Kritik: Menyoal Dzikir Berjamaah

Beberapa waktu yang lalu, ku ditunjuki sebuah artikel dengan judul,”Menyoal Dzikir Berjamaah”. Di sana dikatakan, dzikir berjamaah dengan suara keras yg dipimpin oleh seorang ustadz adalah bid’ah sesat. Dengan kata lain pelakunya masuk neraka semua. Ahh .. ahh, sedemikian kejam kah Tuhan kita. Orang yg berharap ridlo-Nya kok malah diganjar sesat.

Sebenarnya bisa saja artikel ini kuanggap sebagai HOAX, karena ga ada pengarangnya. Tak ada yg berani bertanggung jawab. Seperti selebaran gelap. Tapi ternyata artikel ini sdh banyak dimuat di blog2, dan di web2. Maka ku ingin menanggapi sekedarnya, dengan ilmu yg terbatas ini.

Tulisan tidak dicopy paste ke sini semua. Hanya yang ditanggapi saja yang dikutip di sini. Tanggapan kami ditulis miring dan cetak biru.

Artikel lengkap dapat diperoleh dari search google dengan kata kunci “Menyoal Dzikir Berjamaah”. Ada juga tanggapan habib Munzir di Majelis Rasulullah ttg artikel ini.

Semoga Allah swt selalu menunjuki kita jalan hidayah-Nya. Amien.

.

********* Awal Artikel **********

1. Jama’ah Dzikir dan Dzikir Berjama’ah Dipahami Semakna.

………………..

Beranggapan bahwa jama’ah dzikir dan dzikir berjama’ah memiliki makna yang sama merupakan sebuah kekeliruan. Jama’ah dzikir merupakan sekelompok orang yang melakukan berbagai amal ketaatan yang masuk pada kategori dzikir, tanpa harus dipahami bahwa mereka melakukan itu dengan cara bersama-sama, satu suara dan serempak.

Ini adalah masalah tata bahasa. “Jamaah” dalam hal ini adalah kata benda, sedangkan “berjamaah” adalah kata keterangan. Sebagaimana kalimat berikut,

Orang-orang melakukan sholat maghrib berjamaah. Jamaah sholat maghrib itu bertakbir bersama-sama.

Di sini, “jamaah sholat maghrib” adalah subyek kalimat, dan “sholat maghrib berjamaah” adalah obyek. Bedakah orang-orang yang melakukan sholat maghrib itu? Tidak. Maksudnya sama, orang-orangnya sama. Perbedaan hanya pada posisi/ letak kata. Yang satu .. jamaah sholat maghrib .. sebagai kata benda (subyek dalam kalimat), yg lain .. sholat maghrib berjamaah .. sebagai obyek dan kata keterangan.

Dengan analogi yg sama, tidak ada beda antara “orang-orang yang melakukan dzikir berjamaah” dengan “jamaah dzikir”. Kedua kata itu maksudnya sama, yaitu bahwa jamaah dzikir adalah orang-orang yang melakukan dzikir berjamaah.

Mengenai kata-kata ini,” tanpa harus dipahami bahwa mereka melakukan itu dengan cara bersama-sama, satu suara dan serempak.“, .. ehm .. adakah ulama salafus shaleh, tabiin, tabiit tabiin, serta ulama2 sesudahnya yg berpendapat demikian. Di kitab manakah kalimat semakna ini termuat. Saya kira kata-kata itu hanyalah hasil angan-angan/ utak-atik penulis artikel saja.


Yang masuk kategori dzikrullah (dzikr kepada Allah subhanahu wata’ala) menurut para ulama di antaranya adalah majlis-majlis ilmu, halaqah al-Qur’an, bacaan tasbih, tahmid, tahlil, takbir dan semisalnya.

Setuju. Dzikir secara umum bermakna mengingat Allah. Termasuk menyebut kalimat-kalimat dzikir, berdoa kepada-Nya, serta majelis-majelis yang membahas ilmu, yang mendekatkan diri kita kepada-Nya.

……………….., sedangkan dzikir berjama’ah dengan satu suara adalah sesuatu yang masih dipertanyakan, kalau tidak dibilang sama sekali tidak memiliki dasar.

