Kritik: Menyoal Dzikir Berjamaah
Beberapa waktu yang lalu, ku ditunjuki sebuah artikel dengan judul,”Menyoal Dzikir Berjamaah”. Di sana dikatakan, dzikir berjamaah dengan suara keras yg dipimpin oleh seorang ustadz adalah bid’ah sesat. Dengan kata lain pelakunya masuk neraka semua. Ahh .. ahh, sedemikian kejam kah Tuhan kita. Orang yg berharap ridlo-Nya kok malah diganjar sesat.
Sebenarnya bisa saja artikel ini kuanggap sebagai HOAX, karena ga ada pengarangnya. Tak ada yg berani bertanggung jawab. Seperti selebaran gelap. Tapi ternyata artikel ini sdh banyak dimuat di blog2, dan di web2. Maka ku ingin menanggapi sekedarnya, dengan ilmu yg terbatas ini.
Tulisan tidak dicopy paste ke sini semua. Hanya yang ditanggapi saja yang dikutip di sini. Tanggapan kami ditulis miring dan cetak biru.
Artikel lengkap dapat diperoleh dari search google dengan kata kunci “Menyoal Dzikir Berjamaah”. Ada juga tanggapan habib Munzir di Majelis Rasulullah ttg artikel ini.
Semoga Allah swt selalu menunjuki kita jalan hidayah-Nya. Amien.
.
********* Awal Artikel **********
1. Jama’ah Dzikir dan Dzikir Berjama’ah Dipahami Semakna.
………………..
Beranggapan bahwa jama’ah dzikir dan dzikir berjama’ah memiliki makna yang sama merupakan sebuah kekeliruan. Jama’ah dzikir merupakan sekelompok orang yang melakukan berbagai amal ketaatan yang masuk pada kategori dzikir, tanpa harus dipahami bahwa mereka melakukan itu dengan cara bersama-sama, satu suara dan serempak.
Ini adalah masalah tata bahasa. “Jamaah” dalam hal ini adalah kata benda, sedangkan “berjamaah” adalah kata keterangan. Sebagaimana kalimat berikut,
Orang-orang melakukan sholat maghrib berjamaah. Jamaah sholat maghrib itu bertakbir bersama-sama.
Di sini, “jamaah sholat maghrib” adalah subyek kalimat, dan “sholat maghrib berjamaah” adalah obyek. Bedakah orang-orang yang melakukan sholat maghrib itu? Tidak. Maksudnya sama, orang-orangnya sama. Perbedaan hanya pada posisi/ letak kata. Yang satu .. jamaah sholat maghrib .. sebagai kata benda (subyek dalam kalimat), yg lain .. sholat maghrib berjamaah .. sebagai obyek dan kata keterangan.
Dengan analogi yg sama, tidak ada beda antara “orang-orang yang melakukan dzikir berjamaah” dengan “jamaah dzikir”. Kedua kata itu maksudnya sama, yaitu bahwa jamaah dzikir adalah orang-orang yang melakukan dzikir berjamaah.
Mengenai kata-kata ini,” tanpa harus dipahami bahwa mereka melakukan itu dengan cara bersama-sama, satu suara dan serempak.“, .. ehm .. adakah ulama salafus shaleh, tabiin, tabiit tabiin, serta ulama2 sesudahnya yg berpendapat demikian. Di kitab manakah kalimat semakna ini termuat. Saya kira kata-kata itu hanyalah hasil angan-angan/ utak-atik penulis artikel saja.
Yang masuk kategori dzikrullah (dzikr kepada Allah subhanahu wata’ala) menurut para ulama di antaranya adalah majlis-majlis ilmu, halaqah al-Qur’an, bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan semisalnya.
Setuju. Dzikir secara umum bermakna mengingat Allah. Termasuk menyebut kalimat-kalimat dzikir, berdoa kepada-Nya, serta majelis-majelis yang membahas ilmu, yang mendekatkan diri kita kepada-Nya.
……………….., sedangkan dzikir berjama’ah dengan satu suara adalah sesuatu yang masih dipertanyakan, kalau tidak dibilang sama sekali tidak memiliki dasar.
Dengan tanggapan kami di atas, bahwa jamaah dzikir adalah orang2 yg melakukan dzikir berjamaah, maka dzikir berjamaah mempunyai dasar yg kuat.
Di antara ayat yang dipahami sebagai anjuran dzikir berjama’ah adalah sebagai berikut, artinya;
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. 3:191)
Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjama’ah karena menggunakan sighat (konteks) jama’ (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut mereka jama’ berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama.
………………………….
.
Ayat di atas adalah keutamaan untuk mengingat Allah dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam kesendirian maupun saat bersama-sama, memikirkan tentang kebesaran Allah swt, serta senantiasa untuk berdzikir kepada-Nya.
Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)
Imam An-Nawawi dalam syarah beliau mengatakan bahawa: “hadis ini menunjukkan tentang kelebihan majlis-majlis zikir dan kelebihan orang-orang yang berzikir, serta kelebihan berhimpun untuk berzikir beramai-ramai.
Ada yg mengatakan, itu maksudnya adalah majelis yang membahas ilmu. Penafsiran itu tidak ada salah, namun tidak dapat menafikan juga bahwa majelis itu adalah majelis yang membaca kalimat-kalimat dzikir secara bersama-sama.
Membatasi secara mutlak hanya pada majelis ilmu saja malah justru membantah mereka bahwa dzikir harus dengan sirr. Dapatkah majelis membahas ilmu dilakukan secara sirr, dalam hati masing-masing? Tidak mungkin.
.
Perhatikan pula hadits berikut,
Dari Abu Hurairah ra. berkata,Rasulullahsaw. bersabda:”Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat yang berlalu-lalang di jalan untuk mencari majlis dzikir, di mana bila mereka mendapatkan sesuatu kaum yang berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla mereka memanggil malaikat-malaikat yang lain dengan berkata: “Marilah ke sini menyaksikan apa yang kamu cari”, kemudian para malaikat membentangkan sayapnya sampai ke langit dunia, lantas Tuhan bertanya kepada mereka padahal Tuhan telah lebih mengetahui: “Apa yangdiucapkan oleh hamba-Ku?”
Malaikat itu berkata:”Mereka mensucikan-Mu, memuji-Mu mengagungkan-Mu”.
Tuhanbertanya:”Apakah mereka pernah melihat Aku?”
Para malaikat menjawab:” Demi Allah, mereka belum pernah melihat Engkau”.
Tuhan bertanya:”Bagaimana seandainya mereka pernah melihat Aku?”
Para malaikat menjawab: “Seandainya mereka pernah melihat Engkau niscaya mereka lebih giat beribadah kepada-Mu, lebih giat mengagungkan Engkau, dan lebih giat mensucikan Engkau”.
Tuhan bertanya: “Apakah yang mereka minta?”
Para malaikat menjawab: “Mereka meminta surga kepada-Mu”.
Tuhan bertanya: “Apakah mereka pernah melihat surga?”
Para malaikat menjawab:”Demi Allah,wahai Tuhanku merekabelum pernah melihatnya”.
Tuhan bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?”
Para malaikat menjawab: “Seandainya mereka pernah melihatnya niscaya mereka lebih bersemangat untuk mencapainya, mereka lebih giat untuk memohonnya, dan mereka sangat mengharapkannya”.
Tuhan bertanya:”Dari apakah mereka berlindung diri?”
Malaikat menjawab:” Mereka berlindung diri dari api neraka”.
Tuhan bertanya: “Apakah mereka pernah melihat neraka?”
Para malaikat menjawab:” Demi Allah, mereka belum pernah melihatnya”.
Tuhan bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?”
Para malaikat menjawab:” Seandainya mereka pernah melihatnya niscaya mereka lebih menjauhkan diri daripadanya dan mereka lebih takut terhadapnya”.
Tuhan berfirman: “Maka saksikanlah olehmu bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka”.
Ada salah satu malaikat yang berkata: “Di dalam majlis itu ada si Fulan, seseorang yang bukan termasuk ahli dzikir, ia datang di situ karena ada sesuatu kepentingan”.
Tuhan berfirman: “Mereka semua adalah termasuk ahli dzikir, di mana tidak ada seorangpun yang duduk di situ akan mendapatkan kecelakaan/siksaan”.(Riwayat Bukhari dan Muslim).
Disebutkan bahwa malaikat mencari-cari majelis dzikir. Disebutkan pula bahwa orang-orang yang berada di dalam majelis dzikir itu adalah orang-orang yang membaca tasbih, takbir, tahlil dan tahmid, dan mereka juga mengajukan permohonan kepada Allah di dalam majelis itu. (“yusabbihuunaka, wa yukabbirunaka, wa yuhalliluunaka, wa yuhammiduunaka, wa yas’aluunaka” )
Maka tidak salah apabila kemudian ada ummat yang membentuk majelis-majelis dzikir. Majelis dzikir seperti ini adalah majelis yang penuh berkah. Bahkan ketika ada orang yang “kebetulan hadir di dalam majelis tersebut karena ada keperluan lain”, maka dia ikut mendapatkan keberkahannya.
.
3. Memahami Dalil Umum dengan Pemahaman Khusus
Di antara dalil umum yang menyebutkan tentang keutamaan dzikir yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergabung dalam salah satu jama’ah dzikir.
Di dalam hadits tersebut memang disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergabung dalam jama’ah dzikir, tetapi riwayat ini masih bersifat umum, tidak menyentuh pada kaifiyat (tata cara) pelaksanaan dzikir. Tidak dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin dzikir lalu ditirukan oleh para sahabat, atau mereka melakukannya bersama-sama dengan satu suara tanpa komando dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau bagaimana?
Berikut saya kutipkan tentang salah satu kisah Rasulullah saw mengucap dzikir bersama-sama dengan para sahabat. Dikutip dari Majelis Rasulullah sebagaimana link yang ditunjukkan di atas.
2). Saat membangun Masjidirrasul saw : para sahabat bersemangat sambil bersenandung : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah” setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah.. ” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’ masjidissyarif hal 116)
Tentang penggunaan dalil umum, tidak ada dalil yang melarang untuk menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum, selama tidak melanggar syariat. Pelarangan ini tidak berdasar dan justru melanggar syariat, karena mengharamkan yang halal. Pelarangan secara mutlak inilah yg merupakan bid’ah sesat itu sendiri.
Sebagai contoh, perhatikan dalil keutamaan salah satu kalimat dzikir berikut. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,
“Dua kalimat yang ringan diucapkan, berat dalam timbangan, sangat dicintai oleh Allah Yang Maha Pengasih, yaitu:”Subhanallahi wa bihamdihi. Subhanallahil ‘Azhim.”(Bukhari-Muslim).
Dalil ini telah memayungi secara umum untuk diamalkan kapanpun, di manapun, dan berapa kalipun. Sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Ketika ada seseorang ingin mengamalkannya, ia membiasakan diri mengucapkannya 1x setiap sebelum tidur. Orang itu mengamalkan ilmu yg diketahuinya, berharap ridlo-Nya. Berharap semoga dzikirnya itu menjadi tabungan amalnya kelak di akhirat.
Hanya seorang yang jahil yang mengatakan,”Ini adalah bid’ah sesat yang nyata … pelakunya masuk neraka. Tidak ada contoh Nabi saw mengucapkan kalimat itu sebelum tidur”.
.
Ketidakjelasan tentang bagaimana pelaksanaan dzikir ini menunjukkan bahwa mereka melakukannya tidak dengan berjama’ah, namun masing-masing berdzikir atau berdo’a sendiri-sendiri.
………………………………………
Klaim itu adalah penafsiran sendiri. Siapakah ulama salafus shaleh yg menafsirkan demikian? Tidak ada. Ketidakjelasan pelaksanaan dzikir membolehkan kita berdzikir bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Pelarangan terhadap salah satunya adalah bid’ah sesat. Karena mengharamkan kepada hal yg dibolehkan.
Keutamaan dzikir berjamaah telah ditunjukkan di atas. Jika orang-orang berdzikir secara berjamaah, adalah otomatis mereka membaca dzikir bersama-sama. Ada adab majelis, selain itu juga menambah kekusyu’an. Dapatkah anda bayangkan jika ada orang membaca dzikirnya sendiri yg berbeda dengan bacaan jamaah. Itu pastilah mengganggu.
Tentang dipimpin oleh seorang ustadz, itu adalah termasuk untuk menambah kekusyu’an juga, biar serentak. Selain itu juga untuk mengajarkan kepada orang-orang yang masih awam, belum hafal. Membid’ahkan hal ini adalah sesuatu yang naif. Mengajarkan dzikir pasti dengan dipimpin.
Di samping itu, telah kita ketahui bahwa doa adalah bagian dari dzikir. Di dalam ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali doa-doa yang bersifat jamak (untuk bersama-sama) bukan tunggal (sendirian). Jika dzikir bersama-sama adalah haram, maka doa bersama-sama adalah juga haram. Maka beranikah para anti dzikir berjamaah ini mengganti semua doa-doa yang bersifat jamak di dalam Al Qur’an menjadi bersifat tunggal. Dhomir NAHNU menjadi ANA. Niscaya mereka selain termasuk orang yang mengharamkan perintah Allah, juga termasuk perubah Ayat Al-qur’an. Na’udzubillah
.
………………………………………………
Dzikir bersama yang berkembang akhir-akhir ini, kalau kita cermati ternyata merupakan perkara baru dalam Islam, baik dari sisi cara pelaksanaannya yang dilakukan secara bersama-sama dengan dipimpin seorang pemandu, atau dari sisi bilangannya yakni membaca kalimat ini sekian puluh, atau ratus, atau ribu kali dan juga terkadang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu seperti malam Tahun Baru Hijriyah dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah dikatakan benar dan memenuhi kriteria ittiba’ (meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) apabila sesuai dengan petunjuk beliau dari sisi sebab, tata cara, waktu, bilangan, jenis dan tempatnya. Dan segala sesuatu yang tidak pernah dikhususkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kita pun tidak boleh mengkhususkannya juga. (Ibnu Djawari)
Tidak setiap yang baru mesti bid’ah sesat. Imam Syafi’i telah menjelaskan, ada bid’ah syayyi’ah dan bid’ah hasanah. Dan dzikir adalah perkara ibadah ghairu mahdah.
Perhatikan pula tentang hadits Muadz berikut,
Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, maka beliau bersabda:
“Bagaimana engkau menghukum?.” Muadz berkata: “Aku akan menghukumi dengan apa yang ada di dalam Kitabullah.” Beliau bersabda: “Maka jika tidak ada dalam Kitabullah?.” Muadz menjawab: “Maka dengan sunnah Rasulullah SAW.” Beliau berkata lagi: “Maka jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?.” Mu’adz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan fikiranku.” Rasulullah SAW bersabda: “Segala puji bagi Allah yang tela hmemberi taufiq pesuruh Rasulullah SAW.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Darami)
Hadits ini diterima dan dipergunakan hujah oleh sebagian besar para ulama ahli hadits dan ahli ushul fiqh. Perhatikan bagaimana ketika sahabat Muadz itu menjumpai perkara-perkara yang tak diketemukan di Al Qur’an dan sunnah Rasul. Beliau tidak mem-vonis semuanya sbg bid’ah sesat. Namun menelitinya terlebih dahulu dengan fikirannya. Rasulullah saw pun menyetujuinya.
Tentang istilah tata cara baru ibadah, saya tak paham apa yang dimaksud tata cara ibadah? Kalau yang dimaksud adalah syarat-syarat, maka tidak ada ketentuan syarat-syarat yang baru selain dari yang telah disyariatkan. Misal menutup aurat, bersuci untuk membaca al qur’an, dll.
Kalau yang dimaksud tata cara adalah rukun-rukunnya, maka tidak ada penetapan rukun-rukun di dalam dzikir berjamaah ini. Bacaan sekian kali, dan pengucapan kalimat Allah yang berturutan adalah untuk kebersamaan, bukan sebagai rukun atau tata cara yang mesti demikian. Kebersamaan akan menambah kekusyu’an.
Tanyakanlah pada ustadz yang memimpin jamaah dzikir itu, adakah penetapan syariat dzikir yang baru? Bahwa kalau tidak sesuai dengan itu maka dzikirnya tidak sah? Tidak ada. Jadi ini hanya angan-angan para anti dzikir jamaah saja. Dan berdasar angan-angan itu mereka membid’ah sesatkan.
Kalaulah sekarang keadaan dibalik.
Misal, anda mengkaji kalimat-kalimat dzikir kepada ustadz anda. Dijelaskan tentang bacaan-bacaan dzikir di dalam al Qur’an dan hadits2 Nabi saw. Ketika si murid tak paham, dan minta dipraktekkan. Maka ustadz anda mempraktekkannya, anda menirukan, teman-teman anda juga menirukan. Ustadz anda mengulang-ulang, murid-murid pun mengikutinya.
Jika anda mengatakan dzikir berjamaah adalah bid’ah sesat, maka jamaah pengajian anda itupun melakukan bid’ah sesat pula.
.
Wallahu a’lam.
Hmmm. memang yang berhubungan dengan khilafiyah… sering banyak yang menjadi kontroversi… dan yang memberikan masukkanpun sangat beragam dari ulama-ulama yang “handal”…
setahu saya…, selama saya meyakini itu.., tidak menunjukkan adanya syirik, sebagai dosa besar, ataupun keluar dari tuntunan Al-Qur’an dan pernah diriwayatkan dengan hadist yang shahih (jelas sanadnya)… tidak mengapa dikerjakan… dan tidak perlu diperuncing dengan “kekeh”. Karena perbedaan yang diimplementasikan dengan perpecahan… malah memperburuk ukhuwah diantara umat Ialam…
Hmmm bukankah Allah… melihat semua perbuatan kita tidak “sepotong-sepotong”… dan tidak pula menilai dihasil akhir????
(sungguh hanya Allah kebenaran yang hakiki)
Maafkan bila saya salah….
Waalaikumsalam warrahmatullahi wabarakatuh
–> Wa’alaikum salam wrwb. Salam kenal mbak … Tulisan ini tak ada maksud lain kecuali hanya berusaha meluruskan persepsi/ pemahaman yg saya rasa keliru dalam artikel itu.
Juga mengingatkan bahwa nama penulis itu penting dalam sebuah artikel.
wahhhh,,, sy setuju tu,, ama komentrx ukhti,,,,
ZIKIR ITU…
SENDIRIAN DAN BERJAMAAH SAMA2 BAIK. dengan syarat mesti ada IMAM nya atau MURSYID nya agar tidak disesatkan syetan
ZIKRULLAH …. MENGINGAT ALLAH.
Kenapa mesti dipersoalkan?
Ummat Islam sekarang paling suka menyalahkan saudaranya sendiri,
orang Yahudi, Nasrani maju terus dalam Teknologi dan Ekonomi…
Ummat Islam asyik bertengkar tentang khilafiah…
Marilah saudaraku kita bersatu…
–> Setuju mas. Salam kenal. Kritik ini berusaha meluruskan hal2 yg kami anggap tidak pas. Bukan untuk mencaci atau meremehkan saudara sendiri. Diskusi sehat yg kami harapkan.
Salafy itu bukan ulama salaf tapi wahabi salafi itu orangnya….. salah pikiran (SALAFY),,,hahahahahahahaha
Assalamu’alaikum!
ikutan urun rembuk.
Perlu ditegaskan Zikir berjamaah yang mana yang tidak boleh berjamaah?
Khusus Setelah Sholat harus disikapi dengan Hati-hati.
