Kebangkitan Kaum Puritan – Sejarah Asal Usul Wahabi

Tulisan ini kami ambil dari buku “The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremist“, karya Khaled M. Abou El Fadl, seorang professor hukum islam di UCLA, AS. Dari Terjemahannya yang berjudul “Selamatkan Islam dari Muslim Puritan, terbitan Serambi. Saya ambil dari Bab 3. Sedikit saya edit dengan menambahkan sub judul dari alenia-alenia yang panjang, serta catatan kaki saya sertakan langsung di dalam tulisan agar lebih jelas diikuti.

.

ASAL-USUL KAUM WAHABI

SEJARAH ISLAM puritan seharusnya lebih tepat dimulai dari kaum Wahhabi. Bahkan setelah peristiwa 11 September 2001 dan dunia tersadar akan kekerasan yang dilakukan al-Qaeda, dampak kaum Wahhabi terhadap pemikiran Islam modern tak mungkin diukur. Kaum Wahhabi jelas-jelas telah memengaruhi setiap gerakan puritan di dunia Islam di era kontemporer. Setiap kelompok Islam yang sudah dilekati citra buruk di level internasional, seperti Taliban dan al-Qaeda, sangat kuat dipengaruhi oleh pemikiran Wahhabi.

Dimulai dari Muhammad ibn Abd al-Wahhab

Dasar-dasar teologi Wahhabi dibangun oleh seorang fanatik abad ke-18 yaitu Muhammad ibn Abd al-Wahhab (w. 1206 H./1792 M.). Gagasan utama Abd al-Wahhab adalah bahwa umat Islam telah melakukan kesalahan dengan menyimpang dari .jalan Islam yang lurus, dan.hanya dengan kembali ke satu-satuya agama yang benar mereka akan diterima dan mendapat rida dari Allah. Dengan semangat puritan, Abd al- Wahhab hendak membebaskan Islam dari semua perusakan yang diyakininya telah menggerogoti agama Islam, yang di antaranya adalah tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme, ajaran syiah, serta banyak praktik lain yang dinilainya Sebagai inovasi bidah.

Pada masa Abd al-Wahhab, modernitas telah merevolusi konsepsi manusia mengenai realitas di dunia dengan memperkenalkan konsep yang mengguncang kesadaran,yakni konsep relativitas dan subjeksitas semua pengetahuan manusia, dan juga dengan memperkenalkan empirisisme ilmiah. Modernisme juga telah menambah kompleksitas tatanan sosial dan ekonomi, sehingga masyarakat-masyarakattradisional yang berjuang untuk berkembang dan menjadi modern merasa semakin teralienasi.

Di dunia Islam, masyarakat, budaya, dan gerakan yang berbeda merespons dampak dari modernitas yang mengacaukan keseimbangan itu dengan cara yang beragam. Beberapa, seperti gerakan Kemalis di Turki, misalnya menanggapinya dengan mencoba melancarkanWesternisasi dan sebisa mungkin bergerak menjauh dari Islam. Yang lain, sembari menampik budaya Barat, mencoba mempertemukan Islam dan modernisme dengan menekankan bahwa pemikiran ilmiah dan rasional sepenuhnya sesuai dengan etika Islam. Gerakan Wahhabi merespons kekuatan modernitas yang mengacaukan keseimbangan, serta merespons situasi moral dan sosial yang rentan dan menyergapnya, dengan mencari temPat perlindungan. Dalam hal ini, perlindungan itu diperoleh dengan melekatkan diri pada teks-teks Islam tertentu untuk mendapatkan rasa kepastian dan kenyamanan. Seolah-olah paham Wahhabi melindungi dirinya dari tantangan dan ancaman modernitas dengan memaksa teks-teks keagamaan untuk menyediakan jawaban-jawaban yang definitif dan tak bisa diperdebatkan mengenai persoalan-persoalan individual maupun sosial.l

1. Beberapa penulis telah mencatat ciri literalis dan ekstremis dalam tulisan-tulisan Abd al-wahhab. Misalnya, lihat Hamid Algar, wahhabism: A critical Essay (Oneonta, NY: lslamic Publications International, 2002); Henry Bayman, The Secret of Islam: Love and Law in the Religious Ethics (Berkeley: North Atlantic Books, 2003). Baru-baru ini, sebuah karya Apologetis mencoba membela pendiri paham wahhabi ini terhadap tuduhan kekakuan, literalisme, dan ekstremisme: lihat Natana Delong-Bas, Wahhabi Islam: From Revival and Reform to global Jihad (oxford: Oxford University Press, 2004). Di sini bukan tempatnya untuk membahas penghilangan, kesalahan, dan penggambaran keliru yang sangat mencolok yang mewarnai buku ini. Akan tetapi, saya akan lalai jika tidak menyatakan ketidaksepahaman saya dengan kebanyakan apa yang tercetak dalam karya aneh ini.

