Nikah Sirri: Syah Tapi Tak Diakui
Masih sehubungan dengan pernikahan kontroversi Pujiono Cahyo Widianto alias Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12), kami mencari artikel yang layak untuk membahas kasus ini. Kali ini kami ingin melihat masalah Nikah Sirri.
Setelah googling sana sini, berikut adalah tulisan kami yang di-compile dari Tanya jawab dan artikel tentang nikah sirri di pesantrenvirtual.com. Bagian paling bawah adalah komentar kami atas masalah (nikah sirri) ini.
Apa itu Nikah sirri?
Nikah SIRRI adalah pernikahan yang hanya memenuhi prosedur keagamaan, syah secara syari’at, apabila syarat rukun nikah terpenuhi. Syarat dan rukunnya itu meliputi calon isteri, calon suami, wali, dua orang saksi, dan Akad ijab dan qabul.
Istilah nikah sirri diberikan jika pernikahan tersebut tidak dilaporkan atau tidak tercatat ke KUA atau ke Kantor Catatan Sipil. Sehingga tidak ada surat-surat resmi yg memperkuat adanya ikatan pernikahan.
Bagaimanakah hukumnya?
Apabila syarat rukun nikah terpenuhi, nikah sirri adalah syah secara syari’at agama. Tetapi nikah sirri tidak diakui (legal) oleh negara, karena tidak tercatat dalam catatan resmi pemerintah, baik KUA atau Kantor Catatan Sipil, dan tidak mempunyai Surat/Akta Nikah yang diakui negara.
Konsekwensi
Nikah model begini tidak mempunyai landasan yang kuat secara sosial. Seandainya salah satu di antara kedua pihak (suami-istri) melanggar ikatan pernikahan maka pihak lain tidak bisa menuntut menurut hukum yang berlaku. Dan dalam Nikah Sirri, karena tidak terlindungi secara hukum (Negara), maka hak-hak suami dan isteri tidak bisa terjamin secara sosial.
Jika terjadi persoalan-persoalan yang menyangkut hukum sipil, pelaku nikah sirri tidak dapat menyelesaikan masalahnya melalui lembaga-lembaga hukum yang ada karena pernikahannya tidak terdaftar.
Misalnya suami tiba-tiba minggat, istri tidak bisa menuntut dia dengan melaporkannya ke pengadilan. Atau tidak bisa menuntut hak waris bagi dirinya atau anak-anaknya, dll. Biasanya pihak perempuan yang sering dirugikan. Namun bisa juga sebaliknya, misal si istri tiba-tiba menikah (lagi) dengan lelaki lain secara resmi. Maka suami sirri-nya niscaya tak bisa mempertahankan istrinya.
Sebuah Komentar
Syahnya nikah menurut hukum syariat sangat mudah. Untuk mensyahkan secara resmi (oleh Negara) juga tidak sulit. Cukup memanggil penghulu untuk mencatatnya. Sederhana kan.
Dengan syarat2 yg cukup sederhana ini, seharusnyalah nikah sirri tidak ada. Setiap pernikahan seharusnyalah dicatat petugas Negara (KUA).
Keadaan sekarang harus dibalik. Petugaslah yang seharusnya aktif memantau/ mencatat pernikahan warganya. Setiap warga niscaya mempunyai identitas, punya KTP, tinggal di dusun tertentu, desa ini, kecamatan itu. Kepala Desa (atau RT tempat warga tinggal) niscaya tahu keadaan warganya.
Dari sini saja, pernikahan sirri pasti diketahui warga lainnya (paling tidak saksi2nya), sehingga seharusnya diketahui aparat setempat (walau tak melapor/ tak tercatat). Sudah sepatutnya petugas mendatangi-nya untuk mencatatnya sehingga status nikahnya menjadi legal menurut syariat dan Negara. Dengan demikian, hal-hal negative dapat dicegah. (Misal dalam berita yg baru hangat sekarang, kasus nikah dini syeh puji-ulfa dapat dicegah jika petugas peka dan aktif sebelumnya).
Sudah tidak saatnya lagi petugas ongkang-ongkang menunggu laporan atau permohonan menikah atau permohonan untuk dicatat. Petugaslah yang seharusnya turun tangan ke bawah, ketika mengetahui adanya pernikahan (sirri) dilakukan warga masyarakat.
Wallahu a’lam.
Ya ini sebuah fenomena yang ada di masyarakat kita. Dan gak sedikit pula pernikahan sirri dimanfatkan/disalahgunakan oleh beberapa orang untuk melegalkan hubungan mereka. Klo menurut saya pribadi sih, seharusnya tidak ada tuh namanya nikah sirri (kan sirri tu artinya sembunyi), pernikahan kita harus diketahui oleh banyak orang. Dan tidak ada niatan untuk menyembunyikan tentang pernikahan tersebut. Yang menjadi pertanyaan, kenapa sih mereka menempuh jalur pernikahan sirri?
–> Ada banyak alasan yg mungkin tak terpikirkan oleh kita. Syekh puji, Bambang-Mayang misalnya, sangat beda motif-nya. Pegawai pemerintah (PNS, Militer, BUMN) yg punya WIL, dll.
Oki .. di sini saya lebih menyorot kepada “pemalas“-nya pegawai pencatat (KUA) yg hanya ongkang-ongkang menunggu laporan. Kenapa mereka tak mau inisiatif turun ke bawah?