Tahlil dan tahlilan
Ini komentarku di salah satu blog, yang membahas masalah tahlilan. Saya kutip lagi agar tidak hilang.
- Keutamaan tahlil:
Sabda Rasul SAW, Sesungguhnya doa yang terbaik adalah membaca: Alhamdulillaah. Se-dang zikir yang terbaik adalah: Laa Ilaaha Illallaah.”HR. At-Tirmidzi 5/462, Ibnu Majah 2/1249, Al-Hakim 1/503. Menurut Al-Hakim, hadits tersebut adalah shahih. Imam Adz-Dzahabi menyetujuinya, Lihat pula Shahihul Jami’ 1/362.Keutamaan majelis dzikir:
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)
Komentar oleh orang awam — May 8, 2007 @ 1:07 am - Dalil perintah/anjuran berdoa:Berdoalah kepada-Ku niscaya akan Kuperkenankan bagimu” (Q.S., Al-Mukmin: 60).“
Dan apabila hamba-Ku bertanya tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran” (Q.S., Al-Baqarah: 186).
Komentar oleh org awam — May 8, 2007 @ 3:03 am - Dalil untuk mendoakan saudaranya:“Dan orang-orang yang datang setelah mereka, berkata: Yaa Tuhan kami, ampunilah kami dan ampunilah saudara-saudara kami yang telah mendahului kami dengan beriman.” (QS Al-Hasyr 59: 10)
Komentar oleh org awam — May 8, 2007 @ 3:14 am - “Ta’ziyah, yaitu menghibur orang yang tertimpa musibah dengan pahala-pahala yang dijanjikan oleh Allah, sekaligus mendo’akan mereka dan mayitnya”Imam Nawawi rahimahullah mengatakan : “Yaitu memotivasi orang yang tertimpa musibah agar lebih bersabar, dan meghiburnya supaya melupakannya, meringankan tekanan kesedihan dan himpitan musibah yang menimpanya”
Kapan? Sebagian ulama Syafi’iyah dan Hanbaliah membebaskannya waktunya. Sampai kapan saja, tidak ada pembatasan waktunya. Sebab, menurut mereka, tujuan dari ta’ziyah ini untuk mendo’akan, memotivasinya agar bersabar dan tidak melakukan ratapan, dan lain sebagainya. Tujuan ini tentu saja berlaku untuk jangka waktu yang lama.
Komentar oleh org awam — May 8, 2007 @ 3:19 am - Ketika seorang muslim mendapat musibah (ditinggal mati keluarga, kena gempa, dll), adalah suatu kesunahan bagi saudara-saudaranya untuk datang takziah kepadanya, serta menghibur agar bersabar dari cobaan.Tidak ada yang lebih baik dari menghibur serta meringankan bebannya selain daripada mengajaknya berdzikir, mengingat Allah, dan berdoa bersama-sama, mendoakan si mayit dan keluarga yg ditinggalkannya.
Inilah yang kemudian menjadi majelis tahlil (tahlilan), karena dalam majelis itu yang dibaca terutama adalah kalimat tahlil. Dasarnya adalah #1.Mengenai waktu-nya bebas. JIka tradisi masyarakat adalah hari 3,7,40 dst.. itu hanya tradisi, tidak ada masalah karena tidak ada larangan dalam kaidah agama. Jika anda mau takziah hari ke 25 pun silahkan.
Yang dilarang itu adalah jika kita mewajibkan peringatan 3, 7, 40 hari dst sebagai keharusan,.. karena tidak ada dalil yg mewajibkannya.
Komentar oleh org awam — May 9, 2007 @ 9:44 am
Blognya ada di sini,
saya sangat setuju sekali dgn adanya tahlil ini
Hari ke 1 sampai 7 kemudian 40 kemudian 100 dan kemudian 1000, ada dalam agama Hindu India.
Saya punya Bos keturunan India, mereka melaksanakan urutan tanggal tsb..seperti tahlilan kita.
Apakah kita telah mengikuti ajaran mereka.?
MangAndri
–> peringatan hari 3 7 40 dst sudah menjadi tradisi sebagian umat. Namun mengerjakan tradisi ini bukan berarti mengikuti ajaran hindu. Ini hanyalah tradisi. Sebuah tradisi tak memandang dari mana ia berasal. Dan sebuah tradisi mau dikerjakan silakan, tidak pun tak apa. Hanya tradisi yg melawan syariat yg tak boleh dikerjakan. Dan tahlilan di hari ke sekian2 itu sekarang (saat ini) isinya adalah dzikir, dan sama sekali tak ada kaitan-nya dengan agama hindu. Tak ada pula syariat yg dilanggar dalam hal tahlilan ini.
Ada sebuah contoh yang lebih parah. Hari minggu adalah hari besar umat kristen/nasrani di negara2 Eropa. Mereka sejak dulu libur pada hari itu untuk beribadah. Nahh .. kini semua umat islam di seluruh dunia ikut-ikutan libur hari minggu. Apakah itu berarti kita mengikuti ajaran mereka?
Ada di antara umat islam yg mengisi hari minggunya dengan kegiatan2 positif, spt pengajian, atau ikut majelis dzikir. Mestinya bertahlilan di hari minggu tak menjadi bid’ah sesat hanya gara2 karena orang nasrani libur dan ber-misa di hari yang sama.
Maaf kl tak berkenan
Sebaiknya dikaji lagi ada unsur keyakinan tidak pada hari ke 7 , 40 , 100 dst, kalau ada unsur keyakinan didalamnya yg bertentang dng aqidah Islam, jelas itu jadi masalah, karena tradisi yg bertentangan dgn Aqidah Islam harus ditinggalkan . Islam itu diturunkan untuk meluruskan keyakinan manusia yang sudah menyimpang dari ajaran tauhid.
beda nya islam dg agama lain adalah kt ibadah kpn saja..selain shalat, puasa ramadhan dan haji yg ditentukan waktunya..tujuan ibadah kita kn utk mendekatkan dan mengingat Allah swt..masa utk mengingat kt harus ikut2 kaya agama laen (hindu , nasrani dll )”yang ibadahnya ditentukan mis pada nasrani hari minggu..jd jangan dsamakan dg agama laen..yang jadi permasalahan kn knp saat kita mau beribadah atau mengingat Allah swt harus pada waktu2 tertentu..tgl ini tgl itu tgl sekian..kecuali yg sdh d tetapkan oleh syariat islam seperti yg td diatas (shalat,puasa ramadhan,haji)..Nabi Muhammad saw mengajarkan kita utk berdzikir dsaat kt tdr, berdiri, berjalan kapan saja tanpa batasan waktu..Apa yang Alquran nyatakan Tentang Zikir-Allah
“Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau dalam keadaan berbaring” (3:191)
sebenarnya tahlilan, peringatan 7,40,100,1000… itu cuma digunakan sarana dakwah dan silaturahmi….jadi bukan termasuk ritual ibadah…. orang banyak mengatakan itu Bid’ah… sesat… padahal dalam kegiatan itu banyak sisi positifnya…
Setiap bid’ah adalah tercela. Inilah yang masih diragukan oleh sebagian orang. Ada yang mengatakan bahwa tidak semua bid’ah itu sesat, ada pula bid’ah yang baik (bid’ah hasanah). Untuk menjawab sedikit kerancuan ini, marilah kita menyimak berbagai dalil yang menjelaskan hal ini.
[Dalil dari As Sunnah]
Diriwayatkan dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah matanya memerah, suaranya begitu keras, dan kelihatan begitu marah, seolah-olah beliau adalah seorang panglima yang meneriaki pasukan ‘Hati-hati dengan serangan musuh di waktu pagi dan waktu sore’. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jarak antara pengutusanku dan hari kiamat adalah bagaikan dua jari ini. [Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan jari tengah dan jari telunjuknya]. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Amma ba’du. Sesungguhnya sebaik-baik perkataan adalah kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan (bid’ah) dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Muslim no. 867)
Dalam riwayat An Nasa’i dikatakan,
وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِى النَّارِ
“Setiap kesesatan tempatnya di neraka.” (HR. An Nasa’i no. 1578. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani di Shohih wa Dho’if Sunan An Nasa’i)
Diriwayatkan dari Al ‘Irbadh bin Sariyah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata, “Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari. Kemudian beliau mendatangi kami lalu memberi nasehat yang begitu menyentuh, yang
membuat air mata ini bercucuran, dan membuat hati ini bergemetar (takut).” Lalu ada yang mengatakan,
يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّ هَذِهِ مَوْعِظَةُ مُوَدِّعٍ فَمَاذَا تَعْهَدُ إِلَيْنَا
“Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasehat perpisahan. Lalu apa yang engkau akan wasiatkan pada kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أُوصِيكُمْ بِتَقْوَى اللَّهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertakwa kepada Allah, tetap mendengar dan ta’at walaupun yang memimpin kalian adalah budak Habsyi. Karena barangsiapa yang hidup di antara kalian setelahku, maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu, kalian wajib berpegang pada sunnahku dan sunnah Khulafa’ur Rosyidin yang mendapatkan petunjuk. Berpegang teguhlah dengannya dan gigitlah ia dengan gigi geraham kalian. Hati-hatilah dengan perkara yang diada-adakan karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR. Abu Daud no. 4607 dan Tirmidzi no. 2676. Hadits ini dikatakan shohih oleh Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu Daud dan Shohih wa Dho’if Sunan Tirmidzi)
[Dalil dari Perkataan Sahabat]
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata,
مَا أَتَى عَلَى النَّاسِ عَامٌ إِلا أَحْدَثُوا فِيهِ بِدْعَةً، وَأَمَاتُوا فِيهِ سُنَّةً، حَتَّى تَحْيَى الْبِدَعُ، وَتَمُوتَ السُّنَنُ
“Setiap tahun ada saja orang yang membuat bid’ah dan mematikan sunnah, sehingga yang hidup adalah bid’ah dan
sunnah pun mati.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 10610. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya tsiqoh/terpercaya)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
اتَّبِعُوا، وَلا تَبْتَدِعُوا فَقَدْ كُفِيتُمْ، كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ
“Ikutilah (petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), janganlah membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian. Semua bid’ah adalah sesat.” (Diriwayatkan oleh Ath Thobroniy dalam Al Mu’jam Al Kabir no. 8770. Al Haytsamiy mengatakan dalam Majma’ Zawa’id bahwa para perowinya adalah perawi yang dipakai dalam kitab shohih)
Itulah berbagai dalil yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat.
KERANCUAN: BID’AH ADA YANG TERPUJI ?
Inilah kerancuan yang sering didengung-dengungkan oleh sebagian orang bahwa tidak semua bid’ah itu sesat namun ada sebagian yang terpuji yaitu bid’ah hasanah.
Memang kami akui bahwa sebagian ulama ada yang mendefinisikan bid’ah (secara istilah) dengan mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang tercela dan ada yang terpuji karena bid’ah menurut beliau-beliau adalah segala sesuatu yang tidak ada di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Sebagaimana hal ini dikatakan oleh Imam Asy Syafi’i dari Harmalah bin Yahya. Beliau rahimahullah berkata,
الْبِدْعَة بِدْعَتَانِ : مَحْمُودَة وَمَذْمُومَة
“Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang terpuji dan bid’ah yang tercela.” (Lihat Hilyatul Awliya’, 9/113, Darul Kitab Al ‘Arobiy Beirut-Asy Syamilah dan lihat Fathul Bari, 20/330, Asy Syamilah)
Beliau rahimahullah berdalil dengan perkataan Umar bin Al Khothob tatkala mengumpulkan orang-orang untuk melaksanakan shalat Tarawih. Umar berkata,
نِعْمَ الْبِدْعَةُ هَذِهِ
“Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (HR. Bukhari no. 2010)
Pembagian bid’ah semacam ini membuat sebagian orang rancu dan salah paham. Akhirnya sebagian orang mengatakan bahwa bid’ah itu ada yang baik (bid’ah hasanah) dan ada yang tercela (bid’ah sayyi’ah). Sehingga untuk sebagian perkara bid’ah seperti merayakan maulid Nabi atau shalat nisfu Sya’ban yang tidak ada dalilnya atau pendalilannya kurang tepat, mereka membela bid’ah mereka ini dengan mengatakan ‘Ini kan bid’ah yang baik (bid’ah hasanah)’. Padahal kalau kita melihat kembali dalil-dalil yang telah disebutkan di atas baik dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maupun perkataan sahabat, semua riwayat yang ada menunjukkan bahwa bid’ah itu tercela dan sesat. Oleh karena itu, perlu sekali pembaca sekalian mengetahui sedikit kerancuan ini dan jawabannya agar dapat mengetahui hakikat bid’ah yang sebenarnya.
SANGGAHAN TERHADAP KERANCUAN:
KETAHUILAH SEMUA BID’AH ITU SESAT
Perlu diketahui bersama bahwa sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ’sesungguhnya sejelek-jeleknya perkara adalah perkara yang diada-adakan (dalam agama, pen)’, ’setiap bid’ah adalah sesat’, dan ’setiap kesesatan adalah di neraka’ serta peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan dalam agama, semua ini adalah dalil tegas dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka tidak boleh seorang pun menolak kandungan makna berbagai hadits yang mencela setiap bid’ah. Barangsiapa menentang kandungan makna hadits tersebut maka dia adalah orang yang hina. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/88, Ta’liq Dr. Nashir Abdul Karim Al ‘Aql)
Tidak boleh bagi seorang pun menolak sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat, lalu mengatakan ‘tidak semua bid’ah itu sesat’. (Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93)
Perlu pembaca sekalian pahami bahwa lafazh ‘kullu’ (artinya: semua) pada hadits,
وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“Setiap bid’ah adalah sesat”, dan hadits semacamnya dalam bahasa Arab dikenal dengan lafazh umum.
Asy Syatibhi mengatakan, “Para ulama memaknai hadits di atas sesuai dengan keumumannya, tidak boleh dibuat pengecualian sama sekali. Oleh karena itu, tidak ada dalam hadits tersebut yang menunjukkan ada bid’ah yang baik.” (Dinukil dari Ilmu Ushul Bida’, hal. 91, Darul Ar Royah)
Inilah pula yang dipahami oleh para sahabat generasi terbaik umat ini. Mereka menganggap bahwa setiap bid’ah itu sesat walaupun sebagian orang menganggapnya baik. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ ، وَإِنْ رَآهَا النَّاسُ حَسَنَةً
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia menganggapnya baik.” (Lihat Al Ibanah Al Kubro li Ibni Baththoh, 1/219, Asy Syamilah)
Juga terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika beliau melewati suatu masjid yang di dalamnya terdapat orang-orang yang sedang duduk membentuk lingkaran. Mereka bertakbir, bertahlil, bertasbih dengan cara yang tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu Ibnu Mas’ud mengingkari mereka dengan mengatakan,
فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحِى بَابِ ضَلاَلَةٍ.
“Hitunglah dosa-dosa kalian. Aku adalah penjamin bahwa sedikit pun dari amalan kebaikan kalian tidak akan hilang. Celakalah kalian, wahai umat Muhammad! Begitu cepat kebinasaan kalian! Mereka sahabat nabi kalian masih ada. Pakaian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga belum rusak. Bejananya pun belum pecah. Demi yang jiwaku berada di tangan-Nya, apakah kalian berada dalam agama yang lebih baik dari agamanya Muhammad? Ataukah kalian ingin membuka pintu kesesatan (bid’ah)?”
قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ
Mereka menjawab, “Demi Allah, wahai Abu ‘Abdurrahman (Ibnu Mas’ud), kami tidaklah menginginkan selain kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata, “Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun tidak mendapatkannya.” (HR. Ad Darimi. Dikatakan oleh Husain Salim Asad bahwa sanad hadits ini jayid)
Lihatlah kedua sahabat ini -yaitu Ibnu Umar dan Ibnu Mas’ud- memaknai bid’ah dengan keumumannya tanpa membedakan adanya bid’ah yang baik (hasanah) dan bid’ah yang jelek (sayyi’ah).
BERALASAN DENGAN SHALAT TARAWIH YANG DILAKUKAN OLEH UMAR
[Sanggahan pertama]
Adapun shalat tarawih (yang dihidupkan kembali oleh Umar) maka dia bukanlah bid’ah secara syar’i. Bahkan shalat tarawih adalah sunnah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dilihat dari perkataan dan perbuatan beliau. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melakukan shalat tarawih secara berjama’ah pada awal Ramadhan selama dua atau tiga malam. Beliau juga pernah shalat secara berjama’ah pada sepuluh hari terakhir selama beberapa kali. Jadi shalat tarawih bukanlah bid’ah secara syar’i. Sehingga yang dimaksudkan bid’ah dari perkataan Umar bahwa ’sebaik-baik bid’ah adalah ini’ yaitu bid’ah secara bahasa dan bukan bid’ah secara syar’i. Bid’ah secara bahasa itu lebih umum (termasuk kebaikan dan kejelekan) karena mencakup segala yang ada contoh sebelumnya.
Perlu diperhatikan, apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan dianjurkan atau diwajibkannya suatu perbuatan setelah beliau wafat, atau menunjukkannya secara mutlak, namun hal ini tidak dilakukan kecuali setelah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat (maksudnya dilakukan oleh orang sesudah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, pen), maka boleh kita menyebut hal-hal semacam ini sebagai bid’ah secara bahasa. Begitu pula agama Islam ini disebut dengan muhdats/bid’ah (sesuatu yang baru yang diada-adakan) –sebagaimana perkataan utusan Quraisy kepada raja An Najasiy mengenai orang-orang Muhajirin-. Namun yang dimaksudkan dengan muhdats/bid’ah di sini adalah muhdats secara bahasa karena setiap agama yang dibawa oleh para Rasul adalah agama baru. (Disarikan dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim, 2/93-96)
[Sanggahan Kedua]
Baiklah kalau kita mau menerima perkataan Umar bahwa ada bid’ah yang baik. Maka kami sanggah bahwa perkataan sahabat jika menyelisihi hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bisa menjadi hujah (pembela). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa setiap bid’ah adalah sesat sedangkan Umar menyatakan bahwa ada bid’ah yang baik. Sikap yang tepat adalah kita tidak boleh mempertentangkan perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataan sahabat. Perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mencela bid’ah secara umum tetap harus didahulukan dari perkataan yang lainnya. (Faedah dari Iqtidho’ Shirotil Mustaqim)
[Sanggahan Ketiga]
Anggap saja kita katakan bahwa perbuatan Umar adalah pengkhususan dari hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersifat umum yang menyatakan bahwa setiap bid’ah itu sesat. Jadi perbuatan Umar dengan mengerjakan shalat tarawih terus menerus adalah bid’ah yang baik (hasanah). Namun, ingat bahwa untuk menyatakan bahwa suatu amalan adalah bid’ah hasanah harus ada dalil lagi baik dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’ kaum muslimin. Karena ingatlah –berdasarkan kaedah ushul fiqih- bahwa sesuatu yang tidak termasuk dalam pengkhususan dalil tetap kembali pada dalil yang bersifat umum.
Misalnya mengenai acara selamatan kematian. Jika kita ingin memasukkan amalan ini dalam bid’ah hasanah maka harus ada dalil dari Al Qur’an, As Sunnah atau ijma’. Kalau tidak ada dalil yang menunjukkan benarnya amalan ini, maka dikembalikan ke keumuman dalil bahwa setiap perkara yang diada-adakan dalam masalah agama (baca : setiap bid’ah) adalah sesat dan tertolak.
Namun yang lebih tepat, lafazh umum yang dimaksudkan dalam hadits ’setiap bid’ah adalah sesat’ adalah termasuk lafazh umum yang tetap dalam keumumannya (‘aam baqiya ‘ala umumiyatihi) dan tidak memerlukan takhsis (pengkhususan). Inilah yang tepat berdasarkan berbagai hadits dan pemahaman sahabat mengenai bid’ah.
Lalu pantaskah kita orang-orang saat ini memakai istilah sebagaimana yang dipakai oleh sahabat Umar?
Ingatlah bahwa umat Islam saat ini tidaklah seperti umat Islam di zaman Umar radhiyallahu ‘anhu. Umat Islam saat ini tidak seperti umat Islam di generasi awal dahulu yang memahami maksud perkataan Umar. Maka tidak sepantasnya kita saat ini menggunakan istilah bid’ah (tanpa memahamkan apa bid’ah yang dimaksudkan) sehingga menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat. Jika memang kita mau menggunakan istilah bid’ah namun yang dimaksudkan adalah definisi secara bahasa, maka selayaknya kita menyebutkan maksud dari perkataan tersebut.
Misalnya HP ini termasuk bid’ah secara bahasa. Tidaklah boleh kita hanya menyebut bahwa HP ini termasuk bid’ah karena hal ini bisa menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
Kesimpulan: Berdasarkan berbagai dalil dari As Sunnah maupun perkataan sahabat, setiap bid’ah itu sesat. Tidak ada bid’ah yang baik (hasanah). Tidak tepat pula membagi bid’ah menjadi lima: wajib, sunnah, mubah, makruh, dan haram karena pembagian semacam ini dapat menimbulkan kerancuan di tengah-tengah umat.
HUKUM BID’AH DALAM ISLAM
Hukum semua bid’ah adalah terlarang. Namun, hukum tersebut bertingkat-tingkat.
Tingkatan Pertama: Bid’ah yang menyebabkan kekafiran sebagaimana bid’ah orang-orang Jahiliyah yang telah diperingatkan oleh Al Qur’an. Contohnya adalah pada ayat,
وَجَعَلُوا لِلَّهِ مِمَّا ذَرَأَ مِنَ الْحَرْثِ وَالْأَنْعَامِ نَصِيبًا فَقَالُوا هَذَا لِلَّهِ بِزَعْمِهِمْ وَهَذَا لِشُرَكَائِنَا
“Dan mereka memperuntukkan bagi Allah satu bagian dari tanaman dan ternak yang telah diciptakan Allah, lalu mereka berkata sesuai dengan persangkaan mereka: “Ini untuk Allah dan ini untuk berhala-berhala kami”.” (QS. Al An’am [6]: 36)
Tingkatan Kedua : Bid’ah yang termasuk maksiat yang tidak menyebabkan kafir atau dipersilisihkan kekafirannya. Seperti bid’ah yang dilakukan oleh orang-orang Khowarij, Qodariyah (penolak takdir) dan Murji’ah (yang tidak memasukkan amal dalam definisi iman secara istilah).
Tingkatan Ketiga: Bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah hidup membujang (kerahiban) dan berpuasa diterik matahari.
Tingkatan Keempat: Bid’ah yang makruh seperti berkumpulnya manusia di masjid-masjid untuk berdo’a pada sore hari saat hari Arofah.
Jadi setiap bid’ah tidak berada dalam satu tingkatan. Ada bid’ah yang besar dan ada bid’ah yang kecil (ringan).
Namun bid’ah itu dikatakan bid’ah yang ringan jika memenuhi beberapa syarat sebagaimana disebutkan oleh Asy Syatibi, yaitu:
Tidak dilakukan terus menerus.
Orang yang berbuat bid’ah (mubtadi’) tidak mengajak pada bid’ahnya.
Tidak dilakukan di tempat yang dilihat oleh orang banyak sehingga orang awam mengikutinya.
Tidak menganggap remeh bid’ah yang dilakukan.
Apabila syarat di atas terpenuhi, maka bid’ah yang semula disangka ringan lama kelamaan akan menumpuk sedikit demi sedikit sehingga jadilah bid’ah yang besar. Sebagaimana maksiat juga demikian. (Pembahasan pada point ini disarikan dari Al Bida’ Al Hawliyah, Abdullah At Tuwaijiri, http://www.islamspirit.com)
Pembahasan berikut adalah jawaban dari beberapa alasan dalam membela bid’ah. Semoga kita selalu mendapatkan petunjuk Allah.
***
Disusun oleh: Muhammad Abduh Tuasikal, S.T.
Dimuroja’ah oleh: Ustadz Aris Munandar
Artikel http://www.muslim.or.id
Untuk Saudara Muh.Shahrir ,
Silakan Saudara lihat tulisan saya di artikel berjudul Ustad Mahrus Ali, semoga Anda bisa membedakan mana pendapat yang benar dan salah. Sehingga mata hati Anda bisa terbuka. Terimakasih.
Artikel yang bagus. Saya tertarik dengan kalimat yang terakhir : “Yang dilarang itu adalah jika kita mewajibkan peringatan 3, 7, 40 hari dst sebagai keharusan,.. karena tidak ada dalil yg mewajibkannya.”
Terjadi kesalahkaprahan di masyarakat kita (setidaknya yang saya tahu di Jawa) yang mewajibkan peringatan tersebut sebagai hukum tak tertulis. Dan satu hal lagi, masyarakat yang tidak mampu memaksakan diri mengadakan peringatan itu dengan mengadakan jamuan-jamuan sedangkan yang mampu menyelenggarakannya secara berlebihan. Padahal yang penting kan dzikirnya, bukan hidangannya.
–> Setuju mas. Jika ada yg menganggap tradisi ini (3, 7, 40 hr dst) wajib, itulah yg perlu diluruskan. Demikian juga dalam hal memaksakan diri. Tetapi kita tidak bisa memvonis sesuatu (tradisi) sebagai bid’ah (sesat) hanya berdasar anggapan (salah-kaprah) masyarakat. Pegangan dalam beragama (untuk hal2 yg baru) di zaman ini adalah fatwa ulama. Setahu kami, tidak ada seorang ulama pun yg mengatakan itu wajib.
Adalah bid’ah (dlolalah) .. mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Demikian juga, bid’ah (dlolalah) .. mengharamkan sesuatu (kegiatan) yang tidak ada hujah larangannya di dalam syariat. Ini adalah membuat syariat baru. Sebagaimana keterangan syeikh Muhammad Alwi Al Maliki (ttg bid’ah yg sesat/dlolalah) sbb:
… dalam konteks (bid’ah) ini adalah adanya penambahan dalam urusan agama supaya menjadi urusan agama, dan penambahan dalam masalah syariat supaya menjadi suatu bentuk syariat, sehingga menjadi suatu syariat yang diikuti – oleh umat Islam– dan disandarkan pada pemilik syariat (Nabi Muhammad Saw)
Maka, berfatwa mengatakan tradisi ini (peringatan kematian 3, 7, 40, 100 hr, dst) sebagai kewajiban dlm agama adalah bid’ah dlolalah.
Demikian juga, berfatwa dengan mengharamkan (membid’ah sesatkan) tradisi ini adalah bid’ah (dlolalah) itu sendiri, karena tidak ada dalil yang menyebabkan haramnya. Hal ini sama saja membuat (menambah) syariat baru dalam agama.
Wallahu a’lam.
barang siapa yang mudah menuduh sesat, bid’ah, masuk neraka, berarti sudah termakan profokasi yahudi agar kita terpecah belah
info aja sebagai pencari kebenaran
BENARKAH Muhammad Alwi Al Maliki SEORANG MUHADDITSUL HARAMAIN ?
Redaksi Al Furqon Menjawab :
http://www.mail-archive.com/assunnah@yahoogroups.com/msg16705.html
–> Telah ku baca. Sebenarnya ku tak ingin menanggapi hal2 semacam ini. Biarlah umat yang menilai sendiri. Sudah menjadi kebiasaan para wahabiyun untuk merendah-rendahkan dan men-sesat-sesat-kan pada pihak yang berbeda paham.
Setahu saya, syaikh Muhammad ibn Alwi Al Maliki mendapat gelar Ph.D di bidang hadits dari Univ. Al Azhar, Kairo, Mesir. Mendapatkan gelar professor di bidang yang sama. Selain itu, beliau juga belajar berguru pada ulama2 yang lain.
Simaklah sejarah hidup beliau dari berbagai sumber, sebelum menilai.
Mohon maaf kl tak berkenan. Wallahu a’lam.
Sudah menjadi kebiasaan para wahabiyun untuk merendah-rendahkan dan men-sesat-sesat-kan pada pihak yang berbeda paham.
benarkah demikian?
“Salafy” adalah Pemersatu bukan Pemecah-Belah
silahkan kunjungi situs jika kalian semua ingin mencari kebenaran,karena saya semasa di Jawa timur merasakn kungkungan yang sangat hebat akan ilmu yang luas ini.simak bantahan di
http://belasalafy.wordpress.com/2009/09/30/salafy-adalah-pemersatu-bukan-pemecah-belah/
to simpatisan wahabi,
pernyataan wahabi itu pemersatu itu dasarnya apa? khayalan?
yg jelas2 fakta di lapangan aja, wahabi itu mencela NU, memusuhi Muhammadiyah, dan ormas2 yg lain.. sesama wahabi pun mereka saling cela..
mau contoh?
Katakanlah yang haq itu haq dan yang batil itu batil. Jangan dibuat samar-samar. Sehingga membingungkan umat. Pada dasarnya semua bid’ah itu sesat. Jadi semua urusan ibadah yang tidak ada dalil (dasar) dalam Al Qur;an dan Al Hadits adalah Bid’ah.
Kita tidak dilarang membaca kalimat Tahlil (lailahailallah)tetapi yang tidak ada dalilnya adalah mengadakan tahlilan dan mengharap pahala dari Allah dari kegiatan tahlilan itu.
–> Tidak ada kami buat samar2. Pendapat kami tegas. Simaklah,
1. Imam Syafi’i rhm dan jumhur ulama ahlus sunnah wal jamaah membagi bid’ah menjadi dua. Dan mengenai bid’ah yg sesat telah dijelaskan secara gamblang. Itulah pegangan kami.
2. Benar..tidak ada dalil perintah mengadakan tahlilan (majelis tahlil), dan juga tidak ada dalil larangannya.
Yang ada adalah dalil keutamaan dzikir (termasuk tahlil) dan majelis dzikir yang disebutkan dalam banyak hadits. Mestinya ini berlaku juga untuk majelis tahlil (tahlilan). Jika majelis dzikir (majelis tahlil, tahlilan) adalah sesuatu yg utama, maka mengadakan kegiatan majelis ini mestinya berpahala.
3. Membid’ahkan (dengan konotasi sesat) tradisi (tahlilan) ini adalah bid’ah (sesat) itu sendiri. Karena hal ini sama dengan mengharamkan sesuatu yg tidak ada larangan dalam syariat. Mengharamkan hal yg halal adalah membuat syariat baru. Sedangkan membuat syariat baru berarti menambah2 dalam urusan agama. Inilah bid’ah (sesat) yang sejati.
4. Tahlilan ini adalah bukan ibadah mahdah. Maaf .. tampaknya anda rancu antara ibadah mahdah dan bukan mahdah, sehingga salah persepsi ttg ibadah dan bid’ah. Coba simak dulu ini dan ini
Hari ke 1 sampai 7 kemudian 40 kemudian 100 dan kemudian 1000, ada dalam agama Hindu India.
Saya punya Bos keturunan India, mereka melaksanakan urutan tanggal tsb..seperti tahlilan kita.
Apakah kita telah mengikuti ajaran mereka.?
Islam di India sendiri tidak ada urutan tahli 1-7 40 100 dll..mereka hanya melaksankan tahlil cuma 5 hari. dan yg masak masakan adalah tetangganya, bukan keluarga yg meninggal
MangAndri
Kita memandang Tahlilan bukanlah suatu bid’ah yang harus ditakuti oleh kalangan-kalangan tertentu, pelarangannya adalah sebuah doktrin untuk menjahui kalangan nahdiyin .
–> majelis dzikir ini (tahlilan) tidak hanya diamalkan oleh kalangan nahdiyin (Jawa/Indonesia) saja. Banyak umat islam di dunia ini juga mengamalkannya, walaupun mungkin pelaksanaannya tidak sama persis.
Mari kita kaji lagi apakah dijaman Rasul, sahabat/tabiin dan tabiit tabiin kegiatan tahlilan (serangkaian acara dari pengiriman pahala alfateha, zikir dan doa) pada hari tertentu di tempat kematian)pernah dilakukan. Kalo tidak pernah dilakukan 3 generasi islam yg dijamin surga itu, sebaiknya ditinggalkan saja. Mari bersodaqah, berzikir dan berdo’a / mendoakan orang lain sesuai tuntunan Rasulullah SAW. Agar apa yang kita lakukan tidak sia-sia.
–> Jika seperti itu, maka umat ini akan berhenti hanya sampai 3 generasi itu saja. Ini tak boleh, itu tak boleh karena tak dilakukan 3 generasi pertama. Mendengarkan pengajian lewat radio (ibadah), shalat bercelana panjang (ibadah), haji pakai pesawat (ibadah), melempar jumrah (ibadah) dari lantai 3.
Beberapa waktu lalu, ada yg mengatakan, “Kalau tak ada perintah .. tak dikerjakan Nabi saw, maka itu sesat (tinggalkan)”. Kemudian dibuktikan bahwa ada amal perbuatan yg dikerjakan sahabat dan tak dikerjakan baginda Nabi saw. Nabi saw merestuinya. Kemudian diubah kriteria itu, “Kalau tak dikerjakan para sahabat Nabi saw, maka itu sesat”. Kemudian terbukti pula ada yg dikerjakan di zaman tabiin/tabiit tabiin yg tak dikerjakan para sahabat. Sekarang ada kriteria baru seperti di atas, “Kalau tak dikerjakan 3 generasi pertama islam, maka itu sesat (tinggalkanlah)”. Sedangkan ada banyak bukti amal perbuatan (ibadah) di zaman ini yg tak dilakukan 3 generasi awal islam. Contoh antara lain ada di atas itu.
Maaf .. kriteria spt itu tak konsisten. Membingungkan.
Bagi kami sederhana saja. Menurut kami, yg tak boleh itu yang menentang syariat. Sedangkan hal-hal baru yg tak bertentangan dgn syariat … silakan. (Jadi ingat definisi bid’ah dlalalah dan bid’ah hasanah nya imam Syafi’i)
Kupas Tuntas Maulid Nabi & Tahlilan
http://kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Zainal%20Abidin%20Syamsudin/Kupas%20Tuntas%20Maulid%20Nabi%20%2526%20Tahlilan
Silahkan kunjungi kajian Download berbagai macam Ceramah Audio Kajian Islam MP3 dari mantan NU tambak beras di
http://kajian.net/kajian-audio/Ceramah/Zainal%20Abidin%20Syamsudin
ya kalo da yang ga setuju ya itu wajar… perbedaan itu kan adalah Ramhat.
kalo memang Anda adalah orang yang ga setuju dengan tahlilan, ya anda diam saja dan ga usah membid’ahkan bahkan menyakiti hati orang yang suka tahlilan.
toh anda juga paham kalo kami ini punya dasar hukum, ya meskipun anda ga mau setuju dan ga mau tau dg dasar hukum kami..
so, ana a’maluna walakum a’malukum..
salam kebangkitan Islam..
–> Maaf mas.. anda salah sasaran
orang yang pahalanya belum cukup untuk menutupi dosanya dilarang untuk tahlilan.
mengapa?
karena jika dia melakukan tahlilan lalu siapa yang akan menutupi dosa-dosanya?
anak-anaknya?
mana mungkin?
apakah dia bisa memastikan bahwa anak-anaknya tersebut matinya lebih akhir daripada dia!
orangtuanya? apalagi mereka!
lalu siapa?
–> Terus terang saya tidak paham maksud anda…
Anyway.. melarang sesuatu hal yg tak ada sebab larangan adalah bid’ah (dlolalah). Sedangkan tahlilan itu di dalamnya ada dzikir yang utama. Lihatlah fadlilah2 keutamaan dzikir dan majelis dzikir di banyak hadits dan al qur’an. Ridlo Allah sangat dekat kepada mereka. Saya copykan lagi hadits di atas,
Mari kita baca ayat ini:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَمَنْ أَسَاءَ فَعَلَيْهَا وَمَارَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ.
“Sesiapa yang mengerjakan amal yang soleh maka untuk dirinya sendiri dan sesiapa berbuat kejahatan maka (dosa-dosanya) atas dirinya sendiri dan tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba”.
FUSHILAT, 41:46
Tidak ada larangan berzikir dan tidak ada larangan berdo’a, itu Haq. Tapi bagaimana kalo berzikir dan bedoa dilakukan dengan cara /dicampur dgn keyakinan agama non ISLAM yg bertentangan Aqidah. Kenapa kita tidak melakukan zikir dan do’a sesuai contoh Rosulullah SAW saja.