Klaim Wahhabisme=ajaran Islam

Wahhabisme memperlihatkan kebencian yang luar biasa terhadap semua bentuk intelektualisme, mistisisme, dan sektarianisme di dalam Islam, dengan memandang semua itu sebagai inovasi yang menyirnpang yang telah masuk ke dalam islam karena adanya pengaruh-pengaruh dari luar Islam. Kaum Wahhabi cenderung menyikapi segala sesuatu yang tidak datang dari wilayah Arab sebagai sesuatu yang layek dicurigai, dan mereka percaya bahwa pengaruh-pengaruh non-Islam itu berasal dari bangsa seperti Persia, Turki, dan Yunani. Misalnya, kaum Wahhabi percaya bahwa sufisme adalah sesuatu yang diimpor dari Persia. Kepercayaan untuk menggunakan perantara (tnwassul) para wali dan memuja makam suci berasal dari Turki. Sementara itu, rasionalisme dan filsafat adalah pengaruh Yunani.2 Klaim Wahhabi ini terlalu menyederhanakan dan tidak akurat. Namun yang jelas, tak perlu diragukan lagi bahwa kaum Wahhabi selalu menyamakan praktik budaya kehidupan Badui yang keras dengan satu-satunya Islam yang benar.3

2. Amin al-Rihani, Tarikh Najd wa Mulhaqatih (Beirut: Dar al- Rihani, 1973), h. 35-36.

3. Hubungan antara paham Wahhabi dan kehidupan Badui sangat jelas tergambar di dalam sebuah karya seperti John Lewis Burckhardt, al-Badw wa al-Wahhabiyyah, penerjemah: Muhammad al-Asyuti (Beirut: Dar Swidan, 1995); al-Sayyid Muhammad al- Kutsayri, al-Salafyyah bayn Ahl al-Sunah wa al-‘Imamiyyah (Beirut: al-Ghadir li al-Thiba’ah, 1997), h. 509, membahas hubungan kehidupan Badui dan paham Wahhabi, dan melukiskan Wahhabisme sebagai keyakinan suku Badui.

Menurut kaum Wahhabi, kita wajib kembali kepada Islam yang dipandang murni, sederhana, dan lurus, yang diyakini dapat sepenuhnya direbut kembali dengan mengimplementasikan perintah dan contoh Nabi secara literal, dan dengan secara ketat menaati praktik ritual yang benar. Akibatnya, kaum Wahhabi menyikapi teks-teks agama—-Alquran dan Sunah¬ sebagai satu instruksi manual untuk menggapai model yang sebenarnya dari negara kota Madinah yang telah dibangun Nabi.

Andai mau kembali berpegang pada keyakinan dan prakik yang benar sebagaimana diperintahkan Tuhan, umat Islam tak akan mengalami keterbelakangan dan keterhinaan kolektif, karena umat Islam akan sekali lagi mendapatkan bantuan dan dukungan Tuhan. Wahhabisme juga menolak praktik keislaman yang sudah lama berlangsung yang memandang beragam mazhab pemikiran sebagai sama-sama bisa diterima, dan mempersempit wilayah persoalan yang dapat diperselisihkan oleh umat Islam. Ajaran keagamaan yang dipandang dapat diterima oleh kaum Wahhabi didefinisikan secara sempit. Menurut pengertian mereka yang sempit ini, praktek historis yang menerima keragaman pendapat sebagai sesuatu yang sama-sama sah dan benar merupakan salah satu penyebab terjadinya perpecahan umat Islarn dan keterbelakanganserta kelemahan umat Islam.
Pembid’ahan dan Pengkafiran

Abd al-Wahhab dan para pengikutnya kerap mengumbar ungkapan retoris terhadap para ahli hukum terkemuka abad pertengahan dan kontemporer, yang dinilainya bidah, dan bahkan memerintahkan eksekusi atau hukuman mati terhadap sejumlah besar ahli hukum yang tidak sependapat dengan mereka.4 Dalam tulisan-tulisannya, Abd al-Wahhab acap kali menyebut ahli-ahli hukum sebagai “para setan” atau “anak buah Setan” (syayathin atau a’wan al-syayathin), dan dengan demikian menyingkirkan hambatan psikologis untuk mencemarkan kenangan dan sejarah hidup para sarjana terkemuka.5

4. Pembantaian terhadap para ulama Islam oleh kaum Wahhabi digambarkan dalam karya Ibrahim al-Rawi al-Rifai, Risalat al- Awraq at-Baghdadiyyah fi at-Hawadits al-Najdiyyah (Baghdad: Mathba’at al-Najah, 1927), h. 3-4.