Dengan tanggapan kami di atas, bahwa jamaah dzikir adalah orang2 yg melakukan dzikir berjamaah, maka dzikir berjamaah mempunyai dasar yg kuat.

.

2. Memahami Sighat (Konteks) Jama’ sebagai Anjuran untuk Melakukannya secara Berjama’ah

Di antara ayat yang dipahami sebagai anjuran dzikir berjama’ah adalah sebagai berikut, artinya;
“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), “Ya Rabb kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. 3:191)

Ayat di atas, dianggap sebagai dalil yang membolehkan dzikir berjama’ah karena menggunakan sighat (konteks) jama’ (plural) yaitu yadzkuruna. Menurut mereka jama’ berarti banyak dan banyak artinya bersama-sama.

………………………….

.

Ayat di atas adalah keutamaan untuk mengingat Allah dalam keadaan bagaimanapun, baik dalam kesendirian maupun saat bersama-sama, memikirkan tentang kebesaran Allah swt, serta senantiasa untuk berdzikir kepada-Nya.

Dalil untuk dzikir berjamaah, antara lain seperti berikut (ada di kitab Riyadus Shalihin, terjemahan, Bab Keutamaan Majelis Dzikir)

Dari Abu Hurairah ra. dari Abu Sa’id ra., keduanya berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Tidakada suatu kaum yang duduk dalam suatu majlis untuk dzikir kepada Allah melainkan mereka dikelilingi oleh malaikat, diliputi rahmat, di turunkan ketenangan, dan mereka disebut-sebut Allah di hadapan malaikat yang ada di sisi-Nya”. (Riwayat Muslim)

Imam An-Nawawi dalam syarah beliau mengatakan bahawa: “hadis ini menunjukkan tentang kelebihan majlis-majlis zikir dan kelebihan orang-orang yang berzikir, serta kelebihan berhimpun untuk berzikir beramai-ramai.

Ada yg mengatakan, itu maksudnya adalah majelis yang membahas ilmu. Penafsiran itu tidak ada salah, namun tidak dapat menafikan juga bahwa majelis itu adalah majelis yang membaca kalimat-kalimat dzikir secara bersama-sama.

Membatasi secara mutlak hanya pada majelis ilmu saja malah justru membantah mereka bahwa dzikir harus dengan sirr. Dapatkah majelis membahas ilmu dilakukan secara sirr, dalam hati masing-masing? Tidak mungkin.

.

Perhatikan pula hadits berikut,

Dari Abu Hurairah ra. berkata,Rasulullahsaw. bersabda:”Sesungguhnya Allah Ta’ala mempunyai malaikat-malaikat yang berlalu-lalang di jalan untuk mencari majlis dzikir, di mana bila mereka mendapatkan sesuatu kaum yang berdzikir kepada Allah ‘azza wajalla mereka memanggil malaikat-malaikat yang lain dengan berkata: “Marilah ke sini menyaksikan apa yang kamu cari”, kemudian para malaikat membentangkan sayapnya sampai ke langit dunia, lantas Tuhan bertanya kepada mereka padahal Tuhan telah lebih mengetahui: “Apa yangdiucapkan oleh hamba-Ku?”
Malaikat itu berkata:”Mereka mensucikan-Mu, memuji-Mu mengagungkan-Mu”.
Tuhanbertanya:”Apakah mereka pernah melihat Aku?”
Para malaikat menjawab:” Demi Allah, mereka belum pernah melihat Engkau”.
Tuhan bertanya:”Bagaimana seandainya mereka pernah melihat Aku?”
Para malaikat menjawab: “Seandainya mereka pernah melihat Engkau niscaya mereka lebih giat beribadah kepada-Mu, lebih giat mengagungkan Engkau, dan lebih giat mensucikan Engkau”.
Tuhan bertanya: “Apakah yang mereka minta?”
Para malaikat menjawab: “Mereka meminta surga kepada-Mu”.
Tuhan bertanya: “Apakah mereka pernah melihat surga?”
Para malaikat menjawab:”Demi Allah,wahai Tuhanku merekabelum pernah melihatnya”.
Tuhan bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?”
Para malaikat menjawab: “Seandainya mereka pernah melihatnya niscaya mereka lebih bersemangat untuk mencapainya, mereka lebih giat untuk memohonnya, dan mereka sangat mengharapkannya”.
Tuhan bertanya:”Dari apakah mereka berlindung diri?”
Malaikat menjawab:” Mereka berlindung diri dari api neraka”.
Tuhan bertanya: “Apakah mereka pernah melihat neraka?”
Para malaikat menjawab:” Demi Allah, mereka belum pernah melihatnya”.
Tuhan bertanya: “Bagaimana seandainya mereka pernah melihatnya?”
Para malaikat menjawab:” Seandainya mereka pernah melihatnya niscaya mereka lebih menjauhkan diri daripadanya dan mereka lebih takut terhadapnya”.
Tuhan berfirman: “Maka saksikanlah olehmu bahwa Aku telah mengampuni dosa-dosa mereka”.
Ada salah satu malaikat yang berkata: “Di dalam majlis itu ada si Fulan, seseorang yang bukan termasuk ahli dzikir, ia datang di situ karena ada sesuatu kepentingan”.
Tuhan berfirman: “Mereka semua adalah termasuk ahli dzikir, di mana tidak ada seorangpun yang duduk di situ akan mendapatkan kecelakaan/siksaan”.(Riwayat Bukhari dan Muslim).

