Balada Ayam Abu-Abu

Ini adalah berita dari kehidupan nyata .. real. Perzinaan meraja lela. Bahkan oleh anak-anak SMA. Demikian lah keadaan sebagian anak-anak didik kita. Mohon perhatian kepada Pemerintah, Orang tua, Guru dan pendidik lainnya, dan masyarakat, termasuk diri kita masing-masing, untuk mengatasi hal ini.

Mungkin hal ini terjadi pula di kota-kota yang lain .. SBY, JK, JKT, SMG, MDN, MKS, dll, dll. Jika ini tidak diperhatikan niscaya seperti penyakit menular yg akan menggurita menimpa seluruh rakyat. Generasi muda adalah penerus bangsa.

Terus terang .. saya sendiri tidak tahu bagaimana mengatasinya. Para guru pastilah punya cara lebih jitu. Namun sebagai orang tua .. saya kira .. cukuplah dengan perhatian pada si anak. Cek jadwal sekolahnya. Cek kapan pulangnya. Tanyakan PR dan suasana sekolah hari ini. Berikan kasih sayang ke mereka. Doakan selalu. Doa orang tua itu termasuk salah satu yang mustajab.

Semoga Allah selalu melindungi kita. Amien.

Lebih baik bekas jelek

Masa SMA berlangsung hanya sebentar. Bagi para grey chicken, pelajar SMA yang nyambi jadi PSK, “masa jual” juga tidak lama. Kisah Dita, kini 19 tahun, merupakan legenda para ayam abu-abu. Setelah memaksimalkan masa jual, Dita sekarang punya hidup baru yang bahagia.

SETIAP komunitas punya legenda sendiri-sendiri. Tidak terkecuali dengan dunia grey chicken Surabaya. Dunia ayam abu-abu Surabaya tak bisa dilepaskan dari nama Dita (bukan nama sebenarnya). Hingga enam bulan lalu, dalam milis-milis maupun dari mulut ke mulut, nama Dita termasuk yang paling dibicarakan dan direkomendasikan.

“Pasti menyenangkan dan memuaskan,” ucap Luki (juga nama samaran), seorang penggiat komunitas milis hidung belang di dunia maya. Boleh dibilang, kendati tarifnya bukan termasuk tarif grade A, Dita selalu laris.

Hanya, Dita sekarang sudah “gantung CD” (mengundurkan diri) dari dunia grey chicken. Selain sudah duduk di semester dua sebuah perguruan tinggi negeri di Surabaya, dia sudah mempunyai segalanya dan mapan secara finansial.

Memang, Dita tidak sepenuhnya berhenti. Dia kini hanya melayani pelanggan-pelanggan lamanya. “Motivasinya pun bukan karena uang. Lebih untuk balas budi. Maklum, mereka-mereka (para pelanggan, Red) itulah yang dulu membantunya meraih apa yang dia miliki sekarang,” jelas Luki.

Sebuah rumah, sebuah toko telepon seluler di WTC Surabaya, sebuah mobil, dan pekerjaan di sebuah majalah telah cukup untuk membuat Dita tidak aktif di dunia grey chicken lagi. “Semua sudah cukup. Apa lagi yang saya cari,” ujar Dita, mantan siswa di salah satu SMA kompleks tersebut.

Kisah Dita ini memang menjadi referensi bagi para grey chicken yang sekarang masih aktif. Dia mampu memanfaatkan ke-SMA-annya secara konsisten untuk mencapai tujuan. Masa SMA yang pendek itu benar-benar dimaksimalkan, supaya ketika lulus tak perlu lagi melakukannya.

Kepada koran ini, Dita sendiri bilang ingin kisah hidupnya ini didokumentasikan dengan baik. “Aku ingin membukukan kehidupanku. Tapi nanti, tidak sekarang,” katanya.
***
Bila melihat Dita, kita sama sekali tak akan membayangkan bahwa dia itu grey chicken kelas atas. Dia bertinggi badan 168 cm, berperawakan sedikit kurus, berkulit agak legam, dengan wajah relatif “standar”. Pembawaannya juga jauh dari kesan “nakal”, cenderung terkesan baik-baik.

