Ilusi Negara Islam, mengorek agenda wahabi
Sejenak terkejut membacaberita di detik hari ini mengenai ancaman teror terhadap toko buku gara-gara menjual buku tertentu. Menjadi tertarik untuk melirik buku tersebut.
Inilah buku “Ilusi Negara Islam”, ternyata telah banyak yang me-review. Buku ini diberi pengantar oleh pakar, dan ditulis atas dasar penelitian. Berisi sepak terjang PKS, HT, dll yang katanya adalah agen wahabi.
Berikut adalah berita-berita tentang buku “Ilusi Negara Islam”, serta review yang berhasil kami peroleh.
Mohon maaf kalau tak berkenan.
Jumat, 22/05/2009 11:27 WIB
Diteror, Toko Buku Tak Mau Jual Buku Ilusi Negara Islam
Indra Subagja – detikNews
Jakarta – Buku ‘Ilusi Negara Islam’ sulit dicari di toko buku meski sudah diluncurkan. Buku penuh kontroversi ini memang tidak diperjualbelikan di toko buku. Sejumlah toko buku menolak buku ini dengan alasan kena teror.
“Saya tidak tahu siapa yang meneror. Kami kasihan toko buku itu, jadi sekarang kami jual sendiri di The Wahid Institute,” kata Direktur The Wahid Institute, Ahmad Suaedy saat berbincang dengan detikcom melalui telepon, Jumat (22/5/2009).
Ilusi Negara Islam diterbitkan The Wahid Institute dan Maarif Institute.
Buku ini mengupas soal masuknya gerakan Islam baru. Buku ini diluncurkan pada 16 Mei 2009.
Ahmad Suaedy menjelaskan, sejumlah toko buku yang sebelumnya bersedia menjual buku itu tiba-tiba membatalkan kerjasama. Toko buku tersebut ketakutan karena kena teror. Namun apa nama toko buku itu, Ahmad Suaedy memilih merahasiakannya.
“Mereka tidak mau diberitakan soal ini. Mungkin situasi politik seperti ini, sedang panas,” jelas Suaedy.
‘Ilusi Negara Islam’ merupakan hasil penelitian dan diterbitkan dengan melibatkan sejumlah ulama terkemuka di Indonesia seperti, KH Ahmad Safii Maarif (mantan ketua Muhammadyah), KH Mustofa Bisri, Azyumarrdi Azra, dan Romo Franz Magnis Suseno.
“Ini hasil riset soal bagaimana gerakan Islam baru, masuk ke NU dan Muhammadiyah. Dan bagaimana mereka mempengaruhi kalangan NU dan Muhammadiyah, tim dibentuk oleh Gus Dur,” tutupnya.
(ndr/iy)
http://www.detiknews.com/read/2009/05/22/112755/1135481/10/diteror-toko-buku-tak-mau-jual-buku-ilusi-negara-islam
.
Awas Bahaya Laten Wahabi
Rabu, 20 Mei ’09 16:25
oleh Irfan Darsina
Usai membaca buku Ilusi Negara Islam (INI): Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, mereka yang berpikiran picik pasti akan langsung membuat konklusi: ini fitnah, tujuannya mengadu domba umat Islam. Buku ini, kata mereka yang picik itu, sengaja dibuat musuh-musuh Islam, kaum zionis Yahudi, AS, Israel, untuk memecah belah umat Islam Indonesia. Dst, dst, dst.
Saya termasuk kelompok yang telat membaca buku INI. Sudah telat, saya juga belum baca seluruh isi buku. Tetapi, setelah membaca prolog (Syafii Maarif), kata pengantar (Gus Dur), Bab I & 2, dan sebagian kesimpulan, serta epilog (Gus Mustofa Bisri), saya membuat beberapa catatan.
1. Umat Islam hendaknya membaca buku ini dengan pikiran terbuka, hati yang bening dan sikap mawas diri. Pada awalnya, pikiran kita mungkin tidak sepenuhnya bisa menerima hasil penelitian di dua kota: Jakarta dan Yogyakarta, ini sebagai sebuah kebenaran ilmiah (baca: kebenaran berdasarkan metode dan prinsip pengambilan kesimpulan yang logis). Mindset kita sebagai umat Islam yang merasa Islam itu sebetulnya satu akan sulit menerima hasil studi yang secara gamblang ‘menelanjangi” diri saudara-saudara kita yang selama ini kita anggap hebat, berilmu, dan berjuang demi kemaslahatan ummat. Tetapi, sekali lagi, dalam membaca buku ini kita mesti semaksimal mungkin mendayagunakan akal pikiran untuk bersikap kritis dan berikhtiar menemukan kebenaran, seraya tidak pernah putus asa mohon hidayah Allah SWT agar kita tidak tersesat.
2. Studi ini berhasil menelanjangi kedok Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan HTI. Buku ini memasukkan pengikut mazhab Wahabi itu sebagai Islam Garis Keras. Islam Garis Keras dibagi dua: level Individual dan organisasional. Ada beberapa indikator “garis keras” yang dicantumkan buku INI, antara lain, memutlakkan pemahaman sendiri dalam agama, tidak toleran terhadap pandangan yang berbeda, mendesak atau mendukung pemerintah untuk melarang pihak lain yang memiliki pandangan berbeda, membenarkan aksi kekerasan terhadap mereka yang berbeda pandangan itu, menolak Pancasila sebagai dasar negara, sampai ujung-ujungnya mendirikan negara Islam (khilafah Islamiyah). Sikap “garis keras” itu bisa mereka tampakkan bisa pula mereka sembunyikan (tergantung sikon).
3. Pengikut Wahabi di Indonesia merupakan representasi Islam Garis Keras itu. Dalam buku INI dijelaskan bagaimana pengikut Wahabi menjalankan aksi-aksi yang secara umum sungguh menggerigisi. Studi ini menemukan bukti-bukti signifikan langkah-langkah pengikut Wahabi yang melakukan infiltrasi ke organisasi Muhammadiyah dan NU. Mereka pelan-pelan tapi pasti bermaksud mengubah wajah Islam moderat Muhammadiyah dan NU menjadi Islam Garis Keras. Atas temuan itu, tokoh-tokoh moderat Muhammadiyah dan NU mulai melakukan aksi pembentengan terhadap infiltrasi itu, dan menyerukan anggota2 mereka agar meningkatkan kewaspadaan terhadap gerakan Islam Garis Keras tersebut. Dalam bahasa yang dulu sempat populer, ummat disadarkan pada BAHAYA LATEN WAHABI.
4. Kewaspadaan akan Bahaya Laten Wahabi perlu ditingkatkan karena mereka melakukan infiltrasi ke berbagai segi kehidupan, terutama segi-segi yang sangat strategis. Mereka masuk lewat politik, sosial (pendidikan) dan tentu saja keagamaan. Strategi dan sistem mereka dalam melakukan infiltrasi sungguh nggerigisi, dan hasilnya sungguh dahsyat: ada anak SMP yang berani mengkafirkan ibunya hanya karena si ibu tidak mau memakai jilbab. Seluruh upaya infiltrasi itu didanai oleh Kerajaan Arab Saudi, negara yang berdiri atas dasar mazhab Wahabi.