Disebutkan bahwa malaikat mencari-cari majelis dzikir. Disebutkan pula bahwa orang-orang yang berada di dalam majelis dzikir itu adalah orang-orang yang membaca tasbih, takbir, tahlil dan tahmid, dan mereka juga mengajukan permohonan kepada Allah di dalam majelis itu. (“yusabbihuunaka, wa yukabbirunaka, wa yuhalliluunaka, wa yuhammiduunaka, wa yas’aluunaka” )

Maka tidak salah apabila kemudian ada ummat yang membentuk majelis-majelis dzikir. Majelis dzikir seperti ini adalah majelis yang penuh berkah. Bahkan ketika ada orang yang “kebetulan hadir di dalam majelis tersebut karena ada keperluan lain”, maka dia ikut mendapatkan keberkahannya.

.

3. Memahami Dalil Umum dengan Pemahaman Khusus

Di antara dalil umum yang menyebutkan tentang keutamaan dzikir yaitu sebagaimana yang diriwayatkan dari Salman al-Farisi radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergabung dalam salah satu jama’ah dzikir.

Di dalam hadits tersebut memang disebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bergabung dalam jama’ah dzikir, tetapi riwayat ini masih bersifat umum, tidak menyentuh pada kaifiyat (tata cara) pelaksanaan dzikir. Tidak dijelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin dzikir lalu ditirukan oleh para sahabat, atau mereka melakukannya bersama-sama dengan satu suara tanpa komando dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, atau bagaimana?

Berikut saya kutipkan tentang salah satu kisah Rasulullah saw mengucap dzikir bersama-sama dengan para sahabat. Dikutip dari Majelis Rasulullah sebagaimana link yang ditunjukkan di atas.

1). Para sahabat berdoa bersama Rasul saw dengan melantunkan syair (Qasidah/Nasyidah) di saat menggali khandaq (parit) Rasul saw dan sahabat2 radhiyallhu?anhum bersenandung bersama sama dengan ucapan : “HAAMIIIM LAA YUNSHARUUN..”. (Kitab Sirah Ibn Hisyam Bab Ghazwat Khandaq). Ibn Hisyam adalah seorang ulama dari generasi Tabi’in, generasi pertama sesudah sahabat.

2). Saat membangun Masjidirrasul saw : para sahabat bersemangat sambil bersenandung : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhaajirah” setelah mendengar ini maka Rasul saw pun segera mengikuti ucapan mereka seraya bersenandung dengan semangat : “Laa ‘Iesy illa ‘Iesyul akhirah, Allahummarham Al Anshar wal Muhajirah.. ” (Sirah Ibn Hisyam Bab Hijraturrasul saw- bina’ masjidissyarif hal 116)

Tentang penggunaan dalil umum, tidak ada dalil yang melarang untuk menggunakan dalil-dalil yang bersifat umum, selama tidak melanggar syariat. Pelarangan ini tidak berdasar dan justru melanggar syariat, karena mengharamkan yang halal. Pelarangan secara mutlak inilah yg merupakan bid’ah sesat itu sendiri.