Ibnu Abbas berkata:
“Sesungguhnya mengeraskan suara saat berdzikir ketika orang selesai shalat telah ada pada jaman Nabi”dikeluarkan Bukhari(841-842)
Ibnu Hajar berkata,” Ibnu Bathal menuturkan dalam (Al-‘Atabiyah) dari Malik disebutkan bahwa itu perkara yang baru”. Imam Nawawi berkata,” Imam Syafi’i membawa pengertian hadits tersebut bahwasanya para sahabat dulu membaca secara keras hanya sebentar untuk keperluan pengajaran sifat dzikir dan tidak terus menerus membaca jahr”.Pendapat yang terpilih, imam dan makmum melirihkan dzikirnya kecuali jika dibutuhkan untuk pengajaran.Al-Fath(2/379) dikeluarkan Bukhari (841-842)
Pertimbangan yang lain adalah, lihat dulu adakah nggak masbuk yang masih sholat, karena nabi Muhammad saw. juga merasa terganggu dengan bacaan yang keras pada sholat berjamaah ,apalagi manusia biasa.
assalamualaikum wr wb
tentang dzikir brjamaah ya?
bukankah agama kita ini sudah lengkap dan sempurna? bukankah nabi telah mengajarkan dan menyampaikan risalah dari langit dengan lengkap dan jelas sampai dia menghadap allah di usianya yg ke 63?tidaklah allah swt mencabut muhammad bin abdullah pada saat itu di usia beliau jika islam belum disampaikan ke umatnya?allah brfirman,”alyauma akmaltu lakum dinakum wa atmamtu ni’mati warodhitulakum islammadinnah.”
pantaskah kita menuduh rasullulah belum mengajarkan semua ajaran islam?dari hal terkecilpun seperti masalah buang hajat(seperti yang di riwayatkan oleh sahabat salman al farisi)pun telah diajarkan oleh nabi saw kpada umatnya.
kita tengok masalah dzikir brjamaah apakah rasulullah prnah mngajarkannya?
bukankah syarat sahnyah ibadah itu ada 2 yaitu iklas karena allah dan sesuai tuntunan?
skr saya tanya,jika anda sholat subuh 3 rakaat apakah ibadah anda d trima?tentu tidak bukan?begitu halnya dengan zikir jamaah…
tidakkah anda tahu hadist ini,”fa inna asdaqol haditsi kitabullah wa khoirul haddihadyi muhammad salolauhu alaiwasalam wa sarol umuri mukhdatsatuha wa kulla mukhdasatin bidahtin wakulla bidatin dholala wakulla dhollati finnar”(sesungguhnya sebaik2 petunjuk adalah ptunjuk allah swt dan sebaik2 prkataan adalah perkataan rasulullah saw dan sejelek jelek perkara adalah PERKARA BARU YANG DIADA-ADAKAN DALAM AGAMA,PERKARA ITU ADALAH BIDAH,SETIAP BIDAH ADALAH SESAT DAN KESESATAN ITU TMPATNYA D NERAKA)
renungkan wahai saudarku seiman?semoga saya dan anda selalu diberi hidayah dan jalan yg lurus dalam memahami dienul islam ini sehingga kita bukan termasuk orang2 yang tersesat didalam memahami agama yang telah sempurna ini….bukankah allah swt berfirman,”tidaklah setelah kebenaran itu melainkan kesesatan?”
–> Benar .. agama ini telah sempurna. Kesempurnaan agama ini antara lain ditandai dengan tak dimatikannya peran akal manusia. Tidak semua hal yg baru itu sesat. Simak hadits Muadz di atas. Bagaimana jika ada hal2 yg tak ada dalam Al Qur’an dan sunnah Rasul saw? Atau .. bagaimana jika tak ditemukan cotntoh Nabi saw? Setiap masalah pastilah hal baru. Dan jawaban sahabat Muadz telah jelas, beliau tidak otomatis mensesatkannya.
Kalimat “Rasulullah saw tak mencontohkan dzikir berjamaah” adalah kalimat klasik para anti dzikir berjamaah. Jawaban kami di atas telah menerangkan hujah-hujahnya. Simaklah. Ada banyak sekali dalil tentang majelis dzikir. Andai anda berkeras juga, cobalah hadirkan kepada kami tentang praktek majelis dzikir yg sesuai persis dengan contoh Nabi saw.
Dzikir berjamaah bukan bid’ah (sesat). Karena bid’ah (sesat) adalah yg menciptakan syariat baru yang melanggar syariat al Qur’an dan sunnah Nabi saw. Kebiasaan kaum wahaby adalah mereka pertama kali memakai definisi bid’ah menurut Imam Syatibi (bid’ah menurut istilah), kemudian menembakkannya ke semua perkara baru dengan definisi umum (bid’ah menurut bahasa). Artinya mereka membid’ahkan semua hal yg baru, padahal imam syatibi mendefinisikan bid’ah (yang sesat) hanya untuk hal-hal baru di dalam syariat (agama).
Dzikir berjamaah bukan bid’ah (sesat). Tidak ada syariat yg baru dalam praktek dzikir berjamaah ini. Tampaknya anda tak tahu bahwa shalat subuh itu ibadah mahdah, sedangkan dzikir itu termasuk ibadah GHAIRU MAHDAH. Tampaknya anda tak meresapi bantahan kami di atas.
Maaf kalau tak berkenan
membukukan AL QUR’AN dan membukukan HADISTadalah BID’AH dan sekarang anda menbaca AL QUR’an dan HADIST yg telah di bukukan
berarti ANDA (adit) termasuk orang yg MUNAFIK dan SESAT.
asslklum?!! maaf numpang lewat> yaaah saya heran pada orang yang ber”jidal” ria kenapa kok semua ini kita lakukan dg sia-sia. kita kan sudah tahu bahwa allah ta’ala memerintahkan pada kita:agar kita selalutaat pada alllah ta’ala pada rasulNya pada ulil amri diantara kita kalaupun kita berselisih hendaknya kita kembali pada alquram dan sunnah!!! betulkan!! lihat hadits arba’un annawawi yang halal itu jelas yang haram itu jelas,dan di antara k 2 nya adalah subhat,barangsiapa yang bisa menjauhinya (subhat red)maka dia termasuk yang membersihkan agamanya dan barang siapa yang bermain-main padanya maka dia akan terjatuh dalam keharaman. janganlah kita mengutak-ngatik dalil yang sesuai dg pemahaman kita(seperti mu’tazilah kalee yaaa hehehehe…)tapi kita harus bersandar pada pemahaman sahabat dan tabiin tabiut tabiin dan ualama yang menempuh jalan mereka. masalah dzikir!! ingat kita harus bisa membedakan., mana yang harus di keraskan dan mana yang berjamaah atao sermpak.adapun yang dkeraskan itu sudah mashur boleh,sebagaiman yang penulis jelaskan dan yang berjamaah ya lihat dulu mana hujjahnya.mask kit alupa sam atsar sahabat ‘dari abdullah bin musa al asyari :ketika itu dia pergi k masjid dan mendapati sebuah halaqah dan di halaqah tersebut ada pemimpinnya, mereka membawa kerikil u/menghitung.pemimpin tersebut memerintahkan orang2 u/ mengucapkan ini dan itu beberapa kali.maka Dia (abdullah musa alasyari) menemui abdullah ibnu mas’ud.dan menceritakan apa yang barusan ia lihat.maka mereka ber2 menemui halaqah tersebut.dan d tanyalah mereka ,mengapa mereka melakukan perbuatan tersebut,tp apa jawab mereka’ya ibnu mas’ud kami melakukan ini semua u/ kebaikan agama kami, adakah yang ssalah terhadap apa yang kmi lakukan padahal kami hanya mengucapkan bacaan tahlil sekian kali dan tahmid sekian kali.maka apa yang di katakan ibnu mas’ud pada mereka??sungguh celaka kalian!! padahal bejana2 dan bajurasullah masih ada?!! kalian telah membuat kebinasaan agama in!!!!
dan buat orang yang ngaku -ngaku salafi!!!dan yang lainnya terutama yang kena penyakit ta’asub, cobalah lihat diri kalian!! bijak lah dalam bertindak!!pelajari agama yang betul, kalian harus bisa membedakan mana bidah mana sunnah,mana ijtihad yang benar mna yang salh.dan maslah furu’ lihat lah ke shohehannya? mana itu “pilihan” mana itu haram?
Tambahan,
ed1. Dalil dzikir berjama’ah yang diadakan secara sengaja :
– Adapun dalil ini adalah ia termaktub dalam kitab Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq. Perlu untuk anda ketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ianya (Ibn Hisyam) adalah seorang Tabi’in.
“para sahabat berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu?anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan : “HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..”.
– Dalil berikut adalah ia termaktub dalam Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’ masjidissyarif hal 116.
“saat membangun Masjidirrasul saw : mereka bersemangat sambil bersenandung : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah” setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah.. ”
– Juga ia termaktub dalam Shohih Bukhori dalam Kitab Al-Jihad bab As-Shabru ‘Indal Qital
“Tatkala para sahabat sibuk membangun parit dalam keadaan fisik mereka kurang fit dan perut mereka juga terasa lapar, kemudian Rosulullah SAW yang menyaksikan keadaan mereka ia bersenandung :
“Allahumma laa ‘aisyul akhirah, faghfirli lilazshoori wal muhajirohu”
Para sahabat yang mendengar dzikir beliau (Rosulullah) kemudian menyambut :
“nahnulladzina baya’u muhammadan, ‘alal jihadi ma baqhiina abadaa”
ed2. Dzikir yang dilakukan dengan cara dipimpin
– Adalah Hadist ini diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur dari riwayat ‘Ubaid bin Amir dari Umar Ra. dan dita’liq oleh Al-Bukhori :
“Bahawasanya Nabi SAW, pernah bertakbir diatas Qubah Mina, lalu takbir beliau itu didengar oleh penghuni masjid, maka merekapun bertakbir. Orang-orang yang dipasar juga ikut bertakbir sehingga Mina Jadi bergemuruh dengan suara takbir”
– ADalah hadist yang telah diriwayatkan oleh Ibnu an-Najjar dari Abu Hurairah secara marfu’u;
“Sesungguhnya Allah SWT memiliki sekelompok malaikat yang tugasnya adlah berkeliling mencari majelis-majelis dzikir. Apabila mereka melewatinya berkatalah sebagian mereka kepada yang lain : “Duduklah!, lalu apabila mereka berdoa, maka para malaikat itu akan meng-aminkan doa tersebut dan apabila mereka membaca sholawat atas Nabi SAW. para malaikat itupun ikut membaca sholawat bersama mereka hingga selesai. Selanjutnya sebagian mereka berkata kepada yang lain :”Berbahagialah mereka karena mereka tidak akan kembali kecuali dalam keadaan diampunkan oleh Allah SWT.”
ed3. dengan kerasnya lafadz dzikir
-Adalah hadist yang telah diriwayatkan oleh Al-Hakim, Baihaqi dalam “Syu’bul Iman”, Ibnu Hibban, ahmad, Abu Ya’la dan Ibnus Sunny dari Abi Sa’id Al-Kudri ra. ia berkata : Rosulullah SAW bersabda :
“Perbanyaklah zikir kepada Allah sehingga mereka (yang melihat) akan berkata :”Sesungguhnya dia itu orang yang gila”
-ADalah hadist yang telah diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Ibnu Abbas ra, dia berkata : Bersabda Rosulullah SAW :
“Banyak-banyaklah kaliar berzikir kepada Allah sehingga orang-orang munafik akan berkata :”Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang riya”.
-ADalah hadist yang telah diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dari Zaid bin Aslam dari sebagian sahabat, ia berkata :
“Aku pernah berjalan dengan Rosulullah SAw disuatu malam. Lalu berliau melewati seorang laki-laki yang sedang meninggikan suaranya disebuah masjid. Akupun berkata : Wahai Rosulullah, jangan-jangan orang ini sedang riya’. Beliau (Rosulullah) berkata : “tidak !, akan tetapi dia itu orang yang banyak mengadu pada Allah”.
Dalam kitab Al-Um, sebenarnya beliau (Imam Asy-Syafi’i) telah memberitau akan kebolehan itu dan tidak membid’ahkannya,,baik mari kita lihat dengan baik apa yang diperkatakan oleh beliau :
“Aku (As-Syafi’i) memilih untuk imam dan makmum agar keduanya berdzikir kepada Allah sesudah salam dari sholat dan keduanya melakukan dzikir secara sir kecuali imam yang menginginkan para makmum mengetahui kalimat-kalimat dzikirnya, maka dia boleh melakukan jahar sampai seterusnya hingga dia yaqin bahwa para makmum itu sudah mengetahuinya kemudian diapun berdzikir secara sir lagi.”
Diriwayatkan oleh Abu Ma’bad:
( budak yang telah bebas dari Ibn ‘Abbas) Ibn ‘Abbas berkata padaku, “Dalam masa hidup
Nabi, lazim menyelenggarakan Puji-pujian pada Allah bersuara keras
sesudah wajib jamaah shalat.” Ibn ‘Abbas lebih lanjut berkata,
“Sewaktu saya mendengar Dzikr, saya mengetahui bahwa
jamaah shalat wajib telah berakhir.”
(Sahuh Bukhari . 1/802)
Yang suka mengkafirkan orang muslim itu cuma orang2 salafy saja. Mereka mengaku berilmu tapi tidak berakhlak.
Orang muslim itu harus saling menasihati dan bersabar… tapi kalau dinasehati tdk mau ya tidak apa2…, masuk neraka atau sorga kan tergantung amalan masing2. he he he. Jangan suka menghujat orang lain sebelum and benar2 faham dan kalau anda benar2 ingin faham belajarlah ke sumbernya jangan sama2 sama kiayi atau ulama krn gelar2 itu kadang2 juga palsu.dan merupakan kepentingan duniawi
–> dilengkapi sekalian mas .. jangan sama2 sama syaikh-syaikh, ustadz-ustadz, murabi-murabi, krn gelar2 itu kadang2 juga palsu.dan merupakan kepentingan duniawi. kalau anda benar2 ingin faham belajarlah ke sumbernya.
betul sekali,,yang mengatakan dzikir berjemaah sesat itu orang di tutup mata hatinya oleh Allah SWT,,,
Orang-orang biasa menuduh “wahabi ” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun keperca-yaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits shahih . Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo’a (memohon) hanya kepada Allah SWT semata.
xxxxxxxxxxxxxxxxxx cut xxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxxx
–> Maaf komentar anda saya cut.. simak alasannya di tentang blog ini. Komentar anda tak ada hubungannya dengan artikel awal. Kami bahas dzikir berjamaah, anda bahas ttg apa itu wahabi. Tak cocok kan.
Segala Puji bagi Allah, Tuhan seru sekalian alam. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, beserta keluarga dan para sahabat beliau.
Perkenankan saya urun rembug dalam majelis ilmu yang mulia ini.
QS. Al-Ahzab 33 : 41-42
Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.
Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang.
Ayat di atas dijadikan dasar untuk melakukan dzikir secara bersama-sama (berjamaah) karena perintahnya ditujukan kepada orang banyak (jama’).
Namun hal ini dibantah, bahwa perintah kepada orang banyak bukan berarti harus dikerjakan secara bersama-sama. Misalnya perintah Allah untuk berdzikir dalam surat Al-Jumu’ah ayat 10 :
Apabila Telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Perintah di atas adalah perintah berdzikir secara jama’, tetapi bukan berarti perintah berdzikir secara berjamaah.
Contoh lain adalah firman Allah
QS. Al-Baqarah 2 : 223
Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki. dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan bertakwalah kepada Allah dan Ketahuilah bahwa kamu kelak akan menemui-Nya. dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman.
Perintah di atas adalah perintah untuk menggauli istri secara jama’, tapi bukan berarti secara bersama-sama (berjama’ah).
Berdzikir secara berjamaah dengan suara keras juga bertentangan dengan firman Allah SWT dalam surat Al-A’raf 7 : 205
Dan sebutlah (nama) Tuhannmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.
Berdzikir secara berjamaah dengan suara keras juga bertentangan dengan hadits Nabi SAW :
Abu Musa Al-Asy’ari r.a. berkata, “Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendengar orang-orang berdoa dengan suara yang lantang keras, maka beliau bersabda :
Hai manusia, tahanlah (kasihanilah) dirimu karena kalian tidak berseru kepada Tuhan yang pekak atau jauh, Sesungguhnya kalian berseru kepada Tuhan yang sangat dekat dan maha mendengar (HR. Bukhory-Muslim)
Berkata Imam Asy Syatibi dalam Kitab Al – I’thisham 1/129, “Bahwa do’a – do’a yang dilakukan dengan berkumpul secara terus menerus tidak ada contohnya dari Nabi SAW”. Dan berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Kitab Al Fatawa Al Kubra 2/132, “Tidak ada seorang pun yang mengabarkan bahwa setiap Nabi SAW selesai mengerjakan shalat dengan para sahabat, beliau berdo’a bersama – sama dengan mereka”
* Ibnu Wadhdhah dalam Kitab Ma Ja’a Fi Al Bida’ hlm. 54 telah meriwayatkan dengan sanad sampai kepada Abu Utsman Al Hindi, ia berkata, “Seorang pegawai menulis surat kepada Umar bin Khaththab, yang isinya, ‘Di suatu tempat ada suatu kaum yang berkumpul dan mereka berdo’a untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin’. Maka Umar pun membalas surat tersebut seraya mengatakan, ‘Temuilah mereka (3x)’, kemudian ia berkata kepada penjaga pintu, ‘Siapkan Cambuk’, maka ketika mereka masuk, Umar menyambut pemimpin mereka dengan cambukan”
* Ad Darimi dalam Kitab As Sunan 1/67-69, Ibnul Jauzy dalam Kitab Talbis Iblis hlm. 16-17 dan As Suyuti dalam Kitab Al Amru bi Al Ibtida’ hlm. 83 – 84 diriwayatkan oleh Al Bukhtari, dia berkata, “Seorang laki – laki mengabarkan kepada Ibnu Mas’ud bahwa ada satu kaum sedang berkumpul dalam mesjid setelah melaksanakan shalat maghrib, seorang dari mereka berkata, ‘Bertakbirlah kalian semua kepada Allah seperti ini …, bertasbilah kepadaNya seperti ini …, dan bertahmidlah kepadaNya seperti ini …, … maka beliau (Ibnu Mas’ud) mendatangi mereka seraya berkata, ‘Dan demi Allah yang tiada ilah melainkan Dia, sungguh kalian telah datang dengan perkata bid’ah yang keji, atau kalian telah menganggap lebih mengetahui daripada sahabat nabi’”.
*Abu Hanifah dalam Kitab Badai’u ash shana’i fi Tartibi Ays Syara’ 1/196 mengatakan, “Bahwasannya mengeraskan suara ketika bertakbir pada dasarnya merupakan bid’ah karena hal tersebut merupakan bentuk dzikir, dan menurut penjelasan As Sunnah bahwa berdzikir hendaknya dilakukan dengan suara pelan sebagaimana tersebut dalam firman Allah Ta’ala, ‘Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut’ (QS Al A’raf 55). Dan sabda Rasulullah SAW, ‘Sebaik – baiknya do’a itu diucapkan dengan suara lembut’ (HR. Ibnu Hibban dalam kitab Shahihnya 3/91).”
*Syaikh Muhammad bin Ahmad Miyarah Al Maliki dalam kitabnya Ad Dur Ats Tsamin hlm. 173 berkata, “Bahwa Imam Malik dan beberapa Ulama’ yang lain tidak menyukai seorang Imam atau pemimpin do’a yang berdo’a setelah shalat wajib dengan suara keras”
*Imam Asy Syafi’i dalam kitabnya Al Umm 1/111 berkata, “Dan aku memilih bagi imam dan makmum agar berdoa kepada Allah setelah selesai melakukan shalat dan melembutkan suara dalam berdzikir kecuali seorang imam yang ingin mengajarkan pada makmumnya”
*Dalam Kitab Al Iqtidha’ hlm. 304 Imam Ahmad membolehkan do’a untuk orang lain dengan cara berkumpul tanpa ada kesengajaan sebelumnya dan tidak dilakukan berulang – ulang sehingga dianggap sebagai kebiasaan.