Lebih ditegaskan lagi dalam hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barang siapa yang beramal bukan diatas petunjuk kami, maka amalan tersebut tertolak.” (Muttafaqun alaihi, dari lafazh Muslim)
Memang secara sepintas pula, penyajian hidangan untuk para tamu merupakan perkara yang terpuji bahkan dianjurkan sekali didalam agama Islam. Namun manakala penyajian hidangan tersebut dilakukan oleh keluarga si mayit baik untuk sajian tamu undangan tahlilan ataupun yang lainnya, maka memiliki hukum tersendiri. Bukan hanya saja tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bahkan perbuatan ini telah melanggar sunnah para sahabatnya radhiallahu ‘anhum. Jarir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu–salah seorang sahabat Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam– berkata: “Kami menganggap/ memandang kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh keluarga mayit merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit).” (H.R Ahmad, Ibnu Majah dan lainnya)
–> Hal ini telah dibahas pula. Yang dimaksud meratap itu adalah adanya pesta. Namun jika orang bertakziah bersama-sama, maka pastilah berkumpul. Mendoakan/berdzikir bersama-sama adalah hiburan terbaik bagi keluarga. Makanan sekedarnya yang dihidangkan adalah wajar.
Tentu anda dapat membedakan antara pesta dengan takziah dan mendoakan sesama muslim.
Pada kenyataannya , ya, jelas pesta, gimana kalo ga ada jamuan atau ga ada duit utk bayar ustadnya mao ga ?
saya pernah ngadain tahlilan cuma sampe hari ke tiga karena dananya ga cukup sudah kepake buat bayar penguburan, biaya mandiin mayat,biaya sholat, beli perlengkapan mengkapani mayat dst……eh.. malah dimusuhin sama sodara dari almarhum bapak saya difitnah macem macem saya dibilang ga sayang sama almarhum, saya dibilang aliran sesat, makan uang selawatan ( uang baskom ),dituduh wahabi dst… karena masyarakat sudah mendarah daging menganggap tahlilan itu suatu keharusan yang tidak boleh di langgar.Tahlilnya sih bagus,baca doa untuk yang meninggal saya setuju, silaturahim jg cakep boleh di terusin, tapi ketika banyak embel-embelnyasaya jadi ga sreg, menurut saya Tahlilan sangat banyak mudarat banyak menimbulkan perbecahan umat islam itu sendiri.
trs kalo yg mati tu ga punya anak, ga punya cukup harta unt amal jariyah gimana?? apakah Islam sejahat itukah? dan dah jd tanggungjwb umat unt mendoakannya, salah satunya ya lewat tahlilan itu
mari kita perbanyak dzikir setiap hari..
buat mas bernardi : klo “pemahaman semua bidah sesat” pa ente akan mengatakan sesat kebijakan sayyidina Umar untuk MEMBUKUKAN alquran..
soalnya gk da tuh kata kata perintah membukukan quran..
tetapi tu da dlm sejarah umat islam n gk da satupun sahabat nabi yg mengatakan bidah sesat..
mari kita tu berbicara secara intelek..
majlis tahlil pa sich bedanya ma majlis zikir..sama2 berzikir kpd allah..so keduanya sama2 amalan mulia..
–> Salam kenal mas hadi.. Tentang bid’ah hasanah ada di sini, dan sejarah pembukuan al qur’an ada di sini. Semoga manfaat.
betul mas, masa semua hrs jd hafidh, mushaf tu kan jg dibaca ama mereka yg suka nuduh bid’ah, pokoknya tahlil hrs jalan trss
Saya sangat stuju dengan smua pendapat yang membolehkan tahlilan, sbab yang tahu niatan seseorang dalam melaksanakan ibadah adalah cuma Allah dan dia sendiri. Hal ini saya sampaikan karena ada banyak sindiran miring yang salah satu diantaranya ada yg mengatakan bahwa orang yang ikut tahlilan hanya mengharapkan makanan saja.
Mas Hadi ipb anda telah kemukakan contoh yg sangat baik. Sy sangat stuju.
–> Adat ketimuran (Jawa khususnya), semelarat apapun .. malu untuk meminta-minta secara langsung kepada tetangga. Tradisi berkat ini adalah salah satu sarana untuk sedekah kepada sekitar. Namun sebagaimana komentar #2, jika yg meninggal adalah keluarga saudara (tetangga) kita yg miskin .. maka tak perlu memaksakan diri. Dan baik sekali jika ada saudara (tetangga) yang kaya yg justru membantunya.
Assalamualaikum
Satu hal lagi buat mas bedjo, apa anda yakin akan masuk surga hanya dengan bekal amalan ibadah meski hidup anda hanya diperuntukan bagi beribadah terus ? mungkin anda lupa bahwa masuknya seseorang kedalam surga adalah atas rahmat Allah semata, namun Allah akan memberi rahmat kepada mereka yang mencintaiNya dan yang dicintaiNya diantaranya adalah ahli dzikir.
Maaf saya asal nyelonong saja.
Wassalamualaikum
prinsip-2 ajaran Islam yang hrs diamalkan dg bersih, utuh dan berjamaah, bersih diantaranya bersih aqidah dr syirik, bersih ibadah dari bid’ah, biar amalnya jd ga sia-2, kl ukurannya yg penting baik, baiknya hrs menurut Allah & rasulnya bukan baik menurut ukuran masing-2
Sebagian muslimin ketika dinasihati untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan bid’ah mereka, tidak jarang diantara mereka berdalih bahwa yang mereka lakukan adalah bid’ah hasanah, sehingga mereka berkeras bahwa yang mereka lakukan adalah kebaikan. Artikel ini menjelaskan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan dijelaskan syubhat-syubhat yang biasanya digunakan sebagai alasan pembenaran bid’ah mereka.
Telah disebutkan oleh Rasulullah bahwa:
“Berhati-hatilah dari hal yang baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap kebid’ahan itu sesat.(HR. Tirmidji dan Ibnu Majah).
“Barangsiapa yang membuat-buat dalam perkaraku(agamaku) ini, sesuatu yang bukan darinya maka dia tertolak.”(HR. Bukhari Muslim).
“Barangsiapa yang beramal satu amalan yang tidak ada perintahku padanya, maka dia tertolak.”(HR. Muslim).
xxxxxxxxxxx cut xxxxxxxxxxxxxxx
–> Salam kenal mas ardun.. maaf komentar anda saya cut. Terlalu panjang dan hanya copy paste. Silakan simak alasan kami.
Ada beberapa hal yang perlu ditanggapi,
1. Artikel panjang anda tidak menjawab argumen. Kami bahas majelis tahlil, sedangkan anda menerangkan tentang bid’ah. Tidak pas kan.
2. Tahlil dan tahlilan ini bukan bid’ah sesat. Ada hujahnya. Bukankah awal tulisan ini sendiri justru hujah yang menjadi dasar umat untuk mengamalkannya. Men-sesat-kan kepada orang yang berdzikir (tahlil) adalah sesat itu sendiri. Simak komentar #2 dan #3. Berhati-hatilah.
3. Artikel anda ini dibahas di Majelis Rasulullah. Jawaban habib munzir ada di sana. Terbukti di artikel anda ada perbuatan licik gunting tambal thd ucapan para ulama terdahulu. Ucapan para ulama itu dipotong sehingga makna-nya berbelok. Sudah berapa banyak umat tertipu oleh artikel macam ini (termasuk mungkin … mas ardun).
Perbuatan gunting tambal, serta membelokkan makna ucapan para ulama ini adalah hal-hal baru yang tak ada tuntunan dari kanjeng Nabi saw, serta tidak mencontoh akhlak beliau. Inilah contoh bid’ah sesat.
4. Kita diciptakan hidup di dunia ini adalah untuk beribadah. Sehingga semua perbuatan kita seharusnya bernilai ibadah. Tampaknya anda tdk paham bahwa ada ibadah ghairu mahdah. Silakan simak catatan kami tentang bid’ah dan konsep ibadah di sini, sini, sini, dan sini.
Mohon maaf kalau tak berkenan.
Wallahu a’lam.
sy kira penjelasan diatas itu udah jelas. kita tdk dilarang untuk melakukannya, asal jangan jadikan itu kewajiban, krn tidak ada dasar hukumnya untuk diwajibkan.
kalo ada yg masih mendebat, sy kira beliau2 ini masih pada mengedepankan egonya masing2. kalo emang ada dasar hukum untuk mewajibkannya sy pengen tau. thxs
Assalamu ‘alaikum
Salam kenal dan salam ukhuwah sahabat.
Perbedaan pandangan di dalam melihat sebuah tahlilan akan tetap ada di kalangan umat Islam Indonesia. Untuk melihat sebuah tahlilan, mungkin kita perlu flashback ke zaman perjuangan Wali Songo, dimana tahlilan ini merupakan salah satu pilot project dakwah Wali Songo. Mungkin dari situ kita bisa lebih obyektif memandang tahlilan.
Bagi yang tidak setuju, ya silahkan, kita punya dasar hukum yang sama, Al Qur’an dan Hadits, tetapi pemahaman kita berbeda. Menyikapi masalah tahlilan, cara pandang kita seperti melihat gelas yang berisi setengah penuh air. Kita bisa mengatakan gelas itu setengah penuh, ataupun setengah kosong.
Bagi saya sendiri yang notabene juga orang nahdliyin, tidak pernah ada memang zaman Rasulullah tahlilan itu. Tahlilan mulai dikenalkan oleh para Wali Songo. Dan di NU-pun saya tidak pernah diajari tentang harus diadakan 3,7,40,100hr, dll. Di pesantren salaf tradisional malah tahlilan biasa diadakan malam Jum’at..mohon dipahami, saya mengatakan “biasanya”, bukan “diwajibkan”. Kalo ngga gitu sekalian dibarengkan istighotsah. Hal ini karena didasarkan pada keutamaan hari Jum’at.
Mungkin antum semua bisa sedikit membaca tulisan ringan saya di:
http://anadhar.multiply.com/journal/item/9
–> Wa’alaikum salam wrwb. Salam kenal mas radhana. Perbedaan itu akan selalu ada dalam segala hal. Itu manusiawi bahwa tidak ada manusia persis sama. Yang diharapkan adalah toleransi, dan keluhuran akhlak, sebagaimana telah dicontohkan oleh junjungan kita Nabiyullah saw. Dan janganlah hukum syariat diubah-ubah sesuai selera, hanya karena kita tidak suka (atau sangat suka) pada sesuatu hal.
Assalamualaikum. wr wb
Salam kenal..
senang sekali ada tulisan yg bisa menjelaskan bahwa tahlilan itu tidaklah sesat dengan memberikan dalil2x yg terkait.
Mudah2xan ada penjelasan2x untuk hal seperti ini yg dirangkum menjadi buku yg dijual di toko2x buku untuk mencounter dari buku2x yang banyak sekali beredar menuliskan tentang bid’ah dan kesesatan2x umat islam, seperti masalah tahlilan, qunut dll.
–> Wa’alaikum salam wrwb… Salam kenal juga mas dewasurya. Coba hubungi majelis rasulullah untuk buku yg dimaksud. Ada juga buku2 lain seperti “40 Masalah Agama”-nya KH Siradjudin Abbas.
Amien.. semoga doa anda dan kita dikabulkan Allah swt.
Tambahan dari MR
TAHLILAN
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yg memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dg ayat “DAN ORAN ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat, dan anaknya yg berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yg dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yg telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yg tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dg tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yg awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab,
bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak melarangnya bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu ahli hadits yg telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw :
• Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
• Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
• Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jalla yang telah mengutus hamba-Nya yang mulia, Muhammad saw., sebagai pemberantas kesesatan dan aneka kepercayaan jahiliyah yang kental dengan ‘ashabiyah (fanatisme buta) dan membawa agama Islam sebagai jalan hidup seluruh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan atas Rasul-Nya, Muhammad saw., keluarganya, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan para pengikutnya yang tetap setia dan teguh dalam menegakkan sunnahnya yang mulia ini sampai akhir zaman.
Ulasan “Tahlilan: Bid’ah atau Sunnah? (Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)”, yang ada ditangan Anda ini, adalah ulasan singkat mengenai fenomena tahlilan yang hingga hari ini selalu menjadi perselisihan dikalangan umat. Telah kita maklumi bersama, tahlilan merupakan upacara ritual memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Muslim di negeri ini. Dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Sebenarnya ulasan ini penulis hadirkan lebih didasari pada upaya untuk mendudukkan persoalan yang sesungguhnya mengenai tahlilan dalam mashadir al-ahkam (landasan hukum yang disepakati, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.) dan beberapa fatwa ulama mengenai fenomena tahlilan tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menampilkan dalil dan hujjah baik naqly maupun aqly yang argumentatif serta—Insya Allah, dapat dipertanggung-jawabkan, karena semua dalil tersebut penulis ambil dari dua warisan Nabi saw., yakni al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’ ulama mengenai tahlilan itu sendiri.
Adanya perselisihan dalam memandang tahlilan ini lebih diakibatkan oleh pemutarbalikan informasi sehingga masyarakat dengan yakin menganggap bahwa tahlilan merupakan bagian dari Sunnah Nabi saw. Padahal jika ditelusuri asal-usulnya secara seksama dan diteliti dalil yang melandasinya tidaklah demikian. Ini bukan berarti penulis sengaja membuka kemarahan, aib, atau menimbulkan kekacauan dikalangan umat. Sebab, mengungkapkan kebenaran informasi yang sesungguhnya mengenai tahlilan ini selama dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar, Insya Allah ada nilai ubudiyahnya.
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT dalam kitab-Nya (QS. al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata ‘sabar’ dalam bingkai nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.
Itulah sebabnya, penulis sangat menyadari benar bahwa tidak semua nasehat bisa diterima dengan lapang dada, apalagi terhadap suatu kebiasaan yang telah mendarah daging dalam kehidupan seseorang atau masyarakat. Bisa jadi penolakan itu lebih dikarenakan ketidaktahuan, menutup mata, menutup hati, merasa paling benar dan besar, atau bahkan tidak mau tahu terhadap kebenaran mashadir al-ahkam dan ijma’ ulama, atau bisa jadi juga karena kesombongan.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألكبر بطرالحق وغمت الناس
Rasulullah saw., bersabda: “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud, lihat dalam Shahih Muslim, Kitab al-Iman Bab Tahrimi al-Kibr wa Bayanih, Nomor Hadits 91).
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Qur’an) dan Nabi saw., (as-Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari nomor 7145 dan Shahih Muslim nomor 1840).
Selanjutnya penulis akan sangat berterima kasih dan menerima dengan tangan terbuka sekiranya ada yang melakukan kritikan atas tulisan ini. Tentunya dengan cara yang arif dan dewasa. Bukan dengan cara-cara yang tidak simpatik atau teror yang tidak mendidik. Karena selain sama saja dengan menampakkan (maaf) kebodohan sendiri, juga menjadi bukti nyata dan pengakuan secara tidak langsung atas kebenaran tulisan ini. Dan alangkah tidak terpujinya jika penulis pun terjebak ikut melayani tindakan bodoh dengan cara yang bodoh pula. Sebab, Allah SWT telah mengingatkan:
“Dan menghindarlah kamu dari orang-orang yang bodoh”. (QS. al-A’raf: 199).
Dan juga sebagaimana sabda Nabi saw., yang perlu kita renungkan bersama: “Agama itu nasehat”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Tsauban dan al-Bazzar dari Ibnu Umar. Lihat Jami’ al-Ulum wa al-Hikam yang ditahqiq oleh Wahbah al-Zuhaily). Dan penulis juga mengulas fenomena ini tidak lain sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Hud: 88, yakni:
“Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sebatas kemampuanku. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal. Dan kepada-Nya jua aku kembali”.
Tingkat kedewasaan dan keterbukaan Anda, pembaca yang terhormat, membuat penulis yakin bahwa Anda bisa menerima tulisan ini dengan jiwa besar, lapang dada, apa adanya, dan mau merenunginya. Dan penulis optimis, Anda bisa menyimak tulisan ini lembar demi lembar dengan seksama, karena boleh jadi di antara Anda, adalah guru penulis, saudara dan sahabat penulis, dan orang-orang yang penulis kenal dengan baik.
Akhirnya, kepada Allah jua kita kembalikan kebenaran, karena Dia-lah Pemilik Kebenaran atas segala sesuatu. Selamat Membaca. Wallahu a’lam bish-shawwab.
TAHLILAN: BID’AH ATAU SUNNAH?
(Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)
Muqaddimah
Kata tahlilan sebenarnya berasal dari kata tahlil, yang dalam bahasa Arab berarti mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah. Pada acara tahlilan, biasanya dibaca beberapa kalimat dzikir, seperti tasbih, tahmid, dan tahlil. Karena tahlil adalah dzikir yang paling utama, maka pertemuan itu disebut dengan istilah tahlilan.
Acara tahlilan, yakni acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/ruh, merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat Islam di negeri ini. Tentu tatacara dalam penyelenggaraan tahlilan ini berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebagaimana yang penulis amati dari Sabang sampai Jayapura.
Persoalannya, dapatkah orang mati menerima ganjaran pahala atau dosa karena amalan orang yang masih hidup? Dapatkah orang yang masih hidup mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal (mayit)? Untuk menjawab dan membahas hal ini, penulis mengajak pembaca untuk memperhatikan dan memahami keterangan-keterangan yang penulis paparkan berikut ini.
1. al-Qur’an Surat an-Najm: 39, yakni:
“Dan sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan, melainkan (menurut) apa yang telah ia usahakan”.
2. al-Qur’an Surat an-Naba’: 41, yakni:
•
“Pada hari seseorang akan melihat apa yang telah diusahakan oleh kedua tangannya”.
Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan kedua ayat tersebut, seperti dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 48, 185, dan 286; al-Ankabut: 6; al-Isra: 15; Faathiir: 18; ath-Thur: 21, dan lain-lain.
Rasulullah saw., juga bersabda dalam sebuah hadits, yang berbunyi:
إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
“Apabila seorang anak Adam meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmunya yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya Hadits Nomor 3084; at-Tirmidzi dalam Sunan-nya Hadits Nomor 1298; an-Nasa’i dalam Sunan-nya Hadits Nomor 3591; Abu Daud dalam Sunan-nya Hadits Nomor 2494; dan Imam Ahmad dalam al-Musnad-nya Hadits Nomor 8489).
Dari beberapa ayat dan hadits tersebut, jelas bahwa setiap orang hanya bertanggung jawab atas hasil usahanya sendiri. Tetapi anehnya, banyak perilaku umat Islam yang jauh dari konteks kesucian al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Tidak sedikit dari kalangan masyarakat Islam yang tidak menyadari bahwa ada kebiasaan-kebiasaan yang telah menjamur dan melembaga ternyata sangat diragukan kebenarannya.
Salah satunya adalah tahlilan. Jika tahlilan dikatakan bid’ah atau haram, pasti banyak yang akan terkejut, tidak percaya, atau mungkin sampai pada tingkat marah-marah. Dan orang yang mengatakan atau menginformasikan hal tersebut tentu dianggap telah meresahkan masyarakat, atau dicap pembuat onar dalam tatanan masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin kebiasaan yang dilakukan oleh jutaan orang tiba-tiba dikatakan bahwa tahlilan itu bid’ah atau haram? Bagaimana mungkin dikatakan bid’ah atau haram sedangkan banyak ulama, teungku, ustadz, atau orang-orang yang memiliki pengetahuan agama malah mengerjakannya bahkan ikut melestarikannya?
Tapi tahukah Anda, Imam asy-Syafi’i –yang banyak diikuti madzhabnya di negeri ini, memvonis tahlilan itu sebagai perbuatan bid’ah atau haram? Tahukah kita, bahwa Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, al-Hafizh Imam Ibnu Katsir, Imam ar-Ramly, dan masih banyak lagi ulama-ulama Syafi’iyah (madzhab Syafi’i) juga memvonis atau menyatakan bahwa tahlilan itu perbuatan bid’ah atau haram?
Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengutip fatwa-fatwa para Ulama tersebut secara apa adanya dari kitab mereka masing-masing.
1. Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm, (juz 1/248; dan I/317-318):
وأكره المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذ لك يجددالحزن
“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) kumpul-kumpul, yaitu berkumpul di rumah (mayit) walaupun bukan untuk melakukan ratapan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbarui kesedihan”.
2. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Mughny al-Muhtaj, juz. 1 hal. 268:
وأما إصلاح أهل الميت طعاماوجمع الناس عليه فبدعة غير مستحبة
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpul beramai-ramai di rumah mayit dalam acara tersebut (tahlilan), maka itu adalah bid’ah dan bukan sunnah”.
3. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam I’anah ath-Thalibin sebagai syarah Fathul Mu’in, juz. 2 halaman 146:
وما اعتيدمن جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة مكرو هة كإجتما عهم لذالك لما صح عن جرير قال: كنا نعدا لإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan berupa menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang orang-orang berkumpul di rumah duka adalah bid’ah makruhah, karena terdapat hadits shahih (yang menerangkan hal itu) dari sahabat Jarir ibn Abdullah ra., beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga mayit dan menyiapkan makanan adalah (sama) dengan ratapan (niyahah)”. (HR. Ahmad dalam al-Musnad-nya, jilid II, halaman 204. Silahkan baca juga Kitab Tuhfatul Ahwadzi (IV: 67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim).
4. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi, juz. 1 hal. 90:
وأماقراءة القرآن فالمشهور من مذ هب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلىالميت…ودليل الشا فعي وموافقيه قول الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
“Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi…Sedang dalilnya Imam asy-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya): “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri”, dan sabda Nabi saw., (yang artinya): “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal usahanya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak yang shalih (laki-laki/perempuan) yang berdoa untuknya (mayit)”.
5. Imam as-Subki dalam Takmilatul Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz. 10 hal. 426:
وأماقراءةالقرآن وجغل ثوابهاللميت والصلاة عنه ونحوها فذهب الشافعي والجمهورانهالاتلخق الميت وكررذالك في عدةمواضع في شرح مسلم
“Adapun bacaan al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit, dan sebagainya, menurut Imam asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim”.
6. Imam al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. 2 halaman 9:
ألميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المتقدمون من أن القراءة لاتصله أي الميت لأن ثوابها للقاري والثواب المرتب على عملل لاينقل عن عا مل ذالك العمل قال الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى
“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama Mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab, pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari yang mengamalkan perbuatan itu, berdasarkan firman Allah (yang artinya): “Dan manusia tidak memperoleh melainkan pahala dari hasil usahanya sendiri (QS. an-Najm: 39,–pen.)”.
7. Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz. 5 halaman 286:
وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيئ وهوبدعة غير مستحبة
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan”.
8. Imam al-Qalyuby dalam Hasyiyah al-Qalyuby, juz. 1 halaman 353:
قال شيخناالرملي, ومن البدع المنكرة المكروه فعلها كما في الروضة مايفعله الناس ممايسمى الكفارة. ومن صنع طعاما للإجتماع عليه قبل الموت اوبعده ومن الذبح على القبور
“Guru kita, Imam ar-Ramly telah berkata sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab ar-Raudhah (Imam an-Nawawi), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum, maupun sesudah hari kematian”.
9. Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, juz. 1 halaman 577:
ومااعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعواالناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan daripada penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya adalah bid’ah munkarah yang makruhah berdasarkan keterangan shahih dari Jarir ibn Abdullah”.
10. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Iqna’ Li asy-Syarbiny, (I/210):
أمااسطناع أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غيرمستحبة
“Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.
11. Dalam Kitab ar-Raudhah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 145:
وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمعهم الناس عليه فلم ينقل فيه شيئ قال وهوبدعة غير مستحبة
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.
12. Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid IV hal. 335, ketika menafsirkan QS. an-Najm: 38-39, beliau berkata:
أي كما لا يحمل عليه وزرغيره, كذالك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هولنفسه. ومن هذه الأية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه.أن القراءة لايصل إهداءثوابها الى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم. ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولاحتهم عليه ولاارشدهم إليه بنص ولا إيماء ولم ينقل ذالك عن احد من الصحابة رضي الله عنهما, ولو كان خيرا لسبقونا إليه…ولا بتصرف فيه بانواع الاقيسة والاراء.
“Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Melalui ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak dapat sampai kepadanya karena bukan dari amal usahanya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah saw., tidak pernah men-Sunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perbuatan tersebut, serta tidak pula merujuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun dengan satu nash (dalil) maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang Sahabat Rasul pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau memang perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat) lebih dahulu mengerjakannya. Padahal amalan mendekatkan diri kepada Allah hanya terbatas yang ada nashnya (dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”.
13. Imam al-Muzani dalam Hamisy al-Umm, juz. 7 halaman 269:
فأعلم رسول الله صلى الله عليه وسلم, كما اعلم الله من أن جناية…امري عليه كما أن عمله ولا لغيره ولا عليه
“Rasulullah saw., memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah SWT, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain”.
14. Imam al-Khazin dalam Tafsir al-Jamal, juz. 4 halaman 236:
والمشهورمن مذهب الشافعي أن قراءة القرآن لايصل للميت ثوابها
“Dan yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, bahwa bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi”.
15. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy (mengutip keterangan dari Kitab al-Bazzaziyah) dalam I’anah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 146:
ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع ونقل الطعام الىالقبور.
“Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (peringatan khaul)”.
Demikianlah keterangan ulama-ulama dari kalangan madzhab asy-Syafi’i, yang semuanya menyatakan pengharaman dan menganggap bahwa berkumpul di rumah mayit yang dikenal dengan istilah tahlilan adalah bid’ah munkarah yang makruhah.
Tentu, fatwa ulama-ulama yang dikagumi dan sangat berpengaruh dikalangan Syafi’iyah tersebut semuanya berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., yakni sebagaimana termaktub dalam QS. an-Najm: 38-39 dan juga keterangan shahih dari Jarir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al-Musnad-nya (II/204) dan Ibnu Majah (1/514, no. 1612) dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim. Dapat juga diperiksa dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV/67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim.
Islam, sebagaimana yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., yang kemudian diteruskan kepada umatnya, adalah agama yang sudah dijamin kesempurnaannya. Hal ini jelas sekali termaktub dalam QS. al-Maidah ayat 3, dimana Allah SWT menyatakan bahwa:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu”.
Karenanya, sebagai hamba Allah, tentu dalam beribadah kita tidak boleh mengerjakan sesuatu tanpa ada landasan, karena Islam yang telah Allah ridhai ini adalah Islam yang sempurna, tidak ada yang tertinggal sedikitpun. Bahkan dengan sangat tegas Nabi saw., menyatakan bahwa kita tidak akan tersesat selama-lamanya jika kita berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, 3/93; juga dalam Tanwirul Hawalik Syarh al-Muwaththa’, oleh as-Suyuthi; dan dalam ar-Riyadhul Jannah, no. 31-33; asy-Syaikh al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”.).
Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw., bukan persangkaan atau kira-kira atau menggunakan perasaan. Bagi seorang Muslim, tidak boleh ada perasaan atau ungkapan: Ah, ini kan baik…atau: Apa salahnya kita kerjakan…dan lain-lain ungkapan. Sebab, Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan:
•
“Persangkaan itu sedikitpun tidak akan bermanfaat bagi kebenaran”. (al-Qur’an Surat an-Najm: 28).
إياكم والظن, فإن الظن أكذب الحديث
“Jauhilah olehmu sekalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Imam Muslim dari Yahya bin Yahya, Abu Daud dari al-‘Atabi, juga Imam Malik dari Abu Hurairah, dan lafazh diatas adalah lafazh Imam Malik).
Oleh karena itu, cara yang paling baik dan selamat bagi kita dalam ber-Islam ini adalah dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walaupun kebanyakan manusia berbuat sesuatu dalam ibadah, atau melakukan tatacara dalam ibadah yang tidak berdasar petunjuk Sunnah, kita tetap tidak boleh mengikuti yang demikian. Sebagaimana Allah nyatakan dalam QS. al-A’raf: 3, yakni:
•
“Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan jangan kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh sedikit sekali kamu ingat kepada-Nya”.
Juga sebagaimana sabda Nabi saw:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu ibadah yang tidak ada dasar (tuntunannya) dari kami, maka ia tertolak”. (HR. Bukhari nomor hadits 2697 dan Muslim nomor hadits 1718, dari ‘Aisyah).
من أرضىالناس بسخط الله وكله الله إلى الناس
“Barangsiapa yang menginginkan keridhaan manusia dengan membuat murka Allah, maka Allah akan menjadikan dia bergantung pada manusia”. (HR. Tirmidzi, Qadha’i, Ibnu Bisyran, dan lain-lain, sebagaimana dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah Hadits Nomor 2311, juga termaktub dalam Kitab Takhrij al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah).
Lalu, bagaimana dengan madzhab lainnya, seperti Malikiyah, Hanafiyah atau Hanabilah? Apakah dalam ketiga madzhab itu ada tahlilan juga? Untuk menjawabnya, berikut penulis paparkan fatwa-fatwa ulama-ulama dari ketiga madzhab tersebut.
1. Hanafiyah (pendirinya: Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit)
a. Muhammad Amin dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, juz. 2 halaman 240:
ويكره اتخاذالضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشروع. وهي بدعة مستقبحة, وروى الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة. وفي البزازية: ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعدا لأسبوع.
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah (lihat dalam Sunan Ibnu Majah, juz. 1 hal. 514) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”. Dalam kitab al-Bazzaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya”.
b. Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah, juz. 1 halaman 409:
وتكره الضيا فة من أهل الميت, قال في البزازية ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوعٍ
“Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab Al-Bazzaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya”.
c. Ibn Abdul Wahid al-Siewasy dalam Syarh Fath al-Qadir, juz. 2 halaman 142:
ويكره اتخاذالضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشروع. وهي بدعة مستقبحة, وروى الإمام احمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit karena hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah (lihat Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
2. Malikiyah (pendirinya: Imam Malik bin Anas)
Sebagaimana diterangkan oleh Abu Abdullah al-Maghraby dalam Mawahib Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, juz. 2 halaman 228:
أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فقد كرهه جماعة وعدوه من البدع لأنه لم ينقل فيه شيئ وليس ذالك موضع الولائم…
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama. Bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah karena tidak didapatkan keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut dan keadaan tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)…”.
3. Hanabilah (pendirinya: Imam Ahmad bin Hanbal)
a. Ibnu Qudamah al-Muqaddasy dalam al-Mughny, juz. 2 hal. 215 (cetakan baru yang ditahqiq Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, juz 3 hal. 496-497):
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأنه فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم الى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية ويروى ان جريرا وفد على عمر فقال: هل يناح على ميتكم؟ قال: لا. قال: وهل يجتمعون ثم أهل الميت ويجعلون الطعام؟ قال: نعم. قال: ذالك النوح وإندعت الحاخة.
“Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit hukumnya makruh. Karena telah menambah musibah baru kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, lalu Umar bertanya: “Apakah kalian suka meratapi mayit?” Jawab Jarir: “Tidak”. Umar bertanya: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 halaman 487).
b. Abu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy dalam al-Furu’ wa Tash-hih al-Furu’, juz. 2 halaman 230-231:
إنما يستحب (صنع طعام) إذاقصدبه أهله. فأما لمن يجتمع عندهم فيكره للمسا عدة على المكروه. يكره صنيع أهل الميت الطعام.
“Sesungguhnya, disunnahkan mengirimkan makanan itu apabila tujuannya untuk keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul disana, maka makruh hukumnya. Karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh, demikian pulan makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit”.
c. Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly dalam al-Mabda’ fi Syarah al-Miqna’, juz. 2 halaman 283:
وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة. زاد في المغني والشرح: إلا لحاجة, وقيل يحرم. وإسناده ثقات.
“Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah dan sebagian lain mengatakan (berpendapat) haram. Sanad hadits tentang masalah tersebut adalah tsiqat (terpercaya)”.
d. Manshur bin Idris al-Bahuty dalam ar-Raudhah al-Marbi’, juz. 1 halaman 355:
ويكره لهم أي لأهل الميت فعله اي فعل الطعام للناس لما روى أحمد عن جرير.
“Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Jarir”.
e. Syaikhul Islam Imam Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa Rasa’il wa Fatawa Ibnu Taimiyah fi al-Fiqh, juz. 24 halaman 316:
وأما صنعة أهل الميت طعاما يدعون الناس إليه فهذا غير مشروع وإنما هو بدعة بل قد قال جرير بن عبد الله: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم اطعام من النياحة.
“Adapun penghidangan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan itu bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir ibn Abdullah: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”. (Note: fatwa senada juga dapat disimak dalam Fathurrabbani Tartib al-Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, 8/95-96, oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna – pen.).
Berdasarkan beberapa fatwa ulama-ulama dari madzhab lainnya (Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah), terungkap dengan jelas adanya kesamaan fatwa mereka mengenai bid’ahnya tahlilan ini seperti halnya fatwa Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Para ulama mutaqaddimin tersebut mengeluarkan fatwa-fatwa mereka dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw., sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 48, 185, 286; an-Najm: 38-39; an-Naba’: 41; al-Ankabut: 6; al-Israa’: 15 dan lain-lain, juga berlandaskan pada beberapa hadits berikut:
1. Imam Bukhari dalam Shahih-nya (juz. 1 hal. 23); Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (juz. 2 hal. 63); Baihaqy dalam Sunan al-Kubra (juz. 3 hal. 18); dan Imam an-Nasa’i dalam al-Mujtaba (juz. 8 hal. 121-122) mengeluarkan hadits:
إن هذا الدين يسر…الخ
“Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah”.
2. Yang diterima dari sahabat Jarir ibn Abdullah al-Bajaly, kemudian dikeluarkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad, juz. 2 halaman 204) dan Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514, no. 1612), yaitu:
كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
3. Yang diterima dari Thalhah, kemudian dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, yaitu:
قدم جرير على عمر فقال: هل يناح قبلكم على الميت؟ قال: لا. قال: فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام؟ قال: نعم. فقال: تلك النياحة.
Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar bertanya: “Apakah kalian suka meratapi mayit?” Jawab Jarir: “Tidak”. Umar bertanya: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
4. Yang diterima dari Sa’id bin Jabir dan dari Khaban (Abu Hilal) al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan oleh Abdul al-Razaq. Hadits tersebut dengan lafazh berbeda dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah melalui perjalanan sanad: Fudhalah ibn Hashien dari Abdul al-Karim dari Sa’id ibn Jabir, yaitu:
من عمل الجاهلية النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المراءة ثم اهل الميت ليس منهم.
“Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah: niyahah, hidangan dari keluarga mayit dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”. (Abdul al-Razaq ash-Shan’ani dalam al-Mashhaf, juz. 3 hal. 550; Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
Dengan lafazh yang berbeda tetapi maknanya sama, pada hal. 487, Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, mengeluarkan dua hadits lain, yaitu: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin al-Jarah dari Soufyan dari Hilal bin Khabab dari Khabab al-Bukhtary, beliau berkata: “Makanan yang dihidangkan keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah, dan niyahah (meratapi mayit) merupakan perbuatan jahiliyah”.
Dan juga hadits berikut: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: “Saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: “Kalian akan (mendapat) bencana dan akan merugi”.
Lalu, bagaimana dengan ulama-ulama kontemporer (mutaakhirin)? Apakah mereka juga ada membahas persoalan tahlilan ini? Untuk memuaskan keinginan dan dalam rangka menunjukkan kebid’ahan tahlilan, maka berikut ini penulis paparkan fatwa-fatwa ulama kontemporer tersebut dalam uraian berikut ini:
1. Ali Mahfuzh dalam al-Ibda’ fi Madlar al-Ibtida’, halaman 229:
ولايصلح الطعام لمن يجتمع عند أهل الميت بل يكره لأنه إعانة على المكروه وهوالإجتماع عندهم…وكذا يكره فعل أهل الميت ذالك الطعام للناس يجتمعون عندهم.