Rambut hitam Dita yang sebahu tidak “diapa-apakan”, hanya tergerai begitu saja. Wajah pun tak pernah di-make up macam-macam. “Saya hanya rajin facial. Meski saya hitam, tapi kalau bersih, orang pasti suka,” tegasnya.

Saat SMA dulu, Dita bahkan dikenal sebagai anak pendiam. Cuma, ada satu ciri khas yang membuat dirinya dicurigai. “Ada seorang teman yang sempat curiga. Sebab, saya sering gonta-ganti laptop atau ponsel. Padahal, dia tahu bahwa keluarga saya bukan termasuk keluarga mampu,” ungkapnya.

Keistimewaan Dita baru terasa setelah kita berdialog dengan dia. Kendati “pas-pasan” dalam hal fisik, dia tergolong smart. Dia bisa diajak ngobrol soal apa pun. Mulai kenaikan harga BBM hingga pemilihan presiden Amerika Serikat. “Saya tak tahu mendalam. Tapi, saya selalu berusaha mengikuti berita,” jelasnya.

Selain itu, kepada tamu atau pria yang baru dikenal, Dita sangat familier. Dia pandai membawa suasana. Sehingga menjadi cair, informal, dan akrab.

Dita pun dikenal tak mau tanggung-tanggung dalam men-servis tamunya. Pernah, awal 2007, seorang tamu yang dikenalnya via internet datang ke Surabaya. Sang tamu membuat janji kencan tepat setelah Dita pulang sekolah.

Untuk memenuhi janji, Dita tak langsung meluncur ke kamar hotel sang tamu. Dia justru mampir dulu ke Tunjungan Plaza. Di sana, Dita menyempatkan diri membeli lingerie karena dia tahu sang tamu sangat suka pakaian dalam seksi.

Yang membuat para tamu senang, meski telah menaikkan standar layanan (seperti membeli lingerie), Dita tak pernah menaikkan tarif seenaknya. “Dibayar standar pun, tak masalah. Prinsipnya, saya berusaha semaksimal mungkin menyervis tamu. Perkara tamu memberi lebih atau tidak, urusan belakangan,” tegasnya.

Dengan prinsip sederhana seperti itu, dia malah sering mendapat tambahan. Dari kesepakatan Rp 500 ribu, Dita sering mendapat Rp 1 juta. “Ada juga yang kadang-kadang memberi hadiah lebih,” ujarnya.

Menurut pengakuan Luki, lain rasanya bila bisa meniduri gadis cerdas. “Lebih menantang gitu,” katanya.

Selain kemauan untuk berbuat “lebih”, yang membuat Dita menjadi legenda di sebuah komunitas milis adalah kemampuan menulisnya yang luar biasa. Saking bagusnya, komunitas itu membuat ruang khusus untuk tulisan-tulisan tentang pengalaman-pengalamannya.

Sebagus apa tulisan-tulisannya? “Luar biasa, Bos. Kalau dibandingkan dengan tulisan terbaik di situs porno 17 tahun, bisa tiga kali lipatnya,” ungkap Luki yang menyebut Dita pandai bertutur dan memilih kata-kata yang pas. “Dia juga pintar menyisipkan humor dalam tulisan-tulisannya,” katanya.

Menurut Luki, orang pasti betah membaca tulisan Dita. Salah satu cerita favorit Luki adalah ketika Dita bercerita mengenai kencan sehariannya dengan seorang tamu. “Sangat panas,” komentarnya.
***
Kisah hidup Dita sebenarnya terbilang klise, tak berbeda jauh dari kisah-kisah pahit di sinetron. Dia berasal dari keluarga sederhana, menanggung tiga adik.