:
*Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin berkata dalam Kitab Fiqh Al ‘Ibadah hlm. 343, “Ada sebagian dari jama’ah haji yang membaca talbiyah secara berjamaah dengan satu suara, salah seorang dari mereka maju ke depan, atau berada di tengah – tengah dan terkadang di barisan belakang, ia membaca talbiyah lalu para jamaah lain mengikutinya secara bersama – sama. Cara ini tidak pernah ada pada zaman sahabat Radhiyallahu ‘anhum, bahkan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Kami bersama Nabi Muhammad SAW – pada saat haji wada’ – maka ada diantara kami yang membaca takbir, ada yang membaca tahlil dan ada yang membaca talbiyah, beginilah yang disyariatkan kepada kaum muslimin, yaitu agar mereka membaca talbiyah sendiri – sendiri, tanpa ada sangkut pautnya dengan orang lain”
*Syaikh Ibnul Al Utsaimin juga berkata dalam fatwanya dalam Kitab Ad Dararu As Sunniyah 4/318 mengatakan, “Bahwa berdoa bersama setelah seorang Imam salam dengan satu lantunan tidak ada asalnya dan tidak disyariatkan”
*Syaikh Hamid At Tuwaijiry Kitabnya Inkaru At Takbir Al Jama’i wa Ghairihi berkata, “Dalam Shahih Bukhari (no. 1830) dan Shahih Muslim (1704) dari ‘Ashim Al Ahwal dari Abu Utsman dari Abu Musa Radhiyallahu ‘anhu berkata, ‘Ketika Rasulullah SAW berjihad pada perang Khaibar …, mereka (para sahabat) menyerukan takbir seraya membaca : Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa ilaha illallah dengan suara keras maka Rasulullah SAW bersabda, ‘Tahanlah diri kalian, sesungguhnya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tuli maupun jauh, sesungguhnya kalian berdoa kepada Dzat yang Maha mendengar yang dekat dan Dia selalu bersama kalian’. Jika Rasulullah SAW melarang orang – orang yang meneriakan takbir padahal mereka berada di tanah lapang, maka perbuatan orang – orang yang bersahut – sahutan di dalam Masjidil Haram lebih terlarang lagi, karena mereka telah melakukan beberapa bid’ah yaitu berdzikir dengan suara keras, bersama – sama melagukannya sebagaimana yang dilakukan paduan suara, mendendangkannya dan mengganggu orang lain, yang semuanya ini tidak boleh dilakukan”
*Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz dalam Kitab Fatawa Nur ‘Ala Ad Darb 1/358 mengatakan, “Berkumpul untuk berdzikir secara berjamaah adalah perbuatan yang tidak mempunyai dasar hukum dalam agama…dan wajib setiap muslim untuk meninggalkan perkara bid’ah, karena Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa melakukan suatu perbuatan yang tidak berdasarkan pada perkataan kami maka ia tertolak’ (HR. Muslim no.1718)”
*Syaikh Shalih bin Fauzan al Fauzan dalam Kitabnya Nur ‘ala Ad Darb 1/23 mengatakan, “…Membaca Istighfar berjama’ah adalah bid’ah. Tidak pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW, karena beliau beristighfar sendiri tanpa terikat dengan orang lain, dan tidak dengan berjamaah, begitu pula para sahabat, masing – masing membaca istighfar sendiri – sendiri tanpa berjama’ah dan itulah yang dilakukan oleh orang – orang setelah mereka”
Semoga uraian di atas ada manfaatnya bagi kita semua. Dan mohon tanggapannya.
–> Salam kenal mas Masnun. Tampaknya anda tak membaca argumen kami dengan cermat. Anda tampak tak suka dengan dzikir bersama-sama dan dzikir bersuara keras. Itu hak anda. Namun jika anda mengatakan bahwa dzikir berjamaah dan/atau jahr itu tak berdalil, bid’ah sesat, masuk neraka, maka tuduhan anda itulah yg tak berdasar. Ada dalil orang2 melakukan dzikir berjamaah dan jahr, sebagaimana dzikir sendiri-sendiri dan sirr.
Ada beberapa tanggapan kami,
1. Dalil2 al Qur’an yang anda sebut, adakah yang mengharuskan dzikir sendiri-sendiri? Tidak ada keterangan. Jika di dalam ayat yg anda sebut dikatakan berdzikir secara jama’, kemudian anda katakan bahwa itu bukan berarti perintah berdzikir secara berjamaah. Tetapi ayat itu juga tak menafikan adanya dzikir berjamaah. Tafsir manakah di ayat itu yang mengharuskan dzikir harus dilakukan sendiri-sendiri?
Setuju jika QS.5:207 menyebut keutamaan dzikir sirr. Namun ayat itu tidak menyebut larangan dzikir jahr. Tafsir manakah yg menyebut itu sebagai larangan dzikir jahr?
Bahkan ketika menggunakan QS Al A’raaf (5:207) untuk mendukung pendapat anda, anda menukil hanya separo tafsir ibnu Katsir, entah sengaja atau tidak. Simaklah lanjutannya dari tafsir yang anda kutib itu (saya ambil dari terjemahnya):
Saudara ku simaklah. Itu pertanda ada dzikir bersama-sama, dan keras (tentu saja yg diharapkan adalah keras yang tengah-tengah, yang kusyu’). Janganlah suka memotong-motong, gunting tambal pendapat ulama sesuka hati. Telah banyak yang tertipu mengenai hal ini. Tentang masalah ini, telah kami catat ada banyak buku2/ kitab2 yg juga telah digunting-potong-tambal. Berhati-hatilah.
2. Ada banyak riwayat yang membolehkan dzikir berjamaah (dan jahr). Simaklah dalil2 di atas. Hadits -hadits yg anda sebut benar adanya. Namun jangan kemudian menafikan hadits2 yg membolehkan dzikir berjamaah dan dzikir jahr. Ada saat-saat di mana diperlukan dzikir keras (dan berjamaah) sebagaimana dzikir sendiri2 dan lirih.
3. Para ulama yang anda sebut mengatakan “tidak menyukai” atau “lebih memilih”. Itu bukan keharusan, bukan pula larangan. Jika ada orang2 (atau ulama) yang memilih sebaliknya, maka itu adalah pilihannya. Sejak kapan kata2 “lebih memilih” bermaksud sebagai keharusan dan melarang pilihan yg lain?
Dan pendapat para ulama biasanya panjang beserta penjelasan2nya. Kenapa tak dikutip semuanya. Instink saya .. ada pendapat para ulama itu dipotong gunting tambal.
Coba kita lihat Imam Nawawi rhm dalam hal ini. Ada di sini. Sangat bijak dan saya kira mewakili pendapat ulama2 yg anda rujuk,
4. Ulama2 Saudi, dan Kitab Durar as Saniyah (dan sejenis) yang anda sebut, kami ngeri mendengarnya. Apakah itu bermaksud bahwa orang2 yang berdzikir bersama2 dan bersuara keras sebagai ahli neraka? Atau menyamakannya dengan ahli maksiat? Jika dikatakan tak ada contoh Nabi saw, maka dalil-dalil di atas semoga cukup menjawabnya.
Selain itu, ada banyak fatwa ahli neraka di sana. Lebih baik kami tak memakainya. Kami ngeri mas.. Memang kami tak layak disebut ahli surga. Dosa kami memang sangat-sangat banyak.
Maaf kalau ada salah. Wallahu a’lam.
Lau kaana khairan La sabaquuna ‘ilaihi
masala dzikir berjamaah yang nerima Allah lakukan aja nanti hasilnya kalo sudah mati ok bleh
lho kok nunggu mati ,bukankah ada pepatah sedia payung sebelum hujan ? jangan sampai terperosok baru minta tolong rugi mas.tks wassalam
afwan mas kemaren saya salah taruh comenntnya,seharusnya itu saya taruh di atikel ‘wahabi’
saya hanya ingin meluruskan pemahaman kebanyakan setiap orang yang salah dalam memahami arti wahabi…
jazakallah khair…
–> Sama-sama mas ..
Assalamualaikum
Agak guyon dikit gapapa ya mas orgawam, hehehe….
tiba2 terlintas di pikiran..
suatu saat ada acara istigotsah dan tahlilan di depan ka’bah di hadiri gus dur hehehehehe…
Assalamu’alaikum!
Alhamdulillah, kita makin dewasa dengan media ini.Gak usah gontok-gontokan. Ambil Hikmahnya aja. Yang penting jangan berdzikir di kuburan dengan keras.
Nanti ganggu yang ada di kubur. Bukankah desahnya sandal aja bisa didengar mereka??
1/2 guyon lho mas Orgawan.
–> Hehe .. kalau boleh guyon, saya malah kadang ingin mengganggu tidur nenek saya sekr, sebagaimana dulu ketika masih kecil saya kadang mengganggunya sewaktu beliau beristirahat.
wah2..tetep aja dimana2 website yg q baca, klo masalah artikel agama, ciri yg q simpulin dari sahabat2 salafy tuh :
1. merasa sok paling benar. bagi yg menentang mereka, jawaban mereka :”memang menasehati ahli bid`ah lebih susah”..wah2
2. ngeyelan..klo toh orang laen punya dasar dr quran hadis, ato ulama salaf yg berbeda dgn mereka slalu gak diterima..brusaha cari2 argumen buat membantahnya dgn menafsirkan menurut akal mereka yg justru malah jadi gk konsisten..
3. klo orang lain gk maw menerima pendapat mereka, maka mereka menganggap orang laen itu susah diperingatin, gk maw menerima kebenaran..
justru mereka itulah (salafy) yg menurut q susah diperingatin gk maw menerima kebenaran yg disampaikan orang lain..
knapa sie orang salafy gk mendakwah tentang korupsi, kemaksiatan..
yg justru tu banyak terjadi n bertentangan dgn quran hadis..
orang lagi rame2 ngrayain maulid, salafy gencar menyebar pendapat bid`ahnya maulid menurut mereka..padahal tuh liat malem maulid justru byk jg yg ke diskotek, berlibur..knapa gk dakwahin mereka???????
JANGAN JADI ISLAM PROTESTAN..apa2 yg gk sesuai pendapatmu (salafy), qm protes,qm anggap salah/bid`ah….
wallahu a`lam..
pikirannya dangkal
dulu zikir lama-lama habis sholat wajib secara berjamaah di masjid bid’ah setelah di pelajari agak lama ternyata ada dalilnya ,tunggu saja yang mengritik menemukan dalilnya
asalamualikum mas orgawam.
saya nimbrung lagi yah cz sudah lama saya ndak kasih coment.
menanggapi statement saudara hadi diatas tadi saya sempat tercengang dan sedikit agak kaget kok statement yang dilontarkannya cenderung provokatif dan lebih mementingkan pedapatnya dan golongannya sendiri, bukannya saya ingin membela pihak2x atou golongan tertentu,saya hanya ingin memberikan suatu paradigma baru kepada anda saudara hadi khususnya cobalah untuk lebih dewasa dalam berpikir dan bertindak.
terimakasih
maaf jika tidak berkenan.
terima kasih sharing info/ilmunya…
saya membuat tulisan tentang “Berdzikir Membuat Hati Tetram, Benarkah?”
silakan berkunjung ke:
http://achmadfaisol.blogspot.com/2008/08/berdzikir-membuat-hati-tentram-benarkah.html
salam,
achmad faisol
http://achmadfaisol.blogspot.com/
dzikir berjama’ah ntu hrz d’wjibkan pda zaman skrg cz sdah t’lalu banyak org2 yg melakukan maksiat jd sngt d’perlukan melakukan dzikir b’sama krna blm tntu dalam 1 minggu manusia yg banyak ini b’dzikir walaupun 1x dlam shari
Ass,,,memang d dlm alqur’an tdk d trangkan brdzikir dengan jahr,tpi mksud ayat trsbt lbih mngutmakn brdzikir dgn sir
,brdzikir dgn jahr tdk bid’ah,ttpi klw mnjadi kebiasaan brulah bid’ah,cntohlah ap yg tlah rasul lkukan,beliaw brdzikir dgn sir,trkecuali klw sedang mmberi cara brdzikir kpd shabtny,jd ksimpulanny bahwa dzikir yg paling utama adlh dgn suara sir…wallahualam bishawab…wslm.
–> Saudara ku .. dzikir dengan jahr dibolehkan, sebagaimana dzikir dengan sirr. Lihat di artikel. Mengubahnya menjadi status bid’ah (dalam konotasi sesat) adalah bid’ah itu sendiri, karena itu berarti mengharamkannya dan mengklaim pelakunya menjadi ahli neraka.
Padahal berdzikir (baik sirr maupun jahr) adalah sunnah, dan diberi pahala bagi yang melakukannya.
Wallahu a’lam.
Terimakasih saudaraku, telah memberikan tulisan yang benar-benar baik. Semoga Allah SWT mengkaruniakan kebaikan dan pahala.
Sayyidina Abdullah bin Abbas ra berkata, “Sesungguhnya mengangkat suara dalam dzikir ketika orang-orang telah selesai dari shalat fardhu itu terjadi pada masa Rasulullah SAW.” [HR. Imam Bukhori dan Imam Muslim]
Al-Hafizh Ibnu Hajar rah.a mengatakan dalam Fat-hul Bari, “Dalam hadits tersebut terkandung makna bolehnya mengeraskan dzikir setelah mendirikan shalat.”
Orang-orang yang mengingkari ini adalah kelompok ingkar sunnah. Naudzubillahimindzalik.
Mulai sekarang kita bisa menyebut mereka Salafy Wahabi. Karena ulama mereka hanya sampai pada Muhammad bin Abdul Wahab, Nashirudin Al Albani, Ibnu Taimiyah dan yang lebih baru seperti Abdullah bin Bas.
Salafy Wahabi bukanlah pengikut salafus sholeh, tetapi pemalsu pendpat para ulama salafus sholeh.
Sifat mereka keras (bukan tegas, bahkan mereka tidak paham bedanya keras dengan tegas), ndablek dan ngeyel ketika sudah ditunjukkan nash yang lebih baik(sikap Yahudi), ……
Jangan sungkan dan pakewuh dengan mereka, lembutlah sampai mereka mengerti, namun tegaslah ketika mereka tetap pada kebodohannya.
Seorang sahabat yg mulia Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu pernah mendatangi jama’ah dzikir yg berkelompok2 dipimpin oleh satu orang. Pemimpin itu memerintahkan: “Bertakbir 100 kali”, mereka pun melakukannya. Dia juga memerintahkan agar jama’ah bertahlil 100 kali dan bertasbih 100 kali, mereka jg melakukannya. Maka ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata kpd mereka: “Apakah ini – yg aku lihat kalian sdng melakukannya?” Mereka menjawab: “Wahai Abu Abdurrahman, ini kerikil. Kami menghitung takbir, tahlil dan tasbih dgnnya. Beliau berkata: “Hitung saja keburukan2 kamu! Aku menjamin kebaikan2 kamu tdk akan disia2kan sedikitpun (sehingga perlu dihitung). Kasihan kamu, wahai umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, alangkah cptnya kebinasaan kamu! Ini para Sahabat Nabi masih banyak. Ini pakaian beliau belum usang, dan bejana2 beliau belum pecah. Demi Allah azza wa jalla, yg jiwaku ada ditangan-Nya, sesungguhnya kalian berada di atas agama yg lebih baik dari agama Muhammad, atau kalian adalah orang2 yg membuka pintu kesesatan.” Mereka berkata: “Demi Allah azza wa jalla, wahai Abu Abdurrahman, kami tdk menghendaki kecuali kebaikan.” Beliau menjawab: “Alangkah banyak orang yg menghendaki kebaikan tdk mendptkannya.” Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam telah memberitakan kpd kami: “Bahwa ada sekelompok orang, mereka membaca al Qur’an, namun al Qur’an itu tdk melewati tenggorokan mereka.” Demi Allah azza wa jalla, aku tdk tahu, kemungkinan kebanyakan mereka itu adalah dari kalian.” Kemudian beliau meninggalkan mereka.”
Hadits diatas adalah Hadits shahih riwayat Darimi di dlm Sunan juz 1, hal.68-69, no.206; dan Bahsyal didlm Tarikh Wasith, hal.198-199, Lihat Al Bid’ah, hal.43-44; Ilmu Ushul Bida’, hal.92.
Bagaimana tanggapan anda akhi? Apa maksud dari hadits tsb? Bukankah sangat jelas yg dikatakan Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu?
–> Masalah ini pernah dibahas. Berikut kami nukilkan jawaban habib Munzir al Musawa dari Majelis Rasulullah, http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=7&id=20875#20875
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Anugerah dan Cahaya Rahmat Nya semoga selalu menerangi hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
pertanyaan ini sudah dijawab oleh saudara kita, dan ia adalah bukan hadits, ia adalah ucapan sahabat, riwayatnya dhoif pula, ia akan dipakai membentur puluhan hadits shahih yg memperbolehkan dzikir berjamaah.
berikut penjelasannya :
Hujjah yang dikemukakan ini, adalah atsar ‘Abdullah bin Mas`ud r.a.. Atsar ini diriwayatkan oleh Imam ad-Daarimi dalam sunannya, jilid 1 halaman 68, dengan sanad dari al-Hakam bin al-Mubarak dari ‘Amr bin Yahya dari ayahnya dari datuknya (Amr bin Salamah).
Menurut sebagian muhadditsin, kecacatan atsar ini adalah pada rawinya yang bernama ‘Amr bin Yahya (yakni cucu Amr bin Salamah). Imam Yahya bin Ma`in memandang “riwayat daripadanya tidak mempunyai nilai”.
Imam adz-Dzahabi menerangkannya dalam kalangan rawi yang lemah dan tidak diterima riwayatnya, dan Imam al-Haithami menyatakan bahwa dia adalah rawi yang dhoif.
Jadi sanad atsar ini mempunyai pertentangan di kalangan muhadditsin, sekalipun dinyatakan shohih oleh al-Albani, padahal ALbani bukan muhaddits, bukan pula AL hujjah, bukan pula ALhafidh, yg bisa dipegang fatwa haditsnya.
Dalam Atsar tersebut dapat dipahami bahwa yang ditegur oleh Sayyidina Ibnu Mas`ud adalah golongan KHAWARIJ. Maka atsar Sayyidina Ibnu Mas`ud lebih kepada kritikan beliau kepada para pelaku yang tergolong dalam firqah Khawarij. Di mana golongan Khawarij memang terkenal dengan kuat beribadah, kuat sholat, kuat berpuasa, kuat membaca al-Quran, banyak berzikir sehingga mereka merasakan diri mereka lebih baik daripada para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Maka kritikan Sayyidina Ibnu Mas`ud ra ini ditujukan kepada kelompok Khawarij yang mereka itu mengabaikan bahkan mengkafirkan para sahabat
Sehingga janganlah digunakan atsar yang ditujukan kepada kaum Khawarij ini digunakan terhadap saudara muslim lain yang sangat memuliakan para sahabat Junjungan Nabi s.a.w.
Jangan dikira para ulama Aswaja tidak tahu mengenai atsar Sayyidina Ibnu Mas`ud ini.
Imam AL Hafidh Jalaluddin Abdurrahman Assuyuthiy pada “Natiijatul Fikri fil Jahri fidz Dzikri” dalam “al-Hawi lil Fatawi” juz 1, beliau menguraikan 25 hadits dan atsar yang diriwayatkan dalam shahih Bukhari dan Shahih Muslim hingga yang diriwayatkan oleh al-Mirwazi berkaitan dengan zikir secara jahar dan majlis zikir berjamaah.
Sedangkan terhadap atsar Ibnu Mas`ud tersebut, Imam asy-Sayuthi pada halaman 394 menyatakan, antara lain:
Jika dikatakan ianya memang tsabit, maka atsar ini bertentangan dengan hadits-hadits yang banyak lagi tsabit yang telah dikemukakan yang semestinya didahulukan (sebagai pegangan) dibanding atsar Ibnu Mas`ud apabila terjadi pertentangan.
Kemudian, aku lihat apa yang dianggap sebagai keingkaran Sayyidina Ibnu Mas`ud itu (yakni keingkarannya terhadap majlis-majlis zikir bersama-sama tadi) yakni penjelasan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “az-Zuhd” yang menyatakan:- Telah memberitahu kami Husain bin Muhammad daripada al-Mas`udi daripada ‘Aamir bin Syaqiiq daripada Abu Waail berkata:- “Mereka-mereka mendakwa ‘Abdullah (yakni Ibnu Mas`ud) mencegah daripada berzikir (dalam majlis-majlis zikir), padahal ‘Abdullah tidak duduk dalam sesuatu majlis melainkan dia berzikirUllah dalam majlis tersebut.”