“Tidak diperbolehkan menghidangkan makanan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumah keluarga mayit, bahkan hukumnya makruh karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit…demikian pula keluarga mayit dimakruhkan menghidangkan makanan tersebut kepada orang-orang yang sedang berkumpul tadi”.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Kitab at-Tauhid, halaman 109-110 menyatakan bahwa kebiasaan berkumpul menunjukkan perasaan al-ma’tam (duka cita), berikut penghidangan makanan dari keluarga mayit merupakan kebiasaan orang kafir yang ditiru oleh umat Islam dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah.
3. Syaikh Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, halaman 1578-1579 menulis:
فمكروه وبدعة لا أصل لها. لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجا هلية وإكان في الورثة قاصردون البلوغ فيحرم أعداد الطعام وتقديمه قال:كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Adapun penghidangan makanan untuk masyarakat yang dilakukan oleh keluarga mayit adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada asalnya dan yang dimakruhkan, karena hal tersebut mengandung arti menambah beban musibahnya serta menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyah, apabila biayanya berasal dari harta waris yang diantara ahli warisnya terdapat anak yang belum baligh, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. Jarir bin Abdullah telah berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
4. An-Nawawy al-Bantany dalam Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’in, hal. 281:
وتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل…وقدجرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام للعشرين وفي الأربعين وفي الماءة وبعد ذالك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما فأده شيخنا يوسف السنبلاويني, أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan. Namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ketujuh atau hari-hari lainnya. Sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ketujuh atau keduapuluh atau keempatpuluh atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal itu semua hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya apabila biayanya berasal dari harta anak yatim”.
Catatan: Syaikh Nuruddin ar-Raniry dalam Shirathal Mustaqim juz. 2 hal. 50 dan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabil al-Muhtadin juz. 2 hal. 87 menyatakan bahwa itu termasuk kategori bid’ah.
5. Kesepakatan fatwa Nahdlatul Ulama dalam al-Mawa’idz Edisi No. 13 halaman 200, dan Edisi No. 18 halaman 285-286, yang menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan hukum tahlilan sebagai perbuatan yang membebani keluarga mayit, bertolak belakang dengan hadits yang memerintahkan untuk mengirimkan makanan kepada keluarga mayit, bukan sebaliknya (lihat dalam Sunan Abu Daud 3/195; Sunan al-Kubra al-Baihaqy 4/61; Sunan ad-Daraquthny 2/78; Sunan at-Tirmidzi 3/323; al-Mustadrak al-Hakim 1/527; Sunan Ibnu Majah 1/514).
Berdasarkan keterangan as-Sayid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam Kitab I’anah ath-Thalibin, ternyata para ulama dari keempat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah “nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dan sebagainya” merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai oleh agama.
Ini diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi tahlilan sebagai perbuatan bid’ah munkarah itu ternyata adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Kesimpulannya, bahwa hukum tahlilan yaitu bid’ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, bahkan dapat berubah menjadi haram li ghairihi (menjadi haram dikarenakan sebab lain) apabila biaya tahlilan berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang diwariskan pada ahli waris yang belum baligh.
Sebelum penulis akhiri uraian ini, barangkali ada yang memprotes tentang tahlilan ini. Namun, jika kita bertanya kepada yang mendukung tahlilan mengenai alasan atau argumentasi mereka yang membolehkan tahlilan, maka yang kita temukan jawabnya hanya berdasarkan istihsan belaka, seperti ungkapan: “…lho, ’kan itu baik…kenapa tidak boleh, kan ada doanya…ini kan cuma silaturrahmi…ada nilai-nilai shadaqah melalui hidangan…teungku kami bilang boleh-boleh saja…” atau ungkapan lainnya. Sangat jarang sekali (kalau tidak ingin dikatakan tidak pernah ada) mereka berusaha memberikan dalil naqly yang shahih, atau dha’if bahkan maudhu’ sekalipun tentang tahlilan ini.
Penulis pernah diberitahu adanya dalil naqly tentang bolehnya tahlilan dan menghidangkan makanan bagi keluarga mayit yang penulis terima dari seorang jamaah yang sering mendengar ceramah penulis. Adapun dalil tersebut berdasarkan keterangan dari kitab Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah yang ditulis oleh Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy juz. 1 halaman 409, juga berlandaskan pada istihsan sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Fawakih ad-Diwani yang ditulis oleh Ahmad bin Ghunaim bin Salim an-Nafrawy al-Maliky.
Kedua kitab itu menukil hadits sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Baihaqy dan ad-Daraquthny. Hadits tersebut sebagaimana ditulis dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (ath-Thahthawy) adalah sebagai berikut:
عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال: خرجت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة, فلما رجع استقبله داعى إمرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه.
“Dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.
Namun, setelah hadits yang dijadikan argumen oleh ath-Thahthawy dan yang dijadikan pedoman oleh orang yang mendukung tahlilan tersebut diteliti dan dicermati lagi dengan seksama dan penuh kehati-hatian, ternyata ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan bunyi hadits aslinya. Berikut penulis paparkan hadits dari Abu Daud yang penulis rujuk langsung dalam as-Sunan-nya, juz. 3 halaman 244:
خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبريوصى الحا فرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلمارجع استقبله داعي إمرأة فجاءوجئ بالطعام فوضع يده…الخ
Perbedaannya dalam versi ath-Thahthawy dengan hadits aslinya sungguh teramat jauh, ada lafazh yang diberi dlamir mudzakar gha’ib (imra-atuhu) yang mengandung arti: “istrinya mayit”. Sedangkan dalam Kitab aslinya (Sunan Abu Daud, juz. 3 halaman 244) atau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqy (Sunan al-Kubra, juz 5 halaman 335), Imam ad-Daraquthny (Sunan ad-Daraquthny juz. 4 halaman 285), Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad juz 5 halaman 293 dan 408), dan Abu Ja’far ath-Thahawy (Syarh Ma’any al-Atsar juz 2 halaman 293) menyatakan bahwa lafazh tersebut adalah “imra-atun” (tanpa diberi dlamir mudzakar gha’ib), yang artinya mutlak “wanita”.
Bahkan didalam salah satu hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita yang menemui Rasulullah saw., tersebut adalah seorang wanita Quraisy yang menyampaikan pesan dari seorang wanita yang tidak diketahui statusnya, yang didalam matan haditsnya diberi identifikasi dengan klausul fulanah (lihat dalam al-Musnad juz 5 halaman 293).
Secara lafzhy, memang hadits tersebut ada hubungannya dengan masalah orang mati, tetapi inti pesan hukum yang termaktub dalam hadits tersebut justru tidak ada hubungannya dengan masalah orang mati. Karenanya, tidak ada satupun hukum dari ulama-ulama madzhab yang membolehkan tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit.
Jika anda masih kurang paham dan mengerti juga, maka kami persilahkan untuk memperhatikan dengan seksama dan benar-benar jujur terhadap hadits tersebut dari segi penempatan permasalahannya. Kitab Sunan al-Kubra Baihaqy menempatkannya dalam bab Muamalah, Sunan ad-Daraquthny menempatkannya dalam Bab Makanan, dalam Kitab Syarh Ma’any al-Atsar yang ditulis Abu Ja’far ath-Thahawy ditempatkan dalam Bab Makanan (4/208), dan dalam Kitab Nishb ar-Rayah juga ditempatkan dalam Bab Ghasab (4/168).
Bagaimana dengan alasan istihsan yang digunakan untuk menjustifikasi bolehnya tahlilan? Sebenarnya jika kita mau jujur, dalam wilayah ushul fiqh, eksistensi istihsan sendiri masih diperselisihkan. Jika ulama-ulama Hanafiyah membela habis-habisan tentang istihsan karena ide istihsan ini muncul dari Imam Abu Hanifah (terutama dari sahabat sekaligus muridnya, Abu Yusuf), maka ulama-ulama Syafi’iyah dan ulama-ulama Hanabilah (Hanbali) justru menentang dan menolaknya tanpa kompromi.
Dalam kitab Ushul Fiqh (sebagaimana dikutip al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami, juz 2 halaman 353) dikatakan bahwa istihsan yang diartikan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada ketentuan kultur (budaya/tradisi) adalah ditolak. Bahkan dengan sangat tegas Imam asy-Syafi’i menyatakan:
من استحسن فقد شرع
“Barangsiapa yang mengamalkan istihsan, maka berarti ia telah menciptakan hukum syara’ (baru)”. (lihat al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami juz. 2 halaman 353; lihat juga al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi ‘Ilmi al-Ushul halaman 171).
Demikian tegasnya Imam asy-Syafi’i tentang hal ini, sehingga sungguh tidak masuk akal—bahkan sangat aneh, apabila ada orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyah, tetapi masih saja suka tahlilan, yang artinya adalah menciptakan hukum syara’ baru tanpa mashadir al-ahkam (landasan hukum) yang telah disepakati, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah, Nabi saw., menyatakan bahwa membuat hukum syara’ baru dianggap bid’ah dan mutlak tertolak. Bahkan perbuatan ini jelas-jelas menuduh Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam, padahal tidak ada satupun yang tidak disampaikan oleh Rasulullah saw., kepada umatnya.
Abdullah bin Mas’ud ra., berkata: “Ikutilah Sunnah Nabi saw., dan jangan kalian melakukan bid’ah. Kalian telah memperoleh petunjuk yang cukup. Karenanya, ikutilah jalan salaf” (al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabari no. 8770). Abdullah bin Abbas ra., juga berkata: “Jangan kamu mengucapkan (sesuatu) yang menyalahi al-Kitab dan as-Sunnah” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/205). Sungguh telah diketahui secara dharury, bahwa hanya Allah SWT yang berhak menciptakan hukum syara’, sementara kita selaku manusia hanya sekedar meng-izhar-kan (menjelaskan saja) hukum tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat kita pahami bahwa Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya menyatakan bahwa al-ma’tam, yakni berkumpulnya orang-orang di rumah keluarga mayit digolongkan dalam perbuatan niyahah, sedangkan Rasulullah saw., menegaskan bahwa orang yang berperilaku niyahah bukan termasuk umatnya karena dianggap menyerupai perilaku jahiliyah.
Kita juga tidak menerima satu pun keterangan mengenai diperbolehkannya tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, apakah itu berbentuk hadits shahih dari Nabi saw., atau dari sahabat-sahabat beliau, atau dari Imam-imam madzhab dan juga imam-imam lainnya (ahli tafsir dan ahli hadits) sebagaimana dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa Rasa’il wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (juz. 25 halaman 299-300).
Tahlilan merupakan salah satu perbuatan bid’ah munkarah yang makruhah, maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk tidak mengerjakannya dan mencegah keluarganya dan muslim lainnya terhadap perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan fatwa Mufti Makkah al-Musyafarah, Syaikh Ahmad bin Zainy Dahlan (sebagaimana dikutip dalam I’anah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166), yaitu:
ولاشك ان منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء السنة وماته للبدعة وفتح الكثير من أبواب الخير وغلق لكثير من أبواب الشر
“Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut mengandung arti menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah sekaligus membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan”.
Khatimah
Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit hukumnya adalah bid’ah dengan kesepakatan para sahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya Imam yang Empat. Akan semakin bertambah bid’ah tahlilan ini bila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah, dan dilakukan pada hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, malam keempat puluh, dan khaul.
Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut Sunnah Rasulullah saw., adalah kaum kerabat/sanak famili dan atau tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang dapat mengenyangkan mereka sebagaimana hadits Nabi saw., ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat (lihat hadits tersebut dalam al-Umm, 1/317; Abu Daud; at-Tirmidzi; Ibnu Majah; dan Imam Ahmad, 1/205).
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT dalam kitab-Nya (QS. Al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata ‘sabar’ dalam bingkai nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Qur’an) dan Rasulullah saw., (as-Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari Nomor 7145 dan Shahih Muslim Nomor 1840).
• . • .
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran: 31-32).
• • • .
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisaa’: 115).
• • .
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.
Dengan mengucapkan بسم الله الرحمن الرحيم penulis mengajak kepada siapapun yang ingin membersihkan akal dan hatinya agar kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalihin, menegakkan Tashfiyah, yakni memurnikan ajaran Islam dari segala noda syirik, bid’ah, khurafat, takahyul, dan gerakan-gerakan serta pemikiran-pemikiran yang merusak kemurnian ajaran Islam, melakukan gerakan Tarbiyah kepada umat Islam berdasarkan ajaran Islam yang murni, menghidupkan pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan tidak menyimpang dari pemahaman Salafush Shalihin.
Demikianlah akhir dari tulisan ini, semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu a’lam bish-shawwab.
kebiasaan… korupsi dalil, no 1 dalil imam syafi’i bukan lahum tapi lahunna, ketahuan gak paham ama tulisan sendiri…
depannya wahiya kok belakangnya lahum, merubah2 dalil/teks itu kebiasaan jelek orang yang membenci kalimat la ilaha illalloh diucapkan….
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
saya sudiyanto, beberapa waktu yang lalu saya mendapatkan SMS :
“Amalan Harian:
Kepada pengunjung web, mari istiqamah dhuhanya. Minimal 4 dah. Tambahin dengan baca Laa Hawla Walaa Quwwata Illaa Billaah 300x, istighfar & shalawat 100x, faatihah 1x, qulhu 3x, al falaq 1x, annaas 1x, al Baqarah ayat 1-5, 254-255 1x, dan 3 ayat terakhirnya masing-masing 1x, laa ilaaha illallaah 100x, yaa fattaahu yaa rozzaaqu 111x.
Istiqamahkan ini. Insya Allah enteng. Ini kan kerjaan sehari semalam. Boleh dicicil. Dan sempurnakan yg muakkadnya: qabliyah ba’diyah-nya di samping shalat tepat waktu dan berjamaah. Mestinya, ini bukan sesuatu yg istimewa. Melainkan harus menjadi kewajiban kita. Allah udah banyak memberi. Rasanya, dengan ini saja pun, masih tidak cukup bakti kita ke Allah. Sekaligus menunjukkan cinta kita kepada Allah dan Rasul Nya.
Mohon do`a buat Ustadz Yusuf Mansur & Keluarganya.”
Kemudian SMS tersebut saya posting ke blog saya http://sudiyanto.wordpress.com/2008/02/20/amalan-harian/
dan saya mendapatkan komentar :
“saya cuma mau tanya hadistnya ja atas tuntunan diatas
karena islam adalah kebenaran dalil, kalau kita melakukan amalan harus dengan contoh dari rasullullah.
karena syarat diterimanya amalan adlah ikhlas dan sudah dicontohkan rasullullah
makasih….”
untuk menanggapi komentar dari teman saya tersebut saya mohon bantuan dari ustadz untuk memberikan dalil-dalil yang melandasi amalan harian tersebut supaya kami dalam menjalankan amalan tidak lagi ragu-ragu.
terima kasih sebelumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
(tolong kirim juga ke : sudiyanto.ujank@gmail.com)
–> Wa’alaikum salam wrwb. Salam kenal mas Sudiyanto. Senang anda sudi berkunjung ke sini. Ada yang perlu diralat… saya bukan ustadz, saya hanyalah seorang muslim, yang mencoba menggapai ridlo Ilahi. Saya sudah buka blog anda. Semoga anda dan kita tetap istiqamah dalam beribadah.
Mengenai pertanyaan anda. Ada banyak fadilah-fadilah (keutamaan-keutamaan) dzikir-dzikir tertentu, keutamaan surat-surat atau ayat-ayat tertentu di dalam al qur’an. Jika anda ingin mengetahuinya, coba beli/baca kitab-kitab dzikir, seperti Al Adzkar karya Imam Nawawi, dan lain-lain. Ada banyak kitab karya ulama-ulama terdahulu. Tinggal kita rajin ke toko buku untuk menscanning dan membelinya. Maaf ..saat ini saya dalam kondisi tidak membawanya.
Mengenai kalimat “…amalan harus dengan contoh dari rasullullah”, apa maksudnya? Ada banyak fadilah keutamaan dzikir bacaan2 tertentu, yang semuanya dari Nabi saw. Apa itu masih belum cukup. Semua hal yang di atas bukan ibadah mahdah. Keutamaan dzikir sudah disebutkan dibanyak hadits, pelaksanaannya diserahkan ke kita. Mau sedikit..ok, mau banyak lebih baik. Kapan saja, di mana saja boleh, asal tidak melanggar syariat yg telah ditetapkan (misal di WC).
Kesalahan biasanya adalah ada orang tidak bisa membedakan ibadah MAHDAH dan ibadah GHAIRU MAHDAH. Maka orang semacam ini akan selalu mengejar contoh Nabi, juklak Nabi, dsb. Jika tidak ada, maka dikatakannya bid’ah. Ada tulisan kami ttg konsep ibadah yang membahas ibadah mahdah dan bukan mahdah. Simak-lah.
Ada cerita menarik mengenai Idul Adha kemarin. Sudah biasa orang bertakbir di hari raya. Namun ada satu komentar bahwa bertakbir dengan dipimpin itu bid’ah (sesat), tidak ada contoh Nabi saw. Katanya takbir itu bersama-sama, tidak ada pimpin-pimpinan.
Maka persoalan bisa menjadi lebih luas. Bertakbir dengan nada tinggi itu tidak ada contoh. Bertakbir dengan nada rendah tidak ada contoh. Bertakbir dengan pengeras suara tidak ada contoh. Memakai baju batik waktu takbir tidak ada contoh. Bahkan kalau dibalik.. bertakbir dengan tidak dipimpin itupun tidak ada contoh. Ada banyak hal yg tidak ada contoh. Pelaksanaannya …. tidak ada ketentuan nada, tidak ada ketentuan pengambilan suara, dll. Apa kita tidak usah takbir saja karena tidak ada contoh/juklak detail-nya? Padahal keutamaan bertakbir di hari raya sudah jelas dalilnya.
Kenyataannya adalah takbir dengan dipimpin itu adalah kebiasaan saja, sebagaimana halnya tradisi 3,7,40 dst. Tidak ada orang/ulama menyakini itu sebagai kewajiban yg harus demikian. Justru yang me-bid’ah2kan itulah yang membuat kekacauan. Dan itu dilarang (dalam hal membuat kekacauan).
Demikian semoga manfaat. Wallahu a’lam.
[…] anjurkan oleh Ustdz. Yusuf Mansur (wisatahati.com) saya menemukan komentar tentang tahlil di sebuah blog-nya orgawan, yaitu […]
Artikel sebelum ini sebenarnya mendedahkan satu lagi kemungkaran dalam kenduri tahlil. Yang mana, bagi kita yang biasa atau pernah mengamalkan kenduri tahlil, antara bacaan yang akhir-akhir dibaca ialah 3 Qul, di mana antara satu surah dengan surah yang berikutnya akan dibaca tahlil dan takbir, yakni “Laa ilaaha illAllaahu wAllaahu Akbar”.
Nah, artikel sebelum ini telah membuktikan ianya tidak mempunyai dasar dalam Sunnah yang sahih dan tidak pula diamalkan oleh para Sahabat. Justeru ianya bid’ah.
Antara perkara yang saya secara peribadi anggap lucu ialah masyarakat Melayu Islam, khususnya di Singapura, Malaysia dan Indonesia, mengaku bermadzhab Syafi’i.
Bahkan ada yang mengaku amalan kenduri tahlil ini adalah dari madzhab Syafi’i!
SubhanAllah.. mungkin mereka belum pernah membaca sebuah riwayat bahawa Imam Syafi’i rahimahullaah pernah melarikan diri dari kota Basrah kerana di situ terdapat sekumpulan manusia yang mengamalkan suatu amalan yang diada-adakan di dalam agama yang dinamakan “tahlilan” (yakni kenduri/majlis tahlil).
SubhanAllah.. Imam Syafi’i larikan diri dari kota Basrah kerana tidak mahu syubhat sedikit pun dengan bid’ah tersebut. Beliau larikan diri dari bid’ah tersebut.
Akan tetapi, masyarakat Melayu Islam yang mengaku bermadzhab Syafi’i bukan melarikan diri dari bid’ah tersebut tetapi “lari” untuk menghadiri majlis tersebut kerana “menganggapnya baik”.
SubhanAllah..
Perlu kita ketahui bahawa Ibnu Umar radhiyAllahu ‘anhu pernah berkata:
“Setiap bid’ah (dalam agama) adalah sesat, sekalipun orang ramai menganggapnya baik.”
Athar ini diriwayatkan oleh Abu Syamah dengan sanad hasan.
Siapakah Imam Abu Syamah rahimahullah? Beliau seorang ahli hadith yang bermadzhab Syafi’i.
Lalu mengapa kita yang mengaku bermadzhab Syafi’i tidak mahu mengambil athar Ibnu Umar yang diriwayatkannya, lalu menetapkan dengan tegas bahawa setiap bid’ah dalam agama adalah sesat dan akan bawa ke neraka?
Kalau mungkin ada daripada kita yang belum mengetahui athar tersebut, maka sekarang kita telah ketahui. Lalu nilailah.
Wallahu a’lam.
–> Ttg fatwa Imam Syafi’i dll, tampaknya anda tak membaca komentar2 dan jawaban2 kami sebelum ini. Setahu kami, setiap amal bacaan (dari surah al fatihah, Qulhu,..dst, sampai tahlil) dalam setiap tahlilan (kenduri tahlil, istilah anda), ada semua dalil yang mendasarinya. Ada banyak fadilah2 bacaan dzikir. Semuanya dari kanjeng Nabi saw.
Tahlil adalah kalimat laa ilaa ha illallah. Tahlilan adalah majelis dzikir yang membaca kalimat laa ilaa ha illallah sebagai dzikir utamanya. Ini amalan surga. Amalan yang menyebabkan ridlo Ilahi.
Lalu bid’ahnya di mana? Apa yg menyebabkan anda bersikeras bahwa tahlilan itu sesat. Tunjukkan salahnya, tunjukkan bid’ahnya, tunjukkan sesatnya di mana. Kemudian tunjukkan seharusnya bagaimana .. ttg mengamalkan kalimat dzikir ini.
Jika anda tak bisa menunjukkannya, dan hanya mengatakan ini bid’ah .. itu sesat, maka anda telah membid’ah-sesatkan orang- orang yang membaca dzikir laa ilaa ha illallah. Itu adalah sesat itu sendiri. Hanya setan dan teman- temannya yang tidak suka tahlil, tidak suka pada majelis dzikir. Mereka berusaha menghilangkannya dengan berbagai cara. Berhati-hatilah.
wallahu a’lam.
Ini ada tulisan yang saya susun ketika membedah tentang persoalan apakah tahlilan itu sunnah atau bid’ah? diskusi ini berlangsung selama 3 hari, berikut kami uraikan (mohon maaf jika ayat atau hadits atau fatwa ulama dalam bahasa arab tidak tercantum dengan baik:
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jalla yang telah mengutus hamba-Nya yang mulia, Muhammad saw., sebagai pemberantas kesesatan dan aneka kepercayaan jahiliyah yang kental dengan ‘ashabiyah (fanatisme buta) dan membawa agama Islam sebagai jalan hidup seluruh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan atas Rasul-Nya, Muhammad saw., keluarganya, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan para pengikutnya yang tetap setia dan teguh dalam menegakkan sunnahnya yang mulia ini sampai akhir zaman.
Ulasan “Tahlilan: Bid’ah atau Sunnah? (Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)”, yang ada ditangan Anda ini, adalah ulasan singkat mengenai fenomena tahlilan yang hingga hari ini selalu menjadi perselisihan dikalangan umat. Telah kita maklumi bersama, tahlilan merupakan upacara ritual memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Muslim di negeri ini. Dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Sebenarnya ulasan ini penulis hadirkan lebih didasari pada upaya untuk mendudukkan persoalan yang sesungguhnya mengenai tahlilan dalam mashadir al-ahkam (landasan hukum yang disepakati, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.) dan beberapa fatwa ulama mengenai fenomena tahlilan tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menampilkan dalil dan hujjah baik naqly maupun aqly yang argumentatif serta—Insya Allah, dapat dipertanggung-jawabkan, karena semua dalil tersebut penulis ambil dari dua warisan Nabi saw., yakni al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’ ulama mengenai tahlilan itu sendiri.
Adanya perselisihan dalam memandang tahlilan ini lebih diakibatkan oleh pemutarbalikan informasi sehingga masyarakat dengan yakin menganggap bahwa tahlilan merupakan bagian dari Sunnah Nabi saw. Padahal jika ditelusuri asal-usulnya secara seksama dan diteliti dalil yang melandasinya tidaklah demikian. Ini bukan berarti penulis sengaja membuka kemarahan, aib, atau menimbulkan kekacauan dikalangan umat. Sebab, mengungkapkan kebenaran informasi yang sesungguhnya mengenai tahlilan ini selama dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar, Insya Allah ada nilai ubudiyahnya.
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT dalam kitab-Nya (QS. al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata ‘sabar’ dalam bingkai nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.
Itulah sebabnya, penulis sangat menyadari benar bahwa tidak semua nasehat bisa diterima dengan lapang dada, apalagi terhadap suatu kebiasaan yang telah mendarah daging dalam kehidupan seseorang atau masyarakat. Bisa jadi penolakan itu lebih dikarenakan ketidaktahuan, menutup mata, menutup hati, merasa paling benar dan besar, atau bahkan tidak mau tahu terhadap kebenaran mashadir al-ahkam dan ijma’ ulama, atau bisa jadi juga karena kesombongan.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألكبر بطرالحق وغمت الناس
Rasulullah saw., bersabda: “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud, lihat dalam Shahih Muslim, Kitab al-Iman Bab Tahrimi al-Kibr wa Bayanih, Nomor Hadits 91).
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Qur’an) dan Nabi saw., (as-Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari nomor 7145 dan Shahih Muslim nomor 1840).
Selanjutnya penulis akan sangat berterima kasih dan menerima dengan tangan terbuka sekiranya ada yang melakukan kritikan atas tulisan ini. Tentunya dengan cara yang arif dan dewasa. Bukan dengan cara-cara yang tidak simpatik atau teror yang tidak mendidik. Karena selain sama saja dengan menampakkan (maaf) kebodohan sendiri, juga menjadi bukti nyata dan pengakuan secara tidak langsung atas kebenaran tulisan ini. Dan alangkah tidak terpujinya jika penulis pun terjebak ikut melayani tindakan bodoh dengan cara yang bodoh pula. Sebab, Allah SWT telah mengingatkan:
“Dan menghindarlah kamu dari orang-orang yang bodoh”. (QS. al-A’raf: 199).
Dan juga sebagaimana sabda Nabi saw., yang perlu kita renungkan bersama: “Agama itu nasehat”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Tsauban dan al-Bazzar dari Ibnu Umar. Lihat Jami’ al-Ulum wa al-Hikam yang ditahqiq oleh Wahbah al-Zuhaily). Dan penulis juga mengulas fenomena ini tidak lain sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Hud: 88, yakni:
“Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sebatas kemampuanku. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal. Dan kepada-Nya jua aku kembali”.
Tingkat kedewasaan dan keterbukaan Anda, pembaca yang terhormat, membuat penulis yakin bahwa Anda bisa menerima tulisan ini dengan jiwa besar, lapang dada, apa adanya, dan mau merenunginya. Dan penulis optimis, Anda bisa menyimak tulisan ini lembar demi lembar dengan seksama, karena boleh jadi di antara Anda, adalah guru penulis, saudara dan sahabat penulis, dan orang-orang yang penulis kenal dengan baik.
Akhirnya, kepada Allah jua kita kembalikan kebenaran, karena Dia-lah Pemilik Kebenaran atas segala sesuatu. Selamat Membaca. Wallahu a’lam bish-shawwab.
TAHLILAN: BID’AH ATAU SUNNAH?
(Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)
Muqaddimah
Kata tahlilan sebenarnya berasal dari kata tahlil, yang dalam bahasa Arab berarti mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah. Pada acara tahlilan, biasanya dibaca beberapa kalimat dzikir, seperti tasbih, tahmid, dan tahlil. Karena tahlil adalah dzikir yang paling utama, maka pertemuan itu disebut dengan istilah tahlilan.
Acara tahlilan, yakni acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/ruh, merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat Islam di negeri ini. Tentu tatacara dalam penyelenggaraan tahlilan ini berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebagaimana yang penulis amati dari Sabang sampai Jayapura.
Persoalannya, dapatkah orang mati menerima ganjaran pahala atau dosa karena amalan orang yang masih hidup? Dapatkah orang yang masih hidup mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal (mayit)? Untuk menjawab dan membahas hal ini, penulis mengajak pembaca untuk memperhatikan dan memahami keterangan-keterangan yang penulis paparkan berikut ini.
1. al-Qur’an Surat an-Najm: 39, yakni:
“Dan sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan, melainkan (menurut) apa yang telah ia usahakan”.
2. al-Qur’an Surat an-Naba’: 41, yakni:
•
“Pada hari seseorang akan melihat apa yang telah diusahakan oleh kedua tangannya”.
Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan kedua ayat tersebut, seperti dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 48, 185, dan 286; al-Ankabut: 6; al-Isra: 15; Faathiir: 18; ath-Thur: 21, dan lain-lain.
Rasulullah saw., juga bersabda dalam sebuah hadits, yang berbunyi:
إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
“Apabila seorang anak Adam meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmunya yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya Hadits Nomor 3084; at-Tirmidzi dalam Sunan-nya Hadits Nomor 1298; an-Nasa’i dalam Sunan-nya Hadits Nomor 3591; Abu Daud dalam Sunan-nya Hadits Nomor 2494; dan Imam Ahmad dalam al-Musnad-nya Hadits Nomor 8489).
Dari beberapa ayat dan hadits tersebut, jelas bahwa setiap orang hanya bertanggung jawab atas hasil usahanya sendiri. Tetapi anehnya, banyak perilaku umat Islam yang jauh dari konteks kesucian al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Tidak sedikit dari kalangan masyarakat Islam yang tidak menyadari bahwa ada kebiasaan-kebiasaan yang telah menjamur dan melembaga ternyata sangat diragukan kebenarannya.
Salah satunya adalah tahlilan. Jika tahlilan dikatakan bid’ah atau haram, pasti banyak yang akan terkejut, tidak percaya, atau mungkin sampai pada tingkat marah-marah. Dan orang yang mengatakan atau menginformasikan hal tersebut tentu dianggap telah meresahkan masyarakat, atau dicap pembuat onar dalam tatanan masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin kebiasaan yang dilakukan oleh jutaan orang tiba-tiba dikatakan bahwa tahlilan itu bid’ah atau haram? Bagaimana mungkin dikatakan bid’ah atau haram sedangkan banyak ulama, teungku, ustadz, atau orang-orang yang memiliki pengetahuan agama malah mengerjakannya bahkan ikut melestarikannya?
Tapi tahukah Anda, Imam asy-Syafi’i –yang banyak diikuti madzhabnya di negeri ini, memvonis tahlilan itu sebagai perbuatan bid’ah atau haram? Tahukah kita, bahwa Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, al-Hafizh Imam Ibnu Katsir, Imam ar-Ramly, dan masih banyak lagi ulama-ulama Syafi’iyah (madzhab Syafi’i) juga memvonis atau menyatakan bahwa tahlilan itu perbuatan bid’ah atau haram?
Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengutip fatwa-fatwa para Ulama tersebut secara apa adanya dari kitab mereka masing-masing.
1. Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm, (juz 1/248; dan I/317-318):
وأكره المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذ لك يجددالحزن
“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) kumpul-kumpul, yaitu berkumpul di rumah (mayit) walaupun bukan untuk melakukan ratapan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbarui kesedihan”.
2. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Mughny al-Muhtaj, juz. 1 hal. 268:
وأما إصلاح أهل الميت طعاماوجمع الناس عليه فبدعة غير مستحبة
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpul beramai-ramai di rumah mayit dalam acara tersebut (tahlilan), maka itu adalah bid’ah dan bukan sunnah”.
3. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam I’anah ath-Thalibin sebagai syarah Fathul Mu’in, juz. 2 halaman 146:
وما اعتيدمن جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة مكرو هة كإجتما عهم لذالك لما صح عن جرير قال: كنا نعدا لإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan berupa menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang orang-orang berkumpul di rumah duka adalah bid’ah makruhah, karena terdapat hadits shahih (yang menerangkan hal itu) dari sahabat Jarir ibn Abdullah ra., beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga mayit dan menyiapkan makanan adalah (sama) dengan ratapan (niyahah)”. (HR. Ahmad dalam al-Musnad-nya, jilid II, halaman 204. Silahkan baca juga Kitab Tuhfatul Ahwadzi (IV: 67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim).
4. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi, juz. 1 hal. 90:
وأماقراءة القرآن فالمشهور من مذ هب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلىالميت…ودليل الشا فعي وموافقيه قول الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
“Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi…Sedang dalilnya Imam asy-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya): “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri”, dan sabda Nabi saw., (yang artinya): “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal usahanya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak yang shalih (laki-laki/perempuan) yang berdoa untuknya (mayit)”.
5. Imam as-Subki dalam Takmilatul Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz. 10 hal. 426:
وأماقراءةالقرآن وجغل ثوابهاللميت والصلاة عنه ونحوها فذهب الشافعي والجمهورانهالاتلخق الميت وكررذالك في عدةمواضع في شرح مسلم
“Adapun bacaan al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit, dan sebagainya, menurut Imam asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim”.
6. Imam al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. 2 halaman 9:
ألميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المتقدمون من أن القراءة لاتصله أي الميت لأن ثوابها للقاري والثواب المرتب على عملل لاينقل عن عا مل ذالك العمل قال الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى
“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama Mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab, pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari yang mengamalkan perbuatan itu, berdasarkan firman Allah (yang artinya): “Dan manusia tidak memperoleh melainkan pahala dari hasil usahanya sendiri (QS. an-Najm: 39,–pen.)”.
7. Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz. 5 halaman 286:
وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيئ وهوبدعة غير مستحبة
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan”.
8. Imam al-Qalyuby dalam Hasyiyah al-Qalyuby, juz. 1 halaman 353:
قال شيخناالرملي, ومن البدع المنكرة المكروه فعلها كما في الروضة مايفعله الناس ممايسمى الكفارة. ومن صنع طعاما للإجتماع عليه قبل الموت اوبعده ومن الذبح على القبور
“Guru kita, Imam ar-Ramly telah berkata sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab ar-Raudhah (Imam an-Nawawi), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum, maupun sesudah hari kematian”.
9. Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, juz. 1 halaman 577:
ومااعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعواالناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan daripada penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya adalah bid’ah munkarah yang makruhah berdasarkan keterangan shahih dari Jarir ibn Abdullah”.
10. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Iqna’ Li asy-Syarbiny, (I/210):
أمااسطناع أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غيرمستحبة
“Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.
11. Dalam Kitab ar-Raudhah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 145:
وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمعهم الناس عليه فلم ينقل فيه شيئ قال وهوبدعة غير مستحبة
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.
12. Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid IV hal. 335, ketika menafsirkan QS. an-Najm: 38-39, beliau berkata:
أي كما لا يحمل عليه وزرغيره, كذالك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هولنفسه. ومن هذه الأية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه.أن القراءة لايصل إهداءثوابها الى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم. ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولاحتهم عليه ولاارشدهم إليه بنص ولا إيماء ولم ينقل ذالك عن احد من الصحابة رضي الله عنهما, ولو كان خيرا لسبقونا إليه…ولا بتصرف فيه بانواع الاقيسة والاراء.
“Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Melalui ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak dapat sampai kepadanya karena bukan dari amal usahanya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah saw., tidak pernah men-Sunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perbuatan tersebut, serta tidak pula merujuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun dengan satu nash (dalil) maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang Sahabat Rasul pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau memang perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat) lebih dahulu mengerjakannya. Padahal amalan mendekatkan diri kepada Allah hanya terbatas yang ada nashnya (dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”.
13. Imam al-Muzani dalam Hamisy al-Umm, juz. 7 halaman 269:
فأعلم رسول الله صلى الله عليه وسلم, كما اعلم الله من أن جناية…امري عليه كما أن عمله ولا لغيره ولا عليه
“Rasulullah saw., memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah SWT, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain”.