Keluarga Dita mulai berantakan pada 2005. Bapaknya ditangkap polisi karena terlibat pemalsuan sejumlah dokumen penting. Ibunya tidak bekerja, sementara dia masih duduk di pengujung kelas 1 SMA. Situasi itu memaksa Dita memutar otak, agar dia, ibu, dan tiga adiknya tetap bisa makan.

Dita kemudian melirik internet sebagai cara cepat mendapat uang. “Saya sudah menguasai internet sejak SMP,” ucapnya.

Akhirnya, dengan segala pertimbangan, dia memutuskan menjadi seorang grey chicken, termasuk menjual keperawanannya. “Pelanggan pertama saya ketemu di chatting. Waktu itu, saya dapat Rp 2 juta,” ungkapnya.

Selanjutnya, “karir” dan hidup Dita berjalan mulus. Sejumlah gadget terbaru pun menjadi koleksinya. Sebuah rumah di kawasan Surabaya Timur sudah menjadi miliknya. Ibu dan ketiga adiknya sudah tak memusingkan lagi biaya hidup sehari-hari.

Bila ditanya dapat uang dari mana, Dita menjawab hasil kerjanya menulis artikel di internet. Ibunya -yang tergolong awam teknologi- hanya menganggut-anggut.

Hebatnya, meski banyak membeli gadget, dia tak sembarang membelanjakan uang. Sebagian uang dia gunakan untuk membeli berbagai perhiasan emas. “Sebagai tabungan,” katanya. Dita mengaku tak pernah membelanjakan uangnya untuk hal-hal yang tak esensial.

Cobaan baru dirasakan Dita pada akhir 2007. Pacar yang dia harapkan menjadi pasangan hidup tiba-tiba pergi. Kemudian, seorang “rival” di dunia grey chicken memberi tahu ibunya tentang kehidupan Dita yang sebenarnya.

Tentu saja, kabar itu membuat sang ibu sangat marah, sampai tak bisa berkata apa-apa dan hanya bisa menangis.

Bukan hanya itu, selama dua bulan Dita sempat tenggelam dalam narkoba. Buntutnya, dia pun terbelit krisis finansial baru.

Untunglah, komunitas pendukungnya di dunia maya mau membantu. Para anggota komunitas, terutama yang di Jakarta, berpatungan memberinya uang. Hingga akhirnya, terkumpul uang Rp 38 juta.

Ditambah tabungan, Dita memakai uang itu untuk membuka sebuah toko telepon seluler di WTC Surabaya. Pelan-pelan, dia berusaha bangkit lagi. “Saya tidak akan menyerah,” tegasnya.

Niat membangun kehidupan baik-baik untuk masa depannya tak pernah padam. “Ibu mulai mau berbicara dan berusaha memahami aku,” katanya.

Dita menyatakan tak pernah menyesali pekerjaan lamanya sebagai grey chicken. “Itu bagian dari prosesku. Lagi pula, aku tak bisa seperti sekarang kalau tak melakoni kerja begitu,” ujarnya.

Dia menegaskan, “Lebih baik jadi bekas orang jelek-jelek daripada bekas orang baik-baik.” (habis/Tim JP)

.

Sumber: http://jawapos.com/

.

.

Yang ini cerita lain lagi. Bahkan katanya, ada yg mulai sejak SMP … masya Allah. Waspadalah waspadalah.

Juga dari http://www.jawapos.com/

.

Jual Diri Mengejar Rumah

Meme, 16, adalah seorang grey chicken alias ayam abu-abu. Seorang siswi SMA yang merangkap sebagai pekerja seks komersial (PSK). Jumlah anak seperti Meme itu disebut terus bertambah. Bahkan disebut sudah menyebar di semua sekolah, juga sampai di tingkat SMP.

Di lingkungan sekolah, Meme (bukan nama sebenarnya) tidak berbeda dari teman-teman yang lain. Di sekolahnya, sebuah SMA negeri populer di kawasan Surabaya Timur, Meme justru dikenal sebagai pelajar yang cenderung tidak banyak tingkah.

