Tahlilan, Tinjauan Sosial Budaya

Sebuah catatan mengenai tahlilan dilihat dari aspek sosial budaya dan/ atau kemasyarakatan. Saya pun merasakan hal yang sama setiap mengikuti acara majelis dzikir ini di kampung atau surau.

Padukuhan Pondasen: Tahlil Itu Penting dan Wajib
diambil dari: http://nurdayat.wordpress.com/2008/10/10/tahlil-itu-penting-dan-wajib/

Ritual tahlil memang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw, maka ia memang bukan satu bentuk ibadah mahdhah, bukan ibadah khusus. Ritual tahlil ini sekedar amalan baik yang memiliki keutamaan dan faedah. Bila faedah dari amalan tahlil ini dapat menghantarkan warga untuk tergerak menjalankan syariat-syariat wajib, bahkan lalu menjadi sarana utama dan pertama juga agar warga tergerak; bukankah bila ditinjau dari strategi dakwah ini dapat dianggap penting bahkan wajib ? Sebagai sarana ?

Tahlil itu penting dan wajib.

Tadi malam saya hadir di kumpulan tahlil di tempat Kang Marjono. Padukuhan Pondasen ini memiliki kelembagaan berupa kumpulan tahlil yang biasa diselenggarakan setiap selapan (= 35 hari) sekali, yaitu tiap malam Jum’at Wage. Periode selapan kali ini, diundur seminggu karena masih hari-hari Idul Fitri, setelah selapan sebelumnya libur Ramadhan. Sudah lima belasan tahun acara latihan tahlil selapanan ini berlangsung, yang dulu muncul lahirnya justru atas inisiatif spontanitas dan antusiasme warga awam sendiri yang menghendakinya. Dulu sebelumnya, untuk acara slametan memperingati tiga hari, tujuh, empat puluh, seratus hari, setahun, dua tahun dan seribu hari meninggalnya anggota kerabat; masih biasa mengundang ‘santri’ dari padukuhan lain yang lebih ‘santri’. Karena merasa butuh untuk mencukupi kebutuhan kerabat sendiri itulah yang setahu saya mendorong antusiasme warga untuk menyelenggarakan kumpulan tahlil. Untuk mencukupi kebutuhan penghormatan atas arwah kerabat yang sudah meninggal dan ritual doa bersama memohonkan ampunan atas mereka dari para tetangga dan kerabat terdekat.

Ritual tradisi mengadakan doa bersama atas arwah anggota keluarga itu menjadi satu kebutuhan yang akhirnya nyatanya menjadi faktor pengikat kebersamaan dan rasa memiliki atas ajaran agama. Saya tidak dapat membayangkan bilamana faktor pengikat ini justru tidak ada atau bahkan sengaja ditentang dan mau dihilangkan. Tentu faktor pengikat itu menjadi tercerai-berai dan warga tidak memiliki kebersamaan lagi. Sebagian besar warga setahu saya belum/tidak biasa melakukan shalat lima waktu, mereka juga tidak terbiasa mengaji dan mengkaji ajaran agama. Paling tidak, dengan ber-tahlil ini mereka masih memiliki ikatan identitas bahwa agama mereka itu adalah masih atau sudah Islam. Dengan ber-tahlil ini pula mereka paling tidak sekali dalam 35 hari mereka membaca dan mengucapkan kalimah-kalimah thoyibah, ucapan-ucapan yang mereka tidak sempat ucap karena sehari-hari telah tersita untuk membanting tulang mencukupi kebutuhan hidup mempertahankan nyawa diri dan anak-istri. Paling tidak selapan sekali mereka ingat bahwa mereka nanti akan mati.

Karena Kang Marjono adalah Ketua Takmir Masjid kini dan terutama sudah berbelas tahun juga yang menangani ‘kepanitiaan’ kumpulan tahlil ini, maka hampir semua bapak-bapak warga sini hadir. Ikatan kebersamaan warga desa muncul di saat seperti ini. Rasa ingin guyub juga solidaritas warga masih kental untuk hal kemasyarakatan. Bapak-bapak ini jelas memandang bahwa kumpulan tahlil ini adalah event yang sangat perlu mereka hadiri atau kurang pantas atau ‘beresiko’ bila mereka tinggalkan. Rukun-guyub adalah hal satu nilai yang masih dijaga dipepundhi oleh warga desa. Mereka masing-masing ingin terlihat hadir terlibat ikut-serta di acara pertemuan ini.