5. Abd al-Wahhab, “al-Risalah al-Ula,” dalam Majmu’at al-Tauhid (Damaskus: al-Maktab al-Islami, 1962), h. 34-35; Abd al- Wahhab, “Kasyf al-Syubuhat: al-Risalah al-Tsalitsah,” dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 104; juga lihat Abd al- Wahhab,”Bayan al-Najah wa al-Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah ‘Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawbid, h.356-357.

Menurut Abd al-Wahhab dan pengikutnya, tradisi hukum–kecuali sedikit ahli hukum, seperti Ibn Thaymiyyah (w. 728 H./1328 M.), yang sangat mereka hargai— sebagian besar telah merusak, dan penghormatan serta tunduk pada mazhab pemikiran yurisprudensial yang sudah mapan atau kepada para ahli hukum yang hidup di zarnan itu merupakan suatu tindakan bidah.6 Semoa ahli hukum yang bukan rermasuk literalis yang ketat-atau mereka yang dicurigai menggunakan nalar di dalam penafsiran hukum atau mereka yang sudah mengintegrasikan metode-metode analisis rasional ke dalam pendekatan penafsiran mereka–dinilai sebagai pelaku bidah.

6. Abd al-Wahhab, “al-Risalah al-Tsaniyah,” dalam Majmu’at al- Tauhid, h. 4-6; Abd al-Wahhab, “Asbab Najat al-Sul: al-Risalah Tsaminah,” dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 208-212; Abd al- Wahhab, “Bayan al-Najah wa al-Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah ‘Asyrah.” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi) dalam Majmu’at al- Tawhid, h. 382-383; Abd al-Rahman ibn Abd al-Wahhab, “Bayan al-Mahajjah: al-Risalah al-Tsalitsah ‘Asyrah, dalam Majmu’at al- Tawfuid, h. 453.

Di antara ahli hukum abad pertengahan yang secara eksplisit dipandang Wahhabi sebagai kuffar (kafir) adalah sarjana terkemuka seperti Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H./1210 M.). Hal ini mirip dengan orang Yahudi yang mengutuk Maimonides atau orang Kristen Katolik yang menuduh Thomas Aquinas sebagai orang kafir sebab kedua orang ini bersandar pada kriteria rasional dalam pemikiran mereka mengenai hukum Tuhan. Lebih jauh lagi, semua orang Syiah, tanpa terkecuali, dan semua ahli hukum yang diduga bersimpati pada Syiah juga digolongkan sebagai pelaku bidah. Konsekuensi menyebut seorang muslim sebagai pelaku bid’ah sangat besar: seorang pelaku bidah harus disikapi sebagai orang yang murtad, dan karena itu, membunuh atau mengeksekusinya dipandang sebagai sesuatu yang dapat dibenarkan secara hukum.7

7. Lihat karya yang ditulis putra Muhammad ibn Abd al-Wahhab, yang merupakan pengikut setia ayahnya, Abd al-Rahman ibn Abd al-Wahhab, “Bayan al-Mahajjah: al-Risalah al-Tsalitsah Asyrah, dalam Majmu’ al-Thawhid, h. 466-493.

Abd al-Wahhab sendiri gemar membuat daftar panjang keyakinan dan perbuatan yang dinilainya munafiq yang bila diyakini atau diamalkan akan segera mengantarkan seorang muslim berstatus kafir. Misalnya, Abd al-Wahhab berpendapat bahwa bila seorang muslim menyatakan bahwa memakan roti atau daging hukumnya haram, maka si muslim itu menjadi kafir, karena sangat jelas bahwa memakan roti dan daging sangat diperbolehkan di dalam hukum Islam. Sebagai orang kafir, si muslim tadi dapat dibunuh.8

8. Untuk satu contoh daftar yang memuat tindakan yang akan membuat seorang muslim menjadi berstatus kafir, lihat Abd al-WahhAb, “Bayan al-Najah wa al-Fakak min Muwalat al- Murtaddin wa Ahl al-Syirk: al-Risalah al-Tsaniyah Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 413-416. Lihat pula ‘Aziz al-Azmeh, Mohammed Bin Abdel-Wahhab (Beirut: Riad El-Rayyes Books, 2000), h.77-89.

Dalam ajarannya, Abd al-Wahhab terus-menerus menekankan bahwa tidak ada jalan tengah bagi seorang muslim: menjadi seorang yang benar-benar beriman atau tidak. Dan, jika seorang muslim tidak beriman, menurut standarnya, Abd al-Wahhab sedikit pun tidak cemas untuk menyatakan bahwa si muslim tersebut telah kafir dan kemudian menyikapinya seperti itu. Jika seorang muslim secara eksplisit atau implisit melakukan suatu tindakan yang memperlihatkan ketidakmurnian keimanannya kepada Tuhan atau secara implisit atau eksplisit “menyekutukan Tuhan”9 – suatu ungkapan yang dalam Islam berarti tak memercayai bahwa hanya ada satu Tuhan yang kekal dan abadi; menyekutukan Tuhan berarti menganggap Tuhan punya sekutu atau meyakini bahwa Tuhan punya sekutu yang setara — maka si muslim tersebut harus dipandang sebagai orang kafir dan dibunuh. Bagi Abd al-Wahhab, setiap kegemaran terhadap rasionalisme atau suka membuang waku dan mencari hiburan-seperti musik, seni, atau puisi nonreligius-benar-benar termasuk sebentuk penyekutuan terhadap Tuhan yang cukup serius untuk menyeret seorang muslim keluar dari bingkai Islam.