Dalam kitab yang sama, Imam Ahmad juga meriwayatkan bahwa Tsabit al-Bunani berkata: “Bahwasanya ahli dzikrullah yang duduk mereka itu dalam sesuatu majlis untuk berdzikrullah, jika ada bagi mereka dosa-dosa semisal gunung, niscaya mereka bangkit dari (majlis) dzikrullah tersebut dalam keadaan tidak tersisa sesuatupun dosa tadi pada mereka”, (yakni setelah berzikir, mereka memperolehi keampunan Allah ta`ala).
—
saudaraku, saya akhiri dg riwayat riwayat dibawah ini :
Allah berfirman :
“DAN SABARKAN DIRIMU UNTUK TETAP BERSAMA ORANG ORANG YG BERDZIKIR DAN BERDOA KEPADA TUHAN MEREKA DI PAGI HARI DAN SORE SEMATA MATA HANYA MENGINGINKAN RIDHA ALLAH, DAN JANGAN KAU PALINGKAN WAJAHMU DARI MEREKA KARENA MENGHENDAKI KEDUNIAWIAN, DAN JANGAN TAATI ORANG ORANG YG KAMI BUAT MEREKA LUPA DARI MENGINGAT KAMI………….” (QSAl Kahfi 28)
Berkata Imam Attabari : “Tenangkan dirimu wahai Muhammad bersama sahabat sahabatmu yg duduk berdzikir dan berdoa kepada Allah di pagi hari dan sore hari, mereka dengan bertasbih, tahmid, tahlil, doa doa dan amal amal shalih dengan shalat wajib dan lainnya, yg mereka itu hanya menginginkan ridho Allah swt bukan menginginkan keduniawian” (Tafsir Imam Attabari Juz 15 hal 234)
Dari Abdurrahman bin sahl ra, bahwa ayat ini turun sedang Nabi saw sedang di salah satu rumahnya, maka beliau saw keluar dan menemukan sebuah kelompok yg sedang berdzikir kepada Allah swt dari kaum dhuafa, maka beliau saw duduk bersama berkata seraya berkata : Alhamdulillah… yg telah menjadikan pada ummatku yg aku diperintahkan untuk bersabar dan duduk bersama mereka” riwayat Imam Tabrani dan periwayatnya shahih (Majmu’ zawaid Juz 7 hal 21)
Sabda Rasulullah saw : “akan tahu nanti dihari kiamat siapakah ahlulkaram (orang orang mulia)”, maka para sahabat bertanya : siapakah mereka wahai rasulullah?, Rasul saw menjawab : :”majelis majelis dzikir di masjid masjid” (Shahih Ibn Hibban hadits no.816)
Sabda Rasulullah saw : “sungguh Allah memiliki malaikat yg beredar dimuka bumi mengikuti dan menghadiri majelis majelis dzikir, bila mereka menemukannya maka mereka berkumpul dan berdesakan hingga memenuhi antara hadirin hingga langit dunia, bila majelis selesai maka para malaikat itu berpencar dan kembali ke langit, dan Allah bertanya pada mereka dan Allah Maha Tahu : “darimana kalian?” mereka menjawab : kami datang dari hamba hamba Mu, mereka berdoa padamu, bertasbih padaMu, bertahlil padaMu, bertahmid pada Mu, bertakbir pada Mu, dan meminta kepada Mu.
Maka Allah bertanya : “Apa yg mereka minta?”, Malaikat berkata : mereka meminta sorga, Allah berkata : apakah mereka telah melihat sorgaku?, Malaikat menjawab : tidak, Allah berkata : “Bagaimana bila mereka melihatnya”. Malaikat berkata : mereka meminta perlindungan Mu, Allah berkata : “mereka meminta perlindungan dari apa?”, Malaikat berkata : “dari Api neraka”, Allah berkata : “apakah mereka telah melihat nerakaku?”, Malaikat menjawab tidak, Allah berkata : Bagaimana kalau mereka melihat nerakaku. Malaikat berkata : mereka beristighfar pada Mu, Allah berkata : “sudah kuampuni mereka, sudah kuberi permintaan mereka, dan sudah kulindungi mereka dari apa apa yg mereka minta perlindungan darinya, malaikat berkata : “wahai Allah, diantara mereka ada si fulan hamba pendosa, ia hanya lewat lalu ikut duduk bersama mereka, Allah berkata : baginya pengampunanku, dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tidak ada yg dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka” (shahih Muslim hadits no.2689),
perhatikan ucapan Allah yg diakhir hadits qudsiy diatas : dan mereka (ahlu dzikir) adalah kaum yg tak dihinakan siapa siapa yg duduk bersama mereka”
lalu hadits semakna pada Shahih Bukhari hadits no.6045.
dan masih banyak riwayat shahih lainnya.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a’lam
saya hanya memberi masukan aja
SEMBILAN TUDUHAN DUSTA TERHADAP SYAIKH AL-ALBANI
http://belasalafy.wordpress.com/?s=SEMBILAN+TUDUHAN+DUSTA+TERHADAP+SYAIKH+AL-ALBANI
Syaikh Al-Albani: Ahli Hadits yang Terdzalimi
http://belasalafy.wordpress.com/2009/11/03/syaikh-al-albani-ahli-hadits-yang-terdzalimi/
Hadits riwayat Ibnu Mas’ud yang Melarang Dzikir Berjamaah adalah Dhaif????
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/02/hadits-riwayat-ibnu-masud-yang-melarang.html
hadist2 shohih dan hadist2 qudsi ttg keutamaan zikir mendak di benturkan hny dengan atsar…
hm..atsar yg lemah dlm periwayatan,…nggak janji deh broo..kan tlh di jelaskan broo di atas,oleh imam ahmad,:
penjelasan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “az-Zuhd” yang menyatakan:- Telah memberitahu kami Husain bin Muhammad daripada al-Mas`udi daripada ‘Aamir bin Syaqiiq daripada Abu Waail berkata:- “Mereka-mereka mendakwa ‘Abdullah (yakni Ibnu Mas`ud) mencegah daripada berzikir (dalam majlis-majlis zikir), padahal ‘Abdullah tidak duduk dalam sesuatu majlis melainkan dia berzikirUllah dalam majlis tersebut.”
nah lebih kuat mana Imam Ahmad apa blog yg ente tulis,broo…thanks..
Tidak ada sunnah berdoa untuk diaminkan seusai sholat. Yg sunnah adlh masing-masing berdzikir / berdoa, tidak mengganggu yg lain.
Yg suka mengganggu ibadah adlh setan.
Kitab Riyadhus Shalihin bab 244 hadits ke 8, 9, 10, 12.
Siapa yg masih membacakan Al-Fatihah usai sholat? Yang shahih Al-Muawwidzat, malah ga pernah, ya.
Jijik sama setan yg suka mengganggu ibadah manusia.
–> Tidak ada yang salah dalam mengaminkan doa imam. Menurut pengalaman, tidak ada jamaah yang terganggu, sebaliknya malah terbantu/senang dengan doa itu. Terdengarnya doa/dzikir akan menjadi magnet (daya tarik) yang kuat bagi orang yang beriman, bahkan menjadi kenikmatan tersendiri. QS.Al-Anfal ayat 2 :
Doa itu (sebagian besar) adalah dari Al Qur’an. Doa dari al Qur’an adalah jama’ (untuk sekalian jamaah, bahkan kaum muslimin). Mengamienkannya adalah sunnah, karena jamaah berharap doa itu dikabulkan oleh Allah swt.
Atau .. Apakah anda ingin mengganti ayat-ayat doa di dalam al Qur’an itu menjadi doa untuk sendirian?
Maaf .. jangan mensetan-setankan saudara sesama muslim, karena bisa berbalik. Hanya setan yang tak suka kepada orang islam yg berdoa. Dia (setan) itu akan menghalangi dengan segala cara. Jangan sampai anda terjebak menjadi juru kampanye-nya.
Semoga Allah selalu menunjuki kita. amien
tidak sependapat dg haniifah, sebaliknya setuju bgt dg orgawam
assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatuh…
udah lah… jgn mensyetankan orang lain!!
alhamdulillah kita( saya , mas/mb’ hanifah, dan yang lain) udah mau beribadah…
masalah tata cara/ masalah fiqih, itu terserah… sebuah keimanan dan ketaqwaan itu mahal harganya…
kita sebagai manusia harus bertaqwa.. ( ukuran ketaqwaan, itu ada pada tiangnya. dan tiang itu merupakan sholat)
masalah tata cara sholat, saya sejak kecil alhamdulillah sudah d ajarkan yg seperti ini.. dan hal ini jg ada gurunya… dari guru saya, guru saya mempunyai guru, dan akhirnya nyambung pada… pendahulu-pendahulu kita!!!
benar / salah mereka juga ikut menanggung!! malah islam itu tidak berat ku’!! en tidak u/ d persulit.. ada hadis nya itu…
saya jg sangat setuju, dengan pendapat mb’ hanifah masalah bid’ah… tp ajaran dzikir berjamaah itu sudah ada sejak jaman Rosullullah!! so bukan nya hal baru…
mungkin itu hal baru,tapi bagi mereka yang baru mau mempelajari islam/ baru tahu ttg islam!!!
saya ikut bersyukur…
udah lah… Allah maha Pengampun, g ada manusia yg lepas dari dosa!!
saya sarankan, masalah kyak gini jgn d perdebatkan… kayak debat kusir!!
tp debatlah dengan ahlinya…
ilmu kita baru seberapa… ingat islam tidak kaku/ tidak keras!!!!
islam mengajarkan hidup berserikat, hidup bermasyarakat…
tidak hidup saling berbgga diri/ sok keminter!!!
saya tidak menyalah kan anda2 yg baru mempelajari ttg islam, lagian sudah d nas ko’!!!
kL besok itu ajaran islam terpecah-pecah!!! hanya satu yang syah dan d terima…
tapi itu hanya 4jji yang tahu…
udah jalani aja, yg pentg sholat dan bayar zakat!!! bwt sholat aja, mgkin masih berat… hehhh… mau ngmgn yg lain….
Waallahu alam…
wass…
Haniifah,
Komentar Anda,
Tidak ada sunnah berdoa untuk diaminkan seusai sholat.( Yg sunnah adlh masing-masing berdzikir / berdoa, tidak mengganggu yg lain ).
Sanggahan saya :
1. Yang menjadi sanggahan pertama saya adalah yang bertanda kurung itu ,yang mempunyai penafsiran orang yang berdzikir berjamaah mengganggu orang lain yang sholat ( masbuq misalnya), Silakan Anda baca kitab bukhori 841 atau kitab Muslim 583 atau kitab Al-adzkar karangan Imam Nawawi agar Anda tidak mensetan-setankan orang yang berdzikir, begini bunyi haditsnya :
( dalam kitab Al-Adzkar : 100) :
وفي رواية في صحيحيهما عن ابن عباس رضي الله عنهما : أن رفع الصوت بالذكر حين ينصرف الناس من المكتوبة كان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم وقال ابن عباس : كنت أعلم اذا انصرفوا بذلك اذا سمعته.
Dalam riwayat kitab shoheh Bukhori Muslim dari Ibnu Abbas semoga Alloh meridoi keduanya : Bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir ketika manusia telah menyelesaikan sholat fardlu sudah ada (terjadi) pada masa Rosulalloh SAW dan berkata Ibnu Abbas : Aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari sholat karena aku mendengarnya(dzikir yang dikeraskan itu).
Bagaimana Saudara Haniifah apakah Anda juga akan mensetan-setankan shahabat Nabi? dan mendakwa mereka mengganggu orang yang sholat?
Haniifah,
Sanggahan saya yang kedua, dari komentar anda : (Tidak ada sunnah berdoa untuk diaminkan seusai sholat).
coba kita pahami dulu hadits :
روينا في كتاب الترمذي عن أبي أمامة رضي الله عنه قال قيل لرسول الله صلي الله عليه وسلم : أي الدعاء أسمع ؟ قال : جوف الليل الآخر , ودبر الصلوات المكتوبات
Kami meriwayatkan dari kitab AT-Tirmidzi dari Abu Umamah ra berkata: ditanya Rosullalloh SAW : doa apakah yang paling didengar ( DITERIMA) ? Beliau menjawab : doa ditengah malam dan doa setelah sholat wajib.
dan hadits :
حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ ، قَالَ : أَنْبَأَنَا الْعَوَّامُ ، قَالَ هُشَيْمٌ أَحْسَبُهُ عَنْ إِبْرَاهِيمَ التَّيْمِيِّ ، قَالَ : قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ : ” مَنْ خَتَمَ الْقُرْآنَ فَلَهُ دَعْوَةٌ مُسْتَجَابَةٌ ” ، قَالَ : فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ إِذَا خَتَمَ الْقُرْآنَ جَمَعَ أَهْلَهُ ثُمَّ دَعَا وَأَمِّنُوا عَلَى دُعَائِهِ .
Berkata Abdulloh bin Mas`ud : Barangsiapa menghatamkan Al-Quran maka baginya DOA YANG MUSTAJABAH ( DITERIMA ), berkata Ibrohim At-Taimiyyi : Adalah Abdulloh bin Mas`ud ketika telah hatam Al-Quran,beliau mengumpulkan ahlinya kemudian beliau berdoa dan DIAMINI oleh mereka.
Disini adanya penjelasan doa dengan dipimpin imam dan diamini jamaah.
Dalam kitab Mirqotul mafaatih syarkhi misykatil mashobih bab dzikir kepada Alloh dan taqorrub kepada-Nya disebutkan :
قَالَ الْجَزَرِيُّ : لَيْسَ فَضْلُ الذَّكَرِ مُنْحَصِرًا فِي التَّهْلِيلِ وَالتَّسْبِيحِ وَالتَّكْبِيرِ ، بَلْ كُلُّ مُطِيعٍ لِلَّهِ تَعَالَى فِي عَمَلٍ ، فَهُوَ ذَاكِرٌ ، وَأَفْضَلُ الذِّكْرِ الْقُرْآنُ ، إِلَّا فِيمَا شُرِعَ لِغَيْرِهِ أَيْ : كَالرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ…..الخ
Berkata Al-Jazari : Keutamaan dzikir bukan hanya terbatas pada tahlil, tasbih, dan takbir tetapi semua ketaatan kepada Alloh ta`ala dalam amal ibadah maka itulah yang disebut dzikir, dan sebaik2nya dzikir adalah membaca Al-Quran kecuali yang disyareatkan selainnya misalnya : rukuk dan sujud …dst.
Maka kita dapat menyimpulkan dari dua hadits diatas dan juga melihat pendapat Al-Jazari sebagai berikut :
1.Sholat adalah dzikir, membaca Al-quran juga dzikir dan ketaatan yang lainnya juga disebut dzikir.
2. berdzikir dan berdoa setelah sholat adalah sunah, membaca Al-quran juga sunah
3. Setelah membaca Al-quran ( apalagi setelah menghatamkannya ) berdoa dan jamaah mengamininya adalah sunah shahabat, karena membaca al-quran adalah dzikir dan sholat juga dzikir maka berdoa setelah sholat dan diamini jamaah adalah boleh bahkan bisa menjadi sunah dan juga tidak ada larangannya.Terimakasih.
Wahai Saudaraku Sesama Muslim,khususnya Yg Sering Membid’ahkan amalan yg sebetulnya sunnah ato mendapatkan pahala,marilah kita merenungkan hal2 sbb :
1.Ulama-Ulama yg mengamalkan Zikir Berjamaah,mengamalkan qunut Shubuh,Tahlil,maulid,ataupun amalan lain yg di anggap bid,ah oleh kaum wahabi/merasa salafi adalah Ulama-ulama yg sebagian besar adalah Ahlul Bait Rasullulah jadi kenapa kita mesti Ragu.
2.kalo memang apa yg meraka amalkan itu ( zikir Berjamaah Dsb )itu memang bid’ah,kenapa ulama-ulama tersebut bisa menjadi WALI ALLAH (di berikan Kelebihan seperti Karomah,doa mereka begitu Di Ijabah oleh ALLAH SWT serta kelebihan2 lainya)Padahal Menurut wahabi& Kaumnya amalan Merka itu Bidah?,khan menurut wahabi semua bidah itu sesat dan setiap ibadah yg sesat ditolak amalnya oleh ALLAH,nah kenapa Ulama tsb diatas Amalnya tetap diterima??????,kalo mereka memang mereka melakukan Bidah….( gunakanlah Hati Nurani kita untuk Menjawabnya)
antum kayaknya sudah meresa orang yang paling deket sama Allah,.. sampe2 antum tahu org2 yg amalannya diterima oleh ALLah..
to babah cong,
banyak sekali pertanyaan saya yg belum anda jawab…
adapun sebagai pembanding
Bid’ahnya Dzikir Berjam’ah silahkan kunjungi
http://www.darussalaf.or.id/search.php
pokoknya saya setuju dg orgawam
saya sependapat dengan UUT, jangan surut membantah kesesatan karena itu ibadah
–> pendapat yang mana mas abu. Mbak uut itu cuma tuding-tuding agar link-link-nya dibaca. Saya kira dia tak berpendapat apa-apa.
admin benar bagi saya uut berpandangan percuma di bantah,dahulu demikaian semasa di Jatim, jika kebenaran itu telah nyata pasti akan terjawab subhad tersebut,kita tunggu aja bantahan-bantahan lainya kalau kita benar-benar mencari kebenaran.
ada tambahan bantahan dari
Tahukah Anda Di Mana Allah?
http://abiubaidah.com/
Dzikir berjamaah sejak zaman Rasul saw, sahabat, tabi’in tak pernah dipermasalahkan, bahkan merupakan sunnah rasul saw, dan pula secara akal sehat, semua orang mukmin akan asyik berdzikir,
dan hanya syaitan yg benci dan akan hangus terbakar dan tak tahan mendengar suara dzikir. kita bisa bandingkan mereka ini dari kelompok mukmin, atau kelompok syaitan yg sesat.., dengan cara mereka yg memprotes dzikir jamaah, telinga mereka panas, dan ingin segera kabur bila mendengar jamaah berdzikir.
1). para sahabat berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu?anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan : “HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..”. (Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq). Perlu diketahui bahwa sirah Ibn Hisyam adalah buku sejarah yg pertama ada dari seluruh buku sejarah, yaitu buku sejarah tertua. Karena ia adalah Tabi’in.
2). saat membangun Masjidirrasul saw : mereka bersemangat sambil bersenandung : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah” setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah.. ” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’ masjidissyarif hal 116)
3). ucapan ini pun merupakan doa Rasul saw demikian diriwayatkan dalam shahihain
4). Firman Allah swt : “SABARKANLAH DIRIMU BERSAMA KELOMPOK ORANG ORANG YG BERDOA PADA TUHAN MEREKA SIANG DAN MALAM SEMATA MATA MENGINGINKAN KERIDHOAN NYA, DAN JANGANLAH KAU JAUHKAN PANDANGANMU (dari mereka), UNTUK MENGINGINKAN KEDUNIAWIAN.” (QS Alkahfi 28)
Ayat ini turun ketika Salman Alfarisi ra berdzikir bersama para sahabat, maka Allah memerintahkan Rasul saw dan seluruh ummatnya duduk untuk menghormati orang2 yg berdzikir.
Mereka (sekte wahabi) mengatakan bahwa ini tidak teriwayatkan bentuk dan tata cara dzikirnya, ah..ah?ah.. Dzikir ya sudah jelas dzikir.., menyebut nama Allah, mengingat Allah swt, adakah lagi ingin dicari pemahaman lain?,
5). Sahabat Rasul radhiyallahu’anhum mengadakan shalat tarawih berjamaah, dan Rasul saw justru malah menghindarinya, mestinya merekapun shalat tarawih sendiri sendiri, kalau toh Rasul saw melakukannya lalu menghindarinya, lalu mengapa Generasi Pertama yg terang benderang dg keluhuran ini justru mengadakannya dengan berjamaah..,
Sebab mereka merasakan ada kelebihan dalam berjamaah, yaitu syiar,
ah..ah..ah.. mereka masih butuh syiar dibesarkan, apalagi kita dimasa ini..,
maka kalau ada pertanyaan : “siapakah yg pertama kali mengajarkan Bid’ah hasanah?, maka kita dengan mudah menjawab, yg pertama kali mengajarkannya adalah para Sahabat Rasul saw, karena saat itu Umar ra setelah bersepakat dengan seluruh sahabat untuk jamaah tarawih, lalu Umar ra berkata : “WA NI’MAL BID’AH HADZIH..”. (inilah Bid’ah yg terindah).