Sebagaimana mereka ikut kerja-bakti juga terdorong oleh rasa takut agar tidak terkena sanksi sosial bila tidak hadir, maka kehadiran mereka di acara latihan tahlil ini juga begitu. Bagi warga desa, sanksi sosial adalah kutukan yang mengerikan dari sesama warga masyarakat sendiri. Tuduhan dianggap tidak mau berukun-rukun itu saja sudah merupakan tuduhan serius yang membikin pusing.

Saya kira bapak-bapak ini juga sudah senang dapat ikut (latihan) tahlil ini. Mau beragama atau tidak beragama bukankah sesungguhnya juga hak masing-masing mereka sendiri yang berwenang menentukannya ? Masih mending mereka mau beragama. Apakah dengan beragama dapat menjamin mereka menjadi lebih sejahtera ? Dengan ikut tahlilan mereka merasa senang sudah dianggap bagian dari orang Islam. Dengan begitu cantuman agama di kolom KTP mereka ada buktinya sedikit. Dengan ber-tahlil mereka merasa guyub dalam kebersamaan sebagai orang Islam, meski saat Ramadhan kemarin mereka sebagian besar tidak pernah ikut tarawih di masjid.

Bagaimana mereka mau ikut tarawih kalau bagaimana tata-cara bershalat saja mereka tidak tahu ? Bagaimana pula mereka dapat tahu tata-cara ber-shalat kalau mereka memang tidak mau ? Lha wong memang tidak mau kok disuruh belajar. Lalu, misalkan pasal 29 UUD 45 mau ditambahi dengan kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, apakah itu lalu menjamin bahwa mereka terus mau shalat ? Shalat dengan paksaan dari negara ? Mau shalat atas paksaan dari negara ? Lalu polisi-polisi mau dikerahkan untuk menangkapi warga-warga masyarakat yang ber-KTP Islam yang tidak mau shalat ?

Maka di sinilah maka tahlilan ini menjadi penting bahkan mungkin wajib. Mashlahah mursalah. Maa laa yatimmul wajiibu illa bihi, fa huwa wajiibun. Tasharraful imam manutun ‘alaa ra’iyatihi. Begitu kaidah-kaidah fikih yang saya tahu karena sering dipopulerkan oleh Gus Dur. Saya sering ikut kegiatan Pemuda Muhammadiyah, namun gemar mempelajari, juga mengikuti kaidah-kaidah fikih yang banyak dimiliki oleh orang-orang NU. Saya ingin banyak belajar kaidah-kaidah fikih dari orang NU karena saya rasa itu sangat perlu, serta saya menyadari dan mengakui bahwa saudara-saudara NU lebih banyak yang paham tentang kaidah fikih. Saya juga ingin mempelajari kitab-kitab karya ulama klasik dari saudara-saudara NU, karena saya tahu mereka lebih banyak yang menguasai ilmunya.

Tahlil itu penting. Demikian itu pula yang saya sampaikan pada kultum di kumpulan tahlil tadi malam. Bukankah kalimat tahlil “Laa ilaaha illallah” itu adalah Tauhid inti ajaran Islam? Maka hakikat tahlil adalah untuk selalu mengingatkan semua orang Islam ini bahwa: “Tidak ada yang pantas disembah dan diper-Tuhan-kan selain daripada Tuhan (Allah) itu sendiri” Itulah modal utama dan pertama bagi orang Islam untuk menghadapi Mati.

Ritual tahlil memang tidak dituntunkan oleh Rasulullah saw, maka ia memang bukan satu bentuk ibadah mahdhah, bukan ibadah khusus. Ritual tahlil ini sekedar amalan baik yang memiliki keutamaan dan faedah. Bila faedah dari amalan tahlil ini dapat menghantarkan warga untuk tergerak menjalankan syariat-syariat wajib, bahkan lalu menjadi sarana utama dan pertama juga agar warga tergerak; apakah bila ditinjau dari strategi dakwah ini tidak dapat dianggap penting bahkan wajib ? Sebagai sarana ?

Tahlil itu penting dan wajib.