5. Dengan membaca buku ini, kita jadi lebih mudah memahami fenomena politik Indonesia belakangan ini. Ketika Presiden SBY tidak memilih HNW sebagai cawapres, dan HNW dengan setengah gusar menuding ada pihak yang memasukkan dirinya sebagai pengikut Wahabi. Waktu itu, saya merasa aneh, mengapa takut disebut Wahabi? Setelah membaca buku ini, saya jadi mafhum, ternyata Wahabi itu memang nggerigisi, dan seluruh ummat Islam Moderat tipikal Indonesia harus meningkatkan kewaspadaan terhadap BAHAYA LATEN WAHABI.
Buku ini, hemat saya, sangat inspiratif. Buku ini selayaknya dijadikan buku pelajaran di seluruh sekolah mulai tingkat SD sampai perguruan tinggi. Anak-anak dan generasi muda kita perlu mengetahui BAHAYA LATEN WAHABI itu, namun mesti tetap memberi kebebasan mereka untuk memilih. Wahabi tidak memberi pilihan itu, tetapi Islam moderat mesti tetap memberikan kebebasan memilih dan mengakui perbedaan. Saya kira, kebebasan memilih tafsir agama dan mengakui perbedaan tafsir itu sebagai rahmat (ikhtilafu ummati rahmah, sabda Sang Nabi SAW) merupakan landasan utama dalam perilaku beragama kaum moderat. Sebab, TUHAN pun, memberikan kebebasan itu: TAK ADA PAKSAAN DALAM AGAMA!
http://politikana.com/baca/2009/05/20/awas-bahaya-laten-wahabi.html
.
08/04/2009 – 11:26
Buku Memuat Hidden Agenda PKS Beredar
Anton Aliabbas
(Inilah.com /Wirasatria)
INILAH.COM, Jakarta – Menjelang hari H pemungutan suara, situasi politik kian memanas. Bahkan, kini beredar buku yang menyebut adanya agenda terselubung yang dimiliki PKS. Walah.
Buku tersebut bertajuk “Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia.” Buku tersebut tercetak April 2009 yang diterbitkan oleh tiga lembaga yakni The Wahid Institute, Gerakan Bhinneka Tunggal Ika dan Maarif Institute.
Sederet nama beken tertulis dalam buku ini. Mantan Presiden Abdurrahman Wahid tercatat sebagai editor. Sementara prolog diberikan oleh mantan Ketua PP Muhammadiyah, Prof A Syafii Maarif. Sedangkan bagian epilog disajikan pemimpin pondok pesantren Raudlatuth Thalibin, Rembang, Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus).
Dalam buku setebal 321 halaman ini, PKS dituliskan sebagai agen kelompok garis keras Islam transnasional. Dalam melakukan kerjanya, PKS melakukan infiltrasi ke berbagai institusi yang mencakup pemerintahan dan ormas Islam antara lain Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah (halaman 23). Fakta yang mencengangkan adalah adanya fenomena rangkap anggota antara Muhamamdiyah dan kelompok yang disebut garis keras. Diduga hampir 75 persen pemimpin garis keras memiliki ikatan dengan Muhammadiyah.
Sajian data yang ditampilkan dalam buku ini tertulis merupakan hasil penelitian yang dilakukan selama 2 tahun terakhir. Penelitian sendiri dilakukan oleh dua tim. Tim pertama dituai oleh Abdurrahman Wahid yang merupakan peneliti konsultasi dan literatur. Sementara tim kedua yakni tim lapangan dikomandani oleh Prof Dr Abdul Munir Mulkhan (guru besar UIN Sunan Kalijaga).
Penelitian yang dilakukan di 24 kota/kabupaten yang tersebar di 17 provinsi dengan menerjunkan 27 peneliti lapangan. Tidak hanya itu, riset ini melibatkan 591 responden yang diambil dengan sengaja (purposive sampling) yang berasal dari 58 organisasi massa Islam. Profesi responden pun beragam, mulai dari pegawai negeri, dosen, mahasiswa, anggota DPRD hingga pimpinan parpol.
Buku ini menyebutkan aktivitas dakwah yang dilakukan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) yang kemudian melahirkan PKS menikmati dana Arab Saudi. Peneliti buku ini melasir adanya informasi PKS sedang mencari masjid-masjid yang sedang direnovasi. Dana rehab tersebut diperoleh dari Arab Saudi. Syaratnya, penduduk setempat diminta mendukung PKS dalam setiap pemilihan.
Pada bagian ahir, penelitian ini menyimpulkan gerakan Islam garis keras di Indonesia memiliki hubungan dengan gerakan Islam transnasional yang berasal dari Timur Tengah terutama Wahabi, Ikhwanul Muslimin dan Hizbut Tahrir. Tujuannya, dengan mendiskreditkan pancasila, gerakan ini berusaha melakukan formalisasi agama. Dengan menggunakan alasan degradasi moral dan ketepurukan bangsa, mereka berniat mengganti Pancasila dengan negara islam dan mengubah NKRI dengan Khilafah Internasional.
Tidak hanya itu, buku ini juga menjelaskan PKAS terkesan menempuh politik bermuka dua dengan menghembuskan isu partai terbuka pada Mukernas d Bali pada tahun 2008 silam. Untuk ke publik, PKS ingin menegaskan sebagai partai terbuka dan bervisi kebangsaan dengan menerima Pancasila dan UUD 1945. Sementara, ke konstituen, PKS menyatakan sebagai partai dakwah berasas Islam. Selain PKS, Hizbut Tahrir Indonesia juga disebutkan menjadi bagian dari gerakan Islam garis keras.
Buku ini sedianya diluncurkan pada 6 April silam oleh Gus Dur. Namun karena Gus Dur sedang sakit, peluncuran ditunda untuk waktu yang tidak terbatas.[ton]
http://www.inilah.com/berita/politik/2009/04/08/97108/buku-memuat-hidden-agenda-pks-beredar/
.
09/04/2009 – 00:36
PKS: Buku ‘Ilusi Negara Islam’ Isu Lama
Firmansyah Abde
INILAH.COM, Jakarta – PKS tidak akan menanggapi buku berjudul ‘Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia’ yang menyebutkan PKS memiliki ‘Hidden Agenda’. Isu lama itu telah terjawab dan tidak perlu dibantah.
“Saya belum membaca buku berjudul tersebut sehingga tidak bisa berkomentar terlalu banyak. Namun, bila memang menyatakan bahwa PKS memilki agenda tersembunyi, itu merupakan isu lama dan kami sudah menjawab di banyak kesempatan,” kata Ketua Fraksi PKS, Mahfudz Shidiq kepada INILAH.COM, Jakarta, Rabu (8/4).
Mahfudz menyatakan hal itu hanya tanggapan miring yang tidak objektif saja. PKS merupakan partai terbuka dan organisasi yang legal. Memiliki AD-ART yang jelas dengan tujuan dan struktur yang transparan.
“Konsep dan program yang ingin diwujudkan PKS sudah ada dalam buku, konsep tersebut juga sudah memiliki bahan-bahan resmi dan formal. Saya malah bingung, buku Ilusi Negra Islam itu merujuknya ke apa?” ungkapnya.
