Sholu ‘ala Nabi (2)

BAB 2
HUKUM MEMBACA SHALAWAT KEPADA NABI MUHAMMAD SAW.

Pada prinsipnya bershalawat kepada nabi Muhammad saw adalah fardlu [“Asy-Syffa’ fi huquqil musthafa” J: 2, hal : 52]. Tidak khusus suatu waktu saja. Hal ini karena adanya perintah Allah SWT mengenai itu. Sedang para imam, utama pun menetapkan dalilnya, menyepakati “wajib”-nya (1) bershalawat kepada beliau saw.


Abu Ja’far Ath-thabary (Ulama ahli tafsir) berkata : “Pada hematku ayat perintah shalawat itu lebih banyak mengandung arti “Sunnah” (2) persepsi kesepakatan “Wajib” bagi ulama tentang bacaan shalawat memang dibuat. Boleh jadi membaca sharawat
yang “Wajib” hanya satu kali, sedang selebihnya merupakan “Sunnah”. Karena dengan terselesaikannya maka gugurlah sudah dosanya.

Sebagaimana ikrar Syahadatur rasul (ya’ni : mengakui kenabian, kerasulan nabi Muhammad saw) diperintahkan cuma satu kali, sedang yang selainnya adalah “Sunnah”. Hal ini memang dianjurkan, termasuk diantara sunnah islam serta merupakan lambang semaraknya para pemeluk lslam.

Kata qadli Abul Hasan Al-Oash-shaar,”Yang masyhur dari konsepsi ulama kami secara pokok bagi tiap orang untuk bershalawat kepada nabi saw, dengan sekuat mampu, ia difardlukan untuk itu, walau disepanjang usianya ia hanya membacanya satu kali.

Kata qadli Abu Muhammad bin Nashr, “Secara global membaca shalawat kepada nabi Muhammad saw adalah wajib.”

Kata qadli Abu Bakar bin Bukair. “Allah SWT telah mewajibkan sekalian hamba-Nya agar mengucap shalawat, salam penghormatan kepada nabi Muhammad saw, hal itu tidaklah khusus dilakukan pada waktu tertentu saja. Yang jelas seseorang diwajibkan
untuk memperbanyak shalawat, salam, dan jangan sampai lalai.

Kata qadli Abu AbduLLaH Muhammad bin Sa’id, “Menurut lmam Malik, para pendukungnya, juga para ulama lain : “Pada prinsipnya bershalawat kepada nabi saw adalah “waiib” karena berhubungan dengan ikatan “iman” dan pengamalannya tidak ditentukan tiada terbatas. Siapa yang sepanjang umurnya hanya bershalawat satu kali maka gugurlah sudah kewajibannya.

Menurut ulama pendukung imam Syafi’i, “Kewajiban bershalawat yang diperintahkan, rasul-Nya itu hanya dalam “shalat”. Sedang di luar shalat tidak dipertentangkan hukumnya, karena hal itu bukan wajib.

Hukum bershalawat dalam shalat :
Menurut Abu Ja’far Ath-Thabary, Ath-Thahawy, dan ulama yang sependapat, “Ulama” umat Muhammad baik generasi dahulu. maupun terkemudian telah sepakat, bahwa membaca shalawat kepada nabi saw di waktu duduk tahiyat tidaklah wajib.

Hal ini dibantah oleh imam Syafi’i, katanya, ” Siapa yang duduk tahiyat akhir, sebelumnya salam, ia belum membaca shalawat kepada nabi saw. maka rusaklah shalatnya. Kendati telah membaca shalawat (3) sebelum duduk tasyahud akhir (4) maka shalatnya belum mencukupi.

Pendapat ini belum pernah generasi shahabat, tabi’in ada yang mengemukakannya, juga tidak ada standard sunnah nabi saw yang dapat diikuti. Yang jelas masalah ini banyak ditentang oleh golongan ulama pendahulu Syafi’i, mereka tak sependapat dengannya. Tak sedikit ulama yang se abad menentang pendapatnya secara terang-terangan, antara lain : Ath-Thabary, Al-Qusyairy. Demikian komentar imam qadli, ‘lyyaadl.

Kata Abi Bakar Al_Mundzir (5), “Dalam shalat, seseorang disunnahkan agar mengucap shalawat kepada nabi Muhammad saw. Andaikan ia tinggalkan, maka shalatnya juga “sah”. Demikian menurut madzhab imam Malik, ulama Madinah, imam Sufyan Ath staury, segenap urama Kufah yang termasuk ahlur ra’yi dan lain- lain. Inilah pendapat sejumlah orang ahli ilmu terbanyak.

Diriwayatkan oreh imam Malik, Sufyan, “Membaca shalawat dalam duduk tahiyyat akhir adalah “sunnah”. Bagi yang meninggalkannya termasuk buruklah shalatnya.