Gaya dandan siswi kelas 2 itu jauh dari kesan tidak seronok. Roknya tak pernah lebih dari satu sentimeter di atas lutut. Benar-benar seperti anak SMA kebanyakan.

Namun, Meme bukanlah pelajar SMA kebanyakan. Bila tasnya diubek-ubek, tiga pak kondom selalu tersembunyi di dalamnya. Itu adalah persediaan untuk menghadapi “program ekstrakurikuler” yang memang berbeda dari anak kebanyakan.

Ya, Meme adalah seorang grey chicken alias ayam abu-abu. Istilah itu sering dipakai para hidung belang untuk para siswi SMA yang nyambi sebagai pekerja seks komersial (PSK).

Di luar sekolah, tampilan Meme memang berubah drastis. Dengan gaya sedikit bernuansa Harajuku, gadis 170 cm itu terlihat seperti cewek dari keluarga berada. Dia lebih terkesan seperti mahasiswi berkocek tebal. Baru setelah diajak berdialog, nada suara dan wawasannya menunjukkan bahwa dia masihlah pelajar SMA.

Sebenarnya, Meme bukanlah grey chicken kelas A di Surabaya. Tapi, dia termasuk yang paling tenar. Buktinya, Meme punya jadwal booking cukup padat. Kadang, butuh waktu beberapa hari sebelum dapat jadwal bersama Meme. “Sehari, paling sepi aku dapat dua tamu,” kata Meme, yang mematok tarif Rp 750 ribu untuk sekali kencan short time (sekitar tiga jam). “Tidak jarang, sehari bisa dapat lima tamu,” ungkapnya.

“Omzet” Meme pun lumayan. “Minim, aku bawa pulang Rp 750 ribu sehari,” ujarnya.

Pendapatan itu merupakan pendapatan bersih, setelah dipotong uang operasional seharian (bayar komisi untuk germo, uang taksi, dan makan). Rata-rata, sehari Meme membawa pulang uang Rp 1 juta hingga Rp 1,5 juta. Berarti, per bulan, Meme punya penghasilan Rp 25 juta sampai Rp 30 juta.

Setelah setahun menekuni dunia itu, Meme kini hampir mencapai impiannya. Yaitu, membeli rumah sendiri. “Targetnya, tiga bulan lagi beli rumah tipe 45 yang bagus,” ucap Meme, yang menyebut ingin membeli rumah seharga Rp 200 jutaan.

Dia menambahkan, sebenarnya dirinya sudah bisa membeli rumah impian itu dua bulan lalu. Tapi, ada seorang teman yang menipunya. Uang sekitar Rp 50 juta amblas dibawa lari. “Terpaksa menabung lagi,” ujarnya.


***
Mengapa Meme mau menekuni dunia grey chicken? Latar belakang hidup Meme sebenarnya klise. Kegadisannya direnggut pacar dua tahun lalu, saat masih duduk di bangku kelas 3 SMP. Keluarganya juga tergolong broken dan dekat dengan dunia prostitusi.

“Papi suka main pukul ke Mami. Papi juga jarang pulang, dan aku tahu kalau Papi suka main cewek,” ungkap sulung di antara tiga bersaudara tersebut.

Ketika masih kelas 3 SMP itu pula, Meme menyadari bahwa maminya ternyata seorang “Mami Ayam” alias muncikari. “Tahunya, ya karena banyak anak buah Mami yang datang ke rumah,” jelasnya.

Meme mengaku bisa memaklumi mengapa maminya sampai menjadi koordinator gadis panggilan. “Papi tak pernah memberi uang kepada Mami. Malah, lebih sering minta uang kepada Mami,” katanya.

Menurut dia, papinya adalah seorang wirausahawan yang berusaha bangkit setelah bangkrut ditipu teman empat tahun lalu.

Meme sendiri secara resmi baru menekuni dunia grey chicken itu pada Maret 2007. “Sebelum itu, aku bertemu salah seorang anak buah Mami yang biasa aku sebut Cece. Aku sering curhat dengan dia, terutama masalah keluarga,” paparnya.

