Jangan Bikin Sekolah Seperti Peternakan

Belum tahu dia. Banyak sekolah (favorit) melakukan ini. Anak masuk jam 7.00, bahkan sebelumnya, pulang jam 15.00 atau 16.00. Anak sampai di rumah sudah lempe-lempe. Belum lagi PR-nya yg harus dikerjakan dari sekolah… seabrek-abrek. Menurutku ini sudh tak rasional.

Duhhh… kasihan anak-anak sekarang. Mereka tak punya waktu untuk dirinya sendiri. Tak punya waktu bermain, sekedar nendang bola pun.

Ini adalah akibat sistem kompetisi yang diterapkan (untuk meraih SMP favorit). Ujian masuk hanya berupa materi pelajaran otak. Tidak ada nilai untuk Budi Pekerti yang baik, akhlak yg santun, agama yang bagus, atau nilai positif di luar otak lainnya. Semua otak-tak-tak.

Anak sekarang tak sempat TPA, tak sempat main bola, tak sempat berkunjung ke rumah kakeknya. Mereka harus ikut proses peternakan yang namanya sekolah. (Ini istilah aku pinjam dari judul asli di bawah). Mereka dituntut mampu menghapal sebanyak-banyaknya, menjawab soal-soal dengan nilai setinggi-tingginya.

Adakah Bapak-Bapak yang terhormat …di atas sana … punya perhatian terhadap hal ini?

25/10/2007 16:32 WIB
Jangan Bikin Sekolah Seperti Peternakan
Nurvita Indarini – detikcom

Jakarta – Kerap terdengan orangtua mengeluhkan anak-anaknya yang kelelahan di sekolah. Saat kegiatan belajar mengajar, siswa dijejali materi pelajaran. Setelah bel pulang berbunyi, mereka pun berhamburan keluar kelas. Bila hanya ini yang terjadi, sekolah tak ubahnya peternakan.

“Kalau hanya sekadar diurus lalu diluluskan, tanpa memberi kesempatan siswa untuk aktif dan kreatif ya hanya seperti peternakan,” ujar psikolog senior Sartono Mukadis.

Hal itu disampaikan dia dalam simposium pendidikan di Gedung Pancagatra, Lemhannas, Jl Kebon Sirih, Jakarta, Kamis (25/10/2007).

Selain ilmu, sekolah juga harus memperhatikan aspek moral para siswanya. Sehingga tidak terjadi hanya yang ranking teratas saja yang jadi kebanggaan, tetapi juga siswa yang jujur, pandai berterimakasih, rendah hati, dan tidak segan menolong orang lain.

“Masih banyak lho yang sukanya nonton dan nggak nolong orang yang kena musibah,” lanjut Sartono.

Menurutnya, pendidikan dasar menentukan mutu SDM bangsa secara keseluruhan. Karena itu penanaman nilai harus dimulai sejak pendidikan dasar.

“Jadi, tidak sekadar materi pengajaran yang kaku, tapi sebagai falsafah pendidikan nasional sendiri,” sambung Sartono. (nvt/ana)