Imam Syafi’i membantah, katanya, “Wajib mengulang shalat bagi yang meninggalkan bacaan shalawat baik disengaja maupun lupa lupa.

Menurut lshaq bin Rahawaih, “Andaikan disengaja ia wajib mengulangi shalatnya, jika terlupa tidak apa-apa.”

Menurut riwayat Abu Muhammad bin Aby Zaid, dari Muhammad bin Mawaaz, “Bershalawatlah kepada nabi Muhammad saw adalah “fardlu” (Pendapat ini sesuai dengan kata Muhammad bin ‘Abdul Hakam, dan ulama lainnya)

Menurut riwayat lbn Al Qash-shaar, Abdul-Wahhab, “Muhammad bin Al-Mawwaz juga sependapat dengan imam Syafi’i. Yaitu : Membaca shalawat kepada Nabi Muhammad saw dalam shalat adalah “fardlu” (wajib) (6)

Menurut riwayat seorang alim bermadzhab maliky, yaitu: Abu Ya’la dalam risetnya mengenai “Bacaan shalawat dalam shalat”, katanya, “Dari aspek berbagai madzhab di sini ada tiga pendapat: 1, Wajib 2. Sunnah 3. Nadb. (7)

Pendapat ini ditentang oleh Al-Khut-thaby (ulama pendukung imam Syafi’i, dan lain-lain), katanya, “Masalah ini memang dalam shalat tidaklah wajib sesuai dengan segoiongan fuqaha, hanya Asy-Syafi’i sendiri yang me”wajibkan” dalam madzhabnya. Setahuku hal ini tidak ada “dalil” yang dapat diikuti, memang bukantermasuk fardlu shalat dalam pengamalan salaf shalih sebelum Syafi’i, Mereka juga telah bersepakat mengenai ini. Dari itu tidak dapat disangkal kalau ulama lain banyak yang mengecam konsepsinya.

Selanjutnya kata Al-Khuth-thaby, “Dalam madzhabnya yang dipilih Asy-Syafi’i ialah tasyahhud yang diriwayatkan oleh shahabat AbduLLAH bin Mas’ud Al-Hudzaly ra, itulah yang diajarkan Nabi saw padanya, memang di dalamnya tak ada ucapan shalawat kepada nabi saw.

Dalam bacaan “tasyahhud” dari nabi saw menurut riwayat S Abu Hurairah ra, S. Ibn’Abbas ra, S. Jabir Al-Anshoru ra, S. lbn Umar ra, S. Abu Sa’id Al-Khudry ra, dan S. Abu Musa Al-Asy’ary ra, S. lbnu Zubair ra, juga tidak disebut shalawat kepada nabi saw.

Kata S. lbn ‘Abbas ra, S. Jabir ra (dipermulaan riwayat tasyahhudnya)”;

“Adalah Nabi saw mengajarkan “bacaan” pada kami ketika duduk bertasyahhud, sebagaimana beliau juga mengajari kami surat yang ada dalam Al-Our’an. (8)

Demikian pun riwayat s. Abu Sa’id ra tidak ada lafadz shalawatnya.(9) –

Kata S. lbn Umar ra :

“Adalah s. Abu Bakar Ash-shiddiq ra ketika di atas mimbar pernah mengajari kami kalimat tasyahhud (10), sebagaimana shahabat lain mengajari anak-anak cara membaca, menulis. Demikian pula s. umar bin Khath-thab ra saat berada di mimbar pernah mengajarkan bacaan tasyahhud. (11)

Dalam hadits nabi saw ada disebut sebagai berikut:

“Tidak “sah” shalatnya bagi yang tidak membaca “Shalawat” atas diriku. (12)

Komentar lbnul Oash-shaar, “artinya shalatnya tidak sempurna. Atau Bagi siapa yang sepanjang usianya tidak bershalawat kepada nabi Muhammad saw walau cuma sekali.

Dalam riwayat Abu Ja’far (13) dari S. lbn Mas’ud ra nabi saw bersabda :

“Barang siapa ber”shalat” satu shalat, di dalamnya ia tiada membaca shalawat atasku dan keluargaku, maka shalatnya tiada diterima AIlah SWT.”

Komentar Ad-Daaruquthny (14) Yang “benar” dari ucapan Abu Ja’far ialah, “Andaikan aku shalat, didalamnya aku tiada membaca shalawat kepada nabi saw, keluarga beliau, maka menurut hematku shalat itu tidak “sempurna”. (15)

==========

(1) Menurut undang-undang lslam; “Wajib” = Bagi yang cukup usia dibebani menjalankan perintah Allah SWT dengan sungguh-sungguh, ya’ni: Beban perintah_Nva diikutkan dengan pelaksanaan sebenar-benarnya dari si hamba, Karena kalimat perintah dengan sendirinya menunjukkan arti sungguh-sungguh dalam praktek amal. Otomatis mengikutkan “siksa” bagi yang meninggalkannya, atau berhubungan dengan hukum undang-undang lslam lainnya.