Diantara parpol yang ada, lanjut Mahfudz, PKS telah banyak dijadikan sebagai objek penelitian baik di dalam dan luar negeri untuk membuat riset dan penelitian bagi kepentingan akademisi. “Saya melihat perolehan suara PKS pada pemilu besok tidak akan terganggu dengan peluncuran buku ini, karena isu tersebut telah lama dijawab. Kami tidak akan membuat buku bantahan karena kehadiran buku tersebut tidak terlalu seriuslah. Kita serahkan saja kepada penulisnya,” pungkasnya. [fir/bar]
http://www.inilah.com/berita/politik/2009/04/09/97305/pks-buku-ilusi-negara-islam-isu-lama/
.
Saya simpan file buku pdf-nya di sini. Saya pun hanya men-download-nya.
KETERANGAN PERS:
Bantahan Hizbut Tahrir Indonesia Terhadap Buku Ilusi Negara Islam
Buku Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia, yang diluncurkan beberapa waktu lalu itu sebenarnya tidak layak dibaca apalagi ditanggapi. Meski diklaim sebagai karya ilmiah, dan konon merupakan hasil penelitian selama dua tahun, namun semuanya itu tidak bisa menutupi fakta, bahwa buku ini sangat tidak ilmiah dan jauh dari obyektivitas sebuah penelitian. Alih-alih bersikap obyektif, buku ini justru dipenuhi dengan ilusi, kebencian dan provokasi penyusunnya. Inilah yang mendorong kami untuk menanggapi buku ini, khususnya yang berkaitan dengan Hizbut Tahrir, sebagai berikut:
Dari aspek metodologi: Pertama, dari sisi referensi: Buku ini sama sekali tidak menggunakan referensi utama (primer), yaitu buku-buku resmi Hizbut Tahrir. Satu-satunya referensi resmi yang digunakan adalah booklet Selamatkan Indonesia dengan Syariah, itu pun tampaknya hanya dicomot judulnya. Selebihnya, pandangan dan sikap penyusun buku tersebut tentang Hizbut Tahrir didasarkan pada kesimpulan-kesimpulan yang dibangun oleh Zeno Baran dalam bukunya, Hizb ut-Tahrir: Islam’s Political Insurgency (Washington: Nixon Center, 2004) dan Ed. Husain dalam bukunya, The Islamist (London: Penguin Books, 2007). Mereka tidak tahu atau pura-pura tidak tahu, bahwa baik Zeno Baran yang berdarah Yahudi maupun Ed. Husain adalah sama-sama bukan orang yang ahli tentang Hizbut Tahrir. Ed. Husain yang diklaim sebagai salah seorang pimpinan Hizb terbukti bohong, yang memang sengaja dibangun untuk menunjukkan kredebilitas karyanya, yang sesungguhnya tidak kredibel. Dari sini saja, sebenarnya cukup untuk membuktikan, bahwa buku Ilusi Negara Islam ini sebenarnya tidak ilmiah dan jauh dari obyektivitas. Karena itu, kesimpulan-kesimpulan yang dibangun di dalamnya tidak lebih dari ilusi penyusunnya. Bahkan, buku ini juga sangat narsis, karena kebencian dan provokasi yang ditaburkan di dalamnya mulai dari awal hingga akhir. Tampak jelas, bahwa buku ini disusun dengan target, bukan sekedar untuk mengemukakan pandangan, tetapi untuk memobilisasi perlawanan. Kedua, cara menarik kongklusi: Kongklusi di dalam buku ini banyak ditarik dengan menggunakan analogi generalisasi (qiyas syumuli), sehingga menganggap semua kelompok dan organisasi yang nyata-nyata berbeda, seperti DDII, MMI, PKS dan HTI sebagai sama. Ini adalah bukti, bahwa buku ini tidak obyektif. Lebih-lebih ketika, sejak pertama kali, penyusun buku ini sudah melakukan monsterisasi terhadap Wahabi, kemudian mengeneralisasi bahwa semua organisasi Islam yang tidak sepaham denganya dicap Wahabi. Ini jelas merupakan kesalahan berpikir yang sangat fatal, dan kalau tujuannya untuk mengungkap kebenaran, maka cara-cara seperti ini tidak akan pernah menemukan kebenaran apapun. Ketiga: inkonsistensi cara berpikir: Buku ini menyerang cara berpikir literalisme tertutup, tetapi pada saat yang sama penyusun buku ini menggunakan teks hadits, dengan makna literal, dan sangat tertutup, karena tidak mau melihat nas-nas yang lain. Seperti, Umirtu an uqatila an-nas hatta yaqulu la’ilaha illa-Llah (Aku diperintahkan untuk memerangi manusia, hingga mereka menyatakan la’ilaha illa-Llah), yang kemudian ditafsirkan, bahwa ini tidak berarti boleh memerangi orang Kafir, karena tidak ada penegasan tentang keyakinan akan kerasulan Muhammad saw.
Dari aspek isi: Buku ini menawarkan: Pertama, Islam yang toleran, tapi anehnya penyusunnya sendiri dengan sangat narsis tidak toleran dengan sesama Muslim, dengan terus-menerus menyerang mereka sebagai kaum literalis tertutup, dan stigma-stigma negatif lainnya. Di sisi lain, ketika mereka sendiri tidak bisa bersikap toleran terhadap kaum Muslim, mereka malah menyerukan toleransi terhadap kaum Kafir, dengan justifikasi bahwa mereka adalah Muslim juga. Malah, ayat dan hadits yang memerintahkan untuk memerangi mereka pun harus ditafsir ulang agar sejalan dengan maksud mereka. Jadi, nalar yang dibangun dalam buku ini jelas sekali, sangat tidak konsisten. Kedua, perdamaian dan Islam yang damai, tapi penyusun buku ini justru menyulut bara api yang sudah padam, seperti sejarah kelam Khawarij dan Wahabi yang sudah dilupakan oleh kaum Muslim. Dalam kasus Wahabi, jelas sekali bahwa ini dimaksud untuk mengadudomba antara NU dan kelompok lain yang dicap Wahabi, karena generasi tua NU memiliki memori yang tidak baik terhadap Wahabi. Lalu, di mana wajah Islam damai yang mereka tawarkan? Cara-cara yang mereka lakukan ini persis seperti yang dilakukan oleh Syasy bin Qaisy, penyair Yahudi, yang mengingatkan kembali permusuhan antara suku Aus dan Khazraj dalam Perang Bu’ats. Kalau betul mereka menginginkan perdamaian, mestinya bisa bersikap seperti ‘Umar bin ‘Abdul Aziz ketika ditanya tentang Perang Shiffin, dengan tegas beliau menyatakan, “Ini adalah darah yang telah dibersihkan oleh Allah dari tanganku, maka aku tidak ingin membasahi lidahku dengannya lagi.” Ketiga, ilusi, kebencian dan provokasi: Meski konon merupakan hasil penelitian, tetapi penyusun buku ini tidak bisa membedakan antara fakta dan ilusi. Sebagai karya ilmiah, seharusnya buku tersebut jauh dari kebencian, dan apalagi provokasi yang sangat narsis. Karena itu, isi buku ini akhirnya terjebak pada kepentingan sponsornya, dan sama sekali jauh dari obyektivitas ilmiah, lazimnya sebuah karya ilmiah.