Siapa lebih tahu makna menghindari bid’ah?, Umar bin Khattab ra, makhluk nomer dua paling mulia di ummat ini bersama seluruh sahabat radhiyallahu’anhum.., atau madzhab sempalan abad ke 20 ini.
6). Lalu para tabi’in sebab cinta mereka pada sahabat, maka mereka menggelari setiap menyebut nama sahabat dengan ucapan Radhiyalahu’anhu/ha/hum. Inipun tak pernah diajarkan oleh Rasul saw, tak pula pernah diajarkan oleh sahabat, walaupun itu berdalilkan beberapa ayat didalam alqur’an bahwa bagi mereka itu kerdhoan Allah, namun tak pernah ada perintah dari Rasul saw untuk menggelari setiap nama sahabat beliau saw dg ucapan radhiyallahu’anhu/ha/hum.
Inipun Bid’ah hasanah, kita mengikuti Tabi’in mengucapkannya krn cinta kita pd Sahabat.
7). Khalifah Umar bin Abdul Aziz menambahkan lagi dengan menyebut nyebut nama para Khulafa?urrasyidin dalam khotbah kedua pada khutbah jumat, Ied dll.., inipun bid?ah, tak pernah diperbuat oleh para Tabi’in, Sahabat, bahkan Rasul saw, namun diada adakan karena telah banyak kaum mu’tazilah yg mencaci sahabat dan melaknat para Khulafa’urrasyidin, maka hal ini mustahab saja, (baik dilakukan), tak ada pula yg benci dengan hal ini kecuali syaitan dan para tentaranya.
Lalu kategori Bid’ah ini pun muncul entah darimana?, membawa hadits : “Semua Bid?ah adalah sesat dan semua sesat adalah di neraka”. Menimpakan hadits ini pada kelompok sahabat. Ah..ah..ah… adakah seorang muslim mengatakan orang yg memanggil nama Allah Yang Maha Tunggal, menyebut nama Allah dengan takdhim, berdoa dan bermunajat, mereka ini sesat dan di neraka?,
Orang yg berpendapat ini berarti ia telah mengatakan seluruh nama nama diatas adalah penduduk neraka termasuk Umar bin Khattab ra dan seluruh sahabat, dan seluruh tabi?in, dan seluruh ulama ahlussunnah waljama’ah termasuk Sayyidina Muhammad saw, yg juga diperintah Allah untuk duduk bersama kelompok orang yg berdoa, dan beliau lah saw yg mengajarkan doa bersama sama.
Kita di Majelis Majelis menjaharkan lafadz doa dan munajat untuk menyaingi panggung panggung maksiat yg setiap malam menggelegar dengan dahsyatnya menghancurkan telinga, berpuluh ribu pemuda dan remaja MEMUJA manusia manusia pendosa dan mengelu elukan nama mereka.. menangis menjilati ludah dan air seni mereka..
Salahkah bila ada sekelompok pemuda mengelu-elukan nama Allah Yang Maha Tunggal?, menggemakan nama Allah?,
Ah..ah..ah..apakah Nama Allah sudah tak boleh dikumandangkan lagi dimuka bumi?.??!!
Seribu dalil mereka cari agar Nama Allah tak lagi dikumandangkan.. cukup berbisik bisik..!, sama dengan komunis yg melarang meneriakkan nama Allah, dan melarang kumpulan dzikir..
Adakah kita masih bisa menganggap kelompok wahabi ini adalah madzhab..?!!
Kita Ahlussunnah waljama?ah berdoa, berdzikir, dengan sirran wa jahran, di dalam hati, dalam kesendirian, dan bersama sama.
Sebagaimana Hadist Qudsiy Allah swt berfirman : “BILA IA (HAMBAKU) MENYEBUT NAMAKU DALAM DIRINYA, MAKA AKU MENGINGATNYA DALAM DIRIKU, BILA MEREKA MENYEBUT NAMAKAU DALAM KELOMPOK BESAR, MAKA AKUPUN MENYEBUT (membanggakan) NAMA MEREKA DALAM KELOMPOK YG LEBIH BESAR DAN LEBIH MULIA”. (HR Bukhari Muslim).
Saran saya, kita doakan saja madzhab sempalan abad ke 20 ini, agar mereka diberi hidayah dan kembali kepada kebenaran.
Wahai Allah telah terkotori permukaan Bumi Mu dengan sanubari sanubari yg disesatkan syaitan, maka hujankanlah hidayah Mu pada mereka agar mereka mau kembali pd kebenaran, beridolakan sang Nabi saw, beridolakan Muhajirin dan Anshar, berakhlak dengan akhlak mereka, sopan dan rendah diri sebagaimana mereka. Demi Kemuliaan Ramadhan, Demi Kemuliaan Shiyaam walqiyaam, Demi Kemuliaan Nuzululqur’an, dan Demi Kemuliaan Muhammad Rasulullah saw, amiin.
ASSALAMU ‘ALAIKUM..
Subhanallah…
mgkin ta’ ada yang perlu d perdebatkan… jika kita,sedikit berpikir k masa lampau!!!
sebelum ada islam d tanah jawa & d tanah air kita khususnya , siapa yang pertama kali membawa masuk ajaran agama islam!!!!?
ada 9 wali yang kita kenal… dan masih ada banyak waliyullah yang lainnya….
ajaran2 mereka lah yg seharusnya kita anut… karena dari sisi silsilah jelas… mereka datang dari mana… keturunan siapa…!!!! dan ada dahlil2nya… mereka menyebarkan agama islam jelas dengan penuh keihlasan, so jangan mentang2 udah ngaji+mencari ilmu kesana kemari terus lupa ama pendahulu kita…
namanya aja waliyullah, mereka lebih tau ttg islam!!!
kenapa kamu2 yang baru tahu ttg islam,jadi sok tahu… terus menyalahkan orang2 yang mmg benar2 tahu… Nauzdubillah…
saya tidak menyalahkan anda2 yg baru tahu, tp mengingatkan jangan asal ngomong bid’ah… siapa guru anda… (guru itu harus jelas… iSlam tidak mengajarkan cara2 kekerasan/ menyalahkan segala sesuatu langsung… gig gitu)
4 mazhab yang perlu kita anut setelah sepeninggalnya RAsullullah SAW¶ sohabat!!!
dari sini kita mengenal islam!!
dan berkat perjuangan para wali, suhada, auliya,tabi’in… ajaran islam nyampai kepada kita…
semoga wawasan sedikit saya,bermanfaat…
mf jika ada kata” kurang jelas dan sopan! semoga berkat bantuan Allah SWT anda dapat mengerti….
Wassalamu ‘alaikum…
Setuju Mas. Para wali terbukti menjadikan 90 persen penduduk Indonesia bersyahadap sebagai muslim. Nah, setelah sekian abad dari zaman para wali, yang 10 persen belum kelar juga. Ehhhh sudah pada sok lebih pinter dari wali.
Monggo istighfar dan tawadu
Aneh, berdzikir berjama’ah dengan dipimpin kok sesat. Berdosa tuh jika sengaja meninggalkan dzikir berjamaah kecuali ada udzur.
Baca aja QS 24:36-37.
Bahkan Nabi bersabda yang maknanya jika meninggalkan dzikir di waktu Wusthaa maka terhapus amalnya (Tafsir Ibnu Katsir QS 2:238)
Yang jadi masalah adalah jika mengeraskan suara.
Walaupun ada contoh dari Nabi tapi jangan coba-coba pemimpin dzikir berjamaah atau siapapun untuk mengeraskan bacaan dzikir (berdoa, bersholawat) apalagi memakai pengeras suara yakni ketika ruku’, sujud, tasyahud.
Wa aqimish sholata lidzikrii.
Dan dirikanlah sholat untuk berdzikir. (QS 20:14)
Sholat fardhu adalah wajib berjamaah di masjid bagi laki-laki dipimpin oleh imam untuk berdzikir (sholat).
Dosa besar jika laki-laki berdzikir sendiri apalagi mengeraskan suara di masjid, saat yang lain berdzikir (sholat) berjamaah.
Ha-ha-ha. 🙂
Agar berfikir.
Wa aqimish shalata lidzikrii.
Sebaik-baik shalat bagi seseorang (laki-laki) adalah di rumahnya, kecuali shalat wajib.
(Ada yang bilang boleh shalat fardhu di kuburan, pantas saja masjid jadi sepi)
Bacaan Rasul-Nya seusai shalat (mengucapkan salam) adalah mengucapkan:
Astaghfirullah,
Astaghfirullah,
Astaghfirullah.
Allahumma antas-salaam, wa minkas-salaam, tabaraakta ya dzaljalali wal ikraam.
(HR. Muslim, dari Tsauban, Aisyah. HR. An-Nasa’i dari Ummu Salamah)
Insya Allah, masuk Jannah (surga) jika zikir mengikuti dengan baik para Muhajirin dan Anshar radiyallahu anhum (QS 9:100) Allah ridha kepada mereka yang mengikuti dengan baik karena Sami’naa wa atho’naa dengan yang diajarkan Rasul-Nya.
Referensi:
Kitab Riyadhush Shalihin bab 244 hadits ke-8, 9, 10 dan 12.
Jangan mengeraskan suara karena bacaannya berbeda dengan yang lain, yakni:
Astaghfirullahhal adzhim …
…
Allahumma antas-salam, wa minkas-salam, WA ILAIKA …
…
AL-FATIHAH!!!
…
Wallahu ‘alam.
Assalamu ‘alaikum
Saudara-saudaraku, penting bagi kita untuk belajar agama sehingga jangan sampai tertipu dengan kesesatan yang dikemas dengan sampul kebaikan, Sebagaimana didalam hadits perkara baru (dalam agama) itu bid’ah dan bid’ah itu sesat dan kesesatan tempatnya di neraka, maka kita tanyakan kepada mereka apakah pernah dilakukan oleh Rasuulullah atau shahabat-shahabatnya, kalau tidak jangan buat hal-hal baru karena agama ini sudah sempurna, Allahu Akbar, kebenaran akan terus nampak walau manusia memolesnya dengan kalimat-kalimat indah, Allahu Yahdik
Wassalamu’alaikum
–> wangalaikum salam wrwb.
1. Mengenai perkara baru, bahkan di halaman depan blog ini terpajang sebuah hadits mengenai perkara baru. Tak semua hal baru (dalam agama) itu sesat. Naik haji naik pesawat, shalat bercelana panjang, buka puasa dengan kopi panas, berdzikir ketika rapat arisan, dlll. Banyak kan… Itu semua adalah hal baru (dalam agama). Sedangkan yang sesat adalah perkara-perkara baru yang bertentangan dengan syariat.
2. Jika saya mengacu pada kalimat anda, maka anda pun telah melakukan kesesatan pula, dengan mengatakan,”kesesatan yang dikemas dengan sampul kebaikan”. Kalimat yang membingungkan ketika ditembakkan ke majelis-majelis dzikir. Anda pun menyebarkan istilah baru yang sesat karena tak ada contoh dari Rasul saw.
tentang bid’ah
http://aa-bid-ah.blogspot.com/
tentang bid’ah
http://aa-bid-ah.blogspot.com/
to Abu Hanifah,
wa’alaikum slm..
Saudara-saudaraku, penting bagi kita untuk belajar agama sehingga jangan sampai tertipu dengan KITAB2, FATWA2, PENDAPAT ULAMA yang telah DIPALSUKAN/DIEDIT/DIPOTONG2 oleh kelompok wahabi.
jangan tertipu juga dengan pemahaman dangkal kata KULLU dalam hadis “kullu bid’atin dholalah” –> semua bid’ah (yg baru2) sesat.. padahal kalau menilik hadis2 lain, sudah sangat jelas bahwa kata KULLU itu tidak mesti harus berarti “semua/setiap”..
wahai bahasa arab, siap2lah kalian dirombak total oleh kaum wahabi..
ass. sdr abu hanifah apakah menurut pemahaman antum dan murobimu itu yang berhak membid’ah suatu amalan.antum sdh berapa juta hapal hadist.bukankah orang yang berhak mengatakan bid’ah itu hanya manusia agung sayyidina rosululloh muhammad saw. coba antum pahami makna syahadat.karena di situ ada kata2 penyaksian.cth:kalo di dunia orang yang bersaksi di pengadilan itu adalah orang yang harus melihat langsung kejadiannya kalo gak melihat itu namanya saksi palsu, sama dalam hal memahami alloh kalo kang abu hanifah gak ngerti dengan alloh sm aja abu hanifah itu isLAM PALSU. AWWALU WAJIBIN ‘ALAL INSAANI MA’RIFATU ILAAHI BISTIQON
gw sangat terganggu dengan acara dzikir masal(jamaah),pas pulang kerja bikin macet,ko orang2 yang ngakunya berzikir malah bringasan udah ga pake helm jalan kaya milik sendiri kita dijalan jadi ngeri,
gw punya temen dia dia biasa2 aja tentang ibadahnya,ketika dia pulang malam kecelakaan terperosok ke lubang sampe pingsan,pas gw kerumahnya temenku itu cuma lecet2,istrinya cerita suaminya itu tidak pernah dihatinya dari dzikir apalagi pas naik motor dia selalu menghafal alquran(sekarang udah hafal juz 29,30)subhanallah.Beda dengan tetanggaku yang tiap hari pake jaket tulisa Majelis…..,tiap minggu berangkat zikir tapi syifatnya seperti dia aja yang pande beribadah inilah orang2 sekarang yang ngakunya ibadah padahal RIA
gw lebih setuju Dzikir sendiri2 dengan lemah lembut menangis hati kita
Wassalam….
–> maaf .. di sini yang dibahas adalah hukumnya, bukan oknumnya. Keutamaan dan kemuliaan majelis dzikir sebagaimana yang disabdakan baginda Nabi saw tidak akan pudar hanya karena ulah beberapa oknum. Sebagaimana kemuliaan agama islam ini tak akan pudar hanya oleh adanya (oknum) pemeluk agama islam yang melakukan kriminal.
Perkara anda lebih suka yang mana, itu terserah anda. Itu adalah pilihan. Dzikir syir itu ada keutamaan, demikian juga dzikir berjamaah (majelis dzikir) ada keutamaan. Silakan. Namun status hukum tak bisa diubah-ubah seenaknya hanya karena lebih suka yang ini atau yang itu.
to Salsa,
emangnya cuma “zikir massal” aja yg bikin macet??
kalo anda mau pinter sedikit, orang bubar shalat hari raya juga bikin macet..
orang pulang shalat jumat juga bikin macet..
anak sekolahan pulang juga bikin macet..
apakah shalat id dan shalat jumatnya atau sekolahnya yang salah? tentu tidak kan? gimana sih anda ini?
wong orang indonesianya yg susah tertib, lho kok zikirnya yg disalahkan??
kalo mau menyalahkan ya salahkan orang2nya dong.. kenapa orang indonesia susah tertib?
saya bukan membela zikir jamaah membabibuta atau fanatik buta seperti yg sering dituduhkan wahabi, tapi saya cuma agak bingung saja dengan cara berfikir anda..
Dzikir berjamaah sangat jelas ada Dalilnya dan sudah dilakukan sejak zaman nabi Muhammad, dan hal ini bukanlah bid’ah. boleh dilakukan secara Syir dan adakalanya dengan suara agak diperjelas. barangsiapa yang mengharamkan yg halal, dan menghalalkan yg haram, maka orang tersebut telah tertipu oleh tipu daya setan yg tidak pernah berhenti untuk memudarkan Syiar Islam. Ya Allah terangilah hati kami dengan hidayahmu dan tunjukilah kami jalan yg lurus. dan jauhkanlah kami dari tipudaya syaithon, amin
Buat Mas Orgawam Terimakasih banyak, semoga Allah Melimpahkan Rahmat dan Hidayahnya Kepada Kita semua.
–> Amien amien amien. semoga Allah selalu meridloi dan memberikan petunjuk-Nya kepada kita. amien
Bacalah dzikir dengan jahr di waktu Nabi dan para sahabat membaca jahr, dan bacalah dengan sirr di waktu Nabi dan para sahabat membaca sirr. Jangan dibalik, ketika Nabi membaca dzikir dengan cara sirr maka kita membaca secara jahr. Begitu pula ketika sholat. Kita membaca bacaan sholat secara sirr ketika Nabi membaca sirr, kita membaca secara jahr ketika Nabi membaca jahr.
فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوا لِي وَلَا تَكْفُرُونِ (152)
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku. (QS. Al-Baqarah: 152)
Dalam tafsir Jalalain dijelaskan:
{ فاذكرونى } بالصلاة والتسبيح ونحوه { أَذْكُرْكُمْ } قيل معناه ( أجازيكم ) وفي الحديث عن الله « من ذكرني في نفسه ذكرته في نفسي ومن ذكرني في ملأ ذكرته في ملأ خير من ملئه » { واشكروا لِي } نعمتي بالطاعة { وَلاَ تَكْفُرُونِ } بالمعصية .
(Karena itu ingatlah kamu kepada-Ku) yakni dengan shalat, tasbih dan lain-lain (niscaya Aku ingat pula kepadamu). Ada yang mengatakan maksudnya ‘niscaya Aku balas amalmu itu’. Dalam sebuah hadits qudsi diketengahkan firman Allah, “Barang siapa yang mengingat-Ku dalam dirinya niscaya Aku akan ingat dia dalam diri-Ku dan barang siapa mengingat-Ku di hadapan khalayak ramai, maka Aku akan mengingatnya di hadapan khalayak yang lebih baik!” (Dan bersyukurlah kepada-Ku) atas nikmat-Ku dengan jalan taat kepada-Ku (dan janganlah kamu mengingkari-Ku) dengan jalan berbuat maksiat dan durhaka kepada-Ku.
Ayat ini mengatakan “Fadzkuruunii”, yang merupakan perintah kepada orang banyak atau jamak, “Maka ingatlah oleh kalian akan Aku!” Lalu dilanjutkan dengan, “Adzkurkum”, yang artinya, “Niscaya Aku mengingat kalian.” Mahasuci Allah dari sifat lupa. Maka sebagian pendapat menafsirkan “Adzkurkum” sebagai “Ajaaziikum” (niscaya Aku membalas kebaikan kalian). Ini termasuk methode ta’wil.
Hadits Qudsi yang dimaksud dalam tafsir tersebut adalah hadits dari Abu Shalih dari Abu Hurairah radliyallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: Allah berfirman:
أَنَا عِنْدَ ظَنِّ عَبْدِي بِي وَأَنَا مَعَهُ إِذَا ذَكَرَنِي فَإِنْ ذَكَرَنِي فِي نَفْسِهِ ذَكَرْتُهُ فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُهُ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ بِشِبْرٍ تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ ذِرَاعًا وَإِنْ تَقَرَّبَ إِلَيَّ ذِرَاعًا تَقَرَّبْتُ إِلَيْهِ بَاعًا وَإِنْ أَتَانِي يَمْشِي أَتَيْتُهُ هَرْوَلَةً
“Aku berada dalam prasangka hamba-Ku, dan Aku selalu bersamanya jika ia mengingat-Ku, jika ia mengingat-Ku dalam dirinya, maka Aku mengingatnya dalam diri-Ku, dan jika ia mengingat-Ku dalam perkumpulan, maka Aku mengingatnya dalam perkumpulan yang lebih baik daripada mereka, jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sejengkal, maka Aku mendekatkan diri kepadanya sehasta, dan jika ia mendekatkan diri kepada-Ku sehasta, Aku mendekatkan diri kepadanya sedepa, jika ia mendatangi-Ku dalam keadaan berjalan, maka Aku mendatanginya dalam keadaan berlari.” (Shahih Bukhari no. 6856)
قَوْله ( وَإِنْ ذَكَرَنِي فِي مَلَأ ) بِفَتْحِ الْمِيم وَاللَّام مَهْمُوز أَيْ جَمَاعَة
Al-Hafizh ibnu Hajar al-‘Asqolani menjelaskan dalam Fat-hul Baari bahwa yang dimaksud dengan “Mala-in” (khalayak ramai) adalah jama’ah. Sehingga jelaslah bahwa berdzikir atau mengingat Allah di hadapan khalayak ramai itu maksudnya adalah berdzikir dengan cara berjama’ah.