9. Dalam Islam, percaya pada ajaran Trinitas adalah satu bentuk syirik atau menyekutukan Tuhan.

Pandangan Terhadap Orang Kafir dan Muslim yang Dianggap Kafir

Abd al-Wahhab juga dengan sangat fanatik membenci kaum nonmuslim, dengan menegaskan bahwa muslim seharusnya tidak mengikuti kebiasaan dan atau berteman dengan kaum nonmuslim. Sama sekali tak penting untuk dipersoalkan bagaimana kaum nonmuslim memandang praktik kaum muslim, atau apakah kaum nonmuslim terkesan atau sependapat dengan perilaku muslim. Yang lebih penting, Abd al-Wahhab berpendapat bahwa orang kafir itu bukan hanya orang Kristen dan Yahudi, melainkan juga muslim yang,lantaran keyakinan dan tindakannya, telah (dalam dugaannya) menjadi murtad.10 Dan ini yang sangat penting, menurut Abd al-Wahhab, muslim yang murtad itu lebih buruk daripada orang Kristen dan Yahudi karena keyakinan dan perilaku bidah mereka lebih menghancurkan iman.11

10. Lihat Abd al-Wahhab, “al-Risalah al-Ula,” dalam Majmu’at al- Tawhid, h. 30-31, 68; Abd al- Wahhab, “Bayan al-Najah wa al- Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah ‘Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawhid, hlm 394, 400, 421-423, 433.

11. Lihat Abd al-Wahhab, “al-Risalah al- Ula,” dalam Majmu’at al- Tawhid, h. 30-31, 68; Abd al-Wahhab, “Bayan al-Najah wa al- Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah ‘Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawhid, hlm 394, 400, 421-423, 433. Juga lihat Abd al-Wahhab, Mu’allafat al- Syaykh al-Imam Muhammad ibn Abd al- Wahhab (Riyadh: al-Maktabah al- Su’udiyyah, tt ), jilid pertama, h. 281-310.

Abd al-Wahhab juga menandaskan bahwa peduli atau tertarik pada keyakinan atau praktik kaum nonmuslim merupakan pertanda kelemahan spiritual umat Islam. Mengikuti suatu doktrin yang dikenal sebagai al-wala’ wa al-bara’ (secara literal berarti doktrin loyalitas dan pemutusan), Abd al-WahhAb berpendapat bahwa umat Islam harus tidak bersahabat, menjalin aliansi dengan, atau meniru kaum nonmuslim atau kaum muslim pelaku bidah. Di samping itu, sikap kaum muslim dalam memusuhi dan membenci kaum nonmuslim dan muslim pelaku bidah haruslah sangat jelas dan tegas.12 Misalnya, muslim dilarang untuk terlebih dahulu memberi salam atau ucapan selamat kepada kaum nonmuslim. Dan sekalipun jika seorang muslim membalas salam, ia seharusnya tak pernah mendoakan keselamatan atau kedamaian bagi si nonmuslim tersebut. Demikian juga, muslim boleh menyampaikan ungkapan belasungkawa kepada nonmuslim, tetapi mereka tidak boleh memohonkan kepada Tuhan agar mereka dikasihi-Nya atau memohon agar Tuhan mengampuni dosa-dosanya. Muslim hanya diperkenankan mengucapkan, “Semoga Tuhan membimbingmu ke jalan yang benar” atau ”semoga Tuhan mengganti apa yang hilang pada dirimu”. Jika seorang muslimm melanggar aturan ini, ia harus diposisikan sebagaiseorang yang murtad. Konsekuensi yang sama mengerikannya bakal berlaku bila seorangmuslim menyebut kaum nonmuslim sebagai”saudara”.

12. Abd al-Wahhab, Mu’allafat al-Syaykh al-Imam Muhammad ibn Abd al-Wahhab (Riyadh: al-Maktabah a1-Su’udiyyah, tt), jilid pertama, h. 312-329.