Dari aspek penyusun dan penerbitnya: Sebagaimana diakui oleh Abdurrahman Wahid, buku ini adalah hasil penelitian Lib-ForAll Foundation, sebuah LSM yang memperjuangkan terwujudkan kedamaian, kebebasan dan toleransi di seluruh dunia. Abdurrahman Wahid bersama C. Holland Taylor bertindak sebagai pendiri bersama, sementara bersama-sama KH A. Mustofa Bisri, Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif, Por. Dr. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra, Porf. Dr. Nasr Hamid Abu-Zayd, Syeikh Musa Admani, Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan, Dr. Sukardi Rinakit dan Romo Franz Magnis Suseno menjadi penasehat LSM tersebut. Mereka selama ini dikenal sebagai tokoh Liberal. Bersama sejumlah peneliti lapangan, mereka menyusun buku Ilusi Negara Islam ini, yang kemudian diterbitkan bersama oleh the Wahid Institute, Maarif Institute dan Gerakan Bhineka Tunggal Ika. Lib-ForAll Foundation sendiri bermarkas di AS, dan didirikan pasca peristiwa 11/9, dengan tujuan untuk memerangi apa yang mereka sebut Radikalisme Agama. Tokoh-tokoh Lib-ForAll Foundation di Indonesia juga mempunyai hubungan baik dengan Israel, dan sangat membela kepentingan entitas Yahudi itu. Sebaliknya, mereka selama ini dikenal bersikap sumir terhadap syariah, formalisasi syariah dan kelompok Islam yang memperjuangkan syariah.
Adapun tuduhan terhadap Hizbut Tahrir sebagai kelompok yang membahayakan Indonesia, adalah sebuah kebohongan besar. Hizbut Tahrir dengan perjuangan syariah dan Khilafah justru bertujuan untuk menyelamatkan Indonesia dari keterpurukan akibat Sekularisme, Liberalisme, Kapitalisme dan penjajahan modern di segala bidang.
Sebaliknya, Liberalisme dan Sekularisme yang selama ini mereka propagandakan itulah yang telah nyata-nyata merusak dan menghancurkan Indonesia. Atas dasar Liberalisme pula, mereka mendukung aliran sesat (Ahmadiyah, Lia Eden, dll), legalisasi aborsi, menolak larangan pornografi dan pornoaksi, mendukung penjualan aset-aset strategis. Maka, merekalah yang sesungguhnya harus diwaspadai, karena mereka menghalangi upaya penyelamatan Indonesia dengan syariah, dengan tetap mempertahankan Sekularisme dan penjajahan asing di negeri ini.
Wassalam,
Jurubicara Hizbut Tahrir Indonesia
Muhammad Ismail Yusanto
Hp: 0811119796 Email: Ismaily@telkom.net
( sumber : keterangan pers Nomor: 161/PU/E/05/09Jakarta, 25 Mei 2009 M/30 Jumadil Awwal 1430 H)
Assalamualaikum
Nuwun sewu…saya memang belum membaca buku tersebut. Sangat menarik sekali artikel di atas. Beberapa waktu yang lalu K.H. Hasyim Muzadi juga pernah mengatakan demikian, barangkali karena cara dakwah rekan-rekan HTI di Jawa Timur dianggap kurang memperhatikan “tata krama” lokal, sehingga beberapa ulama-ulama NU yang sudah rutin menjadi khotib kemudian tidak dilibatkan lagi setelah beberapa pengurus HTI menjadi pengurus masjid [1].
Namun, buku di atas perlu kita kritisi pula karena beberapa penulis yang tergabung di dalamnya dikenal memiliki track record yang terkadang kurang berpihak kepada ummat Islam (meskipun beberapa di antaranya sudah bergelar Kyai Haji). Beberapa diantaranya bahkan terang-terangan mendukung gerakan Islam Liberal (kita semua sepertinya sudah tahu bagaimana proyek Islib ini bergerak dan siapa yang mendanai mereka)
[2-5]. Bahkan di situs LibForAll sendiri mereka dengan jelas memasang logo JTA (The Global News Service for the Jewis People). Silahkan dilihat dengan mengakses link [5].
Ibarat hadits, jika perawinya saja sudah berani menipu binatang, bahkan meludah ke arah kiblat, maka hadits yang diriwayatkan oleh perawi tersebut bisa turun derajatnya bahkan dianggap batil perkataannya. Dalam sholat, jika seorang imam sholat kentut, maka sholatnya pun batal. Begitu pula artikel dalam buku tersebut, yang cenderung “politis” dan sangat tendensius. Jikalau perkataan dan perbuatan pengarang tersebut sering menyakiti ummat, bagaimana pula hasil karya ilmiahnya bisa dipercaya?
Yang kedua, agak kurang pas menyebut istilah TRANSNASIONAL. K.H. Ahmad Dahlan (pendiri Muhammadiyyah) adalah seorang ulama yang dulu pernah nyanti di Makkah. Beliau sendiri berinteraksi dengan pemikiran para pembaharu Islam, seperti Muhammad Abduh, Rasyid Ridho, bahkan Ibnu Taimiyah (yang sering menjadi rujukan kelompok-kelompok yang dianggap wahabi itu) [6].
K.H. Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama) adalah seorang ulama ahlussunnah yang belajar di Makkah pada tahun 1892 dan berguru pada Syeh Ahmad Khatib dan Syekh Mahfudh at-Tarmisi [7,8]. Bahkan K.H. Ahmad Dahlan pun sempat berguru pada Syeh Ahmad Khatib pada tahun 1903. Dengan kata lain, NU dan Muhammadiyyah ini sebenarnya masih memiliki akar yang sama. Pemikiran para tokoh itu pun sangat banyak dipengaruhi oleh ulama-ulama Timur Tengah. Dan kedua tokoh tersebut adalah para pejuang Islam sekaligus pejuang Indonesia yang sebenarnya, anti kolonialisme dan tidak pernah sudi menerima dana dari organisasi internasional hanya untuk mempopulerkan “Islam Moderat” (menurut cara pandang organisasi internasional itu). Lalu, apakah NU dan Muhammadiyyah juga termasuk ormas transnasional? Islam sendiri adalah agama transnasional, bahkan internasional. Maka, mengkhususkan istilah TRANSNASIONAL untuk ormas Islam tertentu adalah sesuatu yang bukan pada tempatnya. Dan menerbitkan buku dengan cara pandang “TRANSNASIONAL = ormas selain NU dan Muhammadiyyah” tentu tidaklah mencerminkan kebijakan berpikir seorang tokoh ummat yang seharusnya berpihak pada ummat Islam (bukan malah merusak ukhuwah Islamiyyah).
Semoga buku ini bukanlah niat yang paling tulus dari para pengarang tersebut. Semoga ukhuwah Islamiyah masih menjadi cita-cita yang besar di antara cita-cita “kelompok” atau “jama’ah” masing-masing.
Wallahu a’lam bis showab
Allahumma sholli ‘ala Muhammad
Akhmad Khamim
Jogja selatan, nyantrik di negeri liberal ^_^
NB : Mohon maaf apabila kurang berkenan. Kami hanya mengambil sari pati informasi yang ada di internet sebagai pembanding saja. Matur nuwun kepada pemilik blog pabila berkenan meloloskan komentar saya.