14. Imam al-Khazin dalam Tafsir al-Jamal, juz. 4 halaman 236:
والمشهورمن مذهب الشافعي أن قراءة القرآن لايصل للميت ثوابها
“Dan yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, bahwa bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi”.
15. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy (mengutip keterangan dari Kitab al-Bazzaziyah) dalam I’anah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 146:
ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع ونقل الطعام الىالقبور.
“Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (peringatan khaul)”.
Demikianlah keterangan ulama-ulama dari kalangan madzhab asy-Syafi’i, yang semuanya menyatakan pengharaman dan menganggap bahwa berkumpul di rumah mayit yang dikenal dengan istilah tahlilan adalah bid’ah munkarah yang makruhah.
Tentu, fatwa ulama-ulama yang dikagumi dan sangat berpengaruh dikalangan Syafi’iyah tersebut semuanya berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., yakni sebagaimana termaktub dalam QS. an-Najm: 38-39 dan juga keterangan shahih dari Jarir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al-Musnad-nya (II/204) dan Ibnu Majah (1/514, no. 1612) dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim. Dapat juga diperiksa dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV/67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim.
Islam, sebagaimana yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., yang kemudian diteruskan kepada umatnya, adalah agama yang sudah dijamin kesempurnaannya. Hal ini jelas sekali termaktub dalam QS. al-Maidah ayat 3, dimana Allah SWT menyatakan bahwa:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu”.
Karenanya, sebagai hamba Allah, tentu dalam beribadah kita tidak boleh mengerjakan sesuatu tanpa ada landasan, karena Islam yang telah Allah ridhai ini adalah Islam yang sempurna, tidak ada yang tertinggal sedikitpun. Bahkan dengan sangat tegas Nabi saw., menyatakan bahwa kita tidak akan tersesat selama-lamanya jika kita berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, 3/93; juga dalam Tanwirul Hawalik Syarh al-Muwaththa’, oleh as-Suyuthi; dan dalam ar-Riyadhul Jannah, no. 31-33; asy-Syaikh al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”.).
Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw., bukan persangkaan atau kira-kira atau menggunakan perasaan. Bagi seorang Muslim, tidak boleh ada perasaan atau ungkapan: Ah, ini kan baik…atau: Apa salahnya kita kerjakan…dan lain-lain ungkapan. Sebab, Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan:
•
“Persangkaan itu sedikitpun tidak akan bermanfaat bagi kebenaran”. (al-Qur’an Surat an-Najm: 28).
إياكم والظن, فإن الظن أكذب الحديث
“Jauhilah olehmu sekalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Imam Muslim dari Yahya bin Yahya, Abu Daud dari al-‘Atabi, juga Imam Malik dari Abu Hurairah, dan lafazh diatas adalah lafazh Imam Malik).
Oleh karena itu, cara yang paling baik dan selamat bagi kita dalam ber-Islam ini adalah dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walaupun kebanyakan manusia berbuat sesuatu dalam ibadah, atau melakukan tatacara dalam ibadah yang tidak berdasar petunjuk Sunnah, kita tetap tidak boleh mengikuti yang demikian. Sebagaimana Allah nyatakan dalam QS. al-A’raf: 3, yakni:
•
“Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan jangan kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh sedikit sekali kamu ingat kepada-Nya”.
Juga sebagaimana sabda Nabi saw:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu ibadah yang tidak ada dasar (tuntunannya) dari kami, maka ia tertolak”. (HR. Bukhari nomor hadits 2697 dan Muslim nomor hadits 1718, dari ‘Aisyah).
من أرضىالناس بسخط الله وكله الله إلى الناس
“Barangsiapa yang menginginkan keridhaan manusia dengan membuat murka Allah, maka Allah akan menjadikan dia bergantung pada manusia”. (HR. Tirmidzi, Qadha’i, Ibnu Bisyran, dan lain-lain, sebagaimana dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah Hadits Nomor 2311, juga termaktub dalam Kitab Takhrij al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah).
Lalu, bagaimana dengan madzhab lainnya, seperti Malikiyah, Hanafiyah atau Hanabilah? Apakah dalam ketiga madzhab itu ada tahlilan juga? Untuk menjawabnya, berikut penulis paparkan fatwa-fatwa ulama-ulama dari ketiga madzhab tersebut.
1. Hanafiyah (pendirinya: Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit)
a. Muhammad Amin dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, juz. 2 halaman 240:
ويكره اتخاذالضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشروع. وهي بدعة مستقبحة, وروى الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة. وفي البزازية: ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعدا لأسبوع.
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah (lihat dalam Sunan Ibnu Majah, juz. 1 hal. 514) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”. Dalam kitab al-Bazzaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya”.
b. Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah, juz. 1 halaman 409:
وتكره الضيا فة من أهل الميت, قال في البزازية ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوعٍ
“Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab Al-Bazzaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya”.
c. Ibn Abdul Wahid al-Siewasy dalam Syarh Fath al-Qadir, juz. 2 halaman 142:
ويكره اتخاذالضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشروع. وهي بدعة مستقبحة, وروى الإمام احمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit karena hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah (lihat Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
2. Malikiyah (pendirinya: Imam Malik bin Anas)
Sebagaimana diterangkan oleh Abu Abdullah al-Maghraby dalam Mawahib Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, juz. 2 halaman 228:
أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فقد كرهه جماعة وعدوه من البدع لأنه لم ينقل فيه شيئ وليس ذالك موضع الولائم…
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama. Bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah karena tidak didapatkan keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut dan keadaan tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)…”.
3. Hanabilah (pendirinya: Imam Ahmad bin Hanbal)
a. Ibnu Qudamah al-Muqaddasy dalam al-Mughny, juz. 2 hal. 215 (cetakan baru yang ditahqiq Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, juz 3 hal. 496-497):
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأنه فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم الى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية ويروى ان جريرا وفد على عمر فقال: هل يناح على ميتكم؟ قال: لا. قال: وهل يجتمعون ثم أهل الميت ويجعلون الطعام؟ قال: نعم. قال: ذالك النوح وإندعت الحاخة.
“Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit hukumnya makruh. Karena telah menambah musibah baru kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, lalu Umar bertanya: “Apakah kalian suka meratapi mayit?” Jawab Jarir: “Tidak”. Umar bertanya: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 halaman 487).
b. Abu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy dalam al-Furu’ wa Tash-hih al-Furu’, juz. 2 halaman 230-231:
إنما يستحب (صنع طعام) إذاقصدبه أهله. فأما لمن يجتمع عندهم فيكره للمسا عدة على المكروه. يكره صنيع أهل الميت الطعام.
“Sesungguhnya, disunnahkan mengirimkan makanan itu apabila tujuannya untuk keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul disana, maka makruh hukumnya. Karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh, demikian pulan makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit”.
c. Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly dalam al-Mabda’ fi Syarah al-Miqna’, juz. 2 halaman 283:
وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة. زاد في المغني والشرح: إلا لحاجة, وقيل يحرم. وإسناده ثقات.
“Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah dan sebagian lain mengatakan (berpendapat) haram. Sanad hadits tentang masalah tersebut adalah tsiqat (terpercaya)”.
d. Manshur bin Idris al-Bahuty dalam ar-Raudhah al-Marbi’, juz. 1 halaman 355:
ويكره لهم أي لأهل الميت فعله اي فعل الطعام للناس لما روى أحمد عن جرير.
“Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Jarir”.
e. Syaikhul Islam Imam Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa Rasa’il wa Fatawa Ibnu Taimiyah fi al-Fiqh, juz. 24 halaman 316:
وأما صنعة أهل الميت طعاما يدعون الناس إليه فهذا غير مشروع وإنما هو بدعة بل قد قال جرير بن عبد الله: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم اطعام من النياحة.
“Adapun penghidangan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan itu bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir ibn Abdullah: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”. (Note: fatwa senada juga dapat disimak dalam Fathurrabbani Tartib al-Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, 8/95-96, oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna – pen.).
Berdasarkan beberapa fatwa ulama-ulama dari madzhab lainnya (Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah), terungkap dengan jelas adanya kesamaan fatwa mereka mengenai bid’ahnya tahlilan ini seperti halnya fatwa Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Para ulama mutaqaddimin tersebut mengeluarkan fatwa-fatwa mereka dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw., sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 48, 185, 286; an-Najm: 38-39; an-Naba’: 41; al-Ankabut: 6; al-Israa’: 15 dan lain-lain, juga berlandaskan pada beberapa hadits berikut:
1. Imam Bukhari dalam Shahih-nya (juz. 1 hal. 23); Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (juz. 2 hal. 63); Baihaqy dalam Sunan al-Kubra (juz. 3 hal. 18); dan Imam an-Nasa’i dalam al-Mujtaba (juz. 8 hal. 121-122) mengeluarkan hadits:
إن هذا الدين يسر…الخ
“Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah”.
2. Yang diterima dari sahabat Jarir ibn Abdullah al-Bajaly, kemudian dikeluarkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad, juz. 2 halaman 204) dan Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514, no. 1612), yaitu:
كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
3. Yang diterima dari Thalhah, kemudian dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, yaitu:
قدم جرير على عمر فقال: هل يناح قبلكم على الميت؟ قال: لا. قال: فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام؟ قال: نعم. فقال: تلك النياحة.
Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar bertanya: “Apakah kalian suka meratapi mayit?” Jawab Jarir: “Tidak”. Umar bertanya: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
4. Yang diterima dari Sa’id bin Jabir dan dari Khaban (Abu Hilal) al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan oleh Abdul al-Razaq. Hadits tersebut dengan lafazh berbeda dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah melalui perjalanan sanad: Fudhalah ibn Hashien dari Abdul al-Karim dari Sa’id ibn Jabir, yaitu:
من عمل الجاهلية النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المراءة ثم اهل الميت ليس منهم.
“Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah: niyahah, hidangan dari keluarga mayit dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”. (Abdul al-Razaq ash-Shan’ani dalam al-Mashhaf, juz. 3 hal. 550; Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
Dengan lafazh yang berbeda tetapi maknanya sama, pada hal. 487, Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, mengeluarkan dua hadits lain, yaitu: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin al-Jarah dari Soufyan dari Hilal bin Khabab dari Khabab al-Bukhtary, beliau berkata: “Makanan yang dihidangkan keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah, dan niyahah (meratapi mayit) merupakan perbuatan jahiliyah”.
Dan juga hadits berikut: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: “Saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: “Kalian akan (mendapat) bencana dan akan merugi”.
Lalu, bagaimana dengan ulama-ulama kontemporer (mutaakhirin)? Apakah mereka juga ada membahas persoalan tahlilan ini? Untuk memuaskan keinginan dan dalam rangka menunjukkan kebid’ahan tahlilan, maka berikut ini penulis paparkan fatwa-fatwa ulama kontemporer tersebut dalam uraian berikut ini:
1. Ali Mahfuzh dalam al-Ibda’ fi Madlar al-Ibtida’, halaman 229:
ولايصلح الطعام لمن يجتمع عند أهل الميت بل يكره لأنه إعانة على المكروه وهوالإجتماع عندهم…وكذا يكره فعل أهل الميت ذالك الطعام للناس يجتمعون عندهم.
“Tidak diperbolehkan menghidangkan makanan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumah keluarga mayit, bahkan hukumnya makruh karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit…demikian pula keluarga mayit dimakruhkan menghidangkan makanan tersebut kepada orang-orang yang sedang berkumpul tadi”.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Kitab at-Tauhid, halaman 109-110 menyatakan bahwa kebiasaan berkumpul menunjukkan perasaan al-ma’tam (duka cita), berikut penghidangan makanan dari keluarga mayit merupakan kebiasaan orang kafir yang ditiru oleh umat Islam dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah.
3. Syaikh Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, halaman 1578-1579 menulis:
فمكروه وبدعة لا أصل لها. لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجا هلية وإكان في الورثة قاصردون البلوغ فيحرم أعداد الطعام وتقديمه قال:كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Adapun penghidangan makanan untuk masyarakat yang dilakukan oleh keluarga mayit adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada asalnya dan yang dimakruhkan, karena hal tersebut mengandung arti menambah beban musibahnya serta menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyah, apabila biayanya berasal dari harta waris yang diantara ahli warisnya terdapat anak yang belum baligh, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. Jarir bin Abdullah telah berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
4. An-Nawawy al-Bantany dalam Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’in, hal. 281:
وتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل…وقدجرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام للعشرين وفي الأربعين وفي الماءة وبعد ذالك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما فأده شيخنا يوسف السنبلاويني, أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan. Namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ketujuh atau hari-hari lainnya. Sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ketujuh atau keduapuluh atau keempatpuluh atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal itu semua hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya apabila biayanya berasal dari harta anak yatim”.
Catatan: Syaikh Nuruddin ar-Raniry dalam Shirathal Mustaqim juz. 2 hal. 50 dan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabil al-Muhtadin juz. 2 hal. 87 menyatakan bahwa itu termasuk kategori bid’ah.
5. Kesepakatan fatwa Nahdlatul Ulama dalam al-Mawa’idz Edisi No. 13 halaman 200, dan Edisi No. 18 halaman 285-286, yang menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan hukum tahlilan sebagai perbuatan yang membebani keluarga mayit, bertolak belakang dengan hadits yang memerintahkan untuk mengirimkan makanan kepada keluarga mayit, bukan sebaliknya (lihat dalam Sunan Abu Daud 3/195; Sunan al-Kubra al-Baihaqy 4/61; Sunan ad-Daraquthny 2/78; Sunan at-Tirmidzi 3/323; al-Mustadrak al-Hakim 1/527; Sunan Ibnu Majah 1/514).
Berdasarkan keterangan as-Sayid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam Kitab I’anah ath-Thalibin, ternyata para ulama dari keempat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah “nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dan sebagainya” merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai oleh agama.
Ini diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi tahlilan sebagai perbuatan bid’ah munkarah itu ternyata adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Kesimpulannya, bahwa hukum tahlilan yaitu bid’ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, bahkan dapat berubah menjadi haram li ghairihi (menjadi haram dikarenakan sebab lain) apabila biaya tahlilan berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang diwariskan pada ahli waris yang belum baligh.
Sebelum penulis akhiri uraian ini, barangkali ada yang memprotes tentang tahlilan ini. Namun, jika kita bertanya kepada yang mendukung tahlilan mengenai alasan atau argumentasi mereka yang membolehkan tahlilan, maka yang kita temukan jawabnya hanya berdasarkan istihsan belaka, seperti ungkapan: “…lho, ’kan itu baik…kenapa tidak boleh, kan ada doanya…ini kan cuma silaturrahmi…ada nilai-nilai shadaqah melalui hidangan…teungku kami bilang boleh-boleh saja…” atau ungkapan lainnya. Sangat jarang sekali (kalau tidak ingin dikatakan tidak pernah ada) mereka berusaha memberikan dalil naqly yang shahih, atau dha’if bahkan maudhu’ sekalipun tentang tahlilan ini.
Penulis pernah diberitahu adanya dalil naqly tentang bolehnya tahlilan dan menghidangkan makanan bagi keluarga mayit yang penulis terima dari seorang jamaah yang sering mendengar ceramah penulis. Adapun dalil tersebut berdasarkan keterangan dari kitab Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah yang ditulis oleh Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy juz. 1 halaman 409, juga berlandaskan pada istihsan sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Fawakih ad-Diwani yang ditulis oleh Ahmad bin Ghunaim bin Salim an-Nafrawy al-Maliky.
Kedua kitab itu menukil hadits sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Baihaqy dan ad-Daraquthny. Hadits tersebut sebagaimana ditulis dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (ath-Thahthawy) adalah sebagai berikut:
عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال: خرجت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة, فلما رجع استقبله داعى إمرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه.
“Dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.
Namun, setelah hadits yang dijadikan argumen oleh ath-Thahthawy dan yang dijadikan pedoman oleh orang yang mendukung tahlilan tersebut diteliti dan dicermati lagi dengan seksama dan penuh kehati-hatian, ternyata ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan bunyi hadits aslinya. Berikut penulis paparkan hadits dari Abu Daud yang penulis rujuk langsung dalam as-Sunan-nya, juz. 3 halaman 244:
خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبريوصى الحا فرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلمارجع استقبله داعي إمرأة فجاءوجئ بالطعام فوضع يده…الخ
Perbedaannya dalam versi ath-Thahthawy dengan hadits aslinya sungguh teramat jauh, ada lafazh yang diberi dlamir mudzakar gha’ib (imra-atuhu) yang mengandung arti: “istrinya mayit”. Sedangkan dalam Kitab aslinya (Sunan Abu Daud, juz. 3 halaman 244) atau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqy (Sunan al-Kubra, juz 5 halaman 335), Imam ad-Daraquthny (Sunan ad-Daraquthny juz. 4 halaman 285), Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad juz 5 halaman 293 dan 408), dan Abu Ja’far ath-Thahawy (Syarh Ma’any al-Atsar juz 2 halaman 293) menyatakan bahwa lafazh tersebut adalah “imra-atun” (tanpa diberi dlamir mudzakar gha’ib), yang artinya mutlak “wanita”.
Bahkan didalam salah satu hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita yang menemui Rasulullah saw., tersebut adalah seorang wanita Quraisy yang menyampaikan pesan dari seorang wanita yang tidak diketahui statusnya, yang didalam matan haditsnya diberi identifikasi dengan klausul fulanah (lihat dalam al-Musnad juz 5 halaman 293).
Secara lafzhy, memang hadits tersebut ada hubungannya dengan masalah orang mati, tetapi inti pesan hukum yang termaktub dalam hadits tersebut justru tidak ada hubungannya dengan masalah orang mati. Karenanya, tidak ada satupun hukum dari ulama-ulama madzhab yang membolehkan tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit.
Jika anda masih kurang paham dan mengerti juga, maka kami persilahkan untuk memperhatikan dengan seksama dan benar-benar jujur terhadap hadits tersebut dari segi penempatan permasalahannya. Kitab Sunan al-Kubra Baihaqy menempatkannya dalam bab Muamalah, Sunan ad-Daraquthny menempatkannya dalam Bab Makanan, dalam Kitab Syarh Ma’any al-Atsar yang ditulis Abu Ja’far ath-Thahawy ditempatkan dalam Bab Makanan (4/208), dan dalam Kitab Nishb ar-Rayah juga ditempatkan dalam Bab Ghasab (4/168).
Bagaimana dengan alasan istihsan yang digunakan untuk menjustifikasi bolehnya tahlilan? Sebenarnya jika kita mau jujur, dalam wilayah ushul fiqh, eksistensi istihsan sendiri masih diperselisihkan. Jika ulama-ulama Hanafiyah membela habis-habisan tentang istihsan karena ide istihsan ini muncul dari Imam Abu Hanifah (terutama dari sahabat sekaligus muridnya, Abu Yusuf), maka ulama-ulama Syafi’iyah dan ulama-ulama Hanabilah (Hanbali) justru menentang dan menolaknya tanpa kompromi.
Dalam kitab Ushul Fiqh (sebagaimana dikutip al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami, juz 2 halaman 353) dikatakan bahwa istihsan yang diartikan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada ketentuan kultur (budaya/tradisi) adalah ditolak. Bahkan dengan sangat tegas Imam asy-Syafi’i menyatakan:
من استحسن فقد شرع
“Barangsiapa yang mengamalkan istihsan, maka berarti ia telah menciptakan hukum syara’ (baru)”. (lihat al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami juz. 2 halaman 353; lihat juga al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi ‘Ilmi al-Ushul halaman 171).
Demikian tegasnya Imam asy-Syafi’i tentang hal ini, sehingga sungguh tidak masuk akal—bahkan sangat aneh, apabila ada orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyah, tetapi masih saja suka tahlilan, yang artinya adalah menciptakan hukum syara’ baru tanpa mashadir al-ahkam (landasan hukum) yang telah disepakati, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah, Nabi saw., menyatakan bahwa membuat hukum syara’ baru dianggap bid’ah dan mutlak tertolak. Bahkan perbuatan ini jelas-jelas menuduh Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam, padahal tidak ada satupun yang tidak disampaikan oleh Rasulullah saw., kepada umatnya.
Abdullah bin Mas’ud ra., berkata: “Ikutilah Sunnah Nabi saw., dan jangan kalian melakukan bid’ah. Kalian telah memperoleh petunjuk yang cukup. Karenanya, ikutilah jalan salaf” (al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabari no. 8770). Abdullah bin Abbas ra., juga berkata: “Jangan kamu mengucapkan (sesuatu) yang menyalahi al-Kitab dan as-Sunnah” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/205). Sungguh telah diketahui secara dharury, bahwa hanya Allah SWT yang berhak menciptakan hukum syara’, sementara kita selaku manusia hanya sekedar meng-izhar-kan (menjelaskan saja) hukum tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat kita pahami bahwa Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya menyatakan bahwa al-ma’tam, yakni berkumpulnya orang-orang di rumah keluarga mayit digolongkan dalam perbuatan niyahah, sedangkan Rasulullah saw., menegaskan bahwa orang yang berperilaku niyahah bukan termasuk umatnya karena dianggap menyerupai perilaku jahiliyah.
Kita juga tidak menerima satu pun keterangan mengenai diperbolehkannya tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, apakah itu berbentuk hadits shahih dari Nabi saw., atau dari sahabat-sahabat beliau, atau dari Imam-imam madzhab dan juga imam-imam lainnya (ahli tafsir dan ahli hadits) sebagaimana dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa Rasa’il wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (juz. 25 halaman 299-300).
Tahlilan merupakan salah satu perbuatan bid’ah munkarah yang makruhah, maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk tidak mengerjakannya dan mencegah keluarganya dan muslim lainnya terhadap perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan fatwa Mufti Makkah al-Musyafarah, Syaikh Ahmad bin Zainy Dahlan (sebagaimana dikutip dalam I’anah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166), yaitu:
ولاشك ان منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء السنة وماته للبدعة وفتح الكثير من أبواب الخير وغلق لكثير من أبواب الشر
“Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut mengandung arti menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah sekaligus membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan”.
Khatimah
Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit hukumnya adalah bid’ah dengan kesepakatan para sahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya Imam yang Empat. Akan semakin bertambah bid’ah tahlilan ini bila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah, dan dilakukan pada hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, malam keempat puluh, dan khaul.
Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut Sunnah Rasulullah saw., adalah kaum kerabat/sanak famili dan atau tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang dapat mengenyangkan mereka sebagaimana hadits Nabi saw., ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat (lihat hadits tersebut dalam al-Umm, 1/317; Abu Daud; at-Tirmidzi; Ibnu Majah; dan Imam Ahmad, 1/205).
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT dalam kitab-Nya (QS. Al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata ‘sabar’ dalam bingkai nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Qur’an) dan Rasulullah saw., (as-Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari Nomor 7145 dan Shahih Muslim Nomor 1840).
• . • .
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran: 31-32).
• • • .
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisaa’: 115).
• • .
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.
Dengan mengucapkan بسم الله الرحمن الرحيم penulis mengajak kepada siapapun yang ingin membersihkan akal dan hatinya agar kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalihin, menegakkan Tashfiyah, yakni memurnikan ajaran Islam dari segala noda syirik, bid’ah, khurafat, takahyul, dan gerakan-gerakan serta pemikiran-pemikiran yang merusak kemurnian ajaran Islam, melakukan gerakan Tarbiyah kepada umat Islam berdasarkan ajaran Islam yang murni, menghidupkan pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan tidak menyimpang dari pemahaman Salafush Shalihin.
Demikianlah akhir dari tulisan ini, semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Memang ini adalah khilfiyah, kita rinci aja:
1. Dzikir berjamaah, ada yang bilang bid’ah seperti Imam Asy Syatibi, atau yang bilang boleh seperti Imam Ibnu hajar.
2. Mengirim pahala bacaan Al fatihah, kata Imam Asy Syafi’i -justru- tidak sampai, juga seperti yang dikatakan Imam Ibnu Katsir. tapi menurut Imam Ahmad, adalah sampai, bahkan kata Imam ibnu Qudamah, telah ijma’ bahwa bacaan itu akan sampai pahalanya.
3. Mendoakan orang meninggal sesama muslim, maka seluruhnya bi laa khilaf, sepakat dianjurkan mendoakan mereka. mereka berbeda hanya dalam cara mendoakannya. Jadi, sepakat dalam pokok, namun berbeda dalam rincian atau cara ..
4. masalah makanannya, memang ada hadits yang melarang makanan yang disediankan oleh mayit, dan itu dianggap niyahah (meratap) oleh Imam Asy Syafi’i. Tapi kata beliau, jika makanan dari orang lain sebagai wujud ta’awun maka itu baik dan bagus. jadi, makanan bagusnya dari orang lain supaya meringankan bebannya.
5. Nah… kalau jumlah penentuan hari 3,7, 15, 40, itu merupakan sisa keyakinan Hindu. Bukan kategori khilafiyah yang dibincangkan ulama. Saya pernah bertemu mantan Hindu, dia kaget ternyata di islam masih ada ajaran sisa agamanya yang lama, yakni 3,7,15,40 hari … jrenk!! saya pun kaget .. saya sudah tanya ke beberapa kiyai, kata mereka memang seharusnya tidak ada .. sebab bukan bagian dari tahlilan .. kalau pemilik situs ini mengatakan bahwa ndak apa-apa di hari ke 25, tapi Anda harus tahu faktanya telah jadi semacam ijma’ sukuti dalam masyarakat kita bahwa kalau bukan hari 3,7,15,40 dst, seakan kurang afdhal .. . jadi, buat yang anti dan pro tahlilan jagalah ukhuwah ternyata memang ini khilafiyah ,,, silakan cari pandangan yang lebih kuat, tetapi jangan paksakan kehendak …
–> Thanks komentar-nya. Berikut tanggapan saya;
1. Dzikir berjamaah adalah hal yg mulia. Apakah saya harus berkali-kali menuliskan dalil ini,
Ada banyak hadits Rasul saw.
2. Fatwa Imam Syafii dan pendapat Ibnu Katsir ttg tidak sampainya pahala bacaan dzikir, itu fatwa yang sengaja dipotong. Ini sudah berkali-kali dibahas. Simak antara lain di sini.
3. Setuju.
4. Jika ada banyak tamu kemudian dihidangkan makanan, itu wajar. Meratap..?? sangat jauh saya kira. Hati2 dengan mengutip fatwa-fatwa para ulama. Keadaan sekr sungguh memprihatinkan. Ada banyak fatwa ulama sengaja dibajak, dipotong tambal. Forum tanya jawab ini mungkin memperjelas.
5. Setuju bahwa 3, 7, 40 hr, dst adalah tradisi lokal (yang mungkin berasal dari Hindu, pen). Tetapi apakah setiap tradisi lokal pasti selalu sesat? Nanti dulu. Di zaman Nabi saw, bangsa Arab juga sudah memiliki tradisi. Tradisi Arab (Jahiliyah) ada yang dilestarikan setelah diisi sunnah-sunnah Rasul saw, ada yang dimusnahkan jika bertentangan dengan prinsip-prinsip ajaran Islam.
Di lain pihak, Jawa, Sunda, India, Maroko, Mesir, Eropa, dll, ms2 telah punya tradisi sendiri-sendiri. Punya akar budaya sendiri, yang mungkin sama tua-nya dengan budaya Arab kuno. Tradisi bisa terus lestari jika tidak bertentangan dengan islam, sdgkan yang dihilangkan adalah yg bertentangan dengan ajaran islam. Ini masalah kemasyarakatan, masalah muamalah. Ketika sebuah tradisi sudah diisi dengan dengan hal-hal yg utama, yang selaras dengan ajaran islam, dan tidak ada unsur ke-jahiliyah-an sama sekali, maka tidak ada alasan untuk di-vonis sesat.
3, 7, 40, dst adalah tradisi masyarakat (Jawa). Tradisi ini di masa sekarang diisi dengan majelis dzikir (tahlilan). Maka .. mmg tradisi 3,7,40 dst bukan bagian dari tahlilan, tetapi justru tahlilan lah yg menjadi isi dari tradisi ini. Bedakan antara wadah dengan isi. Tahlilan dapat menjadi isi dari acara (kumpul2) apapun.. rapat RT, arisan, pertemuan trah keluarga, pengajian mingguan, dll.
Contoh lain, ada cerita teman dari Somalia, bahwa di sana ada juga tradisi memperingati kerabatnya yang telah meninggal, paling tidak satu kali setelah meninggalnya (saya lupa namanya). Isi-nya.. baca Qur’an, majelis dzikir.
Wallahu a’lam. Maaf kalau ada salah.
Assalamu Alaikum Wr. Wb…
Saya hanya ingin mengomentari salah satu komentar cak_yud “Perbedaan adalah rahmat” yang oleh banyak kalangan di sebut bahwa perkataan itu berasal dari Nabi (hadits), padahal menurut para ahli kritik hadits bahwa kalimat itu adalah perkataan sahabat (bukan hadits/hadits palsu).
Mohon kepada saudaraku di forum ini jika ada yang lebih mengetahui tolong dijelaskan masalah ini. Karena kalimat ini seolah menjadi senjata andalan untuk meredam gejolak akibat banyaknya perbedaan pendapat dalam hal fikih furu di negeri kita.
terima kasih…afwan…
Semoga kita semua dirahmati Allah sehingga menemukan cahaya kebenaran yang telah datang melalui Rasul-Nya. Amin.
–> Wa’alaikum salam wrwb. Setelah searching sana-sini, kalimat tsb (”Perbedaan umatku adalah rahmat.” ) terdapat di dalam Al Jaami’ ash- Shaghiir fii Ahadiits al-Basyiir an-Nadziir, karya Imam Sayuthi (mohon koreksi jika salah). Ada di republika.
Di sana (republika itu) juga terdapat kata-kata bernada sama dari Imam Malik rhm ketika khalifah Harun Al Rasyid akan menyeragamkan fikih umat islam, ”Wahai Amirul Mukminin, perbedaan antara para ulama adalah rahmat Allah atas umat ini, biarkanlah setiap orang mengikuti apa yang benar menurutnya.” (Min Uquud al-Jumaan dan Kasyf al-Khafaa).
“Perbedaan di antara para ulama”, demikian pula yg (pernah) saya dengar dari maksud kalimat di atas. Bukan perbedaan atau perdebatan di antara orang yang awam.
Mohon maaf kl ada salah. Amien atas do’anya.
Wallahu a’lam.
Assalamualaikum…
Ane mo nanya nih, majelis dzikir kan bagus ya… trus praktiknya gimana ya di jaman nabi, trus sahabat, tabiin,,, kalau ada riwayat tentang cara praktiknya,,, sahih tidak sanadnya…
terima kasih atas jawabannya…
–> Wa’alaikum salam wrwb. Mas farid .. dalil ttg tahlilan telah kami tulis di atas, dan ada lagi di topik tulisan dzikir berjamaah. Berdasar (antara lain) dalil itulah diamalkan tahlilan. Kepada mereka yg menuduh tahlilan sebagai bid’ah sesat, dgn alasan tak dicontohkan oleh Nabi saw, maka justru kami yang balik bertanya, (agar tidak dianggap sesat)
setelah saya membaca tulisan sdr.orgawam, saya menjadi ngeri. dari ulasan sdr, seolah2 dlm agama islam, apapun boleh, asal tidak dilarang. padahal yang saya tau, dalam hal agama islam, apapun dilarang, kecuali yang diperintahkan. sebab kalau seperti yang diyakini sdr.orgawam, kita boleh melakukan apaun asal tdk ada larangan, maka sudah barang tentu para sahabat melakukan. pernahkah kita jumpai ada sahabat meninggal kemudian ditahlili oleh Rosululloh? seperti di kebanyakan kita? kalau tidak, apakah berarti kita lebih pintar dari Rosululloh dan para sahabat? kita lihat saja di Arab, sejak dulu sampai sekarang, apakah ada tahlilan? padahal agama Islam lahir di Mekkah, apakah kita libih pintar dari ulama2 Mekkah dan Madinah?
–> Salam kenal gus. Ada kaidah2 dalam hukum fiqh yang “apapun boleh, asal tidak dilarang”, dan juga “apapun dilarang, kecuali yang diperintahkan”. Masing-masing ada saat-saat kapan dan kaidah mana yang dipakai. Para ulama lah sandaran kita.
Memang benar kata anda. Sepengetahuan saya, tidak ada riwayat sahabat meninggal kemudian ditahlili junjungan kita Nabiyullah saw. Tetapi ada dalil bahwa hadiah pahala adalah sampai. Kemudian ada berbagai bacaan dzikir dan kalimat mulia juga diajarkan beliau. Semoga anda tak memungkiri hal ini.
Tahlilan adalah berusaha mengamalkan hal tersebut. So .. tidak ada hal yang bertentangan dengan ajaran kitabullah dan junjungan kita yang mulia saw. Dan majelis tahlil ini tidak mewajibkan ini dan itu, atau melarang ini dan itu yang menyebabkannya berselisih dengan syariat agama kita. Yang terjadi adalah orang2 berdzikir demi si mati dan keluarganya. Pahalanya didoakan untuk si mati. Keluarga si meninggal terhibur hatinya.
Saudaraku .. mungkin memperingati anggota keluarga yg meninggal sudah menjadi instink manusia untuk mengungkapkan rasa cintanya. Kita memperingati Hari Pahlawan. Berbagai negeri meliburkan resmi hari meninggalnya (lahirnya) pemimpin mereka. Berbagai negeri/ daerah yang muslim memperingati keluarganya yg sudah meninggal. Mereka berdzikir, membaca Al Qur’an, dan berdoa bersama-sama. Mungkin pelaksanaannya tidak sama persis. Namun intinya sama. Mereka tidak menamakannya tahlilan, namun isinya bertahlil. Di Aceh dan berbagai lain daerah, saya pernah dengar ada. Di Malaysia, kalau anda baca forum mereka, ada juga tentang topik majelis kenduri arwah. Di Somalia .. teman pernah cerita .. ada. Di Irak, saya pernah baca sebuah berita (suaramerdeka), berikut cuplikannya,
Ok-lah .. mungkin ada nuansa ngeri dan sedih ketika membicarakan memperingati kematian. Kita ambil contoh yang menggembirakan. Memperingati kelahiran. Kita punya anak yang masih kecil. Alangkah lucunya. Ketika dia berulang tahun, dia ingin dirayakan. Kita sebagai orang tua menurutinya. Alangkah senangnya. Dia mengundang teman2nya. Kemudian di dalam acara Ultah itu, kita selipkan doa-doa, membaca bacaan al Qur’an sederhana, untuk juga mendidik mereka. Makanan, nasi kuning, roti, permen, dll kita bagikan ke mereka. Termasuk anak2 tetangga yang miskin kebagian juga. Dan mungkin kita selipkan lebih banyak makanan kepada mereka.
Anak-anak senang, tetangga tersenyum. Kita berbahagia. Ada bagian berdoa bersama-sama, ada bagian membaca bacaan2 dzikir dan al Qur’an (sederhana) bersama. Ada bagian sedekah, membagi makanan. Mereka juga bermain, bergembira.
Tidak ada yang berselisih dengan syariat dalam hal ini. Tidak ada yang mewajibkan (atau larangan) kita merayakan ultah anak kita. Tidak ada yang mewajibkan acara ultah harus ini dan itu. Sedangkan Nabi pun tak pernah merayakan Ultah putra atau cucu beliau. Sahabat pun tidak. Namun ke semuanya itu saya kira diperbolehkan, selama tidak terjadi hal2 yang melanggar aturan agama kita.
Maaf kalau ada salah. Wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum.
Ternyata “TAHLIL / TAHLILAN” BANYAK PERBEDAAN DALAM MENSIKAPINYA. MENJADI WACANA/ILMU YANG BERMANFAAT.
PERBEDAAN ITU MEMANG INDAH, APABILA DISIKAPI DENGAN IMAN.
PERBEDAAN AKAN TIMBUL PERDEBATAN.
PERDEBATAN TANPA IMAN AKAN MENJADI SESAT.
INGAT SALAH/BENAR ; NERAKA/SURGA ITU MILIK ALLAH.
KITA SERING KALI MELIHAT KULITNYA TANPA MEMAHAMI ISINYA.