Selain itu, kaum Wahhabi melarang penggunaan gelar penghormatan yang ditujukan untuk menghormati manusia, seperti “tuan” “doktor,” “mister,” atau “sir.” Abd al-V/ahhab mengatakan bahwa imbuhan seperti itu adalah suatu bentuk penyekutuan terhadap Tuhan. Oleh karena itu, menggunakannya cukuplah menjadikan seorang muslim berstatus kafir. Lebih penting lagi, menurut Abd al-Wahhab, imbuhan dan label itu merupakan tindakan yang meniru-niru perilaku orang Barat yang kafir dan karenanya harus dihukum, sebab mereka yang meniru orang kafir kemudian berstatus kafir pula. Demikian pula, turut serta dalam perayaan, berlibur, pesta, dan acara sosial apa pun yang pada mulanya ditemukan oleh kaum nonmuslim cukup menjadikan seorang muslim berstatus kafir.l3

13. Muhammad ibn Abd al-Wahhab, “Awtsaq al-‘Ura: al-Risalah al-Sadisah,” dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 171.

Abd al-Wahhab mendukung suatu sistem keyakinan yang tertutup, lengkap dan mampu mencukupi kebutuhannya sendiri, sehingga ia tak pupya alasan untuk terlibat atau berinteraksi dengan yang lain, kecuali dengan posisi mendominasi. Hal ini terutama penting karena orientasi Abd al-V/ahhab pada dasarnya tidak berbeda dari pendekatan yang diambil oleh kelompok-kelompok muslim puritan menyangkut tidak relevannya nilai-nilai moral universal dalam hubungannya dengan misi Islam. Pemisahan dan isolasionisme moral ini, yang jelas tampak dalam tulisan Abd al-Wahhab, kemudian banyak direproduksi oleh ideolog-ideolog gerakan puritan berikutnya. Misalnya, Sayyid Quthb, salah satu ideolog puritan paling berpengaruh, berpendapat bahwa pada pertengahan abad ke-20 dunia, termasuk dunia Islam, sedang hidup dalam masa jahiliyyah (masa kegelapan dan kebodohan yang biasanya dirujukkan pada era pra-Islam). Sebagaimana Abd al-Wahhab, Quthb mendukung sistem isolasionisme intelektual yang tertutup dan berpendapat bahwa umat Islam tak seharusnya berinteraksi dengan nonmuslim kecuali dari posisi supremasi.14

14. Lihat Sayyid Qutb, Milestones on the Road (Bloomington, IN: American Trust Publications, 1991); Ahmad S. Mousalli, Radical Islamic Fundamentalism: The Ideological and Political Discourse of Sayyid Qutb (Syracuse: Syracuse University Press, 1993).

Kebencian Terhadap Turki Utsmani

Ironi sesungguhnya adalah bahwa di dalam semangat Abdal-Wahhab untuk menjaga kemurnian Islam tertanam suatu etnosentrisme pro-Arab yang seutuhnya bertentangan dengan semangat universal Islam. Seperti dalam gerakan-gerakan puritan berikutnya, ada satu tujuan politik dan nasionalistik yang kuat dalam pemikiran Abd al-Wahhnb–sebuah tujuan yang didorong dan disembunyikan di balik ungkapan bahasa zgema. Musuh Abd al-Wahhab yang senantiasa dibencinya bukanlah orang Kristen atau Yahudi, melainkan Turki ‘Utsmani. Abd al-Wahhab mengutuk Turki ‘UtsmAni sebagaikelompok yang telah mencemarkan Islam, dan ia melukiskan mereka sebagai kelompok yang secara moral sama dengan banpa Mongol, yang sebelumnya pernah menyerang wilayah muslim dan kemudian masuk Islam. Namun, seperti bangsa Mongol, pemimpin Tirrki masuk Islam hanya dalam nama saja, seperti kata Abd al-Y/ahhib. Tentunya, menurutnya, Turki ‘Utsmani adalah musuh utama Islam karena mereka menggerogoti agama dari dalam sembari berpura-pura menjadi muslim sejati. Abd al-Wahhab mengpmbarkan Dinasti Utsmani sebagai al-daulah al-kufriyyah (bangsa kafir) dan menyatakan bahwa mendukung atau berafiliasi dengan ‘Utsmani adalah sama berdosanya dengan mendukung beraliansi dengan orang Kristen atau Yahudi.15

15. Abd al-Wahhab, “Bayan al-Najah wa al-Fakak: al-Risalah al- Tsaniyah ‘Asyrah,” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 358-368, 375, 412.