Sebagai contoh, perhatikan dalil keutamaan salah satu kalimat dzikir berikut. Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda,

“Dua kalimat yang ringan diucapkan, berat dalam timbangan, sangat dicintai oleh Allah Yang Maha Pengasih, yaitu:”Subhanallahi wa bihamdihi. Subhanallahil ‘Azhim.”(Bukhari-Muslim).

Dalil ini telah memayungi secara umum untuk diamalkan kapanpun, di manapun, dan berapa kalipun. Sendiri-sendiri atau bersama-sama.

Ketika ada seseorang ingin mengamalkannya, ia membiasakan diri mengucapkannya 1x setiap sebelum tidur. Orang itu mengamalkan ilmu yg diketahuinya, berharap ridlo-Nya. Berharap semoga dzikirnya itu menjadi tabungan amalnya kelak di akhirat.

Hanya seorang yang jahil yang mengatakan,”Ini adalah bid’ah sesat yang nyata … pelakunya masuk neraka. Tidak ada contoh Nabi saw mengucapkan kalimat itu sebelum tidur”.

.

Ketidakjelasan tentang bagaimana pelaksanaan dzikir ini menunjukkan bahwa mereka melakukannya tidak dengan berjama’ah, namun masing-masing berdzikir atau berdo’a sendiri-sendiri.

………………………………………

Klaim itu adalah penafsiran sendiri. Siapakah ulama salafus shaleh yg menafsirkan demikian? Tidak ada. Ketidakjelasan pelaksanaan dzikir membolehkan kita berdzikir bersama-sama ataupun sendiri-sendiri. Pelarangan terhadap salah satunya adalah bid’ah sesat. Karena mengharamkan kepada hal yg dibolehkan.

Keutamaan dzikir berjamaah telah ditunjukkan di atas. Jika orang-orang berdzikir secara berjamaah, adalah otomatis mereka membaca dzikir bersama-sama. Ada adab majelis, selain itu juga menambah kekusyu’an. Dapatkah anda bayangkan jika ada orang membaca dzikirnya sendiri yg berbeda dengan bacaan jamaah. Itu pastilah mengganggu.

Tentang dipimpin oleh seorang ustadz, itu adalah termasuk untuk menambah kekusyu’an juga, biar serentak. Selain itu juga untuk mengajarkan kepada orang-orang yang masih awam, belum hafal. Membid’ahkan hal ini adalah sesuatu yang naif. Mengajarkan dzikir pasti dengan dipimpin.

Di samping itu, telah kita ketahui bahwa doa adalah bagian dari dzikir. Di dalam ayat-ayat Al Qur’an banyak sekali doa-doa yang bersifat jamak (untuk bersama-sama) bukan tunggal (sendirian). Jika dzikir bersama-sama adalah haram, maka doa bersama-sama adalah juga haram. Maka beranikah para anti dzikir berjamaah ini mengganti semua doa-doa yang bersifat jamak di dalam Al Qur’an menjadi bersifat tunggal. Dhomir NAHNU menjadi ANA. Niscaya mereka selain termasuk orang yang mengharamkan perintah Allah, juga termasuk perubah Ayat Al-qur’an. Na’udzubillah

.

4. Menganggap Cara Baru dalam Ibadah sebagai Bid’ah Hasanah

………………………………………………

Sedangkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi, ”kullu bid’atin dhalalah,” maka yang dimaksudkan adalah hal baru dalam ibadah atau syari’at. Maka seluruh hal yang baru dalam urusan ibadah adalah sesat, karena tidak ada seorang pun yang berhak membuat tata cara atau bentuk peribadatan di dalam Islam, siapa pun orangnya. Termasuk di dalamnya menentukan tata cara berdzikir kepada Allah subhanahu wata’ala, menentukan jenis bacaan, bilangan bacaan dan waktu pelaksanaannya.