Referensi:
[1] http://www.swaramuslim.net/more.php?id=A5646_0_1_0_M
[2] http://islamlib.com/en/article/wahid-a-prophet-welcomed-abroad/
[3] http://www.zimbio.com/pictures/AZroWW-tEot/Amy+Pascal+Honored+Simon+Wiesenthal+Center/9MhVGfjfj0C
[4] http://abiyasa-metamorphoria.blogspot.com/2008/06/di-mana-habib-rizieq-dan-abdurrahman_09.html
[5] http://www.libforall.org/programs-global-network-may08-usa.html
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Ahmad_Dahlan
[7] http://www.tokohindonesia.com/ensiklopedi/h/hasyim-asyari/index.shtml
[8] http://id.wikipedia.org/wiki/Hasyim_Asyari
Memang background penyusun buku ini (sangat) bertolak belakang dengan organisasi yang dimaksud dalam tulisannya. Di sisi penyusun terdapat aroma liberal, sangat kebaratan, atau dengan kata lain sangat kental non-Islami. Sementara pihak tertuduh justru kental nuansa Islami. Sayangnya tidak ada penengah dalam hal ini, karena masing-masing pihak punya kepentingan terhadap pihak yang lain. Dengan demikian isi tulisan sulit diterima validitasnya dengan argumentasi yang kuat. Sementara pesan yang ingin disampaikan dalam isi tulisan juga sulit disampaikan meskipun sudah didukung dengan argumentasi yang kuat.
Bagi golongan tradisionalis, NU dan kemudian belakangan Muhammadiyah jelas gerah dengan kiprah oknum PKS yang begitu solid dan militan bergerak di masyarakat lapis bawah. Apalagi kiprah ini begitu terintegrasi unsur sosial kemasyarakatan dan agama (ibadah). Bagi oknum PKS, kegiatan ini dianggap sebagai jihad dan dakwah. Bagi lingkungan sekitar yang sudah mentradisi ala NU/Muhammadiyah, kiprah oknum tersebut dianggap sebagai mengobok2.
Persoalannya lebih kepada aspek sosial dari kiprah masing2 individu yang berkumpul dalam komunitas PKS, NU, atau Muhammadiyah. Interaksi sosial maupun individu yang bermasalah kemudian berimbas dan merambah pada aspek ideologi Islam. Bagi NU/Muhammadiyah wajar2 saja jika mereka memberikan counter-argument atas ideologi PKS. Karena selama ini juga toh PKS selalu memberikan counter-argument atas ideologi (khususnya) NU dan Muhammadiyah. Jadi perlu ada keseimbangan.
Di luar faktor sponsor Yahudi, gerakan liberal yang melatarbelakangi penulis buku, sebenarnya buku ini sedang mencoba memberikan counter-argument pada ideologi PKS. Barangkali tulisan ini dapat menolong sebagian masyarakat yang mengalami kebingungan atas fenomena dan kontradiksi ideologi Islam yang terjadi di lapangan.
Sebenarnya tulisan ini lebih pas apabila penulisnya memposisikan diri sebagai warga NU yang sekarang berhaluan Liberal dalam menyikapi kiprah oknum PKS yang tidak sedikit meresahkan masyarakat. Hanya karena keresahan ini bersifat SARA, maka pemerintah tidak mungkin campur tangan untuk mengatasinya. Jadi harus diatasi secara mandiri oleh masyarakat itu sendiri.
Karena penulis dan buku ini tidak memposisikan diri secara tepat, menyatakan diri sebagai warga negara yang peduli, tanpa melihat latar belakang agama, jam’iyah, maka sulit bagi pembaca untuk mengidentifikasi pesan2 dalam tulisan. Seperti disinggung di atas oleh Gus Khamim bahwa istilah transnasional tidak tepat. Ya mungkin karena penulisnya juga berniat untuk menuduh Muhammadiyah secara implisit.
IMHO, istilah transnasional dipopulerkan untuk klasifikasi jam’iyah yang tidak mengakar pada tradisi lokal seperti halnya NU dan Muhammadiyah (sebagai ormas terbesar). Yakni untuk menunjukkan klasifikasi PKS, HTI, dkk yang terlihat mengimpor ideologi untuk diterapkan di sini, sebagai salah satu dampak kemudahan komunikasi tanpa batas. Jadi memang klasifikasi ini tidak selalu tepat, tapi mungkin digunakan oleh penulis untuk memudahkan mencari pola atas fenomena sosial keagamaan yang belakangan terjadi.
download e-booknya di http://www.bhinnekatunggalika.org/downloads/ilusi-negara-islam.pdf
penjelasan yang menarik
salam hangat
Assalaamu’alaikum
Sekilas Tentang Istilah Wahhabi
===============================
Semoga saya diperkenankan menyumbang sedikit unek-unek wong ndeso.
Sebagai umat Islam sudah selayaknya kita mengikuti ajaran Rasulullah saw sebagai nabi kita yang mulia. Bagaimana kita bisa mengenal ajaran beliau jika tidak mau mempelajarinya dengan benar. Oleh sebab itulah kewajiban membaca dan belajar sangat ditekankan dalam Islam. Kalau kita mau mengenal bagaimana dan siapakah Muhammad bin Abdul Wahhab itu maka kita tidak akan anti pati apalagi membenci beliau ini. Seringkali orang menuduh beliau telah menyimpang dari ajaran Rasulullah saw, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Beliau adalah seorang Ulama yang sangat cinta kepada Sunnah Rasulullah saw, senantiasa memurnikan tauhid dari segala bentuk kemusyrikan dan bentuk-bentuk penyimpangan seperti ahli bid’ah yang sangat mengkhawatirkan pada waktu itu.
Fitnah demi fitnah pun terjadi dikalangan muslim dan kaum non muslim yang tidak suka akan berkembangnya ajaran Islam yang syarat dengan semangat jihad fiesabilillah. Fitnah ini pun akhirnya terdengar hingga jazirah Inggris pada waktu itu. Inggris sebagai negara kafir laknatullah memanfaatkan kekacauan ini sebagai dalih untuk memojokkan jihad Islam pada waktu itu yang sengatnya sudah semakin menipis dikalangan umat Islam. Maka dengan sigap Inggris pun ikut menentang pergerakan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut dengan menyebutnya dan para pengikutnya dengan sebutan kaum “Wahhabi”. Nah kesempatan ini pun akhirnya mendapat respon dari kaum muslimin yang terlena waktu itu untuk memerangi beliau dan pengikutnya bersama pasukan Inggris. Seharusnya kita tidak heran terhadap makar dan kebencian kaum kuffar kepada Islam selalu saja ada karena itu terjadi sebagai sunnatullah sebagai mana yang disebutkan dalam ayat AlQur’an surah Al Baqarah ayat 120 yang artinya :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Segala tuduhan bahwa Wahhabi atau Wahhabisme adalah suatu gerakan Transnasional adalah terlalu dibesar-besarkan oleh umat Islam yang tidak mau mengenalnya. Jika kita mau mengenal beliau, maka semua ajaran beliau ini adalah memurnikan Tauhid yang mana ingin menjaga kemurnian dari pada Ajaran Rasulullah saw. Maka siapa yang membenci beliau apabila telah mengetahui inti ajarannya, sama halnya membenci ajaran rasulullah saw. Karena beliau adalah ahli sunnah dan berusaha mengamalkan ajaran Al Qur’an. Seandainya kita membenci karena kebodohan kita maka semoga kita mendapat ampunan dari Allah subhanahu wata’ala.