Abd al-Wahhab keliru mengenai Turki ‘Utsmani: mereka tidak seperti bangsa Mongol yang menghancurkan dunia Islam pada abad ke-12, membunuh ratusan ribu orang dan memusnahkan manuskrip-manuskrip Islam yang tak terbilang jumlahnya. Imperium ‘Utsmani telah membangun salah satu kekhalifahan terkuat dan sudah sangat lama menjadi pembela iman Islam. Bahkan sebelum khalifah ‘Utsmani, Turki sudah menjadi etnik penting dalam mozaik beragam etnik yang mernbentuk llrrpcrium lslam. Memang benar bahwa pada pcriode terakhir ‘Utsmani, para khalifah ‘Utsmani telah memberlakukan sistem pajak yang korup dan tidak efisien yang didasarkan pada konsesi khusus dan patronase, dan sekali waktu mereka sangat represif dan eksploitatif Namun di dalam tulisan mereka, Abd al-Wahhab dan para pengikutnya tidak memprotes kebijakan-kebijakan ini, dan dengan begitu kebencian mereka kepada ‘Utsmdni tampaknya tidak didorong oleh sikap prinsipil menentang ketidakadilan ‘Utsmani. Sebaliknya, Abd al-Wahhab, sebagian, terpengaruhi oleh keyakinan etnosentris lama bahwa hanya bangsa Arab yang sanggup merepresentasikan satu-satunya Islam sejati dan autentik.l6

16. Misalnya, hal ini tampak jelas dalam sejarah resmi Saudi mengenai gerakan Wahhabi, Munir al-‘Ujlani, Tarikh al-Bilad al- ‘Arabiyyah al-Su’udiyyah-salinan yang ada pada saya tidak memberikan keterangan penerbit atau tempat dan tanggal publikasi.

Akan tetapi, faktor lain yang menjelaskan kebencian Abd al-Wahhab kepada Dinasti ‘Utsmani adalah bahwa ia merespons usaha-usaha Inggris pada abad ke-18 untuk menghancurkan khalifah ’Utsmnni dengan menyulur api etnisitas lokal, termasuk yang berupa nasionalisme Arab.17 Menariknya, beda halnya dengan nasionalis Arab nonsekuler lainnya, Abd al-Wahhab tidak menyokong dibentuknya kekhalifahan Arab sebagai ganti dari kekhalifahan’Utsmani. Namun, Abd al-Wahhab tidak tertarik pada teori politik atau praktik politik sebagaimana ia tertarik pada budaya Arab murni, yang dalam pikiran Abd al-Wahhab tak bisa dibedakan dari Islam sejati. Akan tetapi Abd al-wahhab tidak menyadari atau mengakui bahwa ia telah mengaburkan budaya Arab-lebih tepatnya budaya Badui Arab dengan ajaran universal Islam. Sebenarnya, Abd al-‘Wahhab mendeklarasikan bentuk budaya Badui sebagai satu-satunya Islam sejati dan kemudian menguniversalkannya dengan menjadikannya sebagai sesuatu yang wajib diikuti oleh semua umat Islam.

17. Al-Rihani, Tarikh Najd, h. 229-243. Hamid Algar, Wahhabism, h. 37-40, berpendapat bahwa klaim bahwa kalangan Wahhabi terilhami oleh nasionalisme Arab itu ketinggalan zaman. Saya tidak sependapat karena jelas bahwa nasionalisme Arab sedang bangkit-bangkitnya pada abad ke-19.

Inkonsistensi Wahhabi Terhadap Kolonial Inggris

Semua ini menunjuk pada satu fakta yang sudah diabaikan oleh banyak pemerhati kontemporer: Wahhabisme pada abad ke-18 tclah diwarnai oleh inkonsistensi ideologis yang hingga saat ini belum bisa didamaikan atau dipecahkan.18 Jadi, misalnya, sementara mengutuk semua praktik budaya dan menandaskan kepatuhan secara ketat pada Islam, kenyataannya Wahhabisme justru merupakan bangunan budayanya sendiriyaitu, budaya Badui dari wilayah Najd di Semenanjung Arab (bagian dari Arab Saudi saat ini).19 Sementara bersikeras bahwa hanya ada satu Islam sejati, sesungguhnya Wahhabisme menguniversalkan budayanya sendiri dan menyatakan-nya sebagai satu-satunya Islam sejati. Sementara terus-menerus mengutuk pengaruh kaum nonmuslim dan menolak setiap bentuk kerja sama dengan Barat, kenyataannya kaum Wahhabi didorong dan didukung oleh kaum kolonial Inggris untuk memerangi imperium ‘Utsmani, yang intinya berarti bahwa kaum Wahhabi berdampingan dengan orang Inggris yang nonmuslim untuk menentang musuhnya yaitu ‘Utsmani yang muslim. Selain itu, sementara mengutuk semua bentuk nasionalisme sebagai temuan Barat yang jahat, sesungguhnya Wahhabisme justru merupakan gerakan nasionalistik pro-Arab yang menolak dominasi Tirrki atas bangsa Arab dengan dalih membela satu bentuk Islam yang benar. Menyangkut hal yang sangat mendasar, sementara kaum Wahhabi abad ke-18 menerima buday.a Badui Najd dan menguniversalkannya ke dalam ldam, kaum Wahhabi kini menerima budaya Arab Saudi dan menguniversalkannya dengan menyebutnya sebagai satu-satunya Islam yang benar.