Dzikir bersama yang berkembang akhir-akhir ini, kalau kita cermati ternyata merupakan perkara baru dalam Islam, baik dari sisi cara pelaksanaannya yang dilakukan secara bersama-sama dengan dipimpin seorang pemandu, atau dari sisi bilangannya yakni membaca kalimat ini sekian puluh, atau ratus, atau ribu kali dan juga terkadang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu seperti malam Tahun Baru Hijriyah dan lain sebagainya. Sedangkan ibadah dikatakan benar dan memenuhi kriteria ittiba’ (meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) apabila sesuai dengan petunjuk beliau dari sisi sebab, tata cara, waktu, bilangan, jenis dan tempatnya. Dan segala sesuatu yang tidak pernah dikhususkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam maka kita pun tidak boleh mengkhususkannya juga. (Ibnu Djawari)

Tidak setiap yang baru mesti bid’ah sesat. Imam Syafi’i telah menjelaskan, ada bid’ah syayyi’ah dan bid’ah hasanah. Dan dzikir adalah perkara ibadah ghairu mahdah.

Perhatikan pula tentang hadits Muadz berikut,

Rasulullah SAW ketika mengutus Mu’adz ke Yaman, maka beliau bersabda:
“Bagaimana engkau menghukum?.” Muadz berkata: “Aku akan menghukumi dengan apa yang ada di dalam Kitabullah.” Beliau bersabda: “Maka jika tidak ada dalam Kitabullah?.” Muadz menjawab: “Maka dengan sunnah Rasulullah SAW.” Beliau berkata lagi: “Maka jika tidak ada dalam sunnah Rasulullah?.” Mu’adz menjawab: “Aku akan berijtihad dengan fikiranku.” Rasulullah SAW bersabda: “Segala puji bagi Allah yang tela hmemberi taufiq pesuruh Rasulullah SAW.” (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Darami)

Hadits ini diterima dan dipergunakan hujah oleh sebagian besar para ulama ahli hadits dan ahli ushul fiqh. Perhatikan bagaimana ketika sahabat Muadz itu menjumpai perkara-perkara yang tak diketemukan di Al Qur’an dan sunnah Rasul. Beliau tidak mem-vonis semuanya sbg bid’ah sesat. Namun menelitinya terlebih dahulu dengan fikirannya. Rasulullah saw pun menyetujuinya.

Tentang istilah tata cara baru ibadah, saya tak paham apa yang dimaksud tata cara ibadah? Kalau yang dimaksud adalah syarat-syarat, maka tidak ada ketentuan syarat-syarat yang baru selain dari yang telah disyariatkan. Misal menutup aurat, bersuci untuk membaca al qur’an, dll.

Kalau yang dimaksud tata cara adalah rukun-rukunnya, maka tidak ada penetapan rukun-rukun di dalam dzikir berjamaah ini. Bacaan sekian kali, dan pengucapan kalimat Allah yang berturutan adalah untuk kebersamaan, bukan sebagai rukun atau tata cara yang mesti demikian. Kebersamaan akan menambah kekusyu’an.

Tanyakanlah pada ustadz yang memimpin jamaah dzikir itu, adakah penetapan syariat dzikir yang baru? Bahwa kalau tidak sesuai dengan itu maka dzikirnya tidak sah? Tidak ada. Jadi ini hanya angan-angan para anti dzikir jamaah saja. Dan berdasar angan-angan itu mereka membid’ah sesatkan.

Kalaulah sekarang keadaan dibalik.

Misal, anda mengkaji kalimat-kalimat dzikir kepada ustadz anda. Dijelaskan tentang bacaan-bacaan dzikir di dalam al Qur’an dan hadits2 Nabi saw. Ketika si murid tak paham, dan minta dipraktekkan. Maka ustadz anda mempraktekkannya, anda menirukan, teman-teman anda juga menirukan. Ustadz anda mengulang-ulang, murid-murid pun mengikutinya.

Jika anda mengatakan dzikir berjamaah adalah bid’ah sesat, maka jamaah pengajian anda itupun melakukan bid’ah sesat pula.

.

Wallahu a’lam.