Gratifikasi, Hadiah untuk Pejabat

Gratifikasi

Menurut UU No. 31/1999 jo. UU No. 20/2001, Penjelasan Pasal 12 b ayat (1),

Gratifikasi adalah Pemberian dalam arti luas, yakni meliputi uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya.

Dalam hal ini, semua pemberian tersebut dilakukan tanpa komitmen untuk melakukan suatu tindakan. Pada kenyataannya banyak orang berpikir dan berpendapat bahwa pemberian itu sekedar tanda terima kasih dan sah-sah saja. Namun patut di sadari, bahwa pemberian itu selalu berhubungan erat dengan jabatan yang dipangku oleh si penerima serta kemungkinan adanya kepentingan dari si pemberi.

Gratifikasi ini berbeda dengan suap. Suap dilakukan dengan maksud supaya ada tindakan yang dilakukan setelah pemberian.

Dua hal ini sangat erat korelasinya dengan kemungkinan terjadinya tindak pidana korupsi, dalam hal ini penyalahgunaan wewenang oleh Penyelenggara Negara (PN). Secara naluriah, Gratifikasi menimbulkan hutang budi bagi si penerima, apalagi suap yang sudah jelas-jelas ada komitmen di dalamnya.

Pemberian-pemberian ini dapat terjadi pada saat momen-momen ataupun hari-hari bersejarah bagi si pejabat, misalnya: hari raya idul fitri, pernikahan anak, ulang tahun, dan acara-acara pribadi lainnya.

Selain itu, ada juga beberapa pertanyaan dan pernyataan yang justru mengatakan kalau memberi hadiah kepada sesama muslim itu adalah baik demi menjaga silaturahmi dan ukhuwah islamiyah. saya memang bukan ahli di bidang agama, dan saya berusaha untuk mencari jawabannya.

dari hasil penelusuran, akhirnya saya mendapatkan pencerahan dari KH. Masdar Farid Mas’udi melalui blog beliau di (http://www.masdarmasudi.com/editorial/346/hadiah-untuk-pejabat)
wallahu ‘alam bishawab. (aulia postiera)

.

.

Hadiah Untuk Pejabat
Salah satu lubang korupsi adalah hadiah untuk pejabat negara atau pejabat publik.

Tradisi menyajikan persembahan kepada pembesar, penguasa atau pejabat negara ini tidak ragu lagi merupakan bagian dari budaya dan sistem kekuasaan feodal jahiliyah. Dalam anggapan masyarakat ini, penguasa adalah inkarnasi atau perwujudan dari dewa yang maha kuasa. Perkenan raja adalah perkenan dewa. Maka untuk merebut hati dewa, cukuplah bagi rakyat merebut perkenan raja. Cara yang paling effektif untuk itu, tentu saja, adalah dengan memberikan persembahan kepadanya.

Kekuasaan raja dengan sendirinya melimpah juga ke segenap para pejabat kerajaan; dari patih yang tertinggi sampai keucik atau lurah di desa-desa. Masing-masing dalam kenyataannya memang memilki dan memainkan kekuasaan sesuai dengan porsinya. Karena tidak mungkin semua rakyat datang langsung ke raja, maka cukuplah hadiah itu dipersembahkan kepada para pejabat yang ada dibawahnya.

Dengan mempersembahkan hadiah atau hibah, atau apa pun namanya, kepada pejabat, sudah barang tentu si pemberi akan mendapatkan simpati dari padanya. Bagi siapa pun simpati seorang pejabat atau penguasa adalah modal yang sangat berharga. Dengan investasi simpati itulah yang bersangkutan akan dapat nyadong, atau mengharap, limpahan pertolongan (syafa’at) dari si pejabat atau penguasa tadi.

Pertolongan yang diharapkan melimpah dari penguasa itu bisa macam-macam, mulai dari yang murah dan sederhana, misalnya sekedar didatangi (_dirawuhi_, Jawa) pada saat punya gawe, sampai yang tidak sederhana. Yang terakhir ini, khususnya yang sangat diincar atau tepatnya ditamaki oleh para penguasa adalah proyek yang bernilai ratusan juta, milyaran atau bahkan trilyunan.

Dengan itung-itungan dagang, hibah kepada pejabat atau penguasa sama sekali masuk di akal; seorang pengusaha, katakanlah kontraktor, dengan memberikan hadiah senilai jutaan, atau milyaran, akan tetapi dengan itu mendapatkan proyek bernilai milyaran atau trilyunan, sangatlah reasonable. Inilah praktek atau taktik dagang yang sangat lazim dilakukan oleh para pangusaha di negeri ini. Inilah yang sesungguhnya disebut dengan kolusi.