Akhirnya, karena merasa tertarik, Meme pun memberanikan diri terjun ke dunia tersebut. “Aku minta kepada Cece. Kalau ada (tamu) yang tertarik, aku mau menjalaninya,” katanya.

Meme menegaskan, dirinya menjalani itu bukan karena kepepet secara ekonomi. Keluarganya memang broken, tapi tidak kekurangan. “Intinya, aku punya keinginan. Dan segala keinginan itu bisa diraih melalui kerja begini,” ucapnya. “Bisa untuk beli handphone, bisa untuk membantu orang tua, dan bisa beli barang-barang mahal yang tak mungkin dibelikan Papi-Mami,” tegasnya.

Begitu mengutarakan niat untuk terjun, Meme tak perlu lama-lama menunggu orderan pertama. Hanya dalam beberapa hari, Cece memintanya datang ke sebuah hotel short time di kawasan Surabaya Timur.

Tentu saja, pengalaman pertama menjajakan diri itu sempat membuat Meme grogi. Namun, pengalaman tersebut sekarang justru menjadi sesuatu yang mampu menghiburnya, membuatnya tertawa.

Tamu pertama Meme adalah seorang pria paro baya. “Bagaimana tidak ketawa. Koko (panggilan untuk tamu pertama itu, Red) lima menit sudah keluar,” ungkapnya.

Tugas pertama itu memberi Meme bayaran Rp 1 juta. Sejak saat itu, segalanya jadi lebih mudah. Sudah tak terhitung pria hidung belang yang pernah dia layani. “Mayoritas tamu pertama biasanya berlanjut jadi langganan,” urainya.

Sejumlah pengalaman unik pun dialami Meme. Salah satunya, ketika sang tamu ternyata adalah ayah teman sendiri. “Kaget sekali waktu main ke rumah temanku itu. Seminggu sebelumnya, bapaknya pernah booking aku,” ujar Meme.

Untung, dia cepat menguasai keadaan. Meski kikuk, Meme dan ayah teman itu bisa bersikap biasa-biasa saja. Baru besoknya, bapak itu menelepon, memohon supaya Meme tidak bercerita macam-macam. “Tentu saja aku penuhi. Aku pasti tidak akan cerita. Sama saja bunuh diri itu,” tegasnya.


***
Setelah setahun (lebih sedikit), profesi gelap Meme tersebut diketahui maminya. Kedoknya terbongkar sebulan lalu. “Mami langsung mendudukkanku dan menginterogasi. Intinya, menasihati macam-macam, jangan sampai seperti anak buahnya,” katanya.

Usut punya usut, yang mengadukan Meme adalah Cece. “Aku tak tahu pasti sebabnya, mungkin saja karena kalah order,” ujarnya.

Begitu ketahuan mami, “jam kerja” Meme pun berubah. Sekarang, dia mendapat jam malam dari sang mami. “Pukul 22.00 sudah harus pulang. Kalau tidak, bisa ditelepon terus-menerus sama Mami,” ungkapnya.

Karena menghormati sang mami, Meme mematuhi jam malam itu. “Namun, aku tetap kerja kayak ginian,” lanjutnya.

Meme menegaskan, dirinya tidaklah sendirian. Sekarang ada banyak pelajar SMA yang nyambi sebagai PSK seperti dirinya. “Setahuku, di setiap SMA ada yang seperti aku. Itu paling sedikit lho,” ucapnya. “Wong yang SMP saja juga mulai banyak,” tegasnya.

Meme mengaku tidak tahu persis berapa banyak jumlahnya. Sebab, mereka memang tidak terorganisasi secara jelas. Ada banyak pintu untuk memesan, ada banyak penghubung. Sesama grey chicken juga belum tentu saling mengenal.

“Tidak harus kenal, tapi tahu. Misalnya, kalau lagi jalan-jalan di mal. Lalu, aku lihat ada anak SMA yang jalan dengan mantan tamuku. Dari situ aku tahu bahwa dia seperti aku,” jelasnya.(tim jp)

.