JANGANKAN MENGARTIKAN BAHASA ARAB, SEDANG KITA SAMA-SAMA BAHASA INDONESIA SAJA SERING SALAH FAHAM.
YANG PENTING WACANA/ILMU TETAP KITA PELAJARI.
WACANA/ILMU AKAN BISA DICARI DENGAN LIDAH YANG SUKA BERTANYA DAN AKAL YANG SUKA BERFIKIR.
MUDAH2AN SEMUA ITU (PERBEDAAN) TUJUANNYA UNTUK “NASEHAT MENASEHATI DAN TETAP DALAM KESABARAN”.
SALAM,
–> Wa’alaikum salam wrwb. Mbah .. nuwun sewuu .. Hurufnya tolong diperkecil.
salam, diskusi soal tahlil, tahlilan, selamtan,seusia islam di Indoneia (konon, Islam masuk ke Indonesia/nusantara abad 13 m),sudah tua sekali itu usia tahlil, tahlilan berkumandang di langit nusntara, di atas arasy sana. bagi yang suka tahlil,tahlilan dan selamatan, apa sih salahnya berbuat itu, lakukan saja. bagi yang tidak suka tidak melakukan juga tidak apa-apa,kan tidak berdosa. Lebih baik mengumandangkan lafadz laa ilaha illalloh..(subhanallooh) terus menerus… dibandingkan dengan mengumandangkan lagu dangdut, atau campur sari….atau lagu jaipong…meski berjilbab para penyanyi danpendukungnya itu, diwaktu maghrib lagi…seperti di tv-tv itu….naudzubillah.
–> Setuju
Assalamualaikum wr wb.
Aduh kayaknya makin asyik aja.
Gini aja…
IYA BENAR, MENURUT ANDA, TAPI MENURUT ALLOH?..(aku tak tau lah)
IYA SALAH, MENURUT ANDA, TAPI MENURUT ALLOH?..(tak tau juga lah)
cerita dikit boleh ya biar anyes.
Aku punya dua orang Anak, keduanya aku suruh untuk mengambilkan koper milikku di meja, dengan penuh semangat keduanya pun melaksanakan perintah bapaknya ini, tetapi setelah sampai di depan meja yang kebetulan jauh dari tempat aku berdiri mereka berdua bingung karena mendapati banyak barang2 sejinis dengan koper di situ, mereka pun saling berdebat tentang koper yang dimaksud bapaknya, maklum mereka masih kecil, setelah berdebat sengit KARENA TAK INGIN SALAH AMBIL akhirnya mereka berdua memutuskan untuk membawa koper menurut versi mereka masing2, dengan tergopoh2 dan RASA KUATIR KALAU SALAH dan SEKALIGUS HARAPAN AKAN MENDAPAT SENYUM DARI AYAHNYA, akhirnya dengan mata tak berkedip menatap wajahku keduanya pun membawa koper masing2 kepadaku sambil berkata serempak setengah bertanya “INI KOPERNYA KAN BAH?..” AKU PUN TAK KUASA MENGECEWAKAN HATI MEREKA YANG IKHLAS YANG TERPANCAR DARI MATA MEREKA YANG BENING TAK BERKEDIP MENATAPKU DENGAN PENUH HARAP, aku pun tersenyum dan berkata pada mereka “IYA KALIAN BERDUA BETUL, ABAH MEMANG BUTUH DUA-DUA NYA, YANG SATUNYA NANTI KALAU ABAH PULANG KANTOR BUAT BAWA OLEH2 UNTUK KALIAN” mereka berdua pun girang “ASIIK… TERIMAKASIH ABAH”
–>. Wa’alaikum salam wrwb. Cerita anda benar .. kedua anak itu rukun. Itulah yg harus dijaga. Itu pula sebenarnya harapan kami.
Namun ketika salah satu anak menyodok saudaranya, mengatakan kamu anak jahil, musyrik dan julukan menyakitkan lainnya, maka yg terjadi adalah perkelahian.
Kami di sini tak hendak menyodok saudara sesama muslim. Kami hanya mempertahankan pendapat dan amalan kami, atas sodokan menyakitkan yg biasa kami terima.
Benar … kebenaran mutlak adalah kebenaran menurut Allah. Namun kebenaran menurut Allah itu disebutkan ukuran (dalil-dalil) nya di dalam Q n H serta aqli, yg umat dapat mengetahuinya.
Inti tahlilan itu, mengirimkan amal bacaan kita kepada orang yang sudah meninggal dunia. Yang jadi masalah, apakah kita yakin bahwa ayat-ayat yang kita baca itu, sudah jelas ada ‘amal’-nya di sisi Allah SWT ?. Kalau belum yakin, ya kita berdoa saja, dan jika berdoa, Insya Allah yang lebih dekat didengar Allah SWT adalah anak kandungnya sendiri. Dalam membaca doa, sebaiknya dilakukan oleh kita masing-masing dan tak perlu dituntun oleh orang lain, seperti ustadz atau syeh dll.
–> Yang jadi masalah pula, apakah tuntunan anda ini jelas dalilnya, ataukah hanya kira2/ ijtihad anda saja.
saya mau mengomentari elfizon
>anda sholat kan? kenapa anda bertanya masalah amalan dalam bacaan tahlilan di terima atau tidak, sedangkan di dalam tahlilan ada bacaan al.fatihah, surat-surat dalam al.quran & berselawat atas nabi.
saya mau tanya sama anda di dalam sholat anda baca apa?
sedangkan di dalam sholat wajib membaca “al.fatihah” klo anda sudah tidak yakin dengan al.fatihan, berarti sholat & islam anda DIRAGUKAN karna tidak yakin dengan al.fatihah sendiri.
>doa yang diterima hanya dari anak yang sholeh!!!
saya mau tanya orang yang ga punya anak, apa ga bolek dapet kiriman doa??
Lakukan syariat sesuai dengan keyakinan anda, saya yakin syariat yang benar adalah yang mampu menjernihkan hati,
Assalamu alaikum, salam kenal, saya juga orang awam yang sedang belajar memahami agama-Islam, memang vonis bid’ah itu menyakitkan karena sama saja dengan menyatakan orang yang berbuat bid’ah diancam dengan neraka, apalagi jika pernah atau sering melakukan bid’ah (ibadah yang tidak dicontohkan nabi), kalimat tahlil adalah kalimat yang baik, tapi selamatan ketika orang mati tidak pernah dicontohkan rasul, sahabat, tabiin, tabiit tabiin dan memang pernah dan masih dilakukan di beberapa negara. Apakah itu dibenarkan oleh syar’i? Wallahu a’lam.
masalah tahlilan bukan sekedar do’a sampai atau tidak, namun masalah tahlilan diharamkan dan bid’ah dikarenakan tahlil adalah bentuk niyahah (ratapan) yg sering dilakukan oleh kaum wanita di zaman jahiliyah, dan Imam Syafi’i sendiri telah menjelaskan bahwa berkumpul-2 di rumah duka sembari membagi-2 makanan adl suatu bentuk niyahah, oleh karena itu tahlil adl bid’ah dholalah dan haram…walaupun tidak ada yang menangis dalam majlis tersebut.
Adapun do’a, maka do’a kaum muslimin kepada muslim lainnya insya Allah maqbul… Bukankah Rasulullah telah mengajarkan kita dan sering dibacakan oleh khathib di minbar-2 untuk berdo’a : Allahummagh fir lil muslimiina wal muslimaat al-Ahyaa’i minhum wal amwaat. Maka… dalih teman antum itu pada hakikatnya adalah lemah, bahkan lebih lemah ketimbang sarang laba-2. Kemudian… yang dimaksud oleh Imam Syafi’i sebagaimana antum nukil adalah, ‘adat mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an’ bukanlah do’a… sebab orang yg tahlilan seringkali meyakini bahwa membacakan surat-2 al-Qur’an namun dipersembahkan bagi sang mayit, inilah maksud dari ucapan Imam Syafi’i di dalam menafsirkan firman Allah, “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri” Wallahu a’lam
Imam Asy Syafi’I, yakni seorang imamnya para ulama’, mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) :
” Aku benci al ma’tam yaitu berkumpul-kumpul di rumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan .”
Dari pernyataan Imam Syafi’i di atas, beliau menerangkan bahwa berkumpul di rumah ahli mayit (meskipun menurut kebiasaan) akan memperbaharui kesedihan (dengan kata lain, si pemilik rumah, yg anggota keluarganya wafat, akan merasa sedih lagi, meskipun tidak mesti menangis). JANGAN SALAH, ini bukan berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak! Perkataan Imam Syafi’I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah.
Dari beberapa sumber referensi, aku dapatkan pengertian bahwa : ” beliau (imam Syafi’i) dengan tegas MENGHARAMKAN berkumpul-kumpul di rumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau di sertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?”
Sementara itu, Imam Ibnul Qayyim, di kitabnya Zaadul Ma’aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpul-kumpul ( dirumah ahli mayit ) dengan alasan untuk ta’ziyah dan membacakan Qur’an untuk mayit adalah ” Bid’ah ” yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW.
Bahkan para ulama/imam empat (Imam Malik, Syafi’i, Hanafi dan Hambali) sepakat dengan melarang hal tersebut (tahlilan). Mereka berempat tidak berselisih/berbeda pendapat tentang larangan hal tersebut melainkan dalam masalah tingkatannya, haram atau makruh saja. Dan tidak ada seorangpun dari mereka yang mengatakan bolehnya tahlilan. Bahkan para sahabat g menggolongkan hal tersebut sebagai niyahah/ratapan terhadap si mayit. Dan ulama telah sepakatkan keharaman niyahah.
Dengan demikian, TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAM…melainkan adopsi dari agama Hindu. Aku yakin para Wali Sanga mempunyai alasan tertentu mengapa beliau2 tidak menghapus budaya ini. Salah satu alasan yg aku ketahui adalah untuk memudahkan penyebaran agama Islam. Sebagaimana diketahui, masyarakat Indonesia (terutama Jawa) sangat mencintai budayanya (bahkan cintanya berlebihan).
Wallahu a’lam
–> Orang bertakziah pastilah berkumpul-kumpul juga. Inikah yg dimaksud imam Syafi’i? Kalau begitu takziah haram hukumnya … ? Berkumpul2 yg bagaimanakah yg dimaksud oleh Imam Syafi’i untuk dilarang? Itulah yg tidak ditampilkan di argumen anda. Entah anda sengaja atau tidak.
Kata anda, “TAHLILAN BUKANLAH AJARAN ISLAM…melainkan adopsi dari agama Hindu”. Kata2 ini berarti men-syirik-kan orang2 yg berdzikir laailaaha illallah dalam suatu majelis dzikir. Apakah anda tahu ajaran hindu, ajaran manakah dari agama Hindu yang diadopsi ke dalam tahlilan ini?
Sudah ada artikel menjawab argumen anda ini di sini juga. Simak link-link di komentar2 sebelumnya.
Menanggapi Sdr.Elfizon anwar,
Amal ibadah seseorang tidak ada yang tahu apakah amalnya diterima oleh Allah atau tidak, karena itu rahasia Allah. Tapi dalam beribadah/beramal Allah telah memberikan rambu-rambunya, berupa Al-Qur`an dan Hadits. Kalau kita dalam beribadah berpegang pada keduanya, maka amal kita Isya Allah diterima.
Dasar/ dalil sampainya kiriman pahala kepada si mayit, banyak sekali dan soheh antara lain,
1. Dari Ibnu Abbas r.a. berkata, telah datang laki2 kepada Nabi SAW,dan bertanya,
يارسول الله إن أمي ماتت وعليها صيام شهر افاقضيه عنها ؟ قال نعم, لو كان علي امك دين أكنت قاضيه عنها ؟ قال نعم,قال فدين الله أحق أن يقضي. رواه مسلم.
Artinya, Wahai rosulallah sesungguhnya ibu saya telah meninggal dan atasnya hutang puasa romadhon, apakah boleh saya bayar puasa untuk dia ? jawab rosul, Seandainya ibumu mempunyai hutang apakah kamu bayar hutang ibumu ? jawabnya ya, kemudian rosul bersabda, maka hutang terhadap Allah (puasa) lebih berhak untuk dibayar. HR. Muslim.
2. Bahwa laki2 bertanya kepada Nabi SAW,
كان لي ابوان ابرهما حال حياتهما, فكيف لي ببرهما بعد موتهما ؟ فقال النبي (ص) إن من البر بعد الموت ان تصلي لهما مع الصلاتك وتصوم لهما مع الصيامك . رواه الدرقطني
Artinya, Saya mempunyai dua orang tua yang saya berbakti kepada keduanya di masa hidupnya, maka bagaimana saya berbakti kepada keduamya setelah matinya ? Nabi menjawab, Sesungguhnya termasuk berbakti kepada kedua orang tua setelah meninggal,hemdaknya kamu sholat untuk keduanya bersama sholatmu dan dan berpuasa untuk keduanya bersama puasamu. HR. Darukutni. Bersambung….
3. وقد استدل الفقهاء علي هذا بان أحد الصحابة سأل رسول الله صلعم فقال له يارسول الله انا نتصدق عن موتانا ونحج عنهم و ندعولهم هل يصل ذلك اليهم ؟ قال نعم, انه ليصل اليهم وانهم ليفرحون به كمايفرح احدكم بالطبق اذا أهدي اليه.
Sesungguhnya ahli fiqh telah berargumentasi atas kiriman pahala itu dapat sampai ke orang yang sudah meninggal, dengan hadits bahwa Sesungguhnya ada seorang sahabat bertanya kepada rosulallah SAW, tanyanya, wahai rosullah sesungguhnya kami bersedekah untuk keluarga kami yang telah meninggal,kami melakukan haji untuk mereka, dan kami berdo`a untuk mereka, apakah pahalanya dapat sampai kepada mereka ? Rosulallah bersanda : ya, Sungguh pahalanya pasti sampai kepada mereka, dan sesungguhnya mereka benar2 bergembira sebab kiriman pahalanya itu, seperti gembiranya seseorang di antara kamu sebab hadiah yang dikirimkan kepadanya.”
Dalil tahlilan yang sudah menjadi tradisi kalangan nahdiyyin, seperti 7 hari, 40 hari dsb.
yang mempunyai tujuan untuk menghibur keluarga mayit sekaligus, berkirim pahala untuk mayit dan mengambil ikhtibar bahwa kita juga akan menyusulnya (meninggal). dan sekali lagi ini bukan merupakan kewajiban.
Dalilnya adalah,
قال طاوس ,إن الموتي يفتنون في قبورهم سبعا فكانوا يستحبون أن يطعموا عنهم تلك الايام الي أن قال عن عبيد ابن عمير قال يفتن رجلان مؤمن ومنافق فاما المؤمن فيفتن سبعا و أما المنافق فيفتن أربعين صباحا
Artinya :
Artinya :
Imam Thowus berkata : Sesungguhnya yang mati akan mendapatkan ujian dari Allah dalam kuburnya selama 7 hari, untuk itu sebaiknya ( yang hidup ) mengadakan jamuan makan ( untuk bersedekah ) untuknya selama hari2 itu. Berkata juga Shohabat Ubaid ibnu Umair : Seorang mukmin dan seorang munafik sama2 akan mengalami ujian dalam kuburnya.Untuk orang mukmin akan mendapat ujian selama 7 hari dan bagi orang munafik akan mendapat ujian selama 40 hari di waktu pagi.
Jika suatu amaliyah sudah menjadi keputusan atau atsar/ amal shohabat ( yaitu Shohabat Thowus ) maka hukumnya seperti hadits mursal yang sanadnya sampai kepada Tabi`in, dan dikategorikan Shoheh dan telah dijadikan hujjah mutlak ( tanpa syarat ), ini menurut tiga Imam ( Imam Maliki, Hanafi dan Hambali ).
Jadi jelaslah bahwa tahlilan ada dasarnya, bukan bid`ah dolalah/sesat, apalagi ada golongan yang mengatakan sesat ke golongan lain ( `Audzubillah min dzalik ).
Kami senang tahlil dan Anda tidak senang tahlil bagi kami sama saja. Hormat menghormati itu yang harus di kedepankan.
Mohon kepada rekan2 komentator topik ini bukalah kitab jangan hanya satu kitab yang jadi acuan berkomentar, sehingga kita bisa membuka hati kita dan tidak membid`ahkan orang lain/golongan lain. Terima kasih.
Imam Syafi’i juga melarang acara tahlilan dan yasinan, silahkan lihat disini
http://wahonot.wordpress.com/2008/11/19/fatwa-imam-syafii-tentang-kenduri-arwah-tahlilan-yasinan-dan-selamatan/
Yang jelas, bid’ahnya acara tahlilan terletak pada tata-caranya (yang tidak ada dalilnya), jumlah bilangannya (juga tidak ada dalilnya), dan juga menngunakan dalil-dalil yang anda gunakan semuanya merupakan dalil muthlaqah, sedangkan acara tahlilan membutuhkan dalil khusus yang memang menjelaskan tata-caranya.
Dan jangan lupa bahwa membaca tahlil itu termasuk ibadah qurbah, maka kembali kepada prinsip ushul fiqh bahwa, “Setiap perkara ibadah hukum asalnya haram, kecuali ada dalil yang memerintahkan atau membolehkannya. Sedangkan setiap perkara mu’amalah hukum asalnya boleh kecuali ada dalil yang melarangnya.” Siapa bilang kembali kepada tradisi.
–> Tidak ada imam Syafii melarang majelis dzikir (yasinan atau tahlilan). Itu hanya rekayasa anda atau kelompok anda saja.
Tunjukkan kepada kami hal-hal yg menyebabkan larangannya. Tunjukkan kepada kami dalil larangannya. Jika tak bisa, maka anda telah mengharamkan hal yg tak terlarang menurut syariat. Mengubah2 syariat adalah bid’ah sesat itu sendiri.
Untuk sdr Abu Fauzan, komentar # 34,
Sebelumnya saya akan menjelaskan makna tahlilan, Tahlilan berasal dari kata هلل – يهلل- تهليلا berarti membaca laa ilaaha illallah, sedangkan tahlilan itu sendiri bermakna bacaan لا اله الا الله .Kalau dita`rif dapat bermakna suatu acara yang didalamnya terdapat bacaan laa ilaaha illallah.
Tahlilan itu sendiri sesungguhnya adalah dzikir ( ذكر الله )tapi dikalangan masyarakat Indonesia lebih masyhur di sebut tahlilan saja.
Seperti kata sholat,populer/masyhur di kalangan jawa disebut sembahyang.
Tahlilan, yang selanjutnya saya sebut dzikir /dzikrullah (saya kembalikan ke kata asalnya/makna asal), itu mempunyai banyak dalil.
Berkata Syeh Muhammad Khusnin mahluf rohimahullahu ta`ala : اعلم ان ذكر الله تعالي علي الطريقة الشريعة من افضل الأعمال واعظم القربات التي حث عليها الشرع لما له من جميل الأثر في تهذيب النفوس واطمئنان القلوب و استنزال الرحمات وقمع الشهوات سواء كان سرا او جهرا قياما او قعودا وسواء كان الذكر منفردا او في جماعة لعمو م قول تعالي : ألا بذكر الله تطمئن القلوب وقوله فالذكروني أذكركم
Artinya :
Ketahuilah, Bahwa dzikrullah adalah berjalan di atas jalan syareat, ia merupakan sebaik2nya amal dan sebesar2nya pendekatan diri kepada Allah. Syareat (agama) menganjurkan berdzikir karena dzikir mempunyai manfaat (atsar) dalam membersihkan nafsu, menjadikan hati tenang,menyebabkan turunnya rahmat Allah,dan dapat mengendalikan syahwat. Sama saja berdzikir dengan pelan (siri) maupun keras (jahar),dengan berdiri ataupun duduk dan sama saja berdzikir sendirian (munfarid)atau berjamaah, karena berdasarkan keumuman firman Allah,” Ketahuilah, dengan berdzikir kepada Allah
menjadikan hati tenang, dan firman yang lain ,” berdzikirlah kamu kepada saya maka saya akan berdzikir (mengingatmu).
Dalam dzikir (tahlilan) biasanya dibacakan Surat Alfatihah,Surat Al-ikhlas,Surat Al-falaq,Surat An-nas,Awal surat Al-Baqoroh,ayat kursi,Istighfar,Sholawat nabi,Hauqolah dan lain2 semuanya itu ada dalilnya dan merupakan kesunahan, baik bersifat umum maupun khusus.
Kekhususannya bisa saya contohkan berkaitan dengan bacaan Istighfar dan ini sangat sesuai dengan tahlilan dalam rangka kematian ,dalam kitab Abwabul faroj, hal 255, Nabi bersabda :
من لزم الإستغفار جعل الله له من كل هم فرجا ومن كل ضيق مخرجا ورزقه من حيث لا يحتسب . رواه ابو داوود والنسائ وابن ماجه والحاكم
Artinya : ,” Barangsiapa membiasakan beristighfar maka Allah menjadikan kegembiraan baginya dari segala kesusahan dan menjadikan jalan keluar dari semua kesempitan dan akan memberikan rizki dari tempat yang tak terduga. HR. Abu Dawud, Nasai,Ibnu majah dan Alhakim.
Orang ditinggal mati orang tua /suami/ kerabat akan menghadapi keadaaan seperti itu ( seperti dalam hadits), makanya dalam tahlil (dzikir) antara lain membaca Istighfar.
Dalam dzikir ( tahlilan) juga sesuai dengan namanyaو ada kalimat toyyibah(لا اله الا الله ) dan berbilang.
Dalam kitab Irsyadul ibaad ila sabiilir rosyad dalam babul Iman disebutkan,
قال رسول الله (ص) جددوا إيمانكم قيل وكيف نجدد إيماننا يارسولال الله ؟ أكثروا من قول لا اله الا الله. اخرج أحمد و الحاكم
والطبراني عن أبي الدرداء : ليس من عبد يقول لا اله الا الله مائة مرة الا بعثه الله يوم القيامة ووجهه كالقمر ليلة البدر……او زاد
عن الشيخ أبي زيد القرطبي قال سمعت في بعض الأثار أن من قال لا اله الا الله سبعين ألف مرة كانت له……و
Artinya :
Bersabda Rosulullahu SAW,” Perbaharuilah iman kamu semua. Rosul ditanya,”bagaimana kami memperbarui iman kami ya Rosulallah? Jawab Rosul,” Pebanyaklah dari ucapan laa ilaaha illallah. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Alkhakim.
Hadits ini menerangkan kita disuruh memperbanyak ucapan laa ilaaha illallah, disitu disebutkan Aktsiruu ( أكثروا / perbanyaklah )tidak ada batasan berapa banyaknya.
Hadits dari Imam Thobroni dari Abi Darda, rosul bersabda,”Tidaklah daari seorang hamba mengucapkan laa ilaaha illallah 100 kali kecuali akan dibangkitannya pada hari qiamat dan wajahnya seperti bulan purnama……..atau membaca lebih dari itu.
Disini ada `adad / jumlah bilangan bacaan kalimat toyyibah 100 kali bahkan boleh lebih.
Dari Syeh Abu zaid Al-Qortubi berkata saya mendengar sebagian hadits bahwa barangsiapa membaca laa ilaaha illallah 70.000 kali maka baginya ……dst.
Hadits ini juga menunjukkan `adad/bilangan bacaan.
Dalil2 seperti ini banyak sekali yang menunjukan manfaat dari misalnya bacaab tahlil, tasbih, tahmid, takbir dan bilangan2 bacaannya masing2, bahkan disini di Saudi ada kitab kecil tentang dzikir habis sholat ( الأذكار بعد الصلاة ) yang isinya banyak kemiripan dengan tahlil, dan juga bacaannya berbilang.
Dengan dalil apa saudara mengatakan dzikir berbilang (jumlah bacaannya) tidak ada dalam hadits.Coba sebutkan dalilnya.
Hadits2 di atas tersebut, hanya sedikit bagian dari hadits2 yang menerangkan bacaannya berbilang, masih banyak lagi hadits2 lainya. Kalau disebutkan disini semuanya, namanya NGAJI.
Dzikir yang tersebut dalam hadits2 di atas tidak disebutkan / ditentukan,dalam kondisi bagaimana dibacanya dan kapan waktunya.Karena begitulah sifat dzikir berbeda dengan ibadah yang lain sudah ada ketetapan waktu dan tempatnya serta tata caranya.
Misalnya, Haji ,waktunya jelas dalam bulan dzulhijjah dan tempatnya di makkah,tata caranya juga jelas. Sholat, waktunya ditentukan dzuhur, asyar….,caranya juga jelas…. dst,demikian juga puasa dan zakat.
Kemudian ada ibadah lain yaitu dzikir dan shodaqoh (diluar zakat), tidak ditentukan waktunya, tempatnya dan caranya.
Boleh orang berdzikir di masjid,di rumah, dipasar (cara siri),di kantor dll, tidak ada ketetapan harus berdzikir,waktunya bebas dan caranya bebas, boleh berdiri, duduk,dikendaraan dll seperti kata syeh yang telah saya sebutkan.
Demikian juga dengan shodaqoh (diluar zakat),boleh banyak atau sedikit (tidak Bernisob dan haul), boleh pagi,siang,malam, boleh sodaqoh sirri atau alaniah, boleh dengan seyuman,boleh dengan harta,tenaga,bahkan dengan do`a,boleh dengan ilmu dsb.
Disana (dzikir dan shodaqoh)tidak ada ketetapan syar`i berupa waktu,tata caranya, dan tempatnya, dengan ketetapan yang ketat seperti sholat,puasa dan haji yang berupa syarat2 dan rukun2nya.
Karena begitulah sunah mengajarkan kepada kita. Jadi dengan sunah itu sendiri memberi peluang kebebasan dalam berdzikir dan shodaqoh berdasarkan keadaannya masing2.
Tapi yang jelas ada kesamaan berupa niat dan keihlasan dalam beribadah.
Kemudian saya sebutkan hadits berkaitan kiriman pahala,
من مر علي المقابر ” قل هو الله احد ” إحدي عسرة مرة ثم وهب اجرها للأموات أعطي من الأجر بعدد الأموات
Artinya :
Barangasiapa yang melewati pekuburan dan membaca Qul huwallahu ahad 11 kali kemudian ia memberikan pahalanya kepada orang yang mati maka ia (mayit) mendapat pahala sebanyak orang2 yang telah mati.
Dalam kitab fawaid disebutkan,
عن ابي هريرة قال قال رسو ل الله ( ص ) من دخل المقابر ثم قرأ فاتحة الكتاب و قل هو الله احد و الهاكم التكاثر ثم قال اني جعلت ثواب ماقرأت من كلامك لأهل المقابر من المؤمنين والمؤمنات كانو شفعاء له الي الله تعالي
Artinya :
Dari Abu Huraeroh berkata, Rosullullah bersabda,” Barangsiapa masuk pekuburan kemudian membaca surat Fatihatul kitab,dan Qul Huwallah dan Alhakumut takaatsur, kemudian berkata sesungghnya saya jadikan pahala apa yang saya baca dari firman-Mu untuk ahli kubur mukminin atau mukminat. Maka mereka akan menjadi pembela baginya di hadapan Allah ta`ala.
Ibnu Taimiyah dan Ibnu Jauzi (kedua tokoh ini sangat keras dalam memerangi khurafat dan bi`ah) berpendapat bahwa pahala bacaan itu (Al-Quran) dapat sampai kepada mayit.
Bacaan dzikir ( termasuk juga Alqu`an) bisa di baca di kuburan atau dirumah tergantung keadaannya.
Soal hidangan dalam tahlilan
Saya sebutkan dua hadits yang bertentangan (Ta`arudl)
1. كنا نعد الإجتماع الي اهل الميت وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة. احرجه ابن ماجه و احمد
Artinya : ,”Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan setelah menguburnya termasuk niyahah (meratapi mayit). Dikeluarkan oleh Ibnu majah dan Ahmad.
2. خرجنا مع الرسل الله ( ص ) في جنازة فرايت رسول الله ( ص ) وهو علي القبر يوصي لحافر اوسع من فبل رجليه اوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرءته فاجاب ونحن معه, فجيئ بالطعام فوضع يده ووضع القوم وأكلوا. الحديث رواه ابو داوود و البيهقي
Artinya : ,”Kita(para shahabat)keluar bersama Rosulallah SAW dalam acara janazah. Aku melihat Rosulallah di atas kubur berpesan kepada penggali kubur, lebarkan dari arah kakinya, lebarkan dari arah kepalanya. Ketika beliau pulang, beliau dijemput oleh juru undang dari perempuan (istri) mayit,beliau mengabulkan dan kami bersamanya. Maka di datangkan makanan, beliau meletakkan tangannya (untuk mengambil)dan kaum (para shahabat)juga seperti itu dan mereka makan bersama. HR Abu daud dan Imam Baehaqi.
Hadits pertama (hadits Jarir ra) mempunyai maksud adanya larangan menghidangkan makanan setelah pemakaman.
Sedangkan hadits kedua ( hadits `Ashim bin kulaib ra. ) mempunyai maksud makan hidangan dalam kematian diperbolehkan karena Rosul SAW dan para sahabat pernah makan dirumah ahli mayit setelah pemakaman.
Maka untuk mengamalkan kita gunakan qoidah :
اذا تعارض الأثبات و النفي قدم المثبت
Apabila terjadi pertentangan antara penetapan (itsbat) dan meniadakan (Nafi), maka yang didahulukan adalah yang menetapkan.
Hadits pertama TIDAK membolehkan menghidangkan makanan setelah kematian, sedangkan hadits kedua MEMBOLEHKAN hidangan dan memakannya. Maka yang didahulukan adalah membolehkan makan hidangan kematian (hadits kedua)karena ia itsbat (penetapan).
Semoga bermanfaat. Tapi kiranya ada yang belum puas, saya bisa menambah keterangan lain. Sukron lakum.
saya memang sangat setuju jika jika tahlil adalah bid’ah jika tahlil merupakan ibadah, karena hukum dasar ibadah adalah haram jika tidak ada perintah dari al quran atapun al hadis,
lain hal jika itu adalah merupakan kebiasaan atau adat istiadat, jika saja kebisaaan tersebut tidak mengandung hal yang bermamfaat atau modhorat saja, itu menurutku tetap boleh selama tidak melanggar syariat islam,apalagi jika kebiasaan tersebut di isi sesuatu yang bermamfaat atau sesuatu yang mengundang pahala. itu sangat boleh sekali…
–> Tahlil sebagai dzikir, ianya adalah ibadah (ghairu mahdah). Ibadah bukan mahdah adalah boleh-boleh saja kapan saja di mana saja, selama tak melanggar syariat.
Halo,semua yng meyakinkan bahwasanya Tahlilan itu boleh,saya ini adalah orang yng baru masuk kedalam petunjuk islam,di dalam agama sy dahulu,ada hal yng selalu menggelitik saya,bahwa Tuhan saya dahulu,disalib untuk menebus dosa2 kami yng percaya,juga termasuk dosa2 orang2 sebelum Dia lahir,melihat penjelasan2 para pakar(spt anda)kenapa timbul pertanyaan besar bagi saya lagi,sehingga saya berkesimpulan bahwasanya islam(menurut apa yng saya baca dari tulisan anda)tidak ada bedanya dengan agama saya yng dahulu,yang bisa menebus dosa orang2 sebelum dan sesudahnya,namun kali ini bentuknya saja yng berbeda,bukan penebusan,melainkan PENGIRIMAN PAHALA dari kegiatan yng namanya TAHLILAN itu,pada prinsipnya apalah beda antara PENEBUSAN DOSA dengan PENGIRIMAN PAHALA?,apakah anda memahami 2 hal diatas sebagai sesuatu yng berbeda?,dahulu saya masuk kedalam logika islam yng menurut saya sangat logik dimana “orang akan bertanggung jawab atas dirinya masing2” dan tidak adanya dosa turunan,sekarang dengan melihat tulisan anda,menimbulkan pertanyaan yng besar bagi saya,apakah cara saya memahami islam yng salah,atau anda sekalian yng lebih dahulu jadi orang islam,yng memang masih dilumuri oleh pemahaman yng salah itu?,karena hal yng perlu anda ketahui adalah di dalam agama saya dahulu,sebuah aturan(kaifiyat) dalam satu hal yng ber-nuansa ibadah(penyanjungan,gerakan2 tubuh tujuannya kepada Tuhan)semua dilakukan atas maunya dan enaknya kita,kita tidak pernah diajarkan pola pensucian tubuh sebagaimana islam mencontohkan ketika hendak sholat dengan berwudhu,lalu bacaan2 memulai sholat,bacaan2 di dalam sholat,bacaan2 setelah sholat,semua dicontohkan oleh keterangan2 yng jelas yng bersumber dari nabi,kalau saya membaca tulisan2 anda,saya melihat islam yng anda fahami,tidak lebih dari kami memahami agama kami dahulu,dimana dosa bisa ditebus(pahala bisa dikirim) dan beribadah kpd Tuhan tanpa petunjuk pelaksanaan yng jelas dari nabi.
Namun,sebagai orang yng berasal dari agama lain dahulu,saya sangat menghargai apa yng anda tulis dan juga apa yng anda fahami,dalam kaitan ini,karena saya adalah orang yng awam didalam memahami islam selain saya minta petunjuk Tuhan melalui anda,saya juga akan meminta WARRANTY(jaminan) dari anda,bahwa apa yng anda tulis itu,anda mau bertanggung-jawab di akherat kelak,atas kebenarannya dan kebolehannya! saya minta jaminan itu,sukur2 anda berani memberi jaminan tsb,dan pasti saya akan menjalani spt apa yng anda semua fahami dan lakukan.
Sekarang namaku sudah berganti menjadi faturahman.
Oh ya,jangan lupa statement jaminan anda itu! saya tunggu!,kalau anda tidak berani memberi warranty itu,saya berteory di dalam fikiran saya,bahwasanya anda hanya berani nulis saja,tetapi setahu saya tentang Tuhan saya yng sekarang ini(Allah),tidak ada yng luput dari pandangannya sekecil apapun jua.
Salam
Bernardus Beng alias Faturahman
–>Tentu saja kami bertanggung jawab dengan kata-kata n hujah2 kami. Demikian ilmu yg kami pelajari dari para ulama.
Assalamu’alaikum.
kepada Mas Fathurrahman. Alhamdulillah, anda telah mendapatkan hidayah Islam dan semoga Allah menjadikan anda dalam golongan yang selamat dari berbagai perbuatan tercela, hina, dan tidak diridhai-Nya.
tetaplah berpegang teguh kepada al-Qur’an dan Sunnah serta pemahaman yang telah dijalankan oleh 3 generasi terbaik dari umat ini. Jangan anda sampai tergoda untuk melakukan kebathilan dan kesesatan dalam menjalankan agama Allah yang sangat sempurna, tetaplah di atas manhaj Rasulullah dan para sahabat.
sebagai suatu kebaikan, saya sampaikan sebuah hadits dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:
Dari Sahal bin Sa’ad diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda: “Aku adalah pendahulu kalian menuju telaga Haudh. Siapa saja yang melewatinya, pasti akan meminumnya, dan barangsiapa yang meminumnya, niscaya tidak akan dahaga selamanya. Nanti akan lewat beberapa orang yang melewati diriku. Aku mengenali mereka dan mereka juga mengenaliku, namun mereka terhalang menemui diriku. Aku berkata: “(Ya Rabb) mereka termasuk golonganku”. Namun muncul jawaban (dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla): “Engkau tidak mengetahui bid’ah yang mereka ciptakan sepeninggalmu”. Akupun berkata: “Sungguh bodoh! Sungguh bodoh orang yang berbuat bid’ah sepeninggalku”. (HR. Bukhari, no. 6583; Muslim, no. 2290 dan 2297).
juga saya kutipkan ucapan dua Imam, Imam Malik bin Anas mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah dalam Islam lalu ia menganggap bid’ah itu sebagai kebaikan, berarti ia telah beranggapan bahwa Nabi Muhammad saw., itu telah mengkhianati kerasulannya. Ketahuilah, apa yang bukan merupakan agama pada masa beliau saw., hidup, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, I/65).