Dengan demikian, jelas kiranya bahwa hibah atau hadiah yang diberikan kepada pejabat pastilah bukan hibah atau hadiah biasa. Ia berbeda sengan hibah atau hadiah seorang ayah kepada anaknya atau seorang suami kepada istrinya, atau seorang kawan kepada karibnya. Hibah kepada pejabat bukanlah hibah yang ditujukan kepada pribadi si pejabat itu, mislanya si Ahmad atau si Junaed, melainkan lebih kepada jabatannya. Pikirkan kalau si Ahmad atau si Juned itu rakyat biasa tanpa jabatan apa-apa, apakah mereka akan datang kepadanya dengan membawa hadiah-hadiah itu?

Oleh sebab itu hibah kepada pejabat, disadari atau tidak, adalah suap terselubung. Dalam sebuah hadits Rasulullah menegaskan, bahwa “hadaaya al-ummal ghulul/ hadiah untuk pejabat adalah koruptif, merusak masyarakat”. Sebagai suap, maka hadiyah kepada pejabat dapat mendatangkan kutukan Tuhan, baik terhadap yang memberi maupun yang menerima, dan kalau ada juga perantara.

Barangkali akan muncul pertanyaan Fiqh, apakah dengan demikian seseorang yang tengah memangku jabatan tidak boleh menerima hadiah apa pun dengan dalih apapun? Para ulama punya jawaban: Seseorang yang tengah memangku jabatan publik boleh-boleh saja menerima hadiah, dengan catatan:

i) Hadiah diberikan oleh orang yang pernah memberikan hal yang sama sebelum menjabat;

ii) Hadiah diberikan dalam jumlah atau harga yang tidak melebihi jumlah atau harga dari hadiah-hadiah yang pernah diberikan sebelum menjabat. Walhasil, hadiah tidak diberikan kepada si pejabat sebagai pejabat, melainkan semata sebagai individu.

Oleh sebab itu, di negara-negara lain yang sudah lebih tertata, ada undang-undang tersendiri yang mengatur perihal hadiah untuk para pejabat ini. Antara lain di sana ditetapkan jumlah (nilai) hadiah yang boleh diterima oleh seseorang pejabat. Jika hadiah itu mengandung nilai jual yang melebihi ketetapan undang-undang, maka hadiah tersebut harus diserahkan kepada negara sebagai kekayaan publik.

Kita sebagai umat Islam tentunya harus lebih peka terhadap apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, terutama dalam hal-hal yang menyangkut kepentingan publik, menyangkut jabatan publik. Mengingat bahwa dalam Islam jabatan dan kepentingan publik bukan hanya bermakna kepentingan rakyat, melainkan sekaligus adalah amanat Allah untuk rakyat. Berbeda dnegan rakyat yang pengawasannya terbatas, pengawasan Allah kepada kita tidaklah terbatas. Baik ketika kita sendirian maupun dalam keramaian.

Salam,

K.H. Masdar Farid Mas’udi

.

Sumber: http://groups.google.com/

.

Sehubungan dengan hal itu, adalah hal yang konyol kalau para pejabat tidak mengetahui hal ini.

Berikut petikan berita dari: http://www.detiknews.com/

Saran saya .. Bapak-bapak kyai yang mengira amplop itu sebagai sedekah, mundur sajalah sebagai anggota DPR. Kelola Pondok pesantren-nya seserius mungkin. Didik santri-santri menjadi kader yang handal. Amplop yang anda terima pun menjadi halal, karena bukan termasuk kategori “Hadiah sebagai Pejabat”.

.

Dikira Amplop Sedekah, Kader PKB Banyak Terima Gratifikasi
Ramadhian Fadillah – detikcom

Jakarta – Banyak kader PKB terlibat kasus gratifikasi karena tidak tahu. Kader PKB yang terlibat gratifikasi itu dengan polosnya mengira uang amplop sogokan tersebut adalah sedekah.

“Banyak kader kita, apalagi yang kiai, yang menyangka kalau dikasih amplop itu sedekah,” ujar Sekjen DPP PKB Gus Dur, Yenny Wahid saat membuka dialog kebangsaan ‘Pemberantasan Korupsi Sebagai Dasar Tata Kelola Negara’ di Hotel Kartika Chandra, Jl Gatot Subroto, Jakarta, Minggu (15/6/2008).

Yenny menjelaskan, ketidakpahaman tentang gratifikasi ini yang harus diluruskan. Sehingga PKB merasa perlu untuk melakukan sosialisasi dengan KPK.

PKB juga secara tegas meminta KPK untuk memeriksa ataupun menindak jika ada kader PKB yang terlibat kasus penyuapan atau korupsi.

“Silakan KPK memproses secara hukum,” tandas Yenny. ( rdf / nwk )

.

Any way .. anggota DPR (dari partai) yang lain pun ada banyak berita menerima gratifi ini. Entah tidak tahu atau pura-pura tak tahu, atau memang sengaja melanggarnya. Berita silakan dilacak sendiri.

.