وَاصْبِرْ نَفْسَكَ مَعَ الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ يُرِيدُونَ وَجْهَهُ وَلَا تَعْدُ عَيْنَاكَ عَنْهُمْ تُرِيدُ زِينَةَ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَلَا تُطِعْ مَنْ أَغْفَلْنَا قَلْبَهُ عَنْ ذِكْرِنَا وَاتَّبَعَ هَوَاهُ وَكَانَ أَمْرُهُ فُرُطًا (28)
Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan mengharap keridaan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia ini; dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas. (QS. Al-Kahfi: 28)
Imam ath-Thabari menjelaskan dalam kitab tafsir beliau:
(واصْبِرْ) يا محمد(نَفْسَكَ مَعَ) أصحابك( الَّذِينَ يَدْعُونَ رَبَّهُمْ بِالْغَدَاةِ وَالْعَشِيِّ ) بذكرهم إياه بالتسبيح والتحميد والتهليل والدعاء والأعمال الصالحة من الصلوات المفروضة وغيرها(يُرِيدُونَ) بفعلهم ذلك(وَجْهَهُ) لا يريدون عرضا من عرض الدنيا
(Dan tenangkanlah) wahai Muhammad (akan dirimu bersama) shahabat-shahabatmu (yang menyeru Robbnya di pagi hari dan senja hari) dengan berdzikir kepada-Nya, bertasbih, bertahmid, bertahlil, berdoa, beramal shalih berupa sholat fardhu dan lainnya, (mereka mengharapkan) dengan perbuatan mereka itu (wajah-Nya), bukanlah mereka mengharapkan penawaran berupa penawaran duniawi.
Imam al-Haitsamy menulis dalam Majmu’ az-Zawaa-id mengenai ayat ini:
عن عبد الرحمن بن سهل بن حنيف قال نزلت هذه الآية على النبي صلى الله عليه وسلم وهو في بعض أبياته (واصبر نفسك مع الذين يدعون ربهم بالغداة والعشي) خرج يلتمس فوجد قوما يذكرون الله منهم ثائر الرأس وحاف الجلده وذو الثوب الواحد فلما رآهم جلس معهم فقال الحمد لله الذى جعل في أمتى من أمرنى أن أصبر نفسي معهم.
رواه الطبراني ورجاله رجال الصحيح
Dari Abdurrahman bin sahl ra, bahwa ayat ini turun sedangkan Nabi saw sedang berada di salah satu rumahnya, maka beliau saw keluar dan menemukan sebuah kelompok yang sedang berdzikir kepada Allah swt dari kaum dhuafa, maka beliau saw duduk bersama mereka seraya berkata : Alhamdulillah, Yang telah menjadikan pada ummatku yang aku diperintahkan untuk bersabar dan duduk bersama mereka”. Riwayat Imam Tabrani dan periwayatnya Shahih (Majmu’ Zawaid Juz 7 hal 21)
أخبرنا عمر بن محمد الهمداني ، قال : حدثنا أبو طاهر ، قال : حدثنا ابن وهب ، قال : أخبرني عمرو بن الحارث ، عن دراج أبي السمح ، عن أبي الهيثم ، عن أبي سعيد ، عن رسول الله صلى الله عليه وسلم ، قال : « يقول الله جل وعلا : سيعلم أهل الجمع اليوم من أهل الكرم » ، فقيل : من أهل الكرم يا رسول الله ؟ ، قال : « أهل مجالس الذكر في المساجد »
Bersabda Rasulullah SAW: Berfirman Allah Jalla wa ‘Ala, “Akan tahu nanti orang-orang yang berkumpul di hari qiamat akan siapa itu Ahlul Karom (orang-orang mulia).” Maka para shahabat bertanya, “Siapa itu Ahlul Karom, wahai Rasulallah?” Bersabda Rasul, “Ahli majlis-majlis dzikir di Masjid-Masjid.” (Shahih Ibnu Hibban no. 817)
Ibnu Abbas radhiyallahu `anhuma menceritakan adanya dzikir sesudah shalat dengan suara yang keras (jahr) di jaman Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam. Ibnu Abbas menyatakan: “Aku mengerti kalau orang-orang itu telah selesai menunaikan shalat ketika aku mendengar suara dzikir.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam Shahih keduanya).
Maka jelaslah sekarang bahwa dzikir berjama’ah dengan mengangkat suara adalah disyari’atkan. Siapa yang membantahnya dengan perkataan ulama, maka ia telah lupa bahwa dalam beragama itu haruslah dilakukan dengan berdasarkan dalil syar’i yaitu dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Hal ini telah ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabdanya sebagai berikut:
“Aku tinggalkan di kalangan kalian dua perkara. Kalian tidak akan sesat, selama kalian berpegang dengan keduanya. Yaitu Kitab Allah (yakni Al-Qur’an) dan Sunnah Rasul-Nya (Yakni Al-Hadits).” (HR. Malik dan Al-Hakim dari Ibnu Abbas radhiyallahu `anhu)
Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam membimbing kita untuk berpegang dengan Sunnah para Khulafa’ur Rasyidin dalam memahami Al-Qur’an dan Al-Hadits, yaitu pemahaman dan pengamalan beliau-beliau terhadap keduanya. Hal ini telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam sebagai berikut:
“Maka sesungguhnya siapa dari kalian yang hidup sepeninggalku, dia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu wajib kalian berpegang dengan sunnahku dan sunnah para khulafa’ rasyidin sepeninggalku. Gigitlah ia dengan gigi gerahammu.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya juz 4 hal. 200 bab Fi Luzumil Sunnah no. 4607 dari Irbadh bin Sariyah, dan Ahmad dalam Musnadnya juz 4 hal. 126 – 127, At-Tirmidzi bab Ma Ja`a fil Akhadzi bis-Sunnah wajtanabul Bida` juz 5 hal. 44 no. 2676, Ibnu Majah bab Ittiba’u Sunnatal Khulafaa’ juz 1 hal. 15 – 16 no. 42 – 44 dan Ibnu Jarir dalam Jamu’ul Bayan 212, Ad-Darimi dan Al-Baghawi dan Ibnu Abi `Ashim dalam As-Sunnah juz 1 hal. 205 no. 102)
Dengan demikian, kita tidak boleh mencukupkan diri dengan pernyataan para Ulama’ untuk menghukumi suatu masalah tanpa meneliti dalil yang dikemukan dalam pernyataan itu. Karena setiap Ulama’ tidak akan lepas dari kemungkinan salah dalam fatwanya, sebagaimana biasanya manusia biasa. Tabiat salah pada manusia itu telah diterangkan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dalam sabda beliau sebagai berikut:
“Semua anak Adam banyak bersalah, dan sebaik-baik orang yang banyak bersalah adalah yang banyak bertaubat.” (HR. Ahmad )
Maka dengan berdasarkan sabda beliau ini, Al-Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan:
“Semua omongan, bisa diambil dan bisa ditolak. Kecuali omongan penghuni kubur ini”. Sembari beliau mengisyaratkan jari telunjuknya ke kubur Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wasallam .(Atsar riwayat Ibnu Abdul Hadi dalam Irsyadus Suluk juz 1 hal. 227 dan Ibnu Abdil Bar dalam al-Jami` juz 2 / 91)
Semoga Allah menjernihkan hati mereka yang membid’ahkan dzikir berjama’ah dan melindungi kita dari syubhat-syubhat yang ditebarkan oleh orang-orang yang membid’ahkan dzikir berjama’ah. Aamiin.
Jazaakumullah
Jika melihat khilafiyah ini, mnerutku salah satu pihak pasti ada misi tertentu di balik semua itu….
Knp kita tidak berdakwah pada sesuatu yang jelas2 sesat dan dilarang agama….
dari pada menggembor2kan bid’ah pada orang yang sedang beribadah…. (bid’ah khasanah)
toh mereka yg melakukan itu kan juga punya dasar sendiri, yang kurang setuju dengan “bid’ah” tersebut mungkin juga dan punya dasar sendiri pula…..
jangan terlalu diperdebatkan, dan lebih baik berda’wahlah pada yang benar2 salah, yang maksiat dan yang ingkar pada tuhan, niscaya itu akan lebih baik……
Allah berfirman: ”Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.” (QS. An-Nisa’: 59)
Berikut ini dalil-dalilnya:
A. AL-QUR’AN
Allah berfirman: ”Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan MERENDAHKAN diri dan rasa takut, dan dengan TIDAK MENGERASKAN SUARA (JAHR), di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf : 205) Di bawah ada tafsir ayat ini oleh Ibnu Katsir dan Qurthubi (berdasarkan hadits), bukan tafsir/pemikiran saya sendiri.
Allah juga berfirman: ”Berdoalah kepada Rabb-mu dengan MERENDAHKAN diri dan SUARA YANG LEMBUT. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf : 55) Di bawah ada tafsir ayat ini oleh Imam Mazhab Imam Abu Hanifah (berdasarkan hadits), bukan tafsir saya sendiri.
B. HADITS
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: ”Sebaik-baiknya doa itu diucapkan dengan SUARA LEMBUT.” (HR. Ibnu Hibban dalam Kitab Shahih-nya 3/91)
Dari Abi Musa rodiallahu’anhu ia berkata: ”Kami pernah bersama Rasulullah dalam suatu perjalanan, kemudian orang-orang MENGERASKAN suara takbir mereka, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: Wahai para manusia, kasihanilah dirimu dan RENDAHKANLAH SUARAMU! sesungguhnya kamu tidak sedang menyeru Dzat yang tuli dan tidak juga jauh. Sesungguhnya kamu sedang menyeru Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat.” (Riwayat Al Bukhori 3/1091, hadits no: 2830, dan Muslim 4/2076, hadits no: 2704)
Dari Abu Sa’id ia berkata: ”Suatu saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam beri’itikaf di masjid. Beliau mendengar orang-orang saling mengeraskan suara bacaan mereka, maka beliau membuka tabir dan bersabda: Ketahuilah bahwa kalian semua sedang bermunajat kepada Tuhannya, maka janganlah sebagian kalian MENGGANGGU sebagian yang lain, dan janganlah kalian saling MENGERASKAN dalam bacaan kalian, atau beliau bersabda: (janganlah saling mengeraskan) dalam sholat kalian.” (Riwayat Abu Dawud 2/57, hadits no: 1332)
Al-Baghawi menambahkan dengan sanad yang kuat: ”Sehingga mengganggu kaum mukminin (yang sedang bermunajat).”
Para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan mereka berkata: Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kita bermunajat (berdo’a dengan berbisik-bisik) kepada-Nya ataukah jauh sehingga kita MEMANGGILNYA? Maka Allah turunkan firman-Nya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku itu dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang memohon, bila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al Baqarah: 186). (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, oleh Ibnu Katsir 2/281).
Dari Muhammad bin Abu Bakar Ats-Tsaqafi bahwa ia pernah bertanya kepada sahabat Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tatkala ia bersamanya berjalan dari Mina menuju ke Padang Arafah: ”Bagaimana dahulu kalian berbuat bersama Rasulullah shollallohu ’alaihi wasallam pada hari seperti ini?” Maka beliau menjawab: ”Dahulu ada dari kami yang membaca tahlil dan tidak diingkari, dan ada dari kami yang membaca takbir juga tidak diingkari.” (Riwayat Muslim 2/933 no. 1285). Demikianlah mereka membaca sendiri-sendiri tidak satu suara satu lafadz satu waqaf secara berjamaah ibarat orang yang melakukan paduan suara. (Catatan: bacaan talbiyah dikeraskan)
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: ”Kami bersama Nabi Muhammad shollallohu ’alaihi wasallam (pada saat haji wada’-pen) maka ada di antara kami yang membaca takbir, ada yang membaca tahlil, dan ada yang membaca talbiyah.” Beginilah yang diperintahkan kepada kaum muslimin, yaitu agar mereka membaca talbiyah sendiri-sendiri tanpa ada sangkut pautnya dengan orang lain. (Fiqh Al Ibadah hal. 343) (Catatan: bacaan talbiyah dikeraskan tapi membaca sendiri-sendiri tidak berjamaah satu suara)
C. ATSAR SAHABAT/TABI’IN
Diriwayatkan dari Qais bin ‘Abbad ia berkata: “Dahulu para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam tidak menyukai untuk MENGERASKAN SUARA pada tiga keadaan, yaitu: di saat berperang, menghadiri jenazah, dan pada saat berdzikir.“ (Riwayat Ibnu Abi Syaibah, 6/143, no: 30174, Al Baihaqi 4/74, dan Al Khathib Al Baghdadi dalam kitabnya Tarikh baghdad 8/91)
Sebelum sholat Shubuh, Abu Musa Al-Asy’ary beserta beberapa orang melapor kepada Abdullah bin Mas’ud, ”Tadi kulihat kejadian yang sebenarnya aku pun kurang sreg. Tapi yang kulihat di sana justru hanya kebaikan.”
”Apa itu?” Tanya Abdullah bin Mas’ud.
”Ada sekelompok orang membentuk beberapa halaqah sambil menunggu datangnya sholat. Setiap halaqah dipimpin satu orang dan mereka semua memegang kerikil. Ketika pemimpin halaqah itu berkata, ”Bertakbirlah 100 kali, bertahlillah 100 kali, bertasbihlah 100 kali”, maka mereka pun membaca takbir, tahlil dan tasbih 100 kali.
Singkat cerita, Abdullah bin Mas’ud mendatangi halaqah itu, bertanya kepada mereka sambil berdiri, ”Apa yang kalian lakukan seperti yang kulihat saat ini?”
”Wahai Abu Abdurrahman (Nama kunyah Abdullah bin Mas’ud), kami memegang kerikil-kerikil untuk menghitung bacaan takbir, tahlil, dan tasbih,” jawab mereka.
Abdullah bin Mas’ud berkata, ”Hitunglah keburukan-keburukan kalian. Aku berani menjamin bahwa sedikitpun kebaikan-kebaikan kalian juga tidak akan hilang. Celakalah kalian wahai umat Muhammad. Begitu cepat penyimpangan yang kalian lakukan. Para Sahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak. Demi diriku yang ada di tangan-Nya, apakah kalian merasa berada pada millah (jalan-pen) yang lebih benar daripada millah Muhammad, ataukah kalian hendak membuka pintu kesesatan?”
Mereka berkata, ”Demi Allah wahai Abu Abdurrahman, kami hanya menghendaki kebaikan.”
Abdullah bin Mas’ud menjawab, ”Berapa banyak orang yang menghendaki kebaikan, tetapi justru tidak memperolehnya.”
Lalu Abdullah bin Mas’ud menyampaikan sabda Rasulullah shollallahu ’alaihi wasallam, ”Ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati tulang tenggorokan.”
(Sunan Ad-Darimi, Kitabul Muqaddimah, hadits no. 206. Juga disebutkan dalam Kitab Tarikh Wasith oleh Aslam bin Sahl Ar-Razzaz Al-Wasithy. Hadits shohih terdapat dalam As-Silsilah Ash-Shahihah, hadits no. 2005)
Dari Al-Bukhtari, dia berkata: “Seorang laki-laki mengabarkan kepada Ibnu Mas’ud bahwa ada satu kaum sedang berkumpul dalam masjid setelah melaksanakan sholat maghrib, seorang dari mereka berketa, ‘Bertakbirlah kalian semua kepada Allah seperti ini, bertasbihlah kepada-Nya seperti ini, dan bertahmidlah kepada-Nya seperti ini’, maka beliau (Ibnu Mas’ud-pen) mendatangi mereka seraya berkata, ‘Dan demi Allah yang tiada ilah melainkan Dia, sungguh kalian telah datang dengan perkara bid’ah yang keji, atau kalian telah menganggap lebih mengetahui daripada Sahabat Nabi’.” (Ad-Darimi dalam Kitab As-Sunan 1/67-69, Ibnul Jauzy dalam Kitab Talbis Iblis hal. 16-17, dan As-Suyuthi dalam Kitab Al Amru bi Al Ibtida’ hal. 83-84)
Dari Abu Utsman An Nahdi ia berkata: ”Salah seorang gubernur pada zaman khilafah Umar bin Khatthab menuliskan laporan yang isinya: Sesungguhnya di wilayah saya, ada suatu kelompok orang yang BERKUMPUL-KUMPUL kemudian BERDOA BERSAMA-SAMA untuk kaum muslimin dan pemimpin. Maka Umar menulis surat kepadanya: Datanglah dan bawa mereka besertamu. Maka gubernur itu datang, (dan sebelum ia datang) Umar telah memerintahkan penjaga pintunya untuk menyiapkan sebuah cambuk. Dan tatkala mereka telah masuk ke ruangan, spontan Umar langsung memukul pemimpin kelompok itu dengan cambuk.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnya Al Mushannaf 5/290, no: 26191)
Dari Abu Utsman An Nahdi ia berkata: ”Seorang pegawai menulis surat kepada Umar bin Khothob yang isinya, ‘Di suatu tempat ada suatu kaum yang BERKUMPUL dan mereka berdoa untuk kebaikan kaum muslimin dan para pemimpin.’ Maka Umar pun membalas surat tersebut seraya mengatakan, ‘Temuilah mereka (3x)’, kemudian ia berkata kepada penjaga pintu, ‘Siapkan cambuk’, maka ketika mereka masuk, Umar menyambut pemimpin mereka dengan cambukan.” (Ibnu Wadhdhah dalam Kitab Ma Ja’a Fi Al Bida’ hal. 54)
Abu Hazzan berkata: Aku bertanya kepada Atha’ : “Apakah yang dimaksud dengan majelis dzikir?” Ia menjawab: “Yaitu majelis (yang membahas) halal dan haram, bagaimana engkau menunaikan sholat, bagaimana engkau berpuasa, bagaimana engkau menikah, bagaimana engkau menceraikan, bagaimana engkau menjual dan bagaimana engkau membeli.” (Riwayat Abu Nu’aim dalam Kitabnya Hilyah Al Auliya’: 3/313)
Imam Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa keutamaan/pahala berdzikir tidak hanya terbatas pada bertasbih, bertahlil, bertahmid, bertakbir, dan yang serupa. Akan tetapi setiap orang yang mengamalkan ketaatan kepada Allah Ta’ala berarti ia telah berdzikir kepada Allah Ta’ala, demikianlah dikatakan oleh Said bin Jubair (tabi’in) dan ulama yang lainnya. Atha’ berkata: ‘Majelis-majelis dzikir adalah mejelis-majelis yang membicarakan halal dan haram, bagaimana engkau membeli dan menjual, mendirikan sholat, berpuasa, menikah, menceraikan, berhaji dan yang serupa dengan itu’. “ (Al-Adzkar oleh Imam Nawawi 9)
D. PERKATAAN IMAM MAZHAB
1. Imam Syaf i’i berkata:
“Saya berpendapat bahwa seorang imam dan makmumnya hendaknya mereka berdzikir kepada Allah seusai shalat, dan hendaknya mereka merendahkan (memelankan) dzikirnya, kecuali bagi seorang imam yang ingin agar para makmumnya belajar (dzikir) darinya, maka ia boleh mengeraskan dzikirnya, hingga bila ia merasa bahwa mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkannya, karena Allah Azza wa Jalla berfirman: ‘Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam sholatmu dan janganlah pula merendahkannya.’ (QS Al Isra’: 110). Maksud kata ﺓﻼﺼﻟﺍ -wallahu Ta’ala a’alam- ialah: doa. Laa Tajhar: Jangan engkau MENGANGKAT SUARAMU, wa laa tukhofit: Jangan engkau rendahkan hingga engkau sendiri tidak mendengarnya.“ (Al Umm oleh Imam As Syafi’i 1/127).