Imam Ahmad bin Hanbal juga menyatakan, “Pondasi ahlus Sunnah menurut kami adalah berpegang pada jalan hidup para sahabat Rasulullah saw., mengikuti ajaran Rasulullah saw., dan meninggalkan bid’ah karena setiap bi’ah adalah sesat, meninggalkan pertikaian dan jangan belajar bersama ahli bid’ah dan tidak melakukan perdebatan dan adu argumentasi yang hanya merusak agama”. (Syarah Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Imam al-Lalika’i, I/176).
Demikian, semoga kita dapat meneladani Rasulullah saw., dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, dan menghindarkan diri dari perbuatan bid’ah juga ahlinya. Wallahu a’lam bish-shawwab.
mas Faturrahman,
waspadalah pada pemikiran2 dangkal dalam Islam.
sebenarnya bukan Islamnya yg dangkal, tapi ada sementara orang/golongan tertentu yg menfsirkan Islam dengan pemahaman yg sangat dangkal..
Ada anjuran Islam untuk berzikir mengingat Allah, tapi jangan bingung jika anda akan disalahkan oleh sekelompok orang Islam ketika anda berzikir di waktu dan tempat tertentu..
jangan bingung pula jika anda bertemu dengan sekelompok orang yg merasa paling benar, namun mereka telah merubah redaksi kata/memalsu/menghilangkan/mengedit beberapa kalimat dalam kitab2/buku2 Islam..
sehingga maksudnya sudah berbeda dengan maksud sang penulis..
jangan bingung pula jika anda dipaksa meyakini MATAHARI lah yg MENGELILINGI BUMI, dan dicap sesat jika meyakini sebaliknya..
Subkhanalloh, , , sungguh anda sangat beruntung diberi petunjuk menjadi ISLAM. Tetap istiqomah, karena sesungguhnya hidayah lebih mudah datangnya daripada menjaganya. Saya dilahirkan muslim, jujur orang tua saya juga ahlul bid’ah. Sungguh sebagai muslim dahulu saya tidak merasa setentram sekarang. Dulu ikut membenci orang orang ahli sunnah yang mengatakan ini dan itu tidak boleh, Namun saya terus berdoa agar Allah memberikan jalan yang lurus bagi saya, yaitu jalan yang menuju syurga Nya. hari hariku diisi dengan facebook, internet. sampai suatu ketika tidak sengaja saya menemukan website dari harun yahya, mengenai turunya Nabi Isa, , , dan saya melihat banyak ulama dari kristiani sera orang orang amerika masuk Islam. disitu saya menangis. betapa bodohnya saya yang terlahir Islam tapi banyak yang saya tidak tahu. kemudian keinginan saya kuat untuk mencari Ilmu yang haq, diiringi doa agar mendapatkan ilmu yang haq ( karena saya tahu banyak ilmu Islam yang melenceng). sampailah pada ahirnya saya membaca tentang hadits nabi yang intinya ” umatku akan terpecah menjadi 73 golongan, yang 72 akan masuk neraka dan hanya 1 yang masuk surga. yaitu yang mengikuti Al Qur an dan as sunnah, serta para Khulafaur rosidin.” Dari situ aku semakin hati hati dalam memahami artikel. Meskipun bingung aku mengambil jalan aman, yaitu aku lebih setuju kepada yang membid’ahkan tahlilan dll. alasan saya waktu itu ” Pokoknya saya tidak mau neraka”. Jadi dengan tidak melakukan paling tidak saya aman. seandainya memang benar tahlilan dll itu tidak berdosa toh kalo tidak melakukanpun juga tidak berdosa. kalo memang harus berdoa, bukankan kita bisa mendoakan ketika sujud, selepas sholat. dan yang jelas ada aturanya. Tapi bayangkan kalo bid’ah itu dosa tentu kita akan sangat merugi hanya karena mempertahankan tradisi dan pendapat yang terkadang pendapat itu disisipi hawa nafsu syaitan. sejak saat itu saya mengambil kesimpulan bahwa para ulama salaf lah yang pantas aku jadikan rujukan, karena mereka benar benar berpegang kepada Al qur an dan sunnah , mencontoh para sahabat. Sejak saat Itu demi Allah selain ketentraman yang saya rasakan, semua menjadi begitu mudah, termasuk rizki yang datang tidak disangka sangka. juga penyerahan jiwa seutuhnya kepada Allha. Rasa takut atap setiap kata yang terucap, karena sadar bahwa semua itu akan dipertanggung jawabkan kelak. Sekarang aku benar benar yakin bahwa yang aku pilih bukan hanya “jalan aman” tapi aku yakin itulah kebenaran”. Demikian cerita ini aku share Insya Allah bukan bermaksud “ria” namun semata mata karena rasa syukur atas pertolongan Allah, dan karena rasa senang melihat anda masuk Islam. Semoga diberi petuntuk yang benar. Aamiin. dan masalah jaminan, saya yakin anda termasuk orang yang pintar, karena itu anda masuk Islam. dengan penulis mengatakan “menjamin” maka sempurnalah ketidak tahuan dia. karena dalam al qur’an jelas tertulis tidak ada yang dapat menjamin kelak diakhirat kecuali diri masing masing.
Salam alaikum,
Penulis harus mencermati apa yng saudara kita,Beng tanyakan,dia meng-amsalkan tentang sebuah rumus segitiga,yng dia tuntut itu adalah garansi anda terhadap teory anda yng disandarkan atas para ulama tersebut,bukannya tanggung jawab seperti apa yng anda maksud,kalau bisa saya fahami dari pertanyaan saudara beng,ada semacam DOUBLE WARRANTY,yaitu semacam garansi TOKO gitu,itu artinya,selain garansi pabrik(para ulama yng anda maksud) sdr Beng juga meminta garansi toko(pribadi anda)sebagaimana seorang yng bernama KOKO menulis pada sanggahan atas tulisan anda ini,jadi kita juga harus memahami apa yng dimaksud oleh kedua pe-respons tulisan anda mengenai tahlilan ini,sebab dari apa yng saya baca dari ats,saya tidak mendapati dalil anda tentang perbuatan tahlilan yng kita maksudkan,anda hanya menyandarkan secara dalil suatu perbuatan(mungkin dari rasul,jika memang hadits tsb shahih) yng essensinya tidak seperti tahlilan yng anda maksudkan.
Wallahu a’lam !
salam
ABU IMRAN
–> Kami berusaha memaparkan ilmu yg kami punyai. Referensi rujukan kitab ataupun sumber kami tampilkan.
Sumpah sungguh berat bagi kami. Kami hanya berharap ridlo-Nya. Dan kami tak tahu (belum menguasai) masalah sumpah menyumpah. Jadi maaf… kami tak kan layani.
Salam alaikum,
Terimakasih atas jawaban anda,kalau boleh saya sarankan,adalah lebih baik lagi,jika anda juga menampilkan referensi yng menolak perbuatan tsb,sehingga pembaca lebih bisa memilih cara berfikir yng mana yng cocok dengan alam fikiran pembaca,sehingga terlihat lebih netral,adalah sebuah resiko di kritik dan diminta tanggung jawab,ketika kita menulis tentang satu makalah,yng hanya dari satu sisi sudut pandang,sebab sudah pasti para pembaca juga berkesimpulan anda adalah lawan mereka,sebuah referensi yng baik setidaknya tidak membahas dari sisi pro nya saja tetapi juga di bahas dari sisi yng kontra,apalagi masalah tahlilan yng sangat membuka peluang terjadinya perbedaan,sejauh ini saya melihat,belum ada usaha peng-kafiran satu dengan yng lainnya,kalau saya membaca tulisan sdr KOKO yng menganggap hal spt ini adalah sesuatu yng lebih berbahaya dari perbuatan yahudi,juga masih bisa diterima akal alasan tuduhannya,kata ujungnya adalah baik penulis maupun sdr KOKO semuanya terlihat berjuang mempertahankan sunnah rasul,KOKO lebih ber-hati2 sementara penulis juga memiliki sandaran yng lumayan bisa dijadikan pertimbangan(jika tdk bertentangan dng nash al-qur’an)
Wallahu a’lam
wassalam
ABU IMRAN
saya rasa lebuh baik anda bercermin siapa diri anda dan apa yg sdh anda perbuat untuk agama anda.
Saya lah yang benar ! (dari beberapa tulisan diatas) ma’af.
Nafsu , jangan dikuasai nafsu, akhirnya jadi kesombongan.
Hanya Allah yang tahu salah dan benar.
Beribadah sesuai keyakinan masing – masing.
Semoga didunia ini damai,
Kasih dan sayang sesama umat manusia semoga terjaga, kita
terlahir tidak tahu apa keyakinan yang akan kita pegang.
Semua kok pada ladenin orang yang ngomong sembarangan masalah bid’ah.. mereka itu hanya belajar sediri dari buku-buku terjemahan..hehe.. saya kasihan banget dengan yang begitu.
Assalamu’alaikum..,saya ingin sekali mengetahui lebih dalam tentang dalil-dalil,alasan orang yang pro dan kontra dengan tahlilan. untu itu saya ingin partisipasi yang pro dan kontra menghubungi saya di nmr:081378969837. atas nama Rian.terima kasih.Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Rasulullah saw. bersabda: “Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)
setahu saya hadits diatas berkenaan dengan majelis ilmu dimana orang-orang berkumpul mengkaji islam, adapun berkumpul/bermajelis dengan maksud membaca kalimat Tahlil secara bersama-sama di komando seorang imam, ini kenapa tidak ada asalnya? Jika memang ini baik kenapa tidak pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu atau para imam mahzab ? Dan setahu saya masyarakat yang mengikuti tahlilan tidak tahu jika tahlilan itu tidak wajib sehingga tahlilan diberlakukan menjadi ibadah wajib dalam setiap momen kematian, selametan, syukuran, malam jumatan dsb. Jadi Gimana ulama-ulama NU menyikapi hal ini ? Sudahkah mereka menjelaskan bahwa setiap kematian tidak harus diadakan tahlilan ? Gimana nih bos ??
–> Hadits di atas banyak dikutib di berbagai buku/kitab yang menerangkan tentang keutamaan dzikir. Memang majelis ilmu termasuk majelis dzikir, namun majelis yang mengucap kalimat2 dzikir adalah majelis dzikir juga.
Tidak ada yang mewajibkan tahlilan pada setiap kematian. Itu hanya angan-angan anda saja. Mewajibkan yang bukan wajib adalah bid’ah sesat. Demikian pula .. mengharamkan dzikir yg merupakan ibadah sunnah adalah sesat pula. Tahlilan adalah dzikir dengan kalimat tahlil sebagai dzikir utamanya. Sebagaimana saya tulis di awal-awal komentar.
Jika anda keberatan bahwa dikomando dll adalah dilarang karena tak sesuai contoh Nabi saw/tak ada asalnya, maka pertanyaan kami (sebagaimana berulang kali kami tanyakan), berikan kami contoh acara dzikir yang sesuai contoh Nabi saw di zaman ini. Praktekkan. Berikan dalilnya.
Sedangkan saya kira masalah dikomando dll itu hanyalah usaha/ teknik agar suara menyatu sehingga menambah kekusyu’an. Yang belum hapal/ tahu lafadz tetap bisa mengikuti. Dll.
Wallahu a’lam.
AsLm…menarik sekaLi..
aku suka…
mas/pak..makasih…
memang berdzikir dengan kalimat tahlil bagi saya tidak ada masalah, kita semua dapat melakukannya setiap saat, tidak ada larangan dengannya. Lalu bagaimana menurut ulama terdahulu khususnya para Imam mahdzab apakah ada acara tahlilan sebagaimana yang ditekuni oleh orang-orang sekarang, dan dari kecil saya ikut tahlilan hingga kini saya tidak tahu ajaran dari siapa acara tahlilan dan yasinan itu ? Adakah kitab ulama yang membahas atau memberikan petunjuk tata caranya seperti yang sudah mentradisi di saat ini ? ataukah tahlilan ini hanya bertsifat regional di indonesia saja khususnya di jawa ?
–> Syukurlah kl anda mengatakan tak ada masalah dalam dzikir.
Ada buku petunjuk tahlilan, namun itu hanyalah panduan, agar peserta lancar melafadzkan dan mengikuti majelis dzikir ini. Tak ada aturan yg mewajibkan harus ini harus itu. Pengalaman di berbagai daerah, pelaksanaan tidak sama persis.
Bagi kami, di manapun majelis dzikir ini populer/ada, alangkah mulianya para ulama (baik terdahulu maupun terkemudian) anonymous yg telah berjuang berdakwah dan mengajarkan masyarakat tentang dzikir ini.
wallahu a’lam.
assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
TAHLILAN mempunyai 2 MAKNA: yang pertama adalah mengucapkan kalimat Laa Ilaaha Illallah, dan yang kedua adalah “upacara peribadatan”. Mengapa saya katakan “upacara peribadatan” (BUKAN ADAT!!!) karena dalam upacara itu ada bacaan2 dari Al-Qur’an dan ada do’a2, sedangkan adat… adat nenek moyang bangsa kita adalah animisme dan dinamisme / hindu…
kalau saja mereka memahami makna Laa Ilaaha Illallah (“TIDAK ADA ILAH (Yang patut ditaati) kecuali Allah”) yang mereka ucapkan beratus2 kali bahkan beribu2 kali, pasti mereka akan meninggalkan upacara tersebut. Makna dari ucapan Tahlil itu adalah: Tidak ada yang patut ditaati/disembah kecuali Allah, tidak boleh ada segala bentuk peribadatan, kecuali aturan dari Allah…
jadi jangan pernah mengatakan “mana dalilnya jika dilarang?”, untuk urusan ibadah, semua bentuk yang ber”bau” Islam adalah DILARANG, kecuali jika ada perintahnya. adapun Dalil LARANGAN2 di dalam Al-Qur’an maupun Al-Hadits adalah untuk MENEGASKAN bahwa hal itu HARUS SEGERA DIJAUHI…
wahai saudara2ku, kembalilah ketika pertama engkau masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimah syahadah yang salah satunya adalah TAHLIL (Laa Ilaaha Illallah / Tidak ada Ilah kcuali Allah). dalamilah maknanya, niscaya engkau akan menemukan dirimu yang sebenarnya, ikutilah kejujuran hatimu, jangan ikuti hawa nafsumu…
wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh…
–> Wa’alaikum salam wrwb.
Saya tidak tahu apa yang anda maksud dgn istilah “upacara peribadatan”. Jika itu adalah suatu majelis yang berisi bacaan2 dari Al-Qur’an dan ada bacaan dzikir serta do’a2 di dalam majelis, maka inilah termasuk majelis dzikir. Majelis dzikir adalah majelis penuh keridlaan dari Allah swt.
Kemudian mengenai ini,
OK.. sebelum mererapkan utk orang lain, terapkanlah untuk diri sendiri terlebih dahulu. Adakah dalil perintahnya atas kriteria anda ini? Ini kriteria aneh. Apalagi tak cocok untuk ibadah-ibadah sunnah.
Bagi kami sudah jelas sebagaimana tanggapan di awal2 komentar. Melarang/mengharamkan perkara yg bukan haram (apalagi ibadah sunnah, seperti dzikir) tanpa dalil adalah bid’ah sesat itu sendiri. Karena itu adalah mengubah-ubah hukum syariat, yg ibadah sunnah diubah menjadi haram menurut hawa nafsunya sendiri tanpa alasan yang syar’i.
Saya setuju dengan saudara Lyon, kalo seorang muslim sudah memahami arti “Laillahaillallah, hanya mentauhidkan Allah dan ada semangat kuat memohon kepada Allah agar diberi petunjuk yang benar, jangan kedepankan akal tapi takutlah hanya kepada Allah jika memang bena benar hanya Allah tujuan kita insya Allah, allah akan membuka, pendengaran, hati dan pikiranya seperti dalam hadiits “Hambaku tidak henti henti mendekati Aku dengan ibadah sunnah sehingga Aku mencintainya, maka ketika aku mencintainya Aku menjadi pendengaranya yang ia gunakan untuk mendengar, menjadi penglihatanya yang ia gunakan untuk melihat, menjadi tanganya yang ia gunakan untuk berbuat, dan menjadi kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Seandainya ia meminta kepadaku niscaya akan Kuberi dan seandainya dia memohon perlindungan-Ku pasti aku akan melindunginya. (hr. Bukhari)
Kalo kita benar benar mencintai Allah, ketika membaca atau mengetahui bahwa apa yang kita perbuat ternyata salah pasti sangat takut, kemudian berfikir mencari dalil sambil terus berdoa kepada Allah agar dibukakan kebenaran yang nyata, bukan mencari dalil yang sesuai dengan akal untuk kemudian tidak peduli dengan dalil lain yang jelas shohih bahkan dikuatkan dengan Al Qur’an. Saya rasa dengan jika kita benar benar menggunakan akal sehat pasti tidak akan dijadikan dalil dibolehkanya tahlilan.
Rasulullah saw. bersabda: “Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)
alasanya:
1. saya saja yang bukan ahli bahasa memahami kalimat itu bahwa yang dimaksud dzikir disini bukan tahlilan seperti yang dilakukan sekarang
2. La kalo memang yang dimaksud itu dzikir seperti yang dilakukan sekarang, kenapa Rosululloh yang bersabda ko tidak melakukan.
Jangan tertipu oleh nafsu, akal disisipi nafsu. Katanya tidak ada Tuhan selain Allah, kenapa ketika dihadapkan pada fakta ” antara tradisi/akal dan dalil/sunnah/ contoh nabi ko yang dipilih tradisi/akal. Terus lari lagi dengan Wali” kenapa wali melakukanya? ” Wallohu a’lam. apa tujuanya. tapi kalo kita ditanya ” Nabi Muhammad tidak melakukan sedangkan Wali melakukan” apakah anda akan memilih melakukan karena wali melakukan, berarti anda mengatakan wali yang benar Nabi salah? Kenapa kita diperbudak nafsu. Apakah nafsu kita lebih besar dari ketakutan kita kepada Allah? Tentang Wahhabi, , kalo menurut kalian dia mengkafirkan orang, jika kalian tahu ajaranya niscaya kalian mengerti.” Tidakkah kalian lihat meski wahhabi ( istilah kalian) tidak setuju dengan tahlilan, maulid. pernahkan mereka menghentikan acara maulid kalian? pernahkan mereka mendzolimi kalian? Lalu mereka menyeru kepada yang haq, itu karena kewajiban amar ma’ruf nahi munkar ada dalam al qur an yaitu surat ali Imron, tapi ketika kalian menolak, pernahkan wahhabi memaksa atau mengatakan secara langsung “kamu kafir”. Amar ma’ruf dilakukan antara lain untuk menggugurkan kewajiban, sehingga kelak kita tidak dipersalahkan karena diam sedang kita tahu seseorang dalam kesalahan. namun jika kalian tidak menerima, tentu wahhabi tidak memaksa, karena sungguh jika Allah tidak berkehendak sebanyak apapun kita menerangkan niscaya kalian tidak akan meneriman.
Walloa’lam
Wahai saudaraku,
Jangan khawatir soal menerapkan syari’at Islam kepada diri sendiri. BETUL sekali yang anda katakan bahwa kita harus menerapkan apa yang kita yakini pertama2 kepada diri kita dulu, kemudian kepada keluarga kita, kerabat dekat, kerabat jauh, lalu baru kepada saudara2 kita yang lain (termasuk anda).
Pertama2 saya batasi dulu bahwa kita sedang membahas “tahlilan” yang maksudnya adalah upacara peribadatan untuk mendo’akan orang yang sudah meninggal. Sedangkan masalah majlis dzikir, saya tidak akan membahas karena belum menguasai materi ini penuh.
Dalil untuk kriteria di atas sangatlah mudah bahkan mungkin anda selalu membacanya beratus2 kali atau beribu2 kali, akan tetapi mungkin hanya sekedar membaca saja atau menghafal sehingga belum memahami maknanya secara mendalam yaitu: Laa Ilaaha Illallah… Dalam kaidah bahasa arab, penekanan kata diletakkan di awal kalimat, dalam hal ini adalah LAA (TIDAK/TIDAK ADA). Maknanya adalah, kita harus meniadakan tuhan2, sesembahan2, peribadatan2, dan seterusnya… Setelah menghapus segalanya maka barulah kita memberi pengakuan bahwa hanya Allah saja. Meniadakan Tuhan2, sesembahan2 berarti pula bahwa kita harus mengubur dalam2 segala bentuk peribadatan2, kemudian barulah kita mengambil syari’at2Nya. Sehingga hanya syari’atNya sajalah yang diridhai.
Mengenai “tahlilan” dalam arti kata upacara peribadatan untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia, sebenarnya tidak pernaah dilakukan oleh Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wa Saallama maupun para sahabat atau para tabi’in. Upacara ini menurut sejarah, mulai terjadi ketika para wali berda’wah ke dataran jawa yang mana pada saat itu masyarakatnya (nenek moyang kita) adalah penganut animisme dan dinamisme (hindu). Untuk mereka yang tertarik kepada ajaran Islam tetapi masih belum mau meninggalkan kepercayaan lamanya, maka oleh para wali dibiarkan. Salah satunya adalah upacara menghormati roh orang yang sudah meninggal dunia (mereka meyakini bahwa roh2 itu akan datang ketika hari ke-7, ke-40, ke-100, ke-1000 dst…) Mereka mengumpulkan orang2 untuk membaca mantera2, lama kelamaan oleh para wali (supaya lebih terlihat Islami) maka mantera2 itu diganti dengan bacaan2 dari Al-Qur’an maupun do’a2. Namun sayang sekali niatan para wali belum terlaksana karena mereka keburu meninggal dunia (semoga Allah Subhanahu Wa Ta’ala merahmati mereka dan mengampuni dosa2 mereka). Nah, oleh pengikut2nya yang belum mengerti niat dari para wali akhirnya diteruskan bahkan sampai sekarang dipertahankan seakan2 hal itu adalah ibadah.
Sekarang kita menengok ke zaman Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallama, selama beliau hidup, belum pernah mengadakan upacara peribadatan semacam ini padahal orang yang meninggal banyak, bahkan ketika anaknya meninggal dunia, tidak ada upacara2 peribadatan semacam ini. Maka apakah kita masih menganggap bahwa upacara ini adalah ibadah/sunnah/apa sajalah istilahnya? Kalau hal itu adalah suatu kebaikan pasti Beliau akan melakukannya, dan pasti hadits2 tentang “tahlilan” sangat banyak sekali, akan tetapi nyatanya tidak demikian…
Wahai saudaraku,
Islam telah sempurna, marilah sama2 beribadah yang diridhaiNya saja, jangan sampai kita termasuk orang2 yang mencampuradukkan antara yang haq dan yang bathil. Allah Subhanahu Wa Ta’ala menguji manusia siapa saja diantara mereka yang “Ahsanu Amala” (paling baik amalnya). Baik adalah sesuai dengan syari’atNya. Maka JANGANLAH kita mengatakan bahwa shalat zhuhur 8 rakaat lebih baik dari 4 rakaat dengan alasan bahwa yang dibaca adalah ayat2 Al-Quran dan lebih banyak bacaannya daripada yang 4 rakaat. TIDAK! Yang baik, adalah mengubur dalam2 adat lama yang tidak jelas dasar hukumnya, lalu membersihkan hati dengan sejujur2nya sambil senantiasa memohon hidayah kepadaNya.
Semoga kita semua dibukakan hatinya untuk menerima hidayah, dan jangan dikunci hatinya karena akan membuat hidup kita sengsara di dunia dan di akhirat.
Wallahu A’lam bishshawaab
–> Ok.. jadi anda setuju dimulai dari diri sendiri. Sekarang kriteria anda diukur dulu. Di mana disebutkanperintah baginda Nabi saw bahwa “semua ibadah ber”bau” islam adalah dilarang kecuali ada perintah ….” ???
Kemudian ttg bahwa Nabi tak pernah melakukan upacara peribadatan untuk orang meninggal. Kata siapa? Sedangkan istilah “upacara peribadatan” dari anda. Janganlah bikin istilah sendiri, berasumsi sendiri, dan kemudian mengukur amalan2 dengan asumsi sendiri tersebut. Kami belum pernah dengar istilah upacara peribadatan dari anda itu.
Kita pakai istilah standard dan sudah jelas definisinya.
Dalam majelis tahlil (tahlilan) .. bagian manakah yang baginda Nabi tak pernah melaksanakannya, atau tak ada dalilnya? Kalimat tahlil .. jelas haditsnya. Kalimat2 tasbih, tahmid, takbir semua jelas ada sabda Nabi saw ttg keutamaannya. Demikian juga Fatihah, al ikhlas, dan kalimat-kalimat dzikir lainnya .. yang semuanya diamalkan di dalam majelis tahlil ini. Dalam hal mendoakan orang meninggal, baginda Nabi saw pun mengamalkannya. Ada banyak hadits mengenai hal ini. Semua itulah yang diamalkan di dalam majelis tahlil ini.
Sehingga klaim anda bahwa Nabi tidak pernah mengamalkannya .. gugur dengan sendirinya.
Tahlilan itu isinya adalah dzikir. Sedangkan dzikir itu ibadah sunnah .. semakin banyak mengamalkannya, di manapun n kapanpun, sambil berdiri berbaring duduk, di tempat sepi atau beramai-ramai, maka semakin banyak pahalanya. Anda salah total mengukur ibadah sunnah dengan ketentuan ibadah wajib (shalat wajib) yang sudah ditentukan syarat rukunnya. Ibadah sunnah itu tak dibatasi jumlahnya mas ..
wallahu a’lam.
mas Lyon,
para dai sebelum datang ke indonesia sudah mngenal dan mengamalkan majlis dzikir, doa dan hadiah pahala yg bermanfaat untuk mayit, karena sudah diterangkan dalam hadis Nabi (hadisnya ga usah saya kutip ya, soalnya dikutip jg percuma toh ente2 pada ngotot memaksakan pendapat ente yg paling bener)
konsep itu jg telah diterangkan oleh para ulama pakar dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafii dan Hanbali..
ini beberapa ratus tahun sebelum para dai datang ke indonesia lho..
walaupun caranya berbeda, tapi intinya sama yaitu berdzikir dan menghadiahkan pahala bacaan untuk mayit..
jadi argumen amalan dari Hindu itu agak susah dibenerkan..
logikanya, kalo bangsa inca di meksiko membuat bangunan mirip kaya piramid, masa iya sih mereka dianggap MENIRU piramid mesir??
gimana logikanya?
Assalamualaikum
Kalau yng saya cermati dari sdr lyon mengenai” !semua ibadah ber”bau” islam adalah dilarang kecuali ada perintah ….” ???,menurut saya hal tsb dari “kaidah ushul fiqih” yng mengatakan bahwa “asal dari satu perbuatan dlm agama itu dilarang kecuali jika ada dalil yng memalingkannya”,kaidah ini berasal dari keterangan2 yng bersumber dari nash al-qur’an dan hadits Nabi juga,sebagaimana kita membuat sebuah definisi tentang sebuah bangun segitiga dimana definisi atau kaidahnya tidak pernah ada dalil yng mendahului sebelum bangun itu dibuat,maka kita sepakat membuat kaidahnya yaitu:1.memiliki 3 buah sisi,2.ujung2 sisinya bertemu pada ujung2 sisi yng lain,3.jumlah ketiga sudutnya adalah 180 drjt.
Nah,kaidah atau definisi spt ini memang tidak ada dalilnya,sebagaimana ilmu Nahwu dan Syorof,atau juga ilmu Grammar dlm bhs inggris,kalau ditanya mana lebih dahulu ilmu2(definisi2) tsb dengan bahasanya?,apakah tatabahasanya diciptakan duluan baru bahasanya atau sebaliknya?
jawabnya adalah bahasanya duluan baru tatabahasanya menyusul,karena tatabahasa(grammar,Nahwu,shorof)baru ada setelah bahasanya ada,begitu juga tentang kaidah ushul fiqih tadi,bagaimana mungkin ada dalil tentang hal tsb ! kaidah itu ada dikarenakan bukti dan fakta atas sesuatu,begitu pula halnya hukum agama ini,dari dalil2(fakta nash dan hadits)barulah dibuat definisi tsb,ada hadits yng berbunyi “maakaana min amri diinikum failayya,wamaakaana minamri dunyakum antum a’lamu bihi”,ini memperkuat definisi atau kaidah tentang “dilarangnya kita melakukan suatu perbuatan yng bersinggungan dengan agama/ibadah yng Nabi tidak contohkan”,tetapi Nabi mempersilahkan kita berkreasi semaximal mungkin manakala hal tsb berkaitan dengan keduniawian(hablum minannas),tentunya dalam hal ketaatan bukan hal maksiat,semisal menggunakan mobil,atau pesawat terbang atau kemeja,atau kopiah dll yng sejenis itu,tetapi hal berkaitan dengan sebuah “kaifiyat” atau tatacara suatu perbuatan atau acara yng menyangkut sebuah peribadatan baik itu ibadah wajibatau sunnah maka hal tersebut di “warning” oleh hadits diatas.
Dari banyak komentar dari atas,saya berkesimpulan,bahwa mereka yng tidak sefaham dng penulis,masih memperlihatkan kepedulian,baik kpd tulisannya ataupun pemahamannya,tentunya mereka berangkat dari rasa “sayang” kepada penulis,yng mereka anggap bahwa penulis telah melakukan kekeliruan,itu sah2 saja,karena itulah resiko ketika kita menulis,maka jika tidak mau dikritik,ya jangan menulis,atau mau dibaca tulisannya,atau setidaknya penulis jangan menyediakan kolom komentar,urusannya selesai !
Secara pribadi saya juga mengajak diri saya sendiri terutama,penulis dan yng lain,untuk jangan berhenti untuk terus menuntut ilmu agar kita semua semakin mendekat kepada yng benar2 sunnah rasulullah,karena hanya ada dua pilihan untuk kita menjadi seorang “ahli sunnah” atau menjadi “ahlul bid’ah”
Semoga Allah menunjuki kita semua !
wassalam
Sebenarnya acara tahlilan semacam ini telah lama menjadi pro dan kontra di kalangan umat Islam. Sebagai muslim sejati yang selalu mengedepankan kebenaran, semua pro dan kontra harus dikembalikan kepada Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Sikap seperti inilah yang sepatutnya dimiliki oleh setiap insan muslim yang benar-benar beriman kepada Allah subhanahu wata’ala dan Rasul-Nya. Bukankah Allah subhanahu wata’ala telah berfirman (artinya):
“Maka jika kalian berselisih pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Ar Rasul (As Sunnah), jika kalian benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (An Nisaa’: 59)….
pertanyaannya apakah Rasul saw dan para sahabat terdahulu pernah melakukan acara semacam ini ????….
–> Setuju.. Dan jawaban pertanyaan sdh jelas dari tanggapan2 kami di atas. Majelis dzikir adalah majelis yg mulia dan sunnah, dan tahlilan adalah termasuk dalam kategori majelis dzikir. Al Qur’an memerintahkany untuk berdzikir. Dan majelis dzikir dilakukan pada zaman Nabi saw.
setuju apa?…dzikir —dalam Al Quran sendiri diterangkan klo kita berdzikir
( Berdoalah kepada Tuhanmu dengan merendah diri, dan suara lembut. Sesungguhnya Dia (Allah) tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas (QS. al-A’raf 55).
( Dan sebutlah nama Tuhanmu dalam hatimu, dengan merendahkan diri, dan rasa takut, serta dan tidak mengeraskan suara, diwaktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang –orang lalai (QS.al- A’raf 2O5).
pertanyaan saya…apakah benar ada hadist yang menerangkan utk berdzikir atau berdoa beramai2, berkumpul2 seperti paduan suara jika kita memahami ayat diatas..????…
–> Coba simak ini dan ini.
to Kndy
ayat itu menyuruh kita untuk mengingat Allah di waktu PAGI dan PETANg,
pertanyaannya saya untuk mas Kndy khususnya dan Mas2 Wahabi umumnya :
“jika saya mengingat Allah di SIANG BOLONG, apakah saya termasuk pelaku bid’ah yg menyalahi Allah dan sunnah Rasul ???”
ada yg bisa jawab???
kepada sdr. orgawam dan yang mendukung anda.
say jadi heran, anda lebih banyak bermain dengan logika (manthiq) daripada dengan dalil yang shahih dan sharih. pernahkah anda melakukan muhasabah tentang semua dalil yang anda pakai itu? maaf, jika saya keliru, tapi sejak awal saya menyimak dan mempelajari semua tulisan dan komentar anda, yang saya dapati adalah anda tidak ada sedikitpun usaha untuk ittiba’ secara benar terhadp semua dalil yang ada. tidakkah anda membaca dan mempelajari sirah Nabi Muhammad saw., dan para sahabatnya? tidakkah anda paham dengan kalimat yang ditulis Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid IV hal. 335, ketika menafsirkan QS. an-Najm: 38-39, beliau berkata:
أي كما لا يحمل عليه وزرغيره, كذالك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هولنفسه. ومن هذه الأية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه.أن القراءة لايصل إهداءثوابها الى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم. ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولاحتهم عليه ولاارشدهم إليه بنص ولا إيماء ولم ينقل ذالك عن احد من الصحابة رضي الله عنهما, ولو كان خيرا لسبقونا إليه…ولا بتصرف فيه بانواع الاقيسة والاراء.
“Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Melalui ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak dapat sampai kepadanya karena bukan dari amal usahanya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah saw., tidak pernah men-Sunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perbuatan tersebut, serta tidak pula merujuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun dengan satu nash (dalil) maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang Sahabat Rasul pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau memang perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat) lebih dahulu mengerjakannya. Padahal amalan mendekatkan diri kepada Allah hanya terbatas yang ada nashnya (dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”.
belajarlah lagi dengan baik, tetapi jangan pernah sedikitpun melakukan upaya pembenaran terhadap diri sendiri, karena kebenaran mutlak milik Allah, dan Allah sudah sempurnakan agama Islam ini bagi manusia (QS. al-Maidah: 3). jadi jangan gunakan logika terbalik hanya karena ini dan itu.
benar, dzikir itu merupakan ibadah yang agung, tetapi dzikir juga harus mengikuti bagaimana tuntunan Allah dan Rasul-Nya. Silahkan baca lagi Tafsir Imam Ibnu Katsir ketika beliau menafsirkan QS. al-A’raf: 55. semoga menjadi pencerahan. wallahu a’lam.
–> Kami mengikuti para ulama yang mengikuti sunnah Rasul saw. mas .. anda belum menjawab pertanyaan mas imam bahwa anda telah menggunting fatwa ulama di artikel lain sejenis. Tolong itu dijawab dulu.
Jangan berpindah-pindah artikel dengan mengungkapkan hal yang sama tanpa pertanggung jawaban. Tolong .. diskusilah dengan adab.
Abu Hafidz ,
Walaupun komentar saya belum dijawab tapi tidak ada salahnya saya jawab komentar Anda yang diambil dari Ibnu Katsir yang telah disebutkan Anda.
Pertanyaan ringan aja untuk Anda, apakah Anda sudah membaca tafsir Al-qurtubu? kalau tidak salah juz 17, disana ada antara lain penafsiran Ibnu Abbas tentang surat A-Najem ayat 38-39 dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas juga, ayat 39 telah dimansuh oleh ayat (tersebut dikomentar saya ):
وَالَّذِينَ آمَنُوا وَاتَّبَعَتْهُمْ ذُرِّيَّتُهُمْ بِإِيمَانٍ ….الخ
Silakan Anda baca kitab itu sehingga hati Anda bisa terbuka tentang masalah ini.