18. Beberapa sarjana Syiah telah mencatat inkonsistensi paham Wahhabi dan menulis buku-buku tentang topik ini; tetapi sangat sedikit sarjana Suni yang sudah melakukan hal yang sama. Satu contoh yang paling tersohor adalah Muhammad al-Ghazali dalam karyanya al-Sunah al-Nabawiyyah Bayn Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits (Kairo: Dar al-Syuruq, 1989). Dalam buku ini, al-Ghazali, seorang ahli hukum Mesir terkemuka, berbicara tentang bentuk Badui islam yang menyamar untuk kemudian mengaku sebagai satu-satunya bentuk Islam sejati dan mengancam akan mengambil-alih dunia Islam. Untuk alasan-alasan politik, al-Ghazali tidak secara eksplisit menyebut Islam Wahhabi. Kritik al-Ghazali dibahas lebih detail dalam bagian akhir bab ini.

19. Pengaruh budaya Badui dari wilayah Najd terhadap paham Wahhabi sangat tampak jelas dalam sebuah teks pro-Wahhabi seperti karya Rasyid Ridha (editor), Majmu’at al-Hadits al-Najdiyyah (Qatar: Mathabi’ al-‘Urubah, 1963). Lihat juga Mohamed Al-Freih, “Historical Background of the Emergence of Muhammad Ibn Abd al-Wahhab and His Movement” (disertasi Ph.D., University of California di Los Angeles, 1990), tentang watak kesukuan Arabia dan persaingan antara Hijaz dan Najd, dan peran Abd al-Wahhib dalam persaingan ini; lihat khususnya h. 350.

Sebuah Inkonsistensi Dalam Menerapkan Hukum Islam

Ketergantungan kultural Wahhabisme mengingkari klaimnya akan literalisme tekstual. Kenyataan bahwa Wahhabisme mengekspresikan konteks dan pemahaman budaya yang spesifik dan sempit tidak sejalan dengan klaimnya bahwa keyakinan dan hukum-hukumnya didasarkan pada pembacaan literal atas teks-teks Islam. Kenyataannya, Abd al-Wahhab dan para pengikutnya menafsirkan teks-teks yang sudah terseleksi demi mendukung gagasan-gagasan yang terbentuk sebelumnya mengenai sejumlah isu. Pembacaan selektif atas bukti tekstual ini sangat dibantu oleh fakta bahwa kaum Wahhabi telah membebaskan diri rncrcka dari peran besar khazanah hukum Islam. Bukannya beradu argumen dengan berbagai interpretasi yang telah dibuat di masa lalu, dengan cara demikian kaum Wahhabi akan lebih mudah membaca sumber-sumber Islam demi mendukung pemahaman dan bias budaya mereka sendiri. Berbagai preseden hukum yang tidak mendukung sikap kaum Wahhabi benar-benar dicampakkan, dan generasi ahli hukum masa silam yang tidak memiliki kesamaan pemahaman dalam persoalan-persoalan keislaman dengan Abd al-Wahhab digolongkan sebagai pelaku bidah.

Abd al-Wahhab menegaskan, misalnya, bahwa umat Islam yang melakukan perbuatan syirik harus ditentang dan dibunuh, dan ia menafsirkan preseden yang dilakukan oleh khalifah pertama di Madinah,20 Abfr Bakr (w. 13 H – 634 M.), demi mendukung argumen bahwa sekalipun orang mengakui dirinya sebagai muslim, mereka bisa, dan seharusnya, dibunuh karena telah berstatus munafik. Abd al-Wahhab mengklaim bahwa Abu Bakr memerangi dan membunuh begitu banyak orang munafik meskipun mereka mengerjakan lima rukun Islam. Dengan berpendapat bahwa para pengikutnya dibenarkan untuk membunuh musuh yang juga muslim, ia berpendirian bahwa Turki ‘Utsmani. sekutu mereka, dan semua umat Islam yang melakukan syirik dan menjadi munafik sesungguhnya adelah kaum kafir yang layak dibunuh.

20. Dalam Suni Islam, ungkapan “Khulafa’ al-Risyidun” merujuk pada empat Sahabat yang memimpin umat Islam sesudah meninggalnya Nabi Muhammad. Secara berurutan mereka adalah: Abu Bakr (w 13 H./634 M.), ‘Umar ibn al-Khaththab (w 23 H./644 M.), ‘Utsman ibn ‘Affan (w. 35 H/656 M.), dan ‘Ali ibn Abi Thalib (w. 40 H/661 M.). Selain itu, banyak muslim yang memandang khalifah Umayyah,’Umar ibn Abd al-Aziz (w 101 H/720 M.) sebagai khalifah kelima, meskipun dia bukan sahabat Nabi. Para pemimpin ini disebut “al-Rasyidun” sebagai ungkapan penghargaan dan penghormatan mendalam terhadap mereka. Muslim Suni percaya bahwa empat khalifah ini sanggup membangun sebuah sisrem politik yang adil dan berkesederajatan yang mirip dengan sistem politik yang dibangun Nabi di Madinah.

