapa hal memerlukan interprestasi- sehingga
kepatuhan umat Islam terhadap ulamanya tidak bersifat mutlak.

Tidak semua orang Islam harus diposisikan sebagai musuh, karena
tidak semua orang Islam Indonesia merupakan orang fanatik dan
memusuhi pemerintah “kafir” belanda. Bahkan para ulamanya pun jika
selama kegiatan Ubudiyah mereka tidak diusik, maka para ulama itu
tidak akan menggerakkan umatnya untuk memberontak terhadap
pemerintah kolonial Belanda. Namun disisi lain, Snouck menemukan
fakta bahwa agama Islam mempunyai potensi menguasai seluruh
kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.

Snouck memformulasikan dan mengkategorikan permasalahan Islam
menjadi tiga bagian, yaitu ; bidang Agama Murni, bidang Sosial
Kemasyarakatan, bidang Politik. Pembagian kategori pembidangan ini
juga menjadi landasan dari doktrin konsep “Splitsingstheori”.

Pada hakikatnya, Islam tidak memisahkan ketiga bidang tersebut, oleh
Snouck diusahakan agar umat Islam Indonesia berangsur-angsur
memisahkan agama dari segi sosial kemasyarakatan dan politik.
Melalui “Politik Asosiasi” diprogramkan agar lewat jalur pendidikan
bercorak barat dan pemanfaatan kebudayaan Eropa diciptakan kaum
pribumi yang lebih terasosiasi dengan negeri dan budaya Eropa.
Dengan demikian hilanglah kekuatan cita-cita “Pan Islam” dan akan
mempermudah penyebaran agama Kristen.

Dalam bidang politik haruslah ditumpas bentuk-bentuk agitasi politik
Islam yang akan membawa rakyat kepada fanatisme dan Pan Islam,
penumpasan itu jika perlukan dilakukan dengan kekerasan dan kekuatan
senjata. Setelah diperoleh ketenangan, pemerintah kolonial harus
menyediakan pendidikan, kesejahteraan dan perekonomian, agar kaum
pribumi mempercayai maksud baik pemerintah kolonial dan akhirnya
rela diperintah oleh “orang-orang kafir”.

Dalam bidang Agama Murni dan Ibadah, sepanjang tidak mengganggu
kekuasaan, maka pemerintah kolonial memberikan kemerdekaan kepada
umat Islam untuk melaksanakan ajaran agamanya. Pemerintah harus
memperlihatkan sikap seolah-olah memperhatikan agama Islam dengan
memperbaiki tempat peribadatan, serta memberikan kemudahan dalam
melaksanakan ibadah haji.

Sedangkan dibidang Sosial Kemasyarakatan, pemerintah kolonial
memanfaatkan adat kebiasaan yang berlaku dan membantu menggalakkan
rakyat agar tetap berpegang pada adat tersebut yang telah dipilih
agar sesuai dengan tujuan mendekatkan rakyat kepada budaya Eropa.
Snouck menganjurkan membatasi meluasnya pengaruh ajaran Islam,
terutama dalam hukum dan peraturan. Konsep untuk membendung dan
mematikan pertumbuhan pengaruh hukum Islam adalah dengan “Theorie
Resptie”. Snouck berupaya agar hukum Islam menyesuaikan dengan adat
istiadat dan kenyataan politik yang menguasai kehidupan pemeluknya.
Islam jangan sampai mengalahkan adat istiadat, hukum Islam akan
dilegitimasi serta diakui eksistensi dan kekuatan hukumnya jika
sudah diadopsi menjadi hukum adat.

Sejalan dengan itu, pemerintah kolonial hendaknya menerapkan
konsep “Devide et Impera” dengan memanfaatkan kelompok Elite Priyayi
dan Islam Abangan untuk meredam kekuatan Islam dan pengaruhnya
dimasyarakat. Kelompok ini paling mudah diajak kerjasama karena ke-
Islaman mereka cenderung tidak memperdulikan “kekafiran” pemerintah
kolonial Belanda.