Baca juga kitab : Mirqoh Al-Mafatih Syarh Misykah Al-MAshobih pada bab Mengubur mayit juz 3 : ( Saya nukil sedikit ) :
ثم قال : اختلف في وصول ثواب القرآن للميت ، فجمهور السلف والأئمة الثلاثة على الوصول ، وخالف في ذلك إمامنا الشافعي مستدلا لقوله تعالى : وأن ليس للإنسان إلا ما سعى وأجاب الأولون عن الآية بأوجه : أحدها : أنها منسوخة بقوله تعالى : والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان
Imam Suyuthi berkata : Berbeda pendapat ( para Ulama) tentang sampainya pengiriman pahala bacaaan Al-Quran untuk mayit, Maka Jumhur ulama salaf dan Imam2 ketiga madzhab berpendapat SAMPAINYA PAHALA BACAAN AL-QUR`AN, tetapi Imam Kami Asy-Syafi`i tidak berpendapat demikian dengan berdalilkan ayat : (artinya : dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya ), maka menjawab (ulama2) Al-Awwaluun tentang ayat ini dengan berbagai wajah, salah satunya mengatakan bahwa ayat ini ( tersebut diatas) telah dimansuh dengan firman Alloh yang lain yaitu :
والذين آمنوا واتبعتهم ذريتهم بإيمان
Kemudian, ternyata Anda juga masih tetap seneng memotong dan membuang pendapat para ulama termasuk disini yang terdapat dalam kitab tafsir Ibnu Katsir : padahal kalimat kelanjutannya dalam kitab itu masih ada yaitu sbb:
فَأَمَّا الدُّعَاء وَالصَّدَقَة فَذَاكَ مُجْمَع عَلَى وُصُولهمَا وَمَنْصُوص مِنْ الشَّارِع عَلَيْهِمَا
DAN ADAPUN DOA DAN SEDEKAH MAKA PARA ULAMA TELAH SEPAKAT AKAN SAMPAINYA PAHALA KEDUANYA (YANG DIKIRIMKAN KE MAYIT) DAN TELAH JELAS DARI SYAREAT MENGENAI KEDUANYA (DOA DAN SEDEKAH).
Abu Hafidz, kesalahan Anda selalu diulang dan diulang seperti kebanyakan dari jamaah Anda.
Saya heran …heran…dan heran, kenapa berdakwah tapi tidak amanah? A`udzubillah min hadza maudhu`.
Saya memberi saran ke Anda buka hati Anda dan coba kaji lagi kitab2 yang ada. terimakasih.
Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) memutuskan bahwa selamatan kematian setelah hari wafat, hari ketiga, ketujuh dll adalah : MAKRUH, RATAPAN BID’AH TERCELA (BID’AH MADZMUMAH), OCEHAN ORANG-ORANG BODOH. Berikut apa yang tertulis pada keputusan itu :
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO: 18 / 13 RABI’UTS TSAANI 1345 H / 21 OKTOBER 1926
TENTANG
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu.
KETERANGAN :
Dalam kitab I’anatut Thalibin Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”kami menganggap berkumpul di (rumah keluarga) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN (YANG DILARANG).”
Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan TENTANG YANG DILAKUKAN PADA HARI KETIGA KEMATIAN DALAM BENTUK PENYEDIAAN MAKANAN UNTUK PARA FAKIR DAN YANG LAIN, DAN DEMIKIAN HALNYA YANG DILAKUKAN PADA HARI KETUJUH, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuaan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN” ORANG-ORANG BODOH (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris).
Selesai KEPUTUSAN MASALAH DINIYYAH NO. 18.
REFERENSI:
Lihat : Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), halaman 15-17), Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Masalah Keagamaan Jilid 1 – Hasil Muktamar dan Munas Ulama Nahdlatul Ulama Kesatu/1926 s/d/ Ketigapuluh/2000, KH. A.Aziz Masyhuri, Penerbit PPRMI dan Qultum Media.
sekarang ini dan juga jaman dulu, banyak orang indonesia yang lebih suka, rajin berbicra dari pada membaca, lebih suka komentar dari pada belajar. seakan-akan dirinya tahu semuanya bahkan sepertinya mereka sudah kenal dengan penjaga syurga dan neraka sehingga mufah mengatakan ini haram, itu haram sdt. padahal mereka itu baca fatihah saja gak jelas juntrungnya, belum lagi tjwidnya, belum lagi nahwunya, belum lagi balaghohnya, belum lagi tafsirnya dst-dst, tapi bicaranya, kementarnya, seakan-akan mereka anaknya pengelola syurga!
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Saya setuju sekali dengan dengan Pak Darlin #53.
Maaf saya tidak membahas topik yang sedang diperdebatkan tapi saya menanggapi perdebatan yg saudara2 lakukan, yaitu debat kusir yang tidak ada ujungnya, masalah ini adalah masalah klasik, yang sejak dahulu sudah dipermasalahkan dan sekarang tumbuh kembali yang pada akhirnya adalah memecah belah ummat, kadang kala kita tidak sadar bahwa kita sedang menjadi wayang yang dimainkan oleh dalang yahudi.
Saya menghargai kedua belah pihak masing2 memiliki refrensi dalil2 yg menurut saudara2ku itu tsiqah, shohih.
Orang yang bijak adalah orang yang ‘Alim (orang yang menguasai ilmu Agama pen.), orang yang ‘Alim ketika melihat suatu permasalahan itu tidak langsung memvonis suatu permasalahan dengan sebutan2 atau tindakan2 yang yg melukai hati saudaranya. mereka pelajari dahulu permasalahannya, mereka kumpulkan referensinya (dalil2nya) yang tsiqah tentunya, dan diungkap dengan ketelitian dan kejelian serta kejernihan,
santun dan baik.
Namun sebaliknya orang yang tidak/kurang berilmu diibaratkan orang baru belajar silat baru jurus satu saja belum kelar sudah banyak tingkahnya dalam istilah betawi (pental pentil)
sebagai mana Firman Allah (surat An-Nahl ayat 125)
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (125)
125. serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
[845] Hikmah: ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil.
Juga kepada saudara2ku yang tidak sependapat dgn topik yang di angkat yaitu masalah dzikir (tahlil) tidak serta merta memvonis dengan predikat2/sebutan2 yang tidak pantas menurut takaran Alquran.
Maka kepada saudara2 ku seiman, seakidah yang mengimani dari pokok keimanan (rukun Iman) disebut orang beriman. maka simak Firman Allah : Surah Al Hujuraat 11
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَى أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَى أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ وَلَا تَلْمِزُوا أَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَابِ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوقُ بَعْدَ الْإِيمَانِ وَمَنْ لَمْ يَتُبْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (11)
11. Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh Jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh Jadi yang direndahkan itu lebih baik. dan janganlah suka mencela dirimu sendiri[1409] dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman[1410] dan Barangsiapa yang tidak bertobat, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.
[1409] Jangan mencela dirimu sendiri Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh.
[1410] Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: Hai fasik, Hai kafir, Hai Ahlul Bid’ah dan sebagainya.
Sebenarnya perdebatan yang terjadi atas permasalahan yang diperdebatkan tidak menjadikan kita menjadi paling Islami, paling benar menjalankan syari’at, paling soleh, paling mukmin, paling ahlu syurga dan paling2. coba renungkan ayat di atas bahwa semua itu yang memiliki hak menilai adalah Yang Maha menilai, Yang Maha Mengetahui, Yang Maha Melihat dari gerak hati,jiwa dan raga kita.
jangan mendahului Hak Allah.
Hargai Ijtihad Para ‘Ulama sudahkah kita mengukur seberapa ilmu kita kalau di banding dgn ilmu para ‘ulama. jangan sok tau, jangan meremehkan ‘Ulama, apalagi ‘Ulama atau Imama Mujtahid Mutlaq yang sudah masyhur keilmuannya dan diakui oleh seluruh kaum muslimin sedunia.
Banyak belajar, dari berbagai Ulama melalui kitab2 karya2nya jangan hanya cuma satu kitab, satu Ulama yang menjadikan kita picik dalam berfikir, dan gampang mengumbar fatwa seolah2 hanya aku yang paling benar ijtihadnya, yang paling benar aqidahnya, yang paling benar keislamannya, yang paling berhak masuk syurga.
Saya perhatikan perdebatan masalah tahlil ini, ya hanya berkutat didalam argument yang itu-itu saja dan pemaparan dalil2nya pun itu-itu saja, tak berujung engkel-engkelannya. bagi yang melakukan silahkan teruskan sepanjang tidak melanggar syari’at dan yang tidak silahkan diam atau lakukan amal kebajikan yang lainnya dan bermanfaat, maslahat untuk ummat.
Semoga Allah menyatukan hati-hati kita.
Senantiasa dalam Ridho-Nya.
Wassalamu’alaikum Wr.Wr.
Pendapat Imam as-Syafi’i rahimahullah
http://www.scribd.com/doc/13767927/Imam-Syafii-Tentang-Tahlilan-Kematian
hayo kita tingkatkan ilmiah untuk membaca kitab-kitab ulama
http://pdfdatabase.com/index.php?q=download+kitab+ulama+salaf&page=3
ass wr wb. saya sependapat dgn sdrku achmad fauzi chairuddin.debat kusir ini tidak akan ada habisnya atau tidak akan ada titik temunya.dan dalil yang dipakai ya itu-itu saja,karena kedua belah pihak meyakini kebenaran masing2.Untuk itu kami usul/saran buatlah suatu artikel misal dengan judul Tahlilan. Yang membolehkan dalilnya dari alqur’an surat ini ayat sekian.dan dari hadits riwayat ini (syukur lengkap dengan perawi dan sanatnya.Yang tidak membolehkan/melarang dalilnya dari alqur’an surat ini ayat sekian dan dari hadits riwayat ini lengkap dengan perawi dan sanatnya, Insya Alloh tidak akan terjadi debat kusir dan merupakan media dakwah yang sangat agung dan akan diterima oleh orang awam seperti saya dengan penuh do’a untuk penulisnya, dan akan menjadi pencerahan kepada masyarakat.
akhir kata semoga pembaca dan penulis di blog ini selalu dalam rahmad dan ridho Alloh SWT, Amin. matur nuwun.
–> wangalaikum salam wrwb. Di sini kami telah berpendapat. Demikian pula, dalil-dalil pendukung (sebagian) kami tampilkan. Jika ada yg berseberangan dan mencoba membantahnya di sini, maka kami ber-argumen dengan ilmu-ilmu yang kami dapat. Adalah salah menilai bahwa tanggapan kami adalah debat kusir. Kami ber-argumen dengan dalil. Biar lah pembaca menilai dan memilih sendiri.
Amien atas doanya. terima kasih.
wah saya setuju sekali dg pendapat bpk suroto..agar di buat artikel atau forum yg membolehkan dan melarang nya..jd biar diantara umat islam tidak lg ada perdebatan atau perbedaan..krn islam itu satu..
MUKTAMAR I NAHDLATUL ULAMA (NU)
Keputusan Masalah Diniyyah No: 18 / 13 Rabi’uts Tsaani 1345 H / 21 Oktober 1926 Tentang
KELUARGA MAYIT MENYEDIAKAN MAKAN KEPADA PENTAKZIAH
TANYA :
Bagaimana hukumnya keluarga mayat menyediakan makanan untuk hidangan kepada mereka yang datang berta’ziah pada hari wafatnya atau hari-hari berikutnya, dengan maksud bersedekah untuk mayat tersebut? Apakah keluarga memperoleh pahala sedekah tersebut?
JAWAB :
Menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh itu hukumnya MAKRUH, apabila harus dengan cara berkumpul bersama-sama dan pada hari-hari tertentu, sedang hukum makruh tersebut tidak menghilangkan pahala itu. Tapi banyak mudharatnya .
KETERANGAN :
1. Dalam kitab I’anatut Thalibin, Kitabul Janaiz:
“MAKRUH hukumnya bagi keluarga mayit ikut duduk bersama orang-orang yang sengaja dihimpun untuk berta’ziyah dan membuatkan makanan bagi mereka, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad dari Jarir bin Abdullah al Bajali yang berkata: ”Kami menganggap berkumpul di ( rumah keluarga ) mayit dengan menyuguhi makanan pada mereka, setelah si mayit dikubur, itu sebagai bagian dari RATAPAN ( YANG DILARANG ).”
2. Dalam kitab Al Fatawa Al Kubra disebutkan :
“Beliau ditanya semoga Allah mengembalikan barokah-Nya kepada kita. Bagaimanakah tentang hewan yang disembelih dan dimasak kemudian dibawa di belakang mayit menuju kuburan untuk disedekahkan ke para penggali kubur saja, dan tentang yang dilakukan pada hari ketiga kematian dalam bentuk penyediaan makanan untuk para fakir dan yang lain, dan demikian halnya yang dilakukan pada hari ketujuh, serta yang dilakukan pada genap sebulan dengan pemberian roti yang diedarkan ke rumah-rumah wanita yang menghadiri proses ta’ziyah jenazah.
Mereka melakukan semua itu tujuannya hanya sekedar melaksanakan kebiasaan penduduk setempat sehingga bagi yang tidak mau melakukannya akan dibenci oleh mereka dan ia akan merasa diacuhkan. Kalau mereka melaksanakan adat tersebut dan bersedekah tidak bertujuan (pahala) akhirat, maka bagaimana hukumnya, boleh atau tidak? Apakah harta yang telah ditasarufkan, atas keingnan ahli waris itu masih ikut dibagi/dihitung dalam pembagian tirkah/harta warisan, walau sebagian ahli waris yang lain tidak senang pentasarufan sebagaian tirkah bertujuan sebagai sedekah bagi si mayit selama satu bulan berjalan dari kematiannya. Sebab, tradisi demikian, menurut anggapan masyarakat harus dilaksanakan seperti “wajib”, bagaimana hukumnya.”
“Beliau menjawab bahwa semua yang dilakukan sebagaimana yang ditanyakan di atas termasuk BID’AH YANG TERCELA tetapi tidak sampai haram (alias makruh), kecuali (bisa haram) jika prosesi penghormatan pada mayit di rumah ahli warisnya itu bertujuan untuk “meratapi” atau memuji secara berlebihan (rastsa’).
Dalam melakukan prosesi tersebut, ia harus bertujuan untuk menangkal “OCEHAN ORANG-ORANG BODOH” (yaitu orang-orang yang punya adat kebiasaan menyediakan makanan pada hari wafat atau hari ketiga atau hari ketujuh, dst-penj.), agar mereka tidak menodai kehormatan dirinya, gara-gara ia tidak mau melakukan prosesi penghormatan di atas. Dengan sikap demikian, diharapkan ia mendapatkan pahala setara dengan realisasi perintah Nabi terhadap seseorang yang batal (karena hadast) shalatnya untuk menutup hidungnya dengan tangan (seakan-akan hidungnya keluar darah). Ini demi untuk menjaga kehormatan dirinya, jika ia berbuat di luar kebiasaan masyarakat.
Tirkah tidak boleh diambil / dikurangi seperti kasus di atas. Sebab tirkah yang belum dibagikan mutlak harus disterilkan jika terdapat ahli waris yang majrur ilahi. Walaupun ahli warisnya sudah pandai-pandai, tetapi sebagian dari mereka tidak rela (jika tirkah itu digunakan sebelum dibagi kepada ahli waris). ”
SUMBER: Ahkamul Fuqaha, Solusi Problematika Hukum Islam, Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes Nahdlatul Ulama (1926-2004 M), hal. 15-17, Pengantar: Rais ‘Am PBNU, DR.KH.MA Sahal Mahfudh, Penerbit Lajnah Ta’lif wan Nasyr (LTN) NU Jawa Timur dan Khalista, cet.III, Pebruari 2007.
Madzhab Syafi’i berpendapat bahwa bacaan atau amalan yang pahalanya dikirimkan/dihadiahkan kepada mayit adalah tidak dapat sampai kepada si mayit. Lihat: Takmilatul Majmu’ Syarah Muhadzab 10:426, Fatawa al-Kubro al-Fiqhiyah (al-Haitsami) 2:9, Hamisy al-Umm (Imam Muzani) 7:269, al-Jamal (Imam al-Khozin) 4:236, Tafsir Jalalain 2:19, Tafsir Ibnu Katsir ttg QS. An-Najm : 39, dll.
Imam An-Nawawi رحمه الله berkata di dalam Syarah Muslim 1: 90:
“Adapun bacaaan Al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang mashyur dalam madzhab Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi. Adapun dalil Imam Syafi’i dan pengikutnya adalah firman Allah QS.An-Najm : 39: “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri” dan sabda Rasulullah , “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal yaitu: sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang berdoa untuknya.”
Lihat juga: Raudhatut Thalibin, Imam An-Nawawi 2:145, Mughnil Muhtaj 1: 268, Hasyiyatul Qalyubi 1: 353, Al-Majmu’ Syarah Muhadzab 5: 286, Al- Fiqhu Alal Madzahibil Arba’ah 1:539, Fathul Qadir 2:142, Nailul Authar 4:148.
Berkata Imam Asy-Syafi’i رحمه الله di dalam Al-Umm 1: 248:
“Aku membenci ma’tam, yaitu berkumpul-kumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru.”
Lebih lanjut di Kitab I’anatut Thalibin, Syarah Fathul Mu’in, juz 2, hal.145 disebutkan:
“Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk BID’AH MUNGKARAT YANG BAGI ORANG YANG MEMBERANTASNYA AKAN DIBERI PAHALA.”
–> Lihat link di #18, jawaban habib munzir.
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA – 2007/07/18 20:23
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA SYAFIE
Assalammu’alaikum wr.wb.
Habib tolong beri penjelasan mengenai hal ini, karena ini dalil dari orang salafi untuk berhujjah. semoga keberkahan Ilmu dapat meninggikan derat Habib di akhirat.
Mungkin ramai dari kalangan pengikut mazhab Syafie tidak menyedari bahawa bertahlil dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca al-Quran, berzikir, berdoa dan mengadakan hidangan makanan di rumah si Mati atau keluarga si Mati bukan sahaja Imam Syafie yang menghukum haram dan bid’ah, malah ramai para ulama mazhab Syafie turut berpendirian seperti Imam Syafie. Adapun antara meraka yang mengharamkan kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Ibn Kathir, Imam ar-Ramli dan ramai lagi para ulama muktabar dari kalangan yang bermazhab Syafie, sebagaimana beberapa fatwa tentang pengharaman tersebut dari mereka dan Imam Syafie rahimahullah:
وَاَكْرَهُ الْمَاْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ.
“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) makan, iaitu berkumpul di rumah (si Mati) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan)”.[1]
Mengadakan majlis kenduri iaitu dengan berkumpul beramai-ramai terutamanya untuk berzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara di rumah si Mati atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum bid’ah yang mungkar oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafie yang selanjutnya:
وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ.
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di rumah (si Mati) tersebut maka itu adalah bid’ah bukan sunnah”.2 [1]
Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2 hlm. 146 ada disebut pengharaman kenduri arwah, iaitu:
وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ اَهْلَ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوْ النَّاسَ اِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ قَالَ : عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ لاَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمْ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ. (رواه الامام احمد وابن ماجه باسناد صحيح).
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang menjemput orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si Mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si Mati kerana terdapat hadis sahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si Mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan”.3 [1] (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn majah dengan sanad yang sahih).
Fatwa Imam Syafie dan para ulama muktabar yang bermazhab Syafie telah mengharamkan berkumpul beramai-ramai dan menyediakan hidangan makanan di rumah si Mati untuk tujuan kenduri arwah, tahlilan, yasinan dan menghadiahkan (mengirim) pahala bacaan al-Quran kepada arwah si Mati Mereka berdalilkan al-Quran, hadis dan athar-athar para sahabat yang sahih sebagaimana yang dikemukakan oleh mereka melalui tulisan-tulisan di kitab-kitab mereka. Mereka tidak mungkin mengharamkan atau menghalalkan sesuatu mengikut akal fikiran, pendapat atau hawa nafsu mereka semata, pastinya cara mereka mengharamkan semua itu dengan berdalilkan kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar dari para ulama yang bermanhaj Salaf as-Soleh.
_____________________________ __________
[1]. Lihat: Al-Umm. Juz 1. Hlm. 248.
[2]. Lihat: مغنى المحتاج. Juz 1. Hlm. 268.
siliwangi
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 02:19
Assalammu’alaikum wr.wb.
Semoga keberkahan ilmu menjadikan Habib Munzir di tinggikan derajatnya di surga,Amin.
Habib , saya ini di istilahkan sebagai anak kecil yang polos selalu merengek-rengek ketika meminta bantuan. daripada itu apa yang di utarakan oleh Habib di atas ternyata sahabat saya dari Salafi telah membantahnya, saya nukil dengan berupa tanya jawab.
Habib : Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا
“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Abu Al-Jauzaa: Mari kita lihat riwayat yang ada di Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut ada di nomor 3332 :
حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا بن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعميه الأسارى
Perhatikan kata berwarna merah yang ana garis bawahi. Nukilan dari Tuhfatul-Ahwadzi tersebut tidak tepat sehingga berubah dari makna yang diinginkan. Dalam Nukilan Pak Habib ditulis dengan imra-atihi yang berarti : istrinya/perempuan dari kalangan keluarga si mayit; sedangkan lafadh asli dalam Sunan Abi Dawud tertulis imra-ah yang berarti perempuan secara umum. Perubahan makna tentu sangat signifikan. Ketika kita menggunakan nukilan lafadh Pak Habib, tentu seakan-akan kita diperbolehkan atau bahkan disyari’atkan untuk makan dan/atau menyediakan makan ketika ada orang meninggal dari keluarga mayit. Padahal, bila kita tengok lafadh asli di Sunan Abi Dawud, sama sekali tidak menunjukkan itu. Arti hadits dalam Sunan Abu Dawud tersebut adalah (ana gunakan terjemahan Pak Habib dengan perubahan terjemahan di kata imra-ah saja) : “Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang perempuan, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan” [selesai].
Nah, di dalam hadits di atas sama sekali tidak ada isyarat keluarga si mayit yang mengundang makan. Perhatikan itu !! Dan ingat pula, jikalau ada perbedaan penukilan, maka kita kembalikan kepada sumbernya. Dan sumbernya di sini adalah Sunan Abu Dawud. lafadhnya adalah sebagaimana ana bawakan.
Pernyataan Pak Habib itu jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang justru lebih sharih daripada riwayat yang dibawakan Pak Habib yang menyatakan tidak diperbolehkannya makan makanan di keluarga si mayit.
Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم
“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67)
Tolong riwayat-riwayat sampaikan pada Pak Habib. Barangkali beliau melewatkannya. Atau malah belum pernah membacanya ?
Habib : Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahabbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahabbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.
Abu Al-Jauzaa: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan Ghairu mustahabbah hawuwa bid’ah bisa dimaknakan kepada mubah ? Aneh. Sepertinya Pak Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadh aslinya :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).
Habib : 2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.
Abu Al-Jauzaa :Sama juga dengan di atas. Ana sampai heran plus geleng-geleng kepala sama pengalihan makna Pak Habib ini. Perkataan bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) bisa diartikan makruh biasa yang malah beliau bawa pada makna mubah. Coba cermati perkataan Pak Habib di atas !! Perkataan [وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه ] sama sekali tidak khusus pada makna yang Pak Habib maui : membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah. Padahal artinya secara jelas adalah “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat”. Tidak ada pengkhususan “harus banyak” dan “meramaikan rumah”. Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkankan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya Makna Tahrim (bermakna Haram).
Dan seterusnya tidak perlu ana teruskan. Pak Habib ini justru yang gak ilmiah. Gaak ilmiah sama sekali……….. Dan tolong sampaikan kepada Pak Habib, bahwa kata makruh dalam syari’at itu dapat bermakna Haram. Tolong dibuka mushhafnya. Dalam QS. Al-Israa’ banyak menggunakan kata maruh yang bermakna haram.
Banyak sebenarnya kerancuan pendalilan Pak Habib ini yang perlu ditanggapi. Itung2 hemat energi.
siliwangi
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 18:16
Habib dibawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya. tetapi sama bermanhaj-kan Salaf.
KENDURI ARWAH
Majlis kenduri arwah lebih dikenal dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. Kebiasaannya diadakan pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahwa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini.
Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 146, tercatat pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:
وَيَكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِى الْيَوْمِ اْلاَوَّلِ وَالثَّالِث وَبَعْدَ اْلاُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ اِلَى الْقُبُوْرِ
“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.
Imam Syafie dan jumhur ulama-ulama besar (ائمة العلماء الشافعية) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahwa yang seharusnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran/tentangga , kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati) sebagaimana fatwa Imam Syafie:
وَاُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِهِ اَنْ يَعْمَلُوْا لاَهْلِ الْمَيِّتِ فِىْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَا يُشْبِعُهُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.“Aku suka kalau tetangga si Mati atau kerabat si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”.
Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ . (حسنه الترمزى وصححه الحاكم)
“Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyibukkan (kesusahan)”.
Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.
Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar Tentunya tidak dipertentangkan bahwa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan juga di dalam kitab (اعانة الطالبين) jld. 2. hlm. 146:
وَقَالَ اَيْضًأ : وَيَكْرَهُ الضِّيَافَةُ مِنَ الطَّعَامِ مِنْ اَهْلِ الْمَيِّتِ لاَنَّهُ شَرَعَ فِى السُّرُوْرِ وَهِيَ بِدْعَةٌ
“Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.
Seterusnya di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2. hlm. 146 – 147, Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:
وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِيْنَ بَلْ كَلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ
“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramai-ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie. Oleh itu, mereka yang mengaku bermazhab Syafie seharusnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini mematuhi wasiat imam yang agung ini.
Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 145-146, Mufti yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ اِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَاِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الشَّرِّ ، فَاِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .
“Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan terbiasa (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”.
Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul .(خول) Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”. Lihat: اعانة الطالبين juz 2 hlm. 145.
Di dalam kitab fikh (حاشية القليوبي) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab قليوبى – عميرة) -(حاشيتان juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:
قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التَّركَةِ ، اَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.
“Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” yaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuk (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.
Di dalam kitab (الفقه على المذاهب الاربعة) jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa:
وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يَفْعَلُ الآن مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ اَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِتَّعْزِيَةِ . “Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, yaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”.
Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si Mati. Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi’ (مبتدع) “pembuat atau aktivis bid’ah” sehingga amalan ini tidak dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan larangana dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.
Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka sesui dengan hwa nafsunya (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berdalilkan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa-Ta’ala telah memberi ancaman yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang banyak yang tidak ada dalil atau perintahnya dari syara sebagaimana firmanNya:
وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.
Al-An’am, 6:116.
Begitu juga sesuatu amalan yang diangap ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah”.
Al-Jasiyah, 45:18-19.
Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dhonn mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar yang sahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafie rahimahullah. Memandangkan polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan maka ia perlu ditangani dan diselesaikan secara syarii (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh yang muktabar. Dalam membincangkan isu ini pula, maka ana tumpukan kepada kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahwa amalan kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh Imam Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab Syafie.
Insya-Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan saja dapat menjawab pertanyaan bagi mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini, termasuklah mereka yang masih salah anggap tentang hukum sebenar kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.
AlMuntazar
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/18 11:25
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ana membaca tulisan-tulisan diatas hanya menjelaskan tentang acara KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA namun tidak menjelaskan satupun mengenai sampai tidaknya pahala yang di kirimkan kepada si Mayit dari bacaan yang dibaca pada acara tersebut .
Wassalam,
AlMuntazar
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/19 11:59
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ada beberapa hal lagi yang menjadi ganjalan.
1. Imam Nawawi dalam Kitabnya SYARAH MUSLIM ( JUZ 1 HAL.90) dan Kitab TAKLIMATUL MAJMU’ (JUZ 10 HAL 426) Membantah bahwa Pahala Baca’an dan Sholat yang Digantikan bagi si mayit tidak akan sampai kepada si mayit. Kalo tidak salah Imam Nawawi ini bermazhab Syafi’i (Koreksi jika Ana salah).
2. Al Haitami dalam Kitabnya AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH ( JUZ 2 HAL 9 )
3. Imam Muzani dalam Hamisy AL UM, AS SYAFI’I ( JUZ 7 HAL 269)
4. Imam Al Khazin dalam tafsirnya Al Khazin , AL JAMAL (JUZ 4 HAL.236), lebih jelas mengatakan :
” DAN YANG MASYHUR DALAM MAZHAB SYAFI’I BAHWA BACA’AN QUR’AN (YANG PAHALANYA DI KIRIMKAN KEPADA MAYIT) ADALAH
TIDAK DAPAT SAMPAI KEPADA MAYIT YANG DIKIRIMI”
Dan masih ada beberapa kitab ulama AHLU SUNNAH yang menjelaskan kurang lebih sama dengan yang ada di atas.
Dari pengamatan Ana, kalau di lihat betul dari beberapa literatur Kaum AHLU SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN dan Syia’h, bahwa Tradisi Kaum AHLU SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN (HABAIB) lebih banyak kemiripannya dengan tradisi kaum Syi’ah ( Cuman DI SYI’AH SAHABAT YANG DIANGGAP MURSAL DI BUANG/ DICORET DARI DAFTAR MEREKA ) dari pada dengan MEREKA yang ada di ke 4 mazhab SUNI.
WASSALAM,
ciri-ciri SALAFIYYAH aliran WAHHABIYYAH
AQIDAH
1.Membahagikan Tauhid kepada 3 Kategori
1.Tauhid Rububiyyah
2.Tauhid Uluhiyyah
3.Tauhid Asma’ dan Sifat: Boleh menjerumus kepada tashbih dan tajsim
i. Menterjemahkan istawa sebagai bersemayam
ii. Merterjemahkan yadd sebagai tangan
iii. Menterjemahkan wajh sebagai muka
1.Tafwidh yang digembar-gemburkan oleh mereka adalah bersalahan dengan tafwidh yang dipegang oleh ulama’ Asha’irah
2.Memahami ayat-ayat mutashabihat secara zahir tanpa huraian terperinci dari ulama’ mu’tabar
3.Menolak Asha’irah dan Maturidiyyah yang merupakan majoriti ulama’ Islam dalam perkara Aqidah
4.Sering mengkrititik Asha’irah bahkan sehingga mengkafirkan Asha’irah
5.Menyamakan Ashai’rah dengan Mu’tazilah dan Jahmiyyah atau Mua’ththilah dalam perkara mutashabihat
6.Menolak dan menganggap sifat 20 sebagai satu konsep yang bersumberkan falsafah Yunani dan Greek
7.Berselindung di sebalik mazhab Salaf
8.Sering menjaja kononnya Abu Hasan Al-Ash’ari telah kembali ke mazhab Salaf setelah bertaubat dari mazhab Asha’irah
9.Mendakwa kononnya ulama’ Asha’irah tidak betul-betul memahami fahaman Abu Hasan al-Asha’ri
10.Menolak ta’wil dalam bab Mutashabihat
11.Sering mendakwa bahawa ramai umat Islam telah jatuh ke kancah syirik
12.Mendakwa bahawa amalan memuliakan Rasulullah saw boleh membawa kepada syirik
13.Tidak mengambil berat kesan-kesan peninggalan para anbiya’, ulama’ dan solihin dengan dakwaan menghindari syirik
14.Kefahaman yang salah berkenaan syirik sehingga mudah menghukum orang sebagai membuat amalan syirik
15.Menolak tawassul, tabarruk dan istighathah dengan para anbiya’ serta solihin
16.Mengganggap tawassul, tabarruk dan istighathah sebagai sebagai cabang-cabang syirik
17.Memandang remeh karamah para auliya’
SIKAP
1.Sering membid’ahkan amalan umat Islam bahkan sampai ke tahap mengkafirkan
2.Mengganggap diri sebagai mujtahid (walaupun tidak layak)
3.Sering mengambil hukum secara langsung dari al-Quran dan hadis (walaupun tidak layak)
4.Sering memperlekehkan ulama’ pondok dan golongan agama yang lain.
5.Ayat-ayat al-Quran dan Hadis yang ditujukan kepada orang kafir sering ditafsir ke atas orang Islam.
6.Memaksa orang lain berpegang dengan pendapat mereka walaupun pendapat itu shazz (janggal)
ULUM HADIS
1.Menolak beramal dengan hadis dhaif
2.Penilaian hadis yang tidak sama dengan ulama’ hadis yang lain
3.Mengagungkan Nasiruddin al-Albani di dalam bidang ini
4.Sering menganggap hadis dhaif sebagai hadis mawdhu’
5.Perbahasan hanya kepada sanad dan matan hadis, dan bukan pada makna hadis. Oleh kerana itu, perbincangan syawahid tidak diambil berat
6.Perbincangan hanya terhad kepada riwayah dan bukan dirayah.
ULUM QURAN
1.Menganggap tajwid sebagai menyusahkan dan tidak perlu (Sebahagian Wahhabi Malaysia yang jahil)
FIQH
1.Menolak fahaman bermazhab kepada imam-imam yang empat; pada hakikatnya mereka bermazhab “TANPA MAZHAB”
2.Mengadunkan amalan empat mazhab dan pendapat-pendapat lain sehingga membawa kepada talfiq yang haram
3.Memandang amalan bertaqlid sebagai bid’ah; kononnya mereka berittiba’
4.Sering mengungkit soal-soal khilafiyyah
5.Sering menggunakan dakwaan ijma’ ulama dalam masalah khilafiyyah
6.Sering bercanggah dengan ijma’ ulama’
7.Menganggap apa yang mereka amalkan adalah sunnah dan pendapat pihak lain adalah bid’ah
8.Sering mendakwa orang yang bermazhab sebagai ta’sub mazhab
9.Salah faham makna bid’ah yang menyebabkan mereka mudah membid’ahkan orang lain
10.Sering berhujah dengan al-tark, sedangkan al-tark bukanlah satu sumber hukum
Najis
1.Sebahagian daripada mereka sering mempertikaikan dalil bagi kedudukan babi sebagai najis mughallazah
Wudhu’
1.Tidak menerima konsep air musta’mal
2.Bersentuhan lelaki dan perempuan tidak membatalkan wudhu’
Azan
1.Azan juma’at sekali; azan kedua ditolak
Solat
1.Menganggap lafaz usolli sebagai bid’ah
2.Berdiri secara terkangkang
3.Tidak membaca ‘Basmalah’ secara jahar
4.Menggangkat tangan sewaktu takbir pada paras bahu
5.Meletakkan tangan di atas dada sewaktu qiyam
6.Menganggap perbezaan antara lelaki dan perempuan dalam solat sebagai perkara bid’ah (sebahagian Wahhabiyyah Malaysia yang jahil)
7.Menganggap qunut Subuh sebagai bid’ah
8.Menganggap menyapu muka selepas solat sebagai bid’ah
9.Solat tarawih hanya 8 rakaat; yang lebih teruk lagi, mengatakan solat tarawih itu sebenarnya adalah solat malam (solatul-lail) seperti yang dibuat pada malam-malam biasa.
10.Zikir jahar di antara rakaat-rakaat solat tarawih dianggap bid’ah
11.Tidak ada qadha’ bagi solat yang sengaja ditinggalkan
12.Menganggap amalan bersalaman selepas solat adalah bid’ah
13.Menggangap lafaz sayyiduna (taswid) dalam solat sebagai bid’ah
14.Menggerak-gerakkan jari sewaktu tahiyyat awal dan akhir
15.Boleh jama’ dan qasar walaupun kurang dari dua marhalah
16.Memakai jubah dengan singkat yang melampau
17.Menolak sembahyang sunat qabliyyah sebelum Jumaat
Doa, Zikir dan Bacaan al-Quran
1.Menggangap doa beramai-ramai selepas solat sebagai bid’ah
2.Menganggap zikir dan wirid beramai-ramai selepas sembahyang atau pada bila-bila masa sebagai bid’ah
3.Mengatakan bahawa membaca “Sodaqallahul-‘azim” selepas bacaan al-Quran adalah bid’ah
4.Menyatakan bahawa doa, zikir dan selawat yang tidak ada dalam al-Quran dan Hadis sebagai bid’ah
5.Menganggap amalan bacaan Yasin pada malam Jumaat sebagai bid’ah yang haram
6.Mengatakan bahawa sedekah pahala tidak sampai
7.Mengganggap penggunaan tasbih adalah bid’ah
8.Mengganggap zikir dengan bilangan tertentu seperti 1000, 10,000 dll sebagai bid’ah
9.Menolak amalan ruqiyyah shar’iyyah dalam perubatan Islam seperti wafa’, azimat dll
10.Menolak zikir isim mufrad: Allah Allah
11.Melihat bacaan Yasin pada malam nisfu Sya’ban sebagai bid’ah yang haram
12.Sering mengkritik kelebihan malam Nisfu Sya’ban
13.Mengangkat tangan sewaktu berdoa’ adalah bid’ah
14.Mempertikaikan kedudukan solat sunat tasbih
Pengurusan Jenazah dan Qubur
1.Menganggap amalan menziarahi maqam Rasulullah saw, para anbiya’, awliya’, ulama’ dan solihin sebagai bid’ah
2.Mengharamkan wanita menziarahi kubur
3.Menganggap talqin sebagai bid’ah
4.Mengganggap amalan tahlil, yasin bagi kenduri arwah sebagai bid’ah yang haram
5.Tidak membaca doa’ selepas solat jenazah
6.Sebahagian ulama’ mereka menyeru agar Maqam Rasulullah saw dikeluarkan dari masjid nabawi atas alasan menjauhkan umat Islam dari syirik
7.Menganggap kubur yang bersebelahan dengan masjid adalah bid’ah yang haram
8.Doa dan bacaan al-Quran di perkuburan dianggap sebagai bid’ah
Munakahat
1.Talak tiga (3) dalam satu majlis adalah talak satu (1)
Majlis Sambutan Beramai-ramai
1.Menolak sambutan maulid nabi; bahkan menolak cuti sempena hari Maulid Nabi; bahkan yang lebih teruk lagi menyamakan sambutan maulud nabi dengan perayaan Kristian bagi nabi Isa a.s.