(2) “Sunnah” = Bagi orang mukallaf dibebani menialankan perintah lslam namun tidak ada sanksi didalamnya, kalimat itu dengan sendirinya tidak menunjukkan pelaksanaan amal dengan sungguh-sungguh. otomatis perintah itu berakit denqan hal yang tanpa adanya keseriusan amal.

(3) Dengan adanya hadits pelajaran bacaan tahiyyat atau tasyahhud ketika duduk di raka’at ke dua, terakhir yg ternyata tidak ada lafadz shalawatnya. Guna mengamalkan firman Allah SWT di QS: Al_Ahzab: 56 maka lmam Syafi’i masih mewajibkan bacaan shalawat sebelum salam.

(4) Tasyahhud = Tahiyyat. Karena di Oai”mnvlaOa bacaan At-Tahiyyatul ….. dan Asy-hadu an laa ilaaha illallah.

(5) Nama rengkapnya : Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mundzir An-Naisabury. Ber_ kuniyah: Abu Bakar. Ia hidup antara tahun 242 H – 319 H = 952 M – 931 M. Seorang ahli fikir, mujtahid lslam, ahli hukum, dan hafal Al Qur,an, meninggal di Mekkah. Pengalaman mengajar di Masjidil Haram (Mekkah). Diantara buah penanya a.l.:
1. At-Mabshuuth (fiqh Islam), 2. Ikhtilaaful Ulama, 3. Al-Isyraaf (mengungkap berbagai pendapat, aliran Ulama dahulu). Menurut “Lisanul-Mizan” J: 5, hal: 27 Yang pasti beliau wafat pada tahun 319 H.
Demikian ungkapan “Biografi Ulama Islam dahulu” a.l.: 1. Al-Wafiyaat: J: 1 hal: 461. 2. Thabaqatus-Syafi,iyah J: 2 hal: 162, 3. Lisanul-Mizan J:5 hal 27, 4. Al Wafi bil Wafiyat J:1 hal: 336, 5. Al “Alaam J:5 hal 294.

(6) Fardlu = Ketetapan Allah melalui dalil (nash Al-Our’an, Hadits), tak perlu diragukan lagi. Bagi yang ingkar dihukumi “Kafir” yang meninggalkannya disiksa, fungsinya sama dengan “wajib”
Rukun = Kelakuan yang menyempurnakan (di dalam) fardlu, wajib.
Ketiga kata ini dalam fiqh ada sedikit beda namun intinya sama.
Syarat = Kelakuan yang menyempurnakan (di luar) fardlu, wajib.

(7) – Perintah pesan (anjuran), bukan wajib.
Contoh : Kalau bisa si Fulan suruh datang kemari ! .

(8) H : catatan R : Muslim dari S: lbn ‘Abbas ra, juga dari S: Jabir bin ‘Abdullah Al Anshary ra. semuanya dalam R : Al_Hakim, an_Nasaa’ie, Ibn. Majah.

(9) Matan haditsnya lihat bab berikutnya

(10) bacaan yang harus ketika duduk tahiyyat pada raka’at Kedua, terakhir.

(11) H: diriwayatkan dalam cataran lmam lbn Abi Syaibah.

(12) H: Dla’if (lemah) R: catatan Ath-Thabarany, Al-Hakim.
Kata qadli ‘lyyadl “Semua ahli hadits menganggap “lemah” dalam riwayat hadits ini.

(13) Yaitu : Muhammad bin’Ali (Zainal Abidin) bin Husain (Syahid Karbala) bin S: ‘Ali bin Abu Thalib ra suami Fathimah binti Muhammad saw.,
Kuniyahnya Abu Ja’far, gelarnya: Al Baqir (Yang luas pengetahuan).
Syi’ah menganggapnya salah seorang dari imam dua belas, Ahlussunnah menganggapnya
salah seorang ulama ahlul bait (keluarga nabi saw) yang terpercaya, harus dihormati.

(14) Namanya : ‘Ali bin Umar bin Ahmad bin Mahdi (306 H – 385 H = 919 – 995 M.
Lahir, Wafat di “Darel Quthn,’ Baghdad. Seorang ahli hadits, lmam besar di masanya, pendukung madzhab Syafi’i. Banyak sekali buah penanya a.l.: 1. Sunan Daraquthni .2. Al-llal Wiridah fll ahadits nabawiyah (bidang Hadits) dan berbagai kitab “Qiraa’at”.

(15) Tertera dalam ” Wafiyaatul-a’yaan” J: 1, hal: 331, “Miftahus sa’aadah” J: 2, hal : 14, “Al-Lubaab” J: 1, hal: 404, “Ghayatun-nihayah” J: 1, hal : 558, “Tarikhu baqhdad”, J: 12, hal: 34, “Al-A’laam” J: 4. hal: 314.