Kelompok ini dengan didukung oleh konsep “Politik Asosiasi” melalui
program jalur pendidikan, harus dijauhkan dari sistem Islam dan
ajaran Islam, serta harus ditarik kedalam orbit “Wearwenization”.
Tujuan akhir dari program ini bukanlah Indonesia yang diperintah
dengan corak adat istiadat, namun Indonesia yang diper-Barat-kan.
Oleh karena itu orang-orang Belanda harus mengajari dan menjadikan
kelompok ini sebagai mitra kebudayaan dan mitra kehidupan sosial.

Kaum pribumi yang telah mendapat pendidikan bercorak barat dan telah
terasosiasikan dengan kebudayaan Eropa, harus diberi kedudukan
sebagai pengelola urusan politik dan administrasi setempa. Mereka
secara berangsur-angsur akan dijadikan kepanjangan tangan pemerintah
kolonial dalam mengemban dan mengembangkan amanat politik asosiasi.

Secara tidak langsung, asisiasi ini juga bermanfaat bagi penyebarab
agama Kristen, sebab penduduk pribumi yang telah berasosiasi akan
lebih mudah menerima panggilan misi. Hal itu dikarenakan makna
asosiasi sendiri adalah penyatuan antara kebudayaan Eropa dan
kebudayaan pribumi Hindia Belanda. Asosiasi yang dipelopori oleh
kaum Priyayi dan Abangan ini akan banyak menuntun rakyat untuk
mengikuti pola dan kebudayaan asosiasi tersebut.

Pemerintah kolonial harus menjaga agar proses transformasi asosiasi
kebudayaan ini seiring dengan evolusi sosial yang berkembang
dimasyarakat. Harus dihindarkan, jangan sampai hegemoni pengaruh
dimasyarakat beralih kepada kelompok yang menentang program peng-
asosiasi-an budaya ini.

Secara berangsur-angsur pejabat Eropa dikurangi, digantikan oleh
pribumi pangreh praja yang telah menjadi ahli waris hasil budaya
asosiasi hasil didikan sistem barat. Akhirnya Indonesia akan
diperintah oleh pribumi yang telah ber-asosiasi dengan kebudayaan
Eropa.

Konsep-konsep Snouck tidak seluruhnya dapat dijalankan oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda, sehingga tak seluruhnya dapat
mencapai hasil yang maksimal. Namun setidaknya selama itu telah
mampu meredam dan mengurangi aksi politik yang digerakkan oleh umat
Islam. Pada akhirnya, umat Islam pula yang menjadi motor penggerak
gerakan kemerdekaan Indonesia di tahun 1945.

Tanggal 12 Maret 1906 Snouck kembali ke negeri Belanda. Ia diangkat
sebagai Guru Besar Bahasa dan Sastra Arab pada Universitas Leiden.
Disamping itu ia juga mengajar para calon-calon Zending di
Oestgeest. Snouck meninggal dunia pada tanggal 26 Juni 1936, di
usianya yang ke 81 tahun.

Kebesaran Snouck selalu dikenang, dialah ilmuwan yang
dijuluki `dewa” dalam bidang Arabistiek-Islamologi dan
Orientalistik, salah satu pelopor penelitian tentang Islam, Lembaga-
Lembaganya, dan Hukum-Hukumnya. Ia “berjasa” menunjukkan “kekurangan-
kekurangan” dalam dunia Islam dan perkembangannya di Indonesia. Di
Rapenburg didirikan monumen “Snouck Hurgronjehuis” untuk mengenang
jasa-jasanya dan kebesarannya. Christiaan Snouck Hurgronje, tokoh
penting peletak dasar kebijakan “Islam Politiek”
merupakan “Pembaratan Islam Pribumi” kini diteruskan oleh para
pewarisnya di Indonesia yang dikenal sebagai cendekiawan Islam
Liberal Indonesia.

disadur dari :
Strategi Belanda Melumpuhkan Islam
Biografi C. Snouck Hurgronje
Lathiful Khuluq
Pustaka Pelajar