Assalaamu’alaikum
Sekilas Tentang Istilah Wahhabi
===============================
Semoga saya diperkenankan menyumbang sedikit unek-unek wong ndeso.
Sebagai umat Islam sudah selayaknya kita mengikuti ajaran Rasulullah saw sebagai nabi kita yang mulia. Bagaimana kita bisa mengenal ajaran beliau jika tidak mau mempelajarinya dengan benar. Oleh sebab itulah kewajiban membaca dan belajar sangat ditekankan dalam Islam. Kalau kita mau mengenal bagaimana dan siapakah Muhammad bin Abdul Wahhab itu maka kita tidak akan anti pati apalagi membenci beliau ini.
Syaikh Muhammad bin `Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung `Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang.
Beliau meninggal dunia pada 29 Syawal 1206 H (1793 M) dalam usia 92 tahun, setelah mengabdikan diri selama lebih 46 tahun dalam memangku jawatan sebagai menteri penerangan Kerajaan Arab Saudi.
Seringkali orang menuduh beliau telah menyimpang dari ajaran Rasulullah saw, padahal yang terjadi adalah sebaliknya. Beliau adalah seorang Ulama yang sangat cinta kepada Sunnah Rasulullah saw, senantiasa memurnikan tauhid dari segala bentuk kemusyrikan dan bentuk-bentuk penyimpangan seperti ahli bid’ah yang sangat mengkhawatirkan pada waktu itu.
Fitnah demi fitnah pun terjadi dikalangan muslim dan kaum non muslim yang tidak suka akan berkembangnya ajaran Islam yang syarat dengan semangat jihad fiesabilillah. Fitnah ini pun akhirnya terdengar hingga jazirah Inggris pada waktu itu. Inggris sebagai negara kafir laknatullah memanfaatkan kekacauan ini sebagai dalih untuk memojokkan jihad Islam pada waktu itu yang sengatnya sudah semakin menipis dikalangan umat Islam. Maka dengan sigap Inggris pun ikut menentang pergerakan Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab tersebut dengan menyebutnya dan para pengikutnya dengan sebutan kaum “Wahhabi”. Nah kesempatan ini pun akhirnya mendapat respon dari kaum muslimin yang terlena waktu itu untuk memerangi beliau dan pengikutnya bersama pasukan Inggris. Seharusnya kita tidak heran terhadap makar dan kebencian kaum kuffar kepada Islam selalu saja ada karena itu terjadi sebagai sunnatullah sebagai mana yang disebutkan dalam ayat AlQur’an surah Al Baqarah ayat 120 yang artinya :
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti kemauan mereka setelah pengetahuan datang kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.”
Segala tuduhan bahwa Wahhabi atau Wahhabisme adalah suatu gerakan Transnasional adalah terlalu dibesar-besarkan oleh umat Islam yang tidak mau mengenalnya. Jika kita mau mengenal beliau, maka semua ajaran beliau ini adalah memurnikan Tauhid yang mana ingin menjaga kemurnian dari pada Ajaran Rasulullah saw. Maka siapa yang membenci beliau apabila telah mengetahui inti ajarannya, sama halnya membenci ajaran rasulullah saw. Karena beliau adalah ahli sunnah dan berusaha mengamalkan ajaran Al Qur’an. Seandainya kita membenci karena kebodohan kita maka semoga kita mendapat ampunan dari Allah subhanahu wata’ala.
——————————————————————————————————————–
Download Kitab Tauhid Karya Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab disini :
——————————————————————-
http://www.4shared.com/get/73018841/8f7b3484/Kitab_At_Tauhid_-_Syaikh_Muhammad_bin_Abdul_Wahhab.html;jsessionid=ECE29C48E0B6DFF8E95A522B1A1FDC43.dc90
Assalamu’alaikum Warahmatullohi Wabarokatuh,
Ini adalah co-pas dari http://www.almanhaj.or.id/content/1780/slash/0
mudah2an bermanfaat..
Pengertian Wahabi Dan Siapa Muhammad Bin Abdul Wahhab
Minggu, 5 Maret 2006 08:06:00 WIB
PENGERTIAN WAHABI DAN SIAPA MUHAMMAD BIN ADBUL WAHHAB
Oleh
Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Orang-orang biasa menuduh “wahabi ” kepada setiap orang yang melanggar tradisi, kepercayaan dan bid’ah mereka, sekalipun kepercayaan-kepercayaan mereka itu rusak, bertentangan dengan Al-Qur’anul Karim dan hadits-hadits shahih. Mereka menentang dakwah kepada tauhid dan enggan berdo’a (memohon) hanya kepada Allah semata.
Suatu kali, di depan seorang syaikh penulis membacakan hadits riwayat Ibnu Abbas yang terdapat dalam kitab Al-Arba’in An-Nawa-wiyah. Hadits itu berbunyi.
“Artinya : Jika engkau memohon maka mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepa-da Allah.” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hadits hasan shahih]
Penulis sungguh kagum terhadap keterangan Imam An-Nawawi ketika beliau mengatakan, “Kemudian jika kebutuhan yang dimintanya -menurut tradisi- di luar batas kemampuan manusia, seperti meminta hidayah (petunjuk), ilmu, kesembuhan dari sakit dan kesehatan maka hal-hal itu (mesti) memintanya hanya kepada Allah semata. Dan jika hal-hal di atas dimintanya kepada makhluk maka itu amat tercela.”
Lalu kepada syaikh tersebut penulis katakan, “Hadits ini berikut keterangannya menegaskan tidak dibolehkannya meminta pertolongan kepada selain Allah.” Ia lalu menyergah, “Malah sebaliknya, hal itu dibolehkan!”
Penulis lalu bertanya, “Apa dalil anda?” Syaikh itu ternyata marah sambil berkata dengan suara tinggi, “Sesungguhnya bibiku berkata, wahai Syaikh Sa’d![1]” dan Aku bertanya padanya, “Wahai bibiku, apakah Syaikh Sa’d dapat memberi manfaat kepadamu?” Ia menjawab, “Aku berdo’a (meminta) kepadanya, sehingga ia menyampaikannya kepada Allah, lalu Allah menyembuhkanku.”
Lalu penulis berkata, “Sesungguhnya engkau adalah seorang alim. Engkau banyak habiskan umurmu untuk membaca kitab-kitab. Tetapi sungguh mengherankan, engkau justru mengambil akidah dari bibimu yang bodoh itu.”
Ia lalu berkata, “Pola pikirmu adalah pola pikir wahabi. Engkau pergi berumrah lalu datang dengan membawa kitab-kitab wahabi.”
Padahal penulis tidak mengenal sedikitpun tentang wahabi kecuali sekedar penulis dengar dari para syaikh. Mereka berkata tentang wahabi, “Orang-orang wahabi adalah mereka yang melanggar tradisi orang kebanyakan. Mereka tidak percaya kepada para wali dan karamah-karamahnya, tidak mencintai Rasul dan berbagai tuduhan dusta lainnya.”
Jika orang-orang wahabi adalah mereka yang percaya hanya kepada pertolongan Allah semata, dan percaya yang menyembuhkan hanyalah Allah, maka aku wajib mengenal wahabi lebih jauh.”