Adapun hadits: Ibnu Abbas berkata: “Dahulu aku mengetahui bahwa mereka telah selesai dari sholatnya, bila aku telah mendengarnya (suara dzikir).” (HR. Bukhari 1/288 no. 805 dan Muslim 1/410 no. 583)
“Imam Syafi’i menafsiri hadits ini bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam mengeraskan suaranya dalam BEBERAPA WAKTU SAJA, guna mengajari sahabatnya cara berdzikir, BUKAN BERARTI MEREKA (Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam dan sahabatnya) SENANTIASA mengeraskan suaranya. Beliau (Syafi’i) berkata: ‘Saya berpendapat bahwa seorang imam dan makmumnya hendaknya mereka berdzikir kepada Allah, seusai menunaikan shalatnya, dan hendaknya mereka merendahkan suara dzikirnya, kecuali bagi seorang imam yang ingin agar para makmumnya belajar (dzikir) darinya, maka ia boleh mengeraskan dzikirnya, hingga bila ia sudah merasa bahwa mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkannya.’” (Syarah Shahih Muslim oleh Imam Nawawi 5/84, dan Fathul Bari oleh Ibnu Hajar Al Asqalani 2/326. Dan baca pula Al Umm oleh As Syafi’i 1/126-127).
2. Imam Abu Hanifah
Dalam Kitab Badai’u ash shana’i fi Tartibi Asy Syara’ 1/196 beliau berkata: “Bahwasanya mengeraskan suara ketika bertakbir pada dasarnya merupakan bid’ah karena hal tersebut merupakan bentuk dzikir, dan menurut penjelasan As-Sunnah bahwa berdzikir hendaknya dilakukan dengan suara pelan sebagaimana tersebut dalam Firman Allah Ta’ala, “Berdoalah kepada Rabb-mu dengan berendah diri dan suara yang lembut” (QS. Al-A’raf: 55). Dan sabda Rasulullah shollallahu ‘alaihi wasallam, “Sebaik-baiknya doa itu diucapkan dengan suara lembut” (HR. Ibnu Hibban dalam Kitab Shahih-nya 3/91).”
3. Imam Malik (guru Imam Syafi’i)
Syaikh Muhammad bin Ahmad Miyarah Al-Maliki dalam Kitabnya Ad Dur Ats Tsamin hal. 173 berkata, “Bahwa Imam Malik dan beberapa ulama yang lain tidak menyukai seorang imam atau pemimpin doa yang berdoa setelah sholat wajib dengan suara keras.”
4. Imam Ahmad (murid Imam Syafi’i/guru Bukhari, Muslim, Abu Dawud)
Imam Ahmad membolehkan do’a untuk orang lain dengan cara berkumpul TANPA ADA KESENGAJAAN sebelumnya dan TIDAK DILAKUKAN BERULANG-ULANG sehingga dianggap sebagai kebiasaan. (Al-Iqtidha’ oleh Ibnu Taimiyyah hal. 304)
E. PERKATAAN PARA ULAMA
1. Ibnu Katsir (ulama ahli tafsir dari mazhab Syafi’i)
“Dan berdzikirlah (sebutlah) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan senja, dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai.” (QS Al A’raf: 205)
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini dengan berkata: “Maksudnya: berdzikirlah kepada Tuhanmu dalam hatimu dengan rasa harap dan takut, dan dengan suaramu (lisanmu) TANPA MENGERASKANNYA, oleh karena itu Allah berfirman: ‘dan dengan tidak mengeraskan suara’, dan demikianlah yang disunnahkan, hendaknya dzikir itu (dengan suara) tidak sampai seperti panggilan, dan suara yang terlalu keras, oleh karena itu tatkala para sahabat bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, dan mereka berkata: Apakah Tuhan kita itu dekat, sehingga kita bermunajat (berdo’a dengan berbisik-bisik) kepada-Nya ataukah jauh sehingga kita memanggilnya? Maka Allah turunkan firman-Nya: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku itu dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang memohon, bila ia memohon kepada-Ku.” (QS Al Baqarah: 186). (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, oleh Ibnu Katsir 2/281).
2. Imam Nawawi (ulama mazhab Syafi’i) berkata:
Imam Nawawi berkata: “Ulama’ mazhab Syaf i’i (ashhabunaa), berkata: dzikir dan doa setelah shalat, disunnahkan untuk dilakukan dengan merendahkan suara, kecuali bila ia seorang imam dan hendak mengajari orang-orang (makmum), maka dibolehkan untuk mengeraskan suaranya, agar mereka belajar darinya, dan bila dirasa mereka telah cukup belajar dan sudah tahu, maka hendaknya ia kembali merendahkannya.“ (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab oleh Imam An Nawawi 3/469).
Imam Nawawi berkata: “Adapun apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang, dengan mengkhususkan untuk imam agar berdoa setelah selesai sholat Shubuh dan Ashar, maka hal ini tidak ada dasarnya sama sekali.” (Al Majmu’ Syarah Al Muhazzab oleh Imam An Nawawi 3/469).
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: Wahai para manusia, kasihanilah dirimu dan RENDAHKANLAH SUARAMU! sesungguhnya kamu tidak sedang menyeru Dzat yang tuli dan tidak juga jauh. Sesungguhnya kamu sedang menyeru Yang Maha Mendengar lagi Maha Dekat.” (Riwayat Al Bukhori 3/1091, hadits no: 2830, dan Muslim 4/2076, hadits no: 2704)
Imam Nawawi menjelaskan maksud hadits ini dengan berkata: “Kasihanilah dirimu, dan rendahkanlah suaramu, karena mengeraskan suara, biasanya dilakukan seseorang, karena orang yang ia ajak berbicara berada di tempat yang jauh, agar ia mendengar ucapannya. Sedangkan kamu sedang menyeru Allah Ta’ala, dan Dia tidaklah tuli dan tidak juga jauh, akan tetapi Dia Maha Mendengar dan Maha Dekat. Sehingga dalam hadits ini ada anjuran untuk merendahkan suara dzikir, selama tidak ada keperluan untuk mengerasakannya, karena dengan merendahkan suara itu lebih menunjukkan akan penghormatan dan pengagungan. Dan bila ada kepentingan untuk mengeraskan suara (mengajari makmum, hanya beberapa kali saja-pen), maka boleh untuk dikeraskan, sebagaimana yang disebutkan dalam beberapa hadits.” (Syarah Shahih Muslim, oleh Imam An Nawawi 17/26).
Imam Nawawi dalam kitabnya At Tahqiq berkata: “Disunnahkan untuk berdzikir dan berdo’a setiap kali selesai sholat (lima waktu) dan hendaknya ia merendahkan suaranya. Bila ia seorang imam dan hendak mengajarkan makmumnya (bacaan dzikir) maka ia boleh untuk mengeraskan suaranya, kemudian bila mereka telah cukup belajar, ia kembali merendahkannya.” (At Tahqiq oleh Imam Nawawi hal. 219; Miskul Khitam hal. 137-141).
3. Imam Yahya bin Abil Khair Al ‘Imrani (ulama mazhab Syafi’i), setelah menyebutkan berbagai riwayat tentang dzikir-dzikir Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, ia menyimpulkan:
“Riwayat perawi yang meriwayatkan bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam berdoa dan mengeraskan suaranya, ditafsiri bahwa beliau Shallallahu ‘alaihi wa Salam melakukan hal itu agar para sahabatnya belajar dari beliau. Dan riwayat perawi yang menyebutkan bahwa beliau (seusai shalat) diam sejenak kemudian berdiri dan pergi, ditafsiri bahwa beliau berdoa dengan merendahkan suaranya, sehingga beliau hanya memperdengarkan dirinya sendiri.” (Al Bayan, oleh Yahya bin Abil Khair Al ‘Imrani, 2/250).
4. Imam Baihaqi (ahli hadits dari mazhab Syafi’i)
Beliau menukilkan dari Al-Hulaimi Asy-Syafi’i, ia berkata: “Maknanya bila dzikir itu bukan termasuk dzikir yang wajib, akan mudah dijangkiti oleh riya’ bila ditunjukkan kepada orang lain, dan bila disembunyikan, niscaya lebih terjauh dari riya’.” (Syu’ab Al-Iman oleh Baihaqi 3/243)
5. Az-Zarkasyi (ulama dari mazhab Syafi’i)
Beliau berkata: “Semua dzikir itu sunnahnya dilakukan dengan melirihkan suara kecuali talbiyah (bacaan dzikir saat haji-pen).” (Ishlahul Masajid hal. 111)
6. Ibnul Haj
Beliau berkata: “Sebaiknya orang yang dzikir bersama di masjid sebelum dan sesudah sholat (wajib) atau di waktu lainnya itu dilarang. Karena hal itu merupakan sesuatu yang mengganggu.” (Ishlahul Masajid hal. 111)
7. Al Qurthubi (ulama ahli tafsir dari mazhab Maliki)
“Dan berdzikirlah kepada Rabb-mu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan senja, dan janganlah kamu menjadi orang yang lalai.” (QS Al A’raf: 205)
Al Qurthubi tatkala menafsirkan ayat ini berkata: “Dunal Jahri (tidak mengeraskan suara) maksudnya ialah: tidak meninggikan suara, yaitu cukup dengan memperdengarkan diri sendiri, sebagaimana firman Allah: ‘dan carilah jalan tengah di antara keduanya itu. ’Maksudnya: antara mengeraskan suara dan merendahkannya. Dan ayat ini menunjukkan bahwa meninggikan suara tatkala berdzikir adalah TERLARANG.“ (Al Jami’ Li Ahkam Al Qur’an, oleh Al Qurthubi Al Maliki 7/355).
8. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (ulama mazhab Hanbali/guru Ibnu Katsir, Dzahabi, Ibnul Qayyim) berkata:
Ibnu Taimiyah berkata: “Tidak ada satupun sahabat yang meriwayatkan bahwa Rasulullah apabila setelah selesai shalat lalu beliau berdoa bersama para sahabatnya, akan tetapi Beliau Shallallahu ’alaihi wa sallam hanya berdzikir kepada Allah, sebagaimana yang terdapat dalam banyak hadits” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 22/492)
Ibnu Taimiyyah berkata: “Adapun doa yang dilakukan imam bersama-sama dengan makmum setelah sholat, maka hal ini tidak ada seorangpun yang meriwayatkannya dari Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam.” (Majmu’ Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 22/515)
9. Imam Asy-Syatibi (ulama mazhab Maliki) berkata:
Beliau berkata: “Bahwa doa-doa yang dilakukan dengan berkumpul secara terus-menerus tidak ada contohnya dari Nabi Shallallahu ’alaihi wa sallam.” (Al-I’tisham oleh Asy-Syatibi I/129)
10. Al-Mubarokfuri (ulama yang mensyarah Kitab Sunan At-Tirmidzi)
Beliau berkata: “Ketahuilah, bahwa para pengikut madzhab Hanafi di era ini, merutinkan doa dengan mengangkat tangan tiap selesai sholat fardhu seperti rutinnya mereka melakukan amalan wajib, seakan-akan mereka menganggap amalan itu suatu kewajiban, karena itulah mereka mengingkari orang yang salam dari sholat fardhu, lalu membaca wirid ‘Allohumma antas salam, wa minkas salam, tabarokta Yaa Dzal jalaali wal ikroom’ kemudian pergi tanpa berdoa dengan mengangkat tangannya. Tindakan mereka ini, menyelisihi perkataan Imam mereka, yakni Imam Abu Hanifah, begitu pula menyelisihi apa yang ada dalam kitab-kitab yang dijadikan sandaran oleh mereka.” (Tuhfatul Ahwadzi oleh Mubarokfuri 1/246). Perkataan beliau ini sesuai dengan pendapat Imam Abu Hanifah di atas.
BANTAHAN UNTUK PENDAPAT DZIKIR BERJAMAAH
Ayat-Ayat Al-Qur’an Yang (Kelihatannya Seperti) Mengisyaratkan Tentang Disyari’atkannya Dzikir Berjama’ah
“Wahai sekalian ORANG-ORANG yang beriman, berdzikirlah kalian semua kepada Allah dengan zikir yang banyak.” (Q.S. al-Ahzab: 41). Ayat-ayat yang senada dengan ini dapat dibaca dalam al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 152 dan ayat 200.
“ORANG-ORANG yang berdzikir kepada Allah…” (Q.S. Ali ‘Imran: 191)
“Dan (MEREKA) lelaki dan perempuan yang banyak berdzikir kepada Allah…” (Q.S. al-Ahzab: 35)
Pada firman-firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala di atas, diteliti dari sisi tata bahasa Arab semuanya itu menggunakan dhamir jama’/plural (antum, hum dan hunna) bukan dhamir mifrad/singular (anta, huwa, dan hiya). Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya zikir secara berjama’ah.
Saya jawab:
Digunakannya kata ganti jamak atau plural tidaklah menunjukkan anjuran melakukan hal tersebut secara bersama-sama. Banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Allah berfirman: “Maka sekarang campurilah MEREKA dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS al Baqarah:187).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mencampuri isteri-isteri mereka di malam hari bulan Ramadhan. Dalam ayat di atas Allah menggunakan kata ganti jamak atau plural. Berdasarkan logika Saudara tulisan di atas bisa disimpulkan bahwa kaum muslimin di anjurkan pada malam hari UNTUK KUMPUL DI SUATU TEMPAT LALU BERJIMA’ ATAU MELAKUKAN HUBUNGAN BIOLOGIS DENGAN RAME-RAME.
Benarkah logika semacam ini? Tentu, ini adalah logika yang sangat tidak berdasar. Sehingga penggunaan kata ganti jamak atau plural sama sekali tidak menunjukkan dianjurkannya melakukan suatu hal secara bersama-sama. Yang benar, perintah yang menggunakan kata ganti plural hanya menunjukkan adanya perintah untuk melakukan suatu perbuatan dan sama sekali tidak membahas cara melaksanakan perintah tersebut.
2. Allah berfirman: “Dan MEREKA menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (QS. Al Baqarah:3).
Dalam ayat di atas Allah memuji orang-orang yang berinfak dalam jalan-jalan kebaikan. Ayat di atas menggunakan kata ganti jamak atau plural. Lantas apakah ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang yang hendak berinfak hendaknya kumpul di satu tempat lalu bareng-bareng menyerahkan infak. Bahkan kita dianjurkan untuk berinfak atau bersedekah dengan sembunyi-sembunyi.
3. Allah berfirman: “Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah MEREKA mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh MEREKA.” (QS. Al Ahzab: 59)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada para wanita muslimah untuk memakai jilbab. Tentunya memakai jilbab sendiri-sendiri. Lalu apakah ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa para wanita hendaknya berkumpul di satu tempat lalu bareng rame-rame seperti lomba memakai jilbab siapa yang tercepat lalu mendapatkan hadiah, apakah begitu?
4. Allah berfirman: “PARA IBU hendaklah menyusukan ANAK-ANAKNYA selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al. Baqarah: 233)
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada para ibu untuk menyusui anak-anak mereka. Lantas apakah ayat ini adalah dalil yang menunjukkan bahwa para ibu hendaknya berkumpul dalam satu gedung/ruangan lalu bareng rame-rame menyusui anaknya. Benarkah pemikiran seperti ini?
Ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits yang menggunakan kata ganti orang banyak (jamak/plural) dalam masalah dzikir hanya mengandung unsur perintah bukan tata caranya. Ayat-ayat Al-Qur’an maupun hadits yang berisi/perintah untuk berdzikir/majelis dzikir hanyalah berisi perintah untuk berdzikir, adapun tata caranya yang rinci terdapat dalam ayat-ayat lain, hadits-hadits lain, atsar para sahabat/tabi’in yang jelas menyatakan bahwa melarang dzikir dengan suara keras (kecuali talbiyah, kecuali mengajari makmum bacaan dzikir usai sholat tetapi hanya beberapa kali saja) dan dilakukan secara sendiri-sendiri.
Hadits-hadits yang dibawakan Saudara adalah hadits yang menunjukkan disyariatkannya al ijtima’ fi al dzikri (BERADA DI SUATU TEMPAT YANG SAMA UNTUK MELAKUKAN KEGIATAN DZIKIR SECARA SENDIRI-SENDIRI) dan sama sekali tidaklah menunjukkan dianjurkannya al Dzikri al Jama’i (dzikir rame-rame dikomando satu orang dengan suara yang dikoorkan/paduan suara).
Ada beberapa orang yang duduk di masjid yang sama lalu masing-masing dari mereka berdzikir mengingat Allah atau membaca Al Qur’an sendiri-sendiri. Itulah yang disebut dengan al ijtima’ fi al dzikri alias berada atau duduk di majelis dzikir. Majelis dzikir adalah berdzikir di majelis alias tempat duduk yang sama, bukan berdzikir rame-rame dengan dikomando satu orang lantas bacaan-bacaan dzikir dilantunkan bersama-sama sebagaimana acara panduan suara dalam rangka menyanyikan lagu tertentu.
Perhatikan dan bedakan dua hal di atas sehingga Saudara tidak tertipu oleh orang-orang yang tidak merasa cukup dengan ajaran Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam berzikir.
Semua hadits-hadits yang Saudara bawakan hanya menunjukkan dianjurkannya duduk atau berada di majelis dzikir. Majelis dalam bahasa Arab artinya adalah tempat duduk. Sehingga majelis dzikir artinya adalah berdzikir di sebuah tempat yang sama. Kalimat majelis dzikir sama sekali tidaklah menunjukkan adanya dzikir jama’i, cuma sekedar menunjukkan al ijtima’ fi al dzikri.
BOLEH MENGERASKAN SUARA UNTUK PENGAJARAN SAJA, TETAPI KEMUDIAN DILIRIHKAN KEMBALI
1. Nabi saat berdzikir seusai sholat pernah berdzikir dengan keras (tetapi para sahabat tidak ikut-ikutan mengeraskan) guna mengajari para sahabat agar dapat menghafal bacaan dzikir, itupun hanya dilakukan beberapa kali. Setelah dirasa cukup, maka Nabi melirihkan kembali. Berbeda dengan orang-orang sekarang ini yang imam merutinkan mengeraskan dzikir seusai sholat, ditambah membaca bareng-bareng lagi dengan makmumnya. Inilah penafsiran Imam Syafi’i dalam Kitab beliau Al-Umm seperti yang tersebut di atas tadi.
2. Nabi pernah beberapa kali sholat di atas mimbar guna mengajari para sahabat gerakan-gerakan sholat. Setelah dirasa cukup maka Nabi kembali sholat di bawah lagi tidak di atas mimbar.
3. Sahabat Ibnu Abbas pernah mengeraskan bacaan Surat Al-Fatihah (ayat-ayat Al-Qur’an) pada saat menjadi imam sholat jenazah guna mengajari makmum bahwa pada sholat jenazah juga membaca Al-Fatihah. Bukan kemudian ini dijadikan dalil untuk merutinkan menjahrkan bacaan Al-Fatihah saat sholat jenazah.
4. Di dalam Shahihain dari Abu Qatadah Al-Anshari bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam dahulu terkadang memperdengarkan kepada para sahabat bacaan ayat Al-Qur’an di dalam sholat Dhuhur dan Ashar, Umar bin Khothob juga pernah melakukannya. Ini hanya dalam rangka pengajaran bahwa pada saat sholat Dhuhur dan Ashar juga membaca ayat-ayat Al-Qur’an. Bukannya kemudian dirutinkan membaca secara keras ayat Al-Qur’an ketika sholat Dhuhur dan Ashar.
5. Umar bin Khothob pernah menjahrkan bacaan doa iftitah dalam sholat untuk mengajari makmum.
Tentunya maksud pengajaran itu hanya dilakukan beberapa kali saja, bukan sebagai kebiasaan seperti sekarang ini.
BOLEHKAH MEMBACA AL-QUR’AN BERSAMA-SAMA SATU SUARA, SATU LAFADZ, SATU WAQAF (IBARAT PADUAN SUARA) ?
Allah berfirman: “Dan apabila dibacakan Al-Qur’an maka DENGARKANLAH baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat. (QS. Al-A’raf: 204)
Allah berfirman: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. APABILA KAMI TELAH SELESAI MEMBACAKANNYA MAKA IKUTILAH BACAANNYA ITU.” (QS. Al-Qiyamah: 16-18)
Yang telah diperintahkan oleh Allah adalah satu membaca sedangkan yang lain mendengarkan alias tidak membaca bersama-sama satu suara, satu lafadz, satu waqaf.