2.Menolak amalan marhaban
3.Menolak amalan barzanji.
4.Berdiri ketika bacaan maulid adalah bid’ah
5.Menolak sambutan Ma’al Hijrah
PEMBELAJARAN DAN PENGAJARAN
1.Ramai para professional menjadi ‘ustaz-ustaz’ mereka (di Malaysia)
2.Ulama’ yang sering menjadi rujukan mereka adalah:
1.Ibnu Taymiyyah
2.Ibnu al-Qayyim
3.Muhammad Abdul Wahhab
4.Sheik Abdul Aziz Ibn Bazz
5.Nasiruddin al-Albani
6.Sheikh Soleh Ibn Uthaimin
3.Sering mewar-warkan untuk kembali kepada al-Quran dan Hadis (tanpa menyebut para ulama’)
4.Sering mengkritik Imam al-Ghazali dan kitab “Ihya’ Ulumiddin”
PENGKHIANATAN MEREKA KEPADA UMAT ISLAM
1.Bersepakat dengan Inggeris dalam menjatuhkan kerajaan Islam Turki Usmaniyyah
2.Melakukan perubahan kepada kitab-kitab turath yang tidak sehaluan dengan mereka
3.Ramai ulama’ dan umat Islam dibunuh sewaktu kebangkitan mereka
4.Memusnahkan sebahagian besar kesan-kesan sejarah Islam seperti tempat lahir Rasulullah saw, telaga baginda, tempat lahir Sayyiduna Abu Bakr dll, dengan hujah perkara tersebut boleh membawa kepada syirik
TASAWWUF DAN TAREQAT
1.Sering mengkritik aliran Sufi dan kitab-kitab sufi yang mu’tabar
2.Sufiyyah dianggap sebagai terkesan dengan ajaran Budha dan Nasrani
3.Tidak dapat membezakan antara amalan sufi yang benar dan amalan bathiniyyah yang sesat
Perhatian:
Sebahagian daripada ciri-ciri di atas adalah perkara khilafiyyah. Namun sebahagiannya adalah bercanggah dengan ijma’ dan pendapat mu’tamad empat mazhab. Sebahagian yang lain adalah perkara yang sangat kritikal dalam masalah usul (pokok) dan patut dipandang serius oleh ummat Islam.Ini adalah sebahagian daripada ciri-ciri umum golongan Wahhabiyyah yang secara sedar atau tidak diamalkan dalam masyarakat kita. Sebahagian daripada ciri-ciri ini adalah disepakati di antara mereka dan sebahagiannya tidak disepakati oleh mereka. Ini adalah kerana di dalam golongan Wahhabiyyah ada berbagai-bagai pendapat dan mazhab dalam berbagai peringkat. Apatah lagi apabila setiap tokoh Wahhabiyyah cuba berijtihad dan mengenengahkan pendapat masing-masing sehingga sebahagiannya terpesong terlalu jauh dari aliran Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Kami terpaksa mengugurkan banyak lagi ciri-ciri lain yang berkaitan bagi meringkaskan risalah ini. Wallahu A’lam.
Sekiranya anda seperti saya yg sekarang bekerja di perusahaan milik keluarta hindu india…
Pastilah akan meninggalkan tata cara tahlilan dg bilangan hari 3,7,40 100 1000….
saya tidak menyalahkan tahlilan, tapi saya hanya ingin membagi cerita…bahwa mereka yg beragama hindu ..bilangan 3,7 40 100 dan 1000 adalah bilangan ibadah mereka..untuk mengenang yg meninggal.
kenapa kita tidak mengambil bilangan 5 hari…misal!!!!
Hindu indonesia berasal dari hindu india….
Tidak termasuk golongan kami orang-orang yang menyerupai selain golongan kami. [HR. at-Tirmidzi].
oh..ya!
saya orang sekuler yg sedang belajar agama secara benar..
tolong jgn membuat bingung saya ya!
Ikut sumbangsih:
“Bersedekah atas nama mayit dengan cara yang sesuai dengan syara’ adalah dianjurkan, tanpa ada ketentuan harus tujuh hari, lebih tujuh hari atau kurang dari tujuh hari. Sedangkan penentuan sedekah pada hari-hari tertentu itu hanya merupakan kebiasaan masyarakat saja. Sebagaimana difatwakan oleh sayyid Ahmad Dahlan. Sungguh telah berlaku di masyarakat adanya kebiasaan bersedekah untuk untuk mayit pada hari ketiga dari kematian, hari ke tujuh, dua puluh dan ketika genap empat puluh hari serta seratus hari. Setelah itu dilakukan setiap tahun pada hari kemtiannya. Sebagaimana disampaikan oleh syaikh kita Yusuf al-Sunbulawini.” (Nihayah al-Zain,281)
“Kesunahan memberikan sedekah makanan selama tujuh hari merupakan perbuatan yang tetap berlaku hingga sekarang (zaman Imam Suyuti, sekitar abad IX H) di MAkkah dan MAdinah. YAng jelas, kebiasaan itu tidak pernah ditinggalkan sejak masa sahabat NAbi saw, sampai sekarang ini, dan tradisi itu diambil dari ulama salaf sejak generasi pertama (masa sahabat NAbi saw).” (Al-HAwi Li, al-Fatawi, juz II, hal 194).
Maaf, saya juga baru mengetahui bahwa ritual– yang dari Jawa itu ternyata banyak yang mengadopsi Hindu
Saya mendengarkan dari radio RDS FM Solo dengan pembicara Ust Abdul Aziz seorang mantan Hindu, menguasai kitab2 hindu, dan bisa menjelaskan dalilnya dalam kitab hindu.
Mungkin dari pembaca ada yang pernah merekamnya saya minta untuk mengupload, karena pentingnya permasalahan ini agar dapat didudukkan pada porsinya.
Tausiyahnya sangat ilmiyah, disaksikan oleh ribuan banyak orang, dan mudah dicerna oleh orang yang awam sekalipun.
Adakah seseorang yang pernah membuat penelitian tentang kondisi mayat pada hari ke 3, 7, dan 40.
Assalaamu’alaikum wr.wb.
Perkenankan saya yg bodoh ngasih gambaran sbb:
1.ada orang sholat sunah setelah sholat subuh/ashar
2.ada orang sholat pd saat takbirotul ikrom bacaannya diganti dg Allohussomad
3.ada orang membaca quran sambil berzina
4.ada orang sholat subuh 10 rokaat
5.ada orang berzikir keras2 di masjid sementara ada orang lg sholat
6. Ada orang puasa terus menerus tanpa berbuka
7.dan masih bnyk contoh lainnya.
dari yg saya contohkan mari kita sama2 merenung, siapa yg berani mengatakan kalo sholat sunah itu jelek, siapa yg berani mengatakan membaca quran itu dilarang, siapa yg berani melarang orang sholat subuh, selama itu pd aturan, waktu, tata cara yg sudah diajarkan rosulluloh, tp pasti kita akan satu suara bila ada orang sholat pd saat takbirotul ikrom diganti lafadznya jadi allohussomad, (bukankah membaca allohussomad bagus) satu suara jika ada orang sholat subuh 10 rokaat, (semakin bnyk pahala) satu suara jika ada yg sholat sunah ba’da subuh/ashar, (perbanyak sunah) padahal kita sama2 tau, allohussomad itu bacaan yg mulia, atau mungkin lafalnya diganti bacaan tahlil, tp saya berani jamin, semua orang islam entah itu nu, muhammadiyah, persis, sallafi, wahabi, pasti satu suara, itu bid’ah, keblinger, edan, atau apalah….why? Bukankah membaca tahlil itu dianjurkan, mulia, mendapat pahala, jawabnya ya kalo itu dilakukan pd tempatnya dan pd aturannya, dan akan menjadi BID’AH bila itu dilakukan bukan pd tempatnya, dan demikian juga dg yg lainnya, sholat,puasa,dzikir, baca qur’an dll, tentu kita sepakat itu amalan bagus selama dilakukan pd tempat aturan yg ada,
kembali ke masalah tahlilan, tentu kita sangat setuju bahwa semua bacaan dlm tahlilan semuaaaaaaaanya mulia, tujuannya mulia, selama dikerjakan sesuai yg diajarkan rosulluloh, jadi menurut saya pokok masalah yg diperdebatkan bukan masalah sampai tidaknya pahala ke si mayit, tp tentang aturan tata cara dan waktu dll dalam tahlilan itu sendiri yg dibuat buat seolah itu amalan mulia, saya bertanya tolong dijawab, apabila bacaan2 dalam tahlilan urutannya dirubah atau bacaanya diganti dg ayat quran yg lain boleh ga, kalo ga boleh kenapa alasannya, bukankah rosululloh tdk membuat aturan khusus urutannya ini, bacaannya ini, hr ke 3, 7, 40 dst. (amalan yg ditentukan tatacara waktu dan lainnya bukankah termasuk peribadatan) *ga tau jg yg nentuin gini gitu siapa*, niscaya kalau itu memang baik pastilah sudah dicontohkan rosululloh, sedangkan beliau tidak melakukan perbuatan tsb, rosululloh tahlil (bukan tahlilan) kita tahlil, rosululloh mendoakan arwah orang yg sudah mati kita ikut, rosululloh sedekah kita ikut, rosululloh tdk “TAHLILAN” eh kita tahlilan, lho…?!
Mudah2an Alloh memberi rahmatnya bg kita semua, amin.
Wassalam
–> hanya catatan kecil .. selama ini banyak yg memahami bahwa semua hal baru itu adalah bid’ah (sesat). Padahal bukan seperti itu, BID’AH yang sesat adalah semua hal baru yang MELANGGAR syariat. Tentang tahlilan .. tak ada syariat yang dilanggar. Semua sesuai tuntunan kanjeng Rasul Muhammad saw. Dalil-dalil bacaan tahlilan ada di blog ini juga. Jika anda membantah hal ini, tunjukkan saja syariat mana yang dilanggar dalam hal tahlilan. Tunjukkan saja bagian mana yang “tidak pada tempatnya”.
Semua aturan yg anda sebut itu hanya kebiasaan. Tak dilakukan juga tak apa-apa. Apa anda pernah menghadiri majelis seperti ini di berbagai daerah. Anda akan mengetahuinya.
wallahu a’lam.
mas omen,
pertama,
kami punya konsep pahala ibadah dikirim ke mayit, tahlilan itu cuma salah satu bentuk dari aplikasi dari konsep itu dan kebetulan bentuk tahlilan inilah yg paling populer.
masih banyak lagi bentuk2 lain dari konsep ini, yg saya jamin pasti akan bikin Wahabi pusing.
ada yg baca Quran sendirian dirumah dengan niat pahalanya untuk mayit si fulan, ada yg bagi2 nasi bungkus di lampu merah dengan niat pahalanya dikirim, dan banyak lagi..
sampeyan mau ngasi mobil sampeyan ke saya dengan niat pahalanya buat keluarga yg udah wafat juga bisa..
apapun bentuknya, tapi konsep awalnya tetap sama, dan menurut kami konsep itu ga bermasalah dengan Islam kok,
jadi kalo seandainya sampeyan punya konsep yg berbeda dengan kami, selama sesuai syariat Islam adalah hak sampeyan, kami ga ngotot kok..
yg jadi pertanyaan adalah :
klo kami punya konsep, sampeyan punya konsep, kita udah bertukar pikiran mengenai dalil/dasar masing.. dan ternyata memang tetap beda, KENAPA SAMPEYAN NGOTOT MEMAKSAKAN PENDAPAT SAMPEYAN?
sampai2 kami ini dibid’ahkan/dikafirkan??
kenapa mas? ada yg bisa jawab ga??
kedua,
mengenai kalimat sampeyan ini :
“Bukankah membaca tahlil itu dianjurkan, mulia, mendapat pahala, jawabnya ya kalo itu dilakukan pd tempatnya dan pd aturannya, dan akan menjadi BID’AH bila itu dilakukan bukan pd tempatnya, dan demikian juga dg yg lainnya, sholat,puasa,dzikir, baca qur’an dll, tentu kita sepakat itu amalan bagus selama dilakukan pd tempat aturan yg ada”
pertanyaan saya adalah : yg dimaksud “pada tempatnya” itu apa sih?
klo misalnya saya zikir/baca Quran di pesawat gimana?
klo saya baca salawat dideket orang sakit gimana?
mohon dijawab dengan bijak dan pikiran terbuka ya mas, trima kasih..
Ass. Wr. Wb.
Alhamdulillah..dan terimakasih saya bisa membaca dan mencoba menganalisa semampu kami..(kesempurnaan ilmu hanya milik Allah)
Sudah lama sekali saya mengharapkan pencerahan tentang hakekat kita hidup dan beramal.
Dengan memohon mapunan Allah saya pingin menyampaikan pendapat dan unek-unek saya tentang amaliyah/ibadah khususnya yang berkaitan dengan gencarnya ” Gerakan pemurnian aqidah”.
saya selaku orang awam salah satu yang saya pegangi (tentunya harus dikaitkan dengan ayat lain sesuai kaidah yang ada seperti asbabul wurut dan asbabun nuzul suatau ayat yng bersifat holistik). yakni Q.S Al-ma’idah ayat 3. yang terjemahan tekstualnya” Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu dan telah Aku cukupkan nikmat Ku bagimu dan telah Aku ridloi Islam sebagai Agamamu” berpijak dari ayat ini tentunya kami berpemahaman sudah tidak ada lagi embel-embel pemurnian akidah.
dan kalupun toh ada perbedaan hanya berkutat pada beberapa masalah furu’iyah ( tahlilan, qunut, pembacaac bismilah)…tetapi yang terjadi sekarang ini umat Islam sekarang saling menghujat dan menyesatkan karena berdasarkan hadits maaf kalu salah nulisnya ” Kullu bit’atin dholalatun..wa kulli dholaltun fin…narr”..dengan dasar ini..maka seolah2 amalan ibadah lain yang menjadi pilar dasar Islam (sahadat, Sholat, Zakat, Puasa, haji) dan juga dasar keimanan (Iman kepada Allah, Malaikat, kitab, Rasul, Kodo’kodar Allah, hari Akhir) menjadi terabaikan/termarjinalkan..padahal pada tataran ini tidak bermasalah.
Kami hamba yang lemah, dhoif dan jahil ini mersa gelisah..betapa umat hanya sibuk mengurusi hal-hal yang seharusnya bisa dihabiskan energi kita untuk beribadah, akhirnya hanya capai mengoreksi dan memelototi ibadah orang lain, padahal hakekat ibadah kita adalah mencari “ridlo”…dengan berdasar pada sumber pokok yakni Al-Quran dan Hadits(secara menyeluruh)..Bukan berdasarkan satu dua ayat dan beberapa hadits…..
Kita bisa melaksanakan sebagian kecil saja dng sungguh2/ikhlas sudah luar biasa..misalkan rutin bangun malam dan tahajut apalagi ditambah suka bersedekah..bermurah senyum..menjaga ukuwah..wah..tak terbayangkan betapa indahnya Islam.
kadang-kadang kita menjadi takut dan tidak nyaman justru dari saudara kita sendiri yang seiman..karena selalu..ditakut-takuti dengan amalan yang sia-sia..tidak bermanfaat dan neraka jahanam tempatnya….
Hamba yang lemah ini yakin….sesuai sifatnya yang maha Rahman, maha Rahim..Allah lebih tau tentang urusan hambanya ” Qul kullu ‘ala syakilatihi farabbukun a’lamu biman hua ahda syabiila”
Dengan demikian segala sesuatu yang kita laksanakan tentu sudah diyakini dengan sesungguhnya dan semata-mata berharab ridlo..Nya.semata. maslah perbedaan diantara manusia dalam memaknai…nyumangga’aken…Suwun.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Demikian Matur suwun.
Numpang nimbrung nih
>mnurut sy tradisi dan agama harus d pisahkan krn akan mbuat bentuk2 pribadatan baru,memang tak ada hadist yg mlarangnya krn mrupaka nbentuk pribadatan baru,seharusnya tradisi jng d jadikan agama tapi agamalah yg harus d jadikan tradisi.
>kalau pahala bs d hadiahkan ke si mayit buat apa kt hidup mencari pahala sbnyak-bnyaknya toh nanti kalau mninggal d kirimin pahala ga usah tkut msuk neraka.ini ga jauh beda dng agama konghuchu mrk biasa mngirim hadiah brp sepeda,mtr,wnita cantik dsb kpd si mayit.Demikian wasalamualaikum wrb.mhon maaf.
–> maaf .. sekedar koreksi. Anda mengatakan, “tradisi dan agama harus dipisahkan”. Tapi kemudian tak konsisten ketika juga mengatakan,”seharusnya tradisi jangan dijadikan agama tapi agamalah yang harus dijadikan tradisi”. Saya setuju dengan yang kalimat kedua, dan tak setuju dengan kalimat pertama. Itulah yang didakwahkan oleh para wali (wali songo). Ajaran islam pun merasuk sehingga terbentuk perilaku masyarakat yang kemudian menjadi tradisi.
yang kedua .. maaf, cukuplah dalil berikut dijadikan pedoman,
Semoga berkenan.
Kayaknya saya baru dengar hadits itu, kelihatan sungguh aneh. setahu saya juga ya kalo ngga salah di al Qur an juga ada, bahwa yang namanya sedeqah tu paling banyak pahalanya ya ketika sehat wal afiat, kalo sudak saqaratul maut aja sudah ngga diterima, apalagi sudah mati. kalo ngga salah salah itu ada deh ceritanya juga , , ,
Sudahlah wahai Wahhabi! Berhentilah merisaukan soal ‘ini syirik, itu bid’ah, mayoritas kaum Muslimin sudah menjadi musyrik’! Rasul tak merisaukan itu semua, karena mayoritas ummat Islam akan selamat dari syirik. Jadi janganlah kalian menuduh yang tidak-tidak kepada mayoritas kaum Muslimin. Justeru yang Rasul risaukan adalah kalian, wahai Wahhabi! Orang-orang seperti kalianlah yang membuat beliau risau, karena kalian saling hantam demi keduniaan.
SEBAGIAN UMAT NABI MUHAMMAD MELAKUKAN KESYIRIKAN
“Dan sebagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah melainkan dalam keadaan MEMPERSEKUTUKAN-NYA.” (QS. Yusuf: 106).
Dan yang aku khawatirkan terhadap umatku tiada lain adalah para pemimpin yang menyesatkan, dan apabila pertumpahan darah telah menimpa umatku maka tidak akan berakhir sampai hari kiamat. Kiamat tidak akan terjadi sebelum terjadi suatu kaum dari umatku yang mengikuti orang-orang musyrik dan beberapa kelompok dari umatku yang menyembah berhala. (HR. Al Barqoni)
BID’AH
Salah satu sebab yang menjadi bid’ah syariat adalah menggunakan dalil umum untuk hal-hal yg bersifat khusus.
Misalnya:
1. Ada orang yg berpuasa mutih, patigeni, ngalong, dsb dengan berdalil dari ayat Al-Qur’an Al-Baqarah 183.
2. Ada orang yg sholat birul walidain dengan berdalil ayat-ayat Al-Qur’an tentang perintah sholat.
3. Ada orang yg dzikir berjamaah suara keras dengan dalil ayat-ayat yg memerintahkan berdzikir sebanyak-banyaknya.
4. Ada orang yang selamatan kematian/kenduri arwah dengan dalil hadits-hadits tentang membaca tahlil atau bersedekah
5. Ada orang yg berdoa mengangkat tangan saat khotbah jum’at dengan dalil hadits-hadits mengangkat tangan saat berdoa.
Jika seseorang berdalil dgn nash-nash yg umum untuk hal-hal yg bersifat khusus maka semakin terbuka lebarlah orang-orang untuk membuat ajaran sendiri-sendiri. Maka seyogyanya seorang muslim untuk rajin membaca hadits-hadits dan atsar para sahabat yg lebih rinci agar tidak berdalil dengan nash-nash umum saja, mempelajari secara lebih detail kehidupan Rasulullah dan para sahabat.
Bukankah Rasulullah bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, patuh dan taat, walaupun dipimpin budak Habasyi, karena siapa yang masih hidup dari kalian, maka akan melihat perselisihan yang banyak. Maka berpegang teguhlah kepada sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang memberi petunjuk, berpegang teguhlah kepadanya dan gigitlah dengan gigi geraham kalian. Waspadalah terhadap perkara-perkara baru (bid’ah), karena setiap perkara yang baru adalah bid’ah dan setiap yang bid’ah adalah sesat”. [Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah].
Dari Abdullah bin Mas’ud, ia berkata, “Hendaklah kalian mengikuti, dan janganlah kalian berbuat kebid’ahan. Sungguh kalian telah dicukupkan dalam beragama dengan Islam ini”.
Imam Al Auza’i berkata,”Bersabarlah kalian di atas sunnah. Tetaplah tegak sebagaimana para sahabat tegak di atasnya. Katakanlah sebagaimana yang mereka telah katakan. Tahanlah dirimu dari apa-apa yang mereka menahan diri darinya, dan ikutilah jalan salafush shalih.”
Yg aku khawatirkan nanti adalah, ada sekelompok orang yg sholat ba’diyah/qobliyah Isya’ secara berjamaah dengan berdalil hadits: “Sholat berjamaah itu pahalanya 27 derajat”.
BAGI ORANG YG MEMBENCI SYAIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Ibnu Taimiyah adalah guru seorang ahli tafsir yg terkenal Al-Hafizh Ibnu Katsir yg makam beliau berdekatan dengan gurunya.
Ibnu Taimiyah adalah guru dari ahli hadits Al-Hafizh Adz-Dzahabi, gurunya Ibnu Rajab Al-Hanbali, dan Ibnul Qoyyim.
Berikut pujian para ulama thd Ibnu Taimiyah:
As-Suyuthi (pengarang Al-Itqan dan Tafsir Jalalain) mengatakan: Demi Allah, belum pernah kedua mata saya melihat orang yang paling luas ilmunya dan paling kuat kecerdasannya daripada seseorang yang bernama Ibnu Taimiyah, disertai sikap zuhudnya dalam berpakaian, makanan, wanita dan senantiasa tegak bersama al-haq (kebenaran) dan berjihad dengan segenap kemampuannya.
Kata beliau juga: Ibnu Taimiyah adalah seorang syaikh, imam, Al-Allamah, hafizh, kritikus, ahli fiqih, mujtahid, pakar tafsir yang ulung, Syaikhul Islam. Simbol kezuhudan, salah seorang tokoh yang langka di zamannya. Beliau adalah lautan ilmu, jenius dan ahli zuhud yang sulit dicari tandingannya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu (ahli hadits/penulis Syarah Shohih Bukhori) juga mengatakan (Fathul Bari 6/289): …tambahan ini tidak ada sedikitpun dalam buku-buku hadits. Hal ini telah diperingatkan oleh Al-Allamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah.
Di dalam kitab lainnya (At-Talkhishul Habir 3/179), Ibnu Hajar memuji beliau sebagai Al-Hafizh.
Terakhir, perhatikanlah ucapan As-Subki (ayah Tajuddin As-Subki) tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu, ketika menegur orang yang mencerca Ibnu Taimiyah: ?Demi Allah, hai Fulan. Tidaklah ada yang membenci Ibnu Taimiyah melainkan orang yang jahil atau pengikut hawa nafsu. Adapun orang jahil, dia tidak tahu apa yang dikatakannya. Sedangkan pengikut hawa nafsu, dia dihalangi oleh hawa nafsunya dari al-haq setelah dia mengetahuinya.
Jadi, hanya ada dua kemungkinan pada diri orang-orang yang memusuhi Ibnu Taimiyah rahimahullahu; orang jahil yang tidak mengerti apa yang dia katakan, atau orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sehingga ilmu dan kebenaran yang diketahuinya, tentang pribadi Syaikhul Islam atau pemikirannya, terkubur oleh dendam kesumat, kedengkian, dan kesesatan bid?ah yang diyakininya.
Untuk Mas Susanto,
Bagaimana pendapat Anda kalau Ibnu Taimiyyah mengatakan sbb :
( dalam kitab majmu` fatawa : 1/161-162 ) :
وكل بدعة ليست واجبة ولامستحبة فهي بدعة سيئة، وهي ضلالة باتفاق المسلمين. ومن قال في بعض البدع إنها بدعة حسنة فإنما ذلك إذا قام دليل شرعي على أنها مستحبة، فأما ما ليس بمستحب ولا واجب فلا يقول أحد من المسلمين إنها من الحسنات التى يتقرب بها إلى الله
Artinya :
” Dan setiap kebid`ahan yang tidak masuk kategori wajib dan juga tidak masuk kategori sunah maka ia ( bid`ah ) itu disebut bid`ah sayyi`ah ( jelek ) maka ia sesat ( dolalah ) menurut kesepakatan muslimin. Barangsiapa berpendapat bahwa ada sebagian bid`ah adalah hasanah (baik ), jika bid`ah itu berdiri atas dalil syar`i bahwa ia adalah mustahabbah ,sedangkan bid`ah yang tidak masuk mustahab dan juga tidak masuk wajib maka tidak ada seorangpun dari orang2 muslim berpendapat bahwa bid`ah itu baik untuk mendekatkan diri kepada Alloh.
Ibnu Taimiyyah juga berkata dalam kitab `Itidlo` Ash-shirotil mustaqim : 297 :
فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم
Artinya :
” Pengagungan maulid Nabi SAW dan memperingatinya pada musim2 tertentu seperti dikerjakan sebagian manusia maka baginya pahala yang besar karena niat baik dan karena juga pengagungan kepada Rosulalloh SAW.”
Bagaimana mas ?
aku mau tanya……………
kalau kita berbicara masalah do’a untuk orang yang meninggal sih jelas ada dasarnya. tapi kalau kita lihat cara didalam upacara tersebut apakah ada dasar. bukannya setiap do’a yang dianjurkan itu ada tuntunannya?? aku bingung bagt nich…. pencerahanya dong………..
intinya mengapa didalam tahlilan harus seperti itu do’anya, dan apakah ada dasarnya????
kalau kita lihat bahwa pengertian ahlisunnah waljamaah kan bagi umat muslim yang mengikuti perkataan dan mengikuti tingkah laku dari nabi muhammad serta khulafaurrosidin.
mohon pencerahannya……….
–> upacara yg mana mas/mbak? Doa diperbolehkan apapun, bahkan bahasa apapun. Pada dasarnya bebas membaca doa karangan sendiri, membaca doa dari al qur’an, atau doa yang lain-lain.
Dalam hal ini, pak rais biasanya pengin praktis, sehingga mencontek saja doa yang sudah ada. Tohh doanya sendiri (yg dicontek itu) sudah bagus dan sesuai tujuan,.. ada doa ayat al qur’an, mendoakan si mayit, dll. So.. tak ada masalah kan.
Anda benar .. bahwa pengertian ahlisunnah waljamaah adalah umat muslim yang mengikuti perkataan dan mengikuti tingkah laku dari nabi muhammad serta khulafaurrosidin. Namun kita tak hidup di zaman Rasul saw ataupun khulafaurrosidin. Maka perhatikanlah dari mana anda mengambil warisan baginda Nabi saw ini, karena siapa pun saat ini dapat mengklaim sebagai “mengikuti perkataan dan mengikuti tingkah laku dari nabi muhammad serta khulafaurrosidin”. Jangan terbuai oleh kerikil yg tampak emas.
Ambilah pelajaran dari para ulama, dan atas petunjuk ulama. Karena mereka lah pewaris Nabi saw. Dan jangan lupa.. berdoalah kepada Allah swt agar selalu diberi jalan yang benar, jalan yang lurus, jalan yang mendapat ridlo-Nya. Semoga kita selalu mendapat petunjuk-Nya. Amien.
Bagi saya, kita umat islam harus saling menghormati jangan saling mengajak/membid’ah2kan yang suka tahlil, karena semua pakai dasar sendiri-sendiri .was
setelah membaca semua para penulis yg masing2 mengeluarkan dasarnya..baiknya sesama muslim jangan saling memperdebatkan masalah khilafiyah..yg mengakibatkan iman kita yg membacanya jadi turun..bukankah itu yg diharapkan umat diluar islam,,karena mereka takut akan Islam rakhmatan lil ‘alamin..bahkan ada agama sampai dibela2in mengambil kitab ke barat (Al qur’an) yg filmnya diputar salah satu TV swasta ..kita yg punya itu kitab itu sendiri koq malah saling berantem..kalah dong sama yahudi yg menciptakan bom atom berdasarkan surat Al fill..seperti tulisan saudara abdullah alhabsyi diatas…maka kiranya perlu dicermati juga adanya…
–> Ini bukan saling memperdebatkan. Kami berusaha menampilkan hujah kami. Itu saja.
Hidup itu pilihan. Kalau saya diundang tahlil.. saya akan berangkat. Dalil, alasan, hujah banyak kami ungkap di sini. Kami menghormati orang lain yg punya pilihan berbeda. Kami tak ada masalah. Namun masalah kemudian terjadi ketika ada orang-mengolok-olok pilihan yg kami buat. Bahkan ketika julukan-julukan buruk dialamatkan ke muka kami.
Assalamualaikuk wr wb..
Apa hukumnya mengadakan acara tahlil 1th org meninggal yg dilakukan di hari raya idul adha?? Mohon jawabannya trima kasih
–> wa’alaikum salam wrwb. sama seperti mengadakan acara lain di hari raya. Lihat manfaat dan mudlaratnya mas..
Tahlil adalah sarana kita berdzikir dalam majelis untuk berdoa kepada Allah SWT, agar kita,keluarga kita,keluarga yang ditinggalkan diberikan pengampunan dan berkah dari Allah SWT. Saya pribadi tahu sejarah pergerakkan dan dakhwah Islam di Indonesia saya baca A sampai Z, terutama sejarah walisonggo .dan saya Alhamdulliha mendapatkan ridho dan rahmat terbesar untuk bisa memeluk Islam.
Saya masih setuju tahlil untuk kita laksanakan dan tidak harus dibatasi waktu 3,7,40.100 dan 1000.(memang orang tua dulu punya filosofi kenapa ada tanggal tersebut,search di google).jadi jangan kita saling menyerang ,mana yang memberikan kebaikan baik dari sisi ibadah dan kemanfaatan umat. mari kita kembangkan ,jangan sampai nanti malah tahlilan dipakai oleh orang non-muslim utk dahwah mereka. Semoga bisa kita renungkan.mohon maaf bila kurang berkenan
Saya sangat setuju dengan kegiatan tahlil, namun jangan di wajibkan kepada umat karena akan jadi bid’ah, jadi silahkan saja orang melaksanakan tahlil. Namun kalau tidak juga tidak apa2. Di sinilah permasalahan terjadi, sebagian ulama tidak akan berani memberikan pengertian kepada umatnya bahwa tahlil itu tidak dilarang, namun jika tidak dilaksanakan juga tidak apa2 ( khususnya tahlil pada orang meninggal ).
–> saya kira klaim anda bahwa “sebagian ulama tidak akan berani memberikan pengertian…..” perlu diuji lagi.
Menurut yg saya ketahui, para ulama sudah menjelaskan sedari dulu bahwa dzikir itu jelas kesunnahannya (sunah itu diberi pahala bagi yg mengerjakan, tidak berdosa jika ditinggalkan). Berdzikir dapat diamalkan di mana saja dan kapan saja.
Dan yg saya ketahui pula,.. tahlil termasuk salah satu dzikir, sehingga termasuk sunnah, .. dapat diamalkan di mana saja dan kapan saja, termasuk di tempat orang meninggal.
Orang yang pinter dengan membaca semua koment ini mestinya bisa mengambil yang benar ( lihat jawaban penulis sangat tidak klop, tema nya tahlilan, penjelasanya dipisah pisah, dadil kalimat tahlil sendiri, dalil doa sendiri, dalil sedeqah sendiri, , , , aneh kan padahal hadits dan Al qur an menggunakan bahasa arab, tentulah orang arab lebih tahu maknanya. Apalagi Nabi Muhammad yang bersabda, , , pasti beliau lebih tau maknanya. dari situ aja kalo pikiran kita bersih dan benar benar takut sama Allah pasti sudah bisa ngambil kesimpulan. Jadi orang pintar seharusnya tidak bingung, karena itu banyak ayat Al Qur an yang dalam akhir kalimatnya “bagi orang orang yang berfikir”. sesungguhnya jika ancaman melakukan bid ah adalah neraka maka, ahlul bid ah jika mati dalam keadaan masih melakukan banyak bid ah dan benar benar neraka ( meskipun surga dan neraka urusan Allah, tapi jangan remehkan ancaman Allah tentang apa apa yang bisa menyebabkan neraka), jawaban kalian semua tidak akan menolongmu kelak. Takutlah kepada Allah. Bagi saya kalo sudah 1 masalah saja menanggapinya sudah nyleneh dan lebih mengedepankan akal, maka dalam menanggapi masalah yang lain juga bakalan nyleneh, , menang dan kalah lebih penting bagi dia daripada kebenaran. dan sangat berbahaya jika orang awam mengikuti orang macam ini, jadinya sesat menyesatkan. Umat Islam jika kalian benar benar ingin menjadi Islam yang haqiqi, banyak banyaklah berdoa supaya dikasih jalan yang haq, , carilah ilmu yang haq setiap detik, karena mencari ilmu hukumnya wajib, jangan kedepankan nafsu.
Untuk Saudari Nur Asiyah,
Sebaiknya Anda mengikuti diskusi saya dengan Saudara Sukirno atau silakan mengomentari tulisan saya di artikel yang berjudul : Majlis Rosululloh tentang Tahlilan.
Agar bisa fokus….dan agar tahu juga siapa yang mengedepankan akal dengan berlandaskan nafsu dan siapa yang mengedepankan akal sehat dengan berlandaskan dalil syar`i….Terimakasih.
tahlilan ok
apa anda masih ragu dengan imam asy syafi’i?
Baiknya bagi yang melaksanakan “tahlilan” 1-7- dst dipertahankan dengan tetap mengedapankan prinsip tidak mewajibkan sebagaimana mewajibkan hukum sholat fardu, dan bagi yang tidak mau melaksanakan silahkan saja tidak apa-apa dengan tetap mengedepankan prinsip ahlak sesama sodara muslim, dengan tidak mencela dan mengklaim negatif atau silahkan timba keilmuan agama sedalam dalamnya dan seluas luasnya karena menjaga persatuan umat muslim lebih utama;
dan saya selaku sodara muslim menghimbau agar jangan belajar agama hanya melalui internet dan buku buku saja, tapi harus disertai guru nya dan bergurupun jangan hanya kepada satu atau dua guru karena ilmu islam itu luas bahkan ilmu yang diberikan kemanusia ibarat jarum yang dijatuhkan ke jerami…atau ibarat setetes air yang dicelupkan kelaut.
disertai keihlasan,niat mencari ilmu lillahi ta’ala.. ingsya Allah ukhuwah islam kita terjaga dengan baik dan harmonis.