Kemudian penulis tanyakan jama’ahnya, sehingga penulis mendapat informasi bahwa pada setiap Kamis sore mereka menyelenggarakan pertemuan untuk mengkaji pelajaran tafsir, hadits dan fiqih.
Bersama anak-anak penulis dan sebagian pemuda intelektual, penulis mendatangi majelis mereka. Kami masuk ke sebuah ruangan yang besar. Sejenak kami menanti, sampai tiada berapa lama seorang syaikh yang sudah berusia masuk ruangan. Beliau memberi salam kepada kami dan menjabat tangan semua hadirin dimulai dari sebelah kanan, beliau lalu duduk di kursi dan tak seorang pun berdiri untuknya. Penulis berkata dalam hati, “Ini adalah seorang syaikh yang tawadhu’ (rendah hati), tidak suka orang berdiri untuknya (dihormati).”
Lalu syaikh membuka pelajaran dengan ucapan,
“Artinya : Sesungguhnya segala puji adalah untuk Allah. Kepada Allah kami memuji, memohon pertolongan dan ampunan.”, dan selanjutnya hingga selesai, sebagaimana Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam biasa membuka khutbah dan pelajarannya.
Kemudian Syaikh itu memulai bicara dengan menggunakan bahasa Arab. Beliau menyampaikan hadits-hadits seraya menjelaskan derajat shahihnya dan para perawinya. Setiap kali menyebut nama Nabi, beliau mengucapkan shalawat atasnya. Di akhir pelajaran, beberapa soal tertulis diajukan kepadanya. Beliau menjawab soal-soal itu dengan dalil dari Al-Qur’anul Karim dan sunnah Nabi Shalallaahu alaihi wasalam . Beliau berdiskusi dengan hadirin dan tidak menolak setiap penanya. Di akhir pelajaran, beliau berkata, “Segala puji bagi Allah bahwa kita termasuk orang-orang Islam dan salaf.[2]. Sebagian orang menuduh kita orang-orang wahabi. Ini termasuk tanaabuzun bil alqaab (memanggil dengan panggilan-panggilan yang buruk). Allah melarang kita dari hal itu dengan firmanNya,
“Artinya : Dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.” [Al-Hujurat: 11]
Dahulu, mereka menuduh Imam Syafi’i dengan rafidhah. Beliau lalu membantah mereka dengan mengatakan, “Jika rafidah (berarti) mencintai keluarga Muhammad. Maka hendaknya jin dan manusia menyaksikan bahwa sesungguhnya aku adalah rafidhah.”
Maka, kita juga membantah orang-orang yang menuduh kita wahabi, dengan ucapan salah seorang penyair, “Jika pengikut Ahmad adalah wahabi. Maka aku berikrar bahwa sesungguhnya aku wahabi.”
Ketika pelajaran usai, kami keluar bersama-sama sebagian para pemuda. Kami benar-benar dibuat kagum oleh ilmu dan kerendahan hatinya. Bahkan aku mendengar salah seorang mereka berkata, “Inilah syaikh yang sesungguhnya!”
PENGERTIAN WAHABI
Musuh-musuh tauhid memberi gelar wahabi kepada setiap muwahhid (yang mengesakan Allah), nisbat kepada Muhammad bin Abdul Wahab, Jika mereka jujur, mestinya mereka mengatakan Muhammadi nisbat kepada namanya yaitu Muhammad. Betapapun begitu, ternyata Allah menghendaki nama wahabi sebagai nisbat kepada Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari nama-nama Allah yang paling baik (Asmaa’ul Husnaa).
Jika shufi menisbatkan namanya kepada jama’ah yang memakai shuf (kain wol) maka sesungguhnya wahabi menisbatkan diri mereka dengan Al-Wahhab (Yang Maha Pemberi), yaitu Allah yang memberikan tauhid dan meneguhkannya untuk berdakwah kepada tauhid.
MUHAMMAD BIN ABDUL WAHAB
Beliau dilahirkan di kota ‘Uyainah, Nejed pada tahun 1115 H. Hafal Al-Qur’an sebelum berusia sepuluh tahun. Belajar kepada ayahandanya tentang fiqih Hambali, belajar hadits dan tafsir kepada para syaikh dari berbagai negeri, terutama di kota Madinah. Beliau memahami tauhid dari Al-Kitab dan As-Sunnah. Perasaan beliau tersentak setelah menyaksikan apa yang terjadi di negerinya Nejed dengan negeri-negeri lainnya yang beliau kunjungi berupa kesyirikan, khurafat dan bid’ah. Demikian juga soal menyucikan dan mengkultuskan kubur, suatu hal yang bertentangan dengan ajaran Islam yang benar.
Ia mendengar banyak wanita di negerinya bertawassul dengan pohon kurma yang besar. Mereka berkata, “Wahai pohon kurma yang paling agung dan besar, aku menginginkan suami sebelum setahun ini.”
Di Hejaz, ia melihat pengkultusan kuburan para sahabat, keluarga Nabi (ahlul bait), serta kuburan Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, hal yang sesungguhnya tidak boleh dilakukan kecuali hanya kepada Allah semata.
Di Madinah, ia mendengar permohonan tolong (istighaatsah) kepada Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam, serta berdo’a (memohon) kepada selain Allah, hal yang sungguh bertentangan dengan Al-Qur’an dan sabda Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Al-Qur’an menegaskan:
“Artinya : Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfa’at dan tidak (pula) memberi madharat kepadamu selain Allah, sebab jika kamu berbuat (yang demikian) itu, sesungguhnya kamu kalau begitu termasuk orang-orang yang zhalim.” [Yunus : 106]
Zhalim dalam ayat ini berarti syirik. Suatu kali, Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam berkata kepada anak pamannya, Abdullah bin Abbas:
“Artinya : Jika engkau memohon, mohonlah kepada Allah, dan jika engkau meminta pertolongan mintalah pertolongan kepada Allah.” [Hadits Riwayat At-Tirmidzi, ia berkata hasan shahih)
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab menyeru kaumnya kepada tauhid dan berdo’a (memohon) kepada Allah semata, sebab Dialah Yang Mahakuasa dan Yang Maha Menciptakan sedangkan selainNya adalah lemah dan tak kuasa menolak bahaya dari dirinya dan dari orang lain. Adapun mahabbah (cinta kepada orang-orang shalih), adalah dengan mengikuti amal shalihnya, tidak dengan menjadikannya sebagai perantara antara manusia dengan Allah, dan juga tidak menjadikannya sebagai tempat bermohon selain daripada Allah.
[1]. Penentangan Orang-Orang Batil Terhadapnya
Para ahli bid’ah menentang keras dakwah tauhid yang dibangun oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Ini tidak mengherankan, sebab musuh-musuh tauhid telah ada sejak zaman Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam . Bahkan mereka merasa heran terhadap dakwah kepada tauhid. Allah berfirman:
“Artinya : Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” [Shaad : 5]
Musuh-musuh syaikh memulai perbuatan kejinya dengan memerangi dan menyebarluaskan berita-berita bohong tentangnya. Bahkan mereka bersekongkol untuk membunuhnya dengan maksud agar dakwahnya terputus dan tak berkelanjutan. Tetapi Allah Subhannahu wa Ta’ala menjaganya dan memberinya penolong, sehingga dakwah tauhid terbesar luas di Hejaz, dan di negara-negara Islam lainnya.