Hal ini berdasarkan apa yang telah dipraktekkan oleh Rasulullah dan para Sahabatnya.
1. Ketika Nabi menyampaikan wahyu Al-Qur’an kepada para Sahabat, maka para Sahabat diam dan mendengarkannya. Tidak ikut-ikutan membarengi suara Nabi.
2. Dari Abdullah, dia berkata, Nabi bersabda kepadaku: “Bacakanlah (Al-Qur’an) kepadaku!” Aku menjawab: “Apakah aku akan membacakan kepada anda, sedangkan Al-Qur’an diturunkan kepada anda?” Beliau menjawab: “Sesungguhnya, aku suka MENDENGARKANNYA dari selainku”, maka aku membacakan kepada beliau surat An-Nisa’, sehingga aku sampai (pada ayat): “Maka bagaimanakah (halnya orang-orang kafir nanti), apabila kami mendatangkan seseorang saksi (Rasul) dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu (Muhammad) sebagai saksi atas mereka itu (sebagai umatmu) (QS. An-Nisa’: 41). Beliau bersabda: “Berhentilah!” Ternyata kedua mata beliau meneteskan air mata.” (HR. Bukhari no. 4582 dan Muslim no. 800, dll).
3. Dari Rafi’ bin Al-Ma’la bahwa Nabi bersabda: “Maukah engkau kuajari surat yang paling agung dalam Al-Qur’an sebelum pergi ke masjid?” Kemudian beliau (Nabi) pergi ke masjid, lalu aku mengingatkannya dan beliau bersabda, “Alhamdulillah, ia (surat yang agung itu) adalah As Sab’ul Matsaani dan Al-Quranul Adhim yang telah diberikan kepadaku.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya no. 4474)
4. Dari Abu Hurairah dari Nabi, beliau bersabda: “Ada satu surat dari Al-Qur’an banyaknya 30 ayat akan memberikan syafa’at bagi pemiliknya (yang membacanya/menghafalnya) hingga ia akan diampuni, ‘Tabaarokalladzii biyadihil mulk’ (QS. Al-Mulk: 1).” (Diriwayatkan dalam Sunan Abu Dawud no. 1400 dan Sunan At-Tirmidzi no. 2893)
Hadits-hadits di atas menunjukkan mereka membaca Al-Qur’an tidak bersama-sama, tetapi yang satu membaca dan yang lain mendengar.
Imam Malik berkata: “Seandainya seseorang membaca, yang lain menyimak, atau seseorang membaca setelah yang lain, aku tidak menganggapnya berbahaya (terlarang).” (Kitab Al-Hawadits Wal Bida’ hal. 162)
Imam Malik berkata: “Seandainya seseorang dari mereka membaca beberapa ayat, kemudian orang lain membaca setelah temannya, dan juga yang demikian itu tidak mengapa, mereka saling memperdengarkan kepada yang lain.” (Kitab Al-Hawadits Wal Bida’ hal. 162)
Imam Malik berkata: “Tidak boleh sekelompok orang berkumpul membaca satu surat (bersama-sama), seperti yang dilakukan penduduk Iskandariyah. Ini dibenci, tidak menyenangkan kami.” (Kitab Al-Hawadits Wal Bida’ hal. 161)
Adapun orang yang menganggap bolehnya membaca Al-Qur’an bersama-sama satu suara satu lafadz satu waqaf, mereka di antaranya berdalil dengan hadits:
1. Peristiwa Malaikat Jibril yang menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad kemudian Nabi Muhammad meniru apa yang diwahyukan Malaikat Jibril. Maka saya jawab: Nabi meniru tidak bersamaan dengan ucapan Malaikat Jibril, yaitu setelah Malaikat selesai membacakan ayat/wahyu yang diturunkan maka baru Nabi menirunya. Justru ketika Nabi tergesa-gesa ingin meniru malaikat Jibril, maka Allah melarangnya: “Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. APABILA KAMI TELAH SELESAI MEMBACAKANNYA MAKA IKUTILAH BACAANNYA ITU.” (QS. Al-Qiyamah: 16-18)
2. Dari Abu Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda: “Dan tidaklah sekelompok orang berkumpul di dalam satu rumah-rumah Allah, MEREKA MEMBACA KITAB ALLAH dan saling belajar di antara mereka, kecuali ketenangan turun kepada mereka, rahmat meliputi mereka, malaikat mengelilingi mereka, dan Allah menyebut-nyebut mereka di kalangan (para malaikat) di hadaapan-Nya.” (HR. Muslim no. 2699, Abu Dawud no. 3643, Tirmidzi no. 2646, Ibnu Majah no. 225, dll)
Maka saya menjawab: Hadits ini masih bersifat umum yaitu perintah untuk mempelajari Al-Qur’an (mempelajari tafsirnya, tidak hanya sekedar membaca saja). Dan juga termasuk kategori itu yaitu mengajari orang-orang membaca Al-Qur’an bagi orang-orang yang belum bisa membaca tulisan Arab dalam Al-Qur’an (maksud pengajaran). Dan juga masih kategori hadits ini yaitu satu orang membaca sedangkan yang lain mendengar/menyimak. Lalu mengapa hadits yang masih umum ini selalu ditarik ke arti membaca Al-Qur’an bersama-sama dengan satu lafadz satu suara satu waqaf? Padahal masih banyak ayat Al-Qur’an dan hadits lain yang memperinci hadits umum tersebut.
Mungkin dalam benak Saudara bertanya: Bukankah hadits di atas dari sisi tata bahasa Arab semuanya itu menggunakan dhamir jama’/plural (antum, hum dan hunna/KALIAN,MEREKA) bukan dhamir mifrad/singular (anta, huwa, dan hiya/KAMU,DIA). Hal ini jelas mengisyaratkan bolehnya dan dianjurkannya zikir secara berjema’ah.
Saya jawab: Digunakannya kata ganti jamak atau plural tidaklah menunjukkan anjuran melakukan hal tersebut secara bersama-sama. Banyak bukti yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:
Allah berfirman: “Maka sekarang campurilah MEREKA dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar” (QS. Al Baqarah:187).
Dalam ayat di atas Allah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman untuk mencampuri isteri-isteri mereka di malam hari bulan Ramadhan. Dalam ayat di atas Allah menggunakan kata ganti jamak atau plural. Berdasarkan logika Saudara tulisan di atas bisa disimpulkan bahwa kaum muslimin di anjurkan pada malam hari untuk kumpul di suatu tempat lalu berjima’ atau melakukan hubungan biologis dengan rame-rame.
Benarkah logika semacam ini? Tentu, ini adalah logika yang sangat tidak berdasar. Sehingga penggunaan kata ganti jamak atau plural sama sekali tidak menunjukkan dianjurkannya melakukan suatu hal secara bersama-sama. Yang benar, perintah yang menggunakan kata ganti plural hanya menunjukkan adanya perintah untuk melakukan suatu perbuatan dan sama sekali tidak membahas cara melaksanakan perintah tersebut.
Allah berfirman: “Dan MEREKA menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (QS al Baqarah:3).
Dalam ayat di atas Allah memuji orang-orang yang berinfak dalam jalan-jalan kebaikan. Ayat di atas menggunakan kata ganti jamak atau plural. Lantas apakah ayat di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa orang-orang yang hendak berinfak hendaknya kumpul di satu tempat lalu bareng-bareng menyerahkan infak. Bahkan kita dianjurkan untuk berinfak atau bersedekah dengan sembunyi-sembunyi.
3. Ibnu Abbas berkata: ”Adalah Rasulullah orang yang paling giat dan beliau lebih giat lagi di bulan Romadhon, sampai saat Jibril menemuinya –Jibril selalu menemuinya tiap malam di bulan Romadhon– bertadarus Al-Qur’an bersamanya.” (HR. Bukhari dalam Shahih-nya no. 6 dan Muslim no. 2308)
Maka yang dimaksud tadarus di sini bukannya Nabi dan Jibril membaca bersama-sama satu suara satu lafadz satu waqaf, akan tetapi yang dimaksud adalah Nabi membaca sedangkan Jibril mendengarkan, menyimak, dan mengoreksi bacaan Nabi agar jika ada yang salah/lupa maka Jibril mengingatkannya kembali.
Memang tidak dilarang membaca Al-Qur’an secara jahr (karena Sahabat juga memperdengarkan bacaan Al-Qur’an kepada Rasulullah, juga sebaliknya) asalkan:
1. Tidak mengganggu orang (seperti orang sedang sholat, sedang i’tikaf, sedang berdoa, sedang sakit, dll)
2. Tidak riya’
3. Tidak membaca bersama-sama satu lafadz, satu suara, satu waqaf, tetapi membaca sendiri-sendiri atau satu membaca yang lain mendengarkan.
Adapun membaca Al-Qur’an bersama-sama satu suara satu lafadz satu waqaf maka hal ini dilarang, kecuali untuk mengajari orang yang belum bisa membaca Al-Qur’an, dan tentunya setelah dia bisa membaca Al-Qur’an maka harus membaca sendiri-sendiri.
KESALAHAN MENGGUNAKAN NASH-NASH UMUM UNTUK HAL-HAL KHUSUS
Salah satu penyebab dari kesalahan dalam pengamalan syari’at adalah menggunakan beberapa dalil umum untuk hal-hal yang bersifat khusus, padahal ada dalil lain yang bersifat rinci. Misalnya ada seseorang yang melakukan puasa mutih, puasa patigeni, puasa ngebleng, puasa ngalong, dan sebagainya. Ketika ada yang menanyai orang tersebut apa dalilnya, maka orang tersebut menjawab: dalilnya adalah Surat Al-Baqarah ayat 183 (padahal ada dalil khusus tentang tata cara puasa). Contoh lain: Ketika ada yang melakukan sujud syukur berjamaah mereka berdalil dengan hadits: sholat berjamaah itu pahalanya 27 derajat (padahal ada dalil khusus tentang tata cara sujud syukur).
Sa’id bin Musayyab (tabi’in) melihat seseorang mengerjakan lebih dari 2 rakaat sholat setelah terbit fajar. Lalu beliau melarangnya. Maka orang itu berkata, “Wahai Sa’id, apakah Allah akan menyiksa saya karena sholat?”, lalu Sa’id menjawab :”Tidak, tetapi Allah akan menyiksamu karena menyalahi sunnah” (Shahih, diriwayatkan oleh Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra II/466, Khatib Al Baghdadi dalam Al Faqih wal mutafaqqih I/147, Ad Darimi I/116)
Abdullah bin Umar ra. adalah sahabat Nabi yang paling keras dalam menentang segala macam bid’ah dan beliau sangat senang dalam mengikuti As-Sunnah. Dari Nafi’, pada suatu saat mendengar seseorang bersin dan berkata: ”Alhamdulillah was sholatu was salamu’ala Rasulillah.” Berkatalah Abdullah bin Umar ra.: ”Bukan demikian Rasulullah shollallahu ’alaihi wasalam mengajari kita, tetapi beliau bersabda: ’Jika salah satu di antara kamu bersin, pujilah Allah (dengan mengucapkan): Alhamdulillah’, tetapi beliau tidak mengatakan: ’Lalu bacalah sholawat kepada Rasulullah!” (Diriwayatkan oleh At-Tirmidzi dalam Kitab Sunan-nya no. 2738 dengan sanad yang hasan dan Hakim 4/265-266)
Saya hanya memberikan sedikit penjelasan karena ilmu saya memang masih jauh lebih rendah dari Saudara. Begitu pula umur saya yang masih hijau yang masih kalah pengalaman dengan Saudara. Jika ada kata-kata yang salah ketik atau kurang berkenan, saya mohon maaf.
–> telah dibahas di halaman lain di blog ini tentang dzikir keras. Boleh.. dan Rasululllah saw sendiri memperkenankan. Dalil anda yg panjang itu menyebut keutamaan dzikir sirr (dan sendirian), namun itu bukan berarti dzikir keras dan bersama-sama itu tidak boleh.
Anda mengutip pendapat para ulama (Imam Nawawi misalnya) namun tidak seluruhnya. Memotong fatwa ulama dan membelokkan makna, khas wahaby. Berhati-hatilah mas dalam mengutip. Ringkasnya simak nasehat Imam Nawawi berikut. Beliau tak menolak dzikir keras dan berjamaah sebagaimana klaim anda.
maaf kl tak berkenan. wallahu a’lam.
barokallahu fika akh susanto…jazakallahu khairon…komentar antum sangat ilmiah & sangat bermanfaat ..semoga bermanfaat bagi saya dan saudara2 yang lain..
Dijawab oleh Imam Al-Lakhmi Asy-Syathibi Al-Maliki (Mufti Andalusia, wafat 790 H) dalam Kitab Al-I’tisham
Diriwayatkan dari Yunus bin Ubaid, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Al Hasan, “Wahai Abu Sa’id, apa pendapatmu tentang majelis kami ini? Ada sekumpulan orang di antara Ahlus-Sunnah wal Jamaah yang tidak mencela seorang pun di kalangan kaum muslim, kami berkumpul di sebuah rumah dan berpindah-pindah; membaca Kitab Allah, dan berdoa untuk diri kami serta kaum muslim secara umum?” Ia berkata, “Al Hasan melarangnya dengan sangat keras.”
Contohnya adalah membaca Al Qur’ an secara serempak dengan satu suara. Bentuk semacam itu adalah tambahan dari disyariatkannya membaca Al Qur’an. Demikian juga suara jahr (keras) yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang duduk di pojok, dan mungkin anggapan terhadap sifat (tambahan ini -penerj.) agak lembut, sehingga ada keraguan untuk menyatakan bahwa amalan seperti itu tidak disyariatkan, seperti yang terjadi pada “Utbiyyah” dalam masalah bersandar pada saat melaksanakan shalat, tidak menggerakkan kedua kakinya. Orang yang pertama kali membuat ihdats (perkara baru) ini adalah seorang yang terkenal —ia berkata— orang tersebut ‘nama’-nya tidak bagus, dikatakan kepadanya (Malik), “Apakah hal itu aib (dalam shalat-penerj)?” Ia menjawab, “Ini AIB baginya, perbuatan semacam ini hukumnya makruh (haram-pen).”
Ibnu Al Wadhah menceritakan dari Al A’mas dari sebagian sahabatnya, ia berkata: Abdullah pernah melewati orang yang sedang bercerita di masjid pada sahabat-sahabatnya, orang itu berkata, “Bertasbihlah sepuluh kali dan bertahlillah sepuluh kali.” Abdullah pun menuturkan, “Apakah kalian lebih mengetahui petunjuk daripada sahabat Rasulullah saw? Atau kalian yang lebih sesat?
Dalam riwayat lain darinya dikatakan bahwa ada seorang lelaki mengumpulkan manusia, kemudian ia berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang yang mengatakan subhanallah sekian kali”, —perawi berkata— maka orang-orang pun mengikutinya. Lelaki itu berkata, “Semoga Allah memberikan rahmat kepada orang yang mengatakan alhamdulillah sekian kali —perawi berkata— maka orang-orang pun mengikutinya. —perawi berkata— kemudian Abdullah bin Mas’ud melewati mereka seraya menuturkan, “Kalian ini melakukan sesuatu yang bukan berasal dari petunjuk Nabi kalian! Sesungguhnya kalian menanggung dosa kesesatan.”
Dalam cerita lain dikatakan bahwa ada sekelompok manusia di Kufah bertasbih dengan kerikil di masjid, maka ia datang dan menyaksikan bahwa di hadapan setiap orang telah ada timbunan kerikil, —perawi berkata—, maka ia melempari mereka dengan kerikil sampai mereka keluar dari masjid, kemudian berkata, “Kalian telah membuat bid’ah dan kezhaliman serta merasa lebih pintar dari sahabat-sahabat Nabi saw?
Diriwayatkan dari Ibnu Wadhah, dari Abdurrahman Abu Bakrah, ia berkata, “Aku duduk di sisi Al Aswad bin Sari’ —saat itu majelisnya di bagian belakang masjid Jami’ — lalu dimulai pembacaan surah Bani Israil. Ketika sampai pada firman Allah, ‘Dan agungkanlah ia dengan pengagungan yang sebesar-besarnya. ‘Orang-orang yang duduk di sekitarnya mengangkat suara mereka. Kemudian datanglah Mujalid bin Mas’ud bersandar pada tongkatnya. Tatkala orang-orang itu melihatnya mereka mempersilakannya, ‘Apa kabar? Duduklah.’ Mujalid menjawab, ‘Aku tidak akan duduk bersama kalian, meskipun majelis kalian baik, karena tadi sebelumku (di hadapanku) kalian telah membuat sesuatu yang diingkari oleh kaum muslim (juga para sahabat -penerj.). Jauhilah amal perbuatan yang diingkari oleh kaum muslim.”
Kisah yang didengarkan oleh Ibnu Qasim dari Malik, tentang suatu kaum yang seluruhnya berkumpul untuk membaca satu surah, seperti yang dilakukan oleh penduduk Iskandariyah. Malik tidak menyukainya dan ia memungkiri bahwa hal itu pernah dilakukan oleh kaum muslim sebelumnya. Ibnu Qasim juga pernah ditanya berkaitan dengan masalah itu, maka ia menceritakan kemakruhan dari Malik, ia melarang hal itu dan melihatnya sebagai bid’ah.
(Al-I’tisham oleh Imam Asy-Syathibi)
dalam (QS. An-Nisa’: 59) di sebutkan yang artinya,,
”Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian.”
jadi… berbeda pendapat itu wajar.. tapi harus yang sewajarnya….
kita kembali ke pada Al Qur’an dan hadist….
kl apa” di anggap bid’ah sedikit dikit bid’ah… lalu apa bedanya kita sekarang,,, fb,twter , naik haji naik pesawat bagi yang di luar negara arab,dan lain”… dulu nggak di ajarkan lo… oleh Rosul,,,
salam damai sejahtera saudaraku seiman dan seagama….
zikir berjamaah adalah sunah
hanya satu aja dari sahabat Ibnu Masud yang melarang zikir berjamaah namun ini di tujukan kepada khawarij dan sanadnya juga terpetus (dhoif)
dan bukankah di hadist bukhari telah di sebutkan bahwa Rasul dan sahabat melakukan zikir berjamaah
untuk saudaraku seiman ingatlah jika anda mengetakan bidah kepada orang yang berzikir berjamaah berarti anda telah mendustakan Rasul,
Al Faqir
SESUATU YANG ADA RIA ITU TIDAK BAIK,APA LAGI SAMPAI LUPA SHALAT FARDHU BERJAMAAH.ZIKIR AKTIF LAKI2 DAN WANITA . SHALAT NONAKTIF. MANA YANG WAJIB MANA YANG SUNAT.
TERSERAHLAH!!!!
Saya setuju dzikir berjamaah itu boleh. Yg saya tak setuju itu dzikir berjamaah setelah selesai shalat. Dan selalu dilakukan rutin. Rasanya saya baca dari atas tak sampai selesai saya tak ketemu dalil contoh rasul tentang dzikir setelah shalat kecuali untuk pengajaran. Kalau untuk pengajaran, masa iya sepanjang zaman dilakukan. Belum ketemu dalil yg menunjukkan bahwa nabi membiasakan dzikir berjamaah setelah selesai shalat berjamaah. Dan tak sukanya saya adalah, hal hal seperti ini yang membuat umat islam terpecah pecah. Coba kalau umat islam mengikuti imam mazhab secara benar.
–> dzikir berjamaah setuju dilakukan kapanpun, baik sebelum shalat ataupun setelah shalat atapun kapanpun. Tidak ada keterangan waktu. Kenapa malah anda membatasi diri dengan tidak boleh ketika ini dan itu.
Pengajaran dilakukan karena waktu terus berjalan. Makmum yang dulu masih kecil (belum lancar) sekarang sudah dewasa (lancar) dan mungkin jadi imam juga. Sekarang dia tetap dzikir sesudah shalat dengan keras untuk mengajari makmum generasi selanjutnya.
Mengapa guru SD terus-menerus mengajar anak-anak membaca. Kira-kira begitu jawabannya