Kekerasan Seksual di Pesantren

Saat ini marak berita tentang sodomi oleh seorang (oknum) kyai di Pati. Berbagai media memuatnya, seperti di sini,

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/12/22/1/176094/korban-kiai-cabul-mengaku-setiap-hari-disodomi/korban-kiai-cabul-mengaku-setiap-hari-disodomi

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/12/23/1/176318/kiai-cabul-dilaporkan-ke-mabes-polri/kiai-cabul-dilaporkan-ke-mabes-polri

Sudah seharusnya para pengelola pesantren membenahi (sistem) pendidikan mereka. Sudah sejak lama terdengar kabar-kabur tentang adanya penyimpangan seksual di lingkungan pesantren. Memang (mungkin) sangat sedikit prosentasinya .. namun ada.

PBNU yg banyak menaungi pesantren ini sudah seharusnya bergerak mencegah kejadian berulang-dan berulang. Jangan hanya membantah, “Tak ada didikan soal itu … dst”.

http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/12/24/1/176535/ipnu-tak-ada-ajaran-sodomi-di-pesantren

Berbenahlah.

Simak kolumnis berikut,

Adakah Kekerasan Seksual di Pesantren?
Rabu, 24 Desember 2008 – 12:21 wib

Muhammad Saifullah – Okezone

MENDENGAR pertanyaan di atas, para santri, alumnus pesantren, maupun pihak-pihak yang pernah bersentuhan dengan dunia pesantren pasti akan menjawab kompak dengan kata,”ADA.”

Jawaban itu muncul dari pengalaman pribadi, kesaksian sendiri, atau sekedar informasi dari orang lain. Meski terkadang informasi tersebut meragukan, namun kecenderungan orang untuk percaya lebih besar daripada menafikannya.

Memang sodomi, lesbi, atau kekerasan seksual tidak pernah diajarkan di pesantren. Bahkan lembaga pendidikan tradisional itu tegas memproklamirkan bahwa praktek homoseksual tidak sesuai dengan ajaran agama. Melakukannya berarti melakukan dosa besar dan akan mendapatkan hukuman setimpal sebagaimana kaum Nabi Luth di Kota Sodom.

Namun, dalam praktiknya tidak dapat dipungkiri bahwa pesantren steril dari aksi-aksi kekerasan fisik dan seksual. Pasalnya, situasi dan kondisi di sebagian besar pesantren cukup mendukung terjadinya praktik-praktik tersebut.

Hanya bentuk, jenis, dan kualitas kekerasannya saja yang berbeda antara satu pesantren dengan pesantren lain. Di satu daerah dengan daerah lain. Baik di pesantren putra maupun putri hampir selalu ditemui praktik kekerasan fisik dan seksual.

Karena itu, berita pencabulan dan kekerasan fisik yang dilakukan salah seorang kiai kepada belasan siswanya di Pati, Jawa Tengah, tidak terlalu mengagetkan kalangan pesantren. Perlu diingat, Verry Idham Heryansyah alias Ryan juga merupakan jebolan sebuah pesantren terkenal di Jombang, Jawa Timur.

Peristiwa kekerasan seksual dan fisik di pesantren ibarat sebuah gunung es yang memiliki akar kokoh, namun tak terlihat. Bisa dilihat tapi sulit dibuktikan. Sering terjadi namun juga sering diselesaikan secara kekeluargaan. Lantas mengapa praktik hina itu sering terjadi dilembaga yang bertugas mencetak pada agamawan? Salah satu penyebabnya bisa dicari di bawah ini.

Pertama, pesantren pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan lain seperti sekolah. Bedanya, di pesantren para pelajar disediakan tempat untuk menginap. Ihwal kekerasan fisik dan seksual di pesantren muncul karena para santri dalam jumlah besar tinggal di satu tempat. Dalam satu kamar berukuran 3 x 4 bisa dihuni 12 santri. Mereka beraktivitas, mandi, mencuci, makan, dan tidur bersama. Mulai dari santri junior maupun senior.

Keterbatasan sarana dan fasilitas pendukung penginapan seringkali membuat para santri harus tidur berdesakan dan mandi bersama-sama. Sehingga bisa dikatakan sama sekali tidak ada wilayah privat di pesantren. Interaksi fisik antar santri terjadi dalam interaksi tinggi.

Pada waktu bersamaan, mayoritas santri sedang mengalami masa-masa pubertas. Mereka sedang asyik mencari tahu tentang fungsi dan perkembangan alat-alat reproduksinya.

Dengan demikian tidak heran jika mereka saling memperhatikan atau membandingkan antara organ vital miliknya dengan teman-temannya. Bahkan ketika bergurau topik pembahasan pun mengarah pada seksualita. Jangan kaget bila dikegelapan malam tiba-tiba ada tangan yang menggerayangi. Keterbatasan sarana dan fasilitas ini juga memicu terjadinya kekerasan fisik. Perebutan ?wilayah kekuasaan’ oleh raja-raja kecil merupakan pemicunya.

Kedua, peraturan di pesantren dalam hal pergaulan antara santri dengan santriwati atau antara santri dengan dunia luar dukup ketat. Pembatasan secara fisik untuk berinteraksi dengan lawan jenis berpotensi memicu santri tidak menemukan penyaluran dan membuat orientasi seksualnya sedikit menyimpang. Hal ini didukung dengan interaksi intens dengan sesama jenis. Ibarat kata pepatah, tak ada tali akar pun jadi.

Ketiga, kekerasan seksual seringkali dipicu karena seorang whistle blower. Sangat mungkin dari ratusan santri, satu atau dua orang memang memiliki kelainan orientasi seksual. Terlebih untuk masuk pesantren belum ada test masuk. Sehingga semua orang bebas masuk asal membayar biaya administrasi. Para pelajar dari keluarga broken home dan anak-anak nakal pun seringkali dititipkan ke pesantren agar insaf. Alih-alih belajar, para santri dan santriwati bermasalah ini lebih sering ?merusak’ temannya.

Keempat, di pesantren juga terdapat materi pelajaran seksualita dengan merujuk pada literatur dari kitab-kitab kuning. Pelajaran ini sejatinya khusus untuk santri dan santriwati senior. Namun, santri-santri junior juga sering menyamar untuk mengikuti pengajian yang digelar tengah malam ini. Tidak menutup kemungkinan kekerasan fisik dan seksual juga dilakukan oleh para staf pengajar. Pasalnya, di pesantren dituntut adanya ketaatan penuh.

Melihat besarnya potensi terjadinya kekerasan fisik dan seksual di pesantren, sudah pasti kabar kekerasan fisik dan seksual di pesantren bukan isapan jempol semata. Karena itu, selayaknya pesantren sebagai lembaga pendidikan harus menjadi zona steril kekerasan. Ini sebagai amanat Pasal 54 UU No 23/2002 tentang Perlindungan Anak. “Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temannya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya”.

Sanksi berat kepada pelaku kekerasan fisik dan seksual di pesantren bisa menjadi salah satu alternatif penanggulangan. Siapa pun pelakunya harus dihukum agar menimbulkan efek jera. Dalam beberapa kesempatan, pelaku kekerasan seksual di pesantren akhirnya jera setelah dipukuli bersama-sama saat tertangkap basah menjalankan aksinya. Tapi haruskan kekerasan diselesaikan dengan kekerasan pula?. (ful)

.

Sumber: http://news.okezone.com/index.php/ReadStory/2008/12/24/59/176614/adakah-kekerasan-seksual-di-pesantren