Meskipun demikian, hingga saat ini, masih ada pula sebagian manusia yang menyebarluaskan berita-berita bohong. Misalnya mereka mengatakan, dia (Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab) adalah pembuat madzhab yang kelima[3], padahal dia adalah seorang penganut madzhab Hambali. Sebagian mereka mengatakan, orang-orang wahabi tidak mencintai Rasulullah Shalallaahu alaihi wasalam serta tidak bershalawat atasnya. Mereka anti bacaan shalawat.
Padahal kenyataannya, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab –rahimahullah- telah menulis kitab “Mukhtashar Siiratur Rasuul Shalallaahu alaihi wasalam “. Kitab ini bukti sejarah atas kecintaan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Mereka mengada-adakan berbagai cerita dusta tentang Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, suatu hal yang karenanya mereka bakal dihisab pada hari Kiamat.
Seandainya mereka mau mempelajari kitab-kitab beliau dengan penuh kesadaran, niscaya mereka akan menemukan Al-Qur’an, hadits dan ucapan sahabat sebagai rujukannya.
Seseorang yang dapat dipercaya memberitahukan kepada penulis, bahwa ada salah seorang ulama yang memperingatkan dalam pengajian-pengajiannya dari ajaran wahabi. Suatu hari, salah seorang dari hadirin memberinya sebuah kitab karangan Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab. Sebelum diberikan, ia hilangkan terlebih dahulu nama pengarangnya. Ulama itu membaca kitab tersebut dan amat kagum dengan kandungannya. Setelah mengetahui siapa penulis buku yang dibaca, mulailah ia memuji Muhammad bin Abdul Wahab.
[2]. Dalam Sebuah Hadits Disebutkan:
” Artinya : Ya Allah, berilah keberkahan kepada kami di negeri Syam, dan di negeri Yaman. Mereka berkata, ‘Dan di negeri Nejed.’ Rasulullah berkata, ‘Di sana banyak terjadi berbagai kegoncangan dan fitnah, dan di sana (tempat) munculnya para pengikut setan.” [Hadits Riwayat Al-Bukhari dan Muslim]
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani dan ulama lainnya menyebutkan, yang dimaksud Nejed dalam hadits di atas adalah Nejed Iraq. Hal itu terbukti dengan banyaknya fitnah yang terjadi di sana. Kota yang juga di situ Al-Husain bin Ali Radhiyallahu anhuma dibunuh.
Hal ini berbeda dengan anggapan sebagian orang, bahwa yang dimaksud dengan Nejed adalah Hejaz, kota yang tidak pernah tampak di dalamnya fitnah sebagaimana yang terjadi di Iraq. Bahkan seba-liknya, yang tampak di Nejed Hejaz adalah tauhid, yang karenanya Allah menciptakan alam, dan karenanya pula Allah mengutus para rasul.
[3]. Sebagian Ulama Yang Adil Sesungguhnya Menyebutkan
Bahwa Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab adalah salah seorang mujaddid (pembaharu) abad dua belas Hijriyah. Mereka menulis buku-buku tentang beliau. Di antara para pengarang yang menulis buku tentang Syaikh adalah Syaikh Ali Thanthawi. Beliau menulis buku tentang “Silsilah Tokoh-tokoh Sejarah”, di antara mereka terdapat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab dan Ahmad bin ‘Irfan.
Dalam buku tersebut beliau menyebutkan, akidah tauhid sampai ke India dan negeri-negeri lainnya melalui jama’ah haji dari kaum muslimin yang terpengaruh dakwah tauhid di kota Makkah. Karena itu, kompeni Inggris yang menjajah India ketika itu, bersama-sama dengan musuh-musuh Islam memerangi akidah tauhid tersebut. Hal itu dilakukan karena mereka mengetahui bahwa akidah tauhid akan menyatukan umat Islam dalam melawan mereka.
Selanjutnya mereka mengomando kepada kaum Murtaziqah[4] agar mencemarkan nama baik dakwah kepada tauhid. Maka mereka pun menuduh setiap muwahhid yang menyeru kepada tauhid dengan kata wahabi. Kata itu mereka maksudkan sebagai padanan dari tukang bid’ah, sehingga memalingkan umat Islam dari akidah tauhid yang menyeru agar umat manusia berdo’a hanya semata-mata kepada Allah. Orang-orang bodoh itu tidak mengetahui bahwa kata wahabi adalah nisbat kepada Al-Wahhaab (yang Maha Pemberi), yaitu salah satu dari Nama-nama Allah yang paling baik (Asma’ul Husna) yang memberikan kepadanya tauhid dan menjanjikannya masuk Surga.
[Disalin dari kitab Minhajul Firqah An-Najiyah Wat Thaifah Al-Manshurah, edisi Indonesia Jalan Golongan Yang Selamat, Penulis Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Penerjemah Ainul Haris Umar Arifin Thayib, Penerbit Darul Haq]
________
Foote Note
[1]. Dia memohon pertolongan kepada Syaikh Sa’d yang dikuburkan di dalam masjidnya.
[2]. Orang-orang Salaf adalah mereka yang mengikuti jalan para Salafus Shalih. Yaitu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, para sahabat dan tabi’in
[3].Sebab yang terkenal dalam dunia Fiqih hanya ada empat madzhab, Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
[4]. Kaum Murtaziqoh yaitu orang-orang bayaran.
emang dakwah yang mulia terkadang benyak yang mengaku-aku salah satu contoh simaklah
PKS (Memang) Bukan Wahabi
Abu Al-Jauzaa’ :, 18 Mei 2009
Sengaja saya tulis singkat artikel ini pasca ditentukannya cawapres oleh bapak SBY agar tidak dianggap sebagai upaya penggembosan terhadap cawapres yang diajukan oleh Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
“PKS Bukan Wahabi, PKS Toleran”, begitulah kira-kira judul tulisan di website resmi PKS beberapa waktu lalu (lihat : http://www.pk-sejahtera.org/v2/main.php?op=isi&id=7099). Andaikata tidak ada embel-embel “Wahabi”, tidak ada hal istimewa yang membuat saya tertarik untuk membaca dan memberi komentar. Jelasnya, inilah yang dikatakan bapak Dr. Hidayat Nur Wahid (HNW)
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/pks-memang-bukan-wahabi.html
hemm…
saya rasa PKS emang BUKAN wahabi seperti yang dimaksudkan di buku “ILUSI NEGARA ISLAM”.
PKS yang “KATANYA” dapet dana dr arab saudi, harusnya klo gitu saya g susah2 nyari dana klo ngadain acara2 d wajihah dakwah yang saya tempati. tp perasaan dari dulu klo saya ngadain acara pasti bingungnya mbulet didana. dan selama saya disana saya rasa g da yang aneh2…
yuk,,
Berbuat yang terbaik dalam hidup, tak goyah oleh badai dan ujian!!!
–> Setahu saya (dari sumber di luar dari buku itu), memang ada bantuan dari Tim Teng bagi sebagian kadernya. Namun saya kira tidak semua kader medapatkannya. Dan itu bukan atas nama institusi PKS, namun adalah suatu kenyataan bahwa (sebagian) kader mendapat dana dari tanah Arab.
Makasih infonya