Abd al-‘Wahhab juga gemar mengutip kejadian ketika Abu Bakr diriwayatkan telah membakar orang-orang yarrg disebut munafik hingga mati, dan ia menggunakan apa yang diklaim sebagai preseden ini untuk berargumen bahwa para pendukungnya dibenarkan menyiksa lawan-lawan mereka.21 Jelaslah bahwa preseden ini diragukan kebenarannya meski begitu dikenal, dan hampir semua sarjana muslim menolak dengan memandangnya sebagai suatu kisah fiktif belaka. Kepcrcayaan Abd al-Wahhab atas laporan sejarah yang ganjil ini memiliki pengaruh yang cukup penting. Hal itu dengan gamblang memperlihatkan keinginannya untuk memilih preseden dari tradisi Islam yang mendukung perilaku kejam dan tak manusiawi preseden yang oleh para sarjana dan ahli hukum di masa lalu telah betul-betul ditentang keras dan didekonstruksi.

21. Lihat Abd al-Wahhab, “al*Risilah al-Ula,” dalam Majmu’at al Tawhid, h. 36, 70-72; Abd al-Wahhab, “Kasyf al-Syubuhat: al Risalah al-Tsalitsah,” dalam Majmu’at al-Tawhid, h. 117-118; ‘Abd al-Wahhab, “Bayan al-Najah wa al-Fakak: al-Risalah al-Tsaniyah Asyrah” (dihimpun oleh Hamad al-Najdi), dalam Majmu’at al Tawhid, h. 403-409. Argumen serupa oleh Abd al-Wahhab dihimpun dalam Husayn Ghannam, Tarikh Najd (Riyadh: Mathabi’ al-Shafahat al Dzahabiyyah, 1381), h. 40-43.

Sebagai misal, banyak sarjana di bidang tradisi Islam yang mengkaji apa yang diklaim sebagai preseden Abu Bakr itu sampai pada kesimpulan bahwa klaim bahwa Abu Bakr menyalahkan orang munafik yang menjalankan lima rukun Islam dan memerangi mereka adalah tak berdasar dan tak memiliki bukti yang mendukung. Selain itu, penggunaan api atau pembakaran baik terhadap kaum muslim atau nonmuslim yang menjadi musuh sangat dikutuk dalam hukum Islam klasik. Banyak sarjana klasik dengan penuh hati-hati mencatat bahwa laporan tentang Abu Bakr yang menggunakan metode pembakaran terhadap kaum muslim yang menjadi musuh direkayasa oleh lawan-lawan Abu Bakr dan dituturkan oleh orang yang sangat layak dicurigei.22 Para sarjana klasik ini tak hanya menentang autentisitas dan kejujuran penuturan sejarah mengenai insiden Abu Bakr ini, mereka juga berpendapat bahwa preseden yang menceritakan tentang kekejaman itu bertentangan dengan etika Al quran dan ajaran Nabi.

22. Tentang peristiwa Abu Bakr dan asal-usul sejarahnya, lihat Abou El Fadl, Rebellion and Violence in Islam Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2001), h. 34-61.

Abd al-Wahhab menolak menolak kumpulan literatur yang tidak membenarkan preseden itu dalam usahanya untuk membenarkan pembunuhan dan penganiayaan terhadap orang-orang yang ia pandang sebagai muslim bidah, dan para muridnya memeluk dan mengesahkan preseden kejam ini.23 Dengan mengesampingkan dan kadang kala memandang warisan klasik berikut penafsirannya sebagai sesuatu yang buruk, Abd al-Wahhab mendapatkan akses mulus ke preseden yang membenarkan kekejaman. Ia merasa tak terbebani dengan tantangan yang disodorkan Para sarjana di masa lalu. Abd al- Wahhab sanggup memasukkan kembali preseden-preseden kekejaman ini ke dalam inti teologi dan hukum Islam, dan dengan begitu ia rnenemukan kembali Islam berdasarkan sebentuk imoralitas baru.

23. Di antara perbuatan kejam yang dilakukan oleh orang-orang Wahhabi adalah membunuh anak-anak muslim yang mereka pandang kafir. Lihat al-Rifa’i, Risalat al-Awraq al-Baghdadiyyah, h. 3.

Alasan mengapa semua ini sangat krusial adalah bahwa ekstremis muslim seperti Bin Laden dan Omar Abd al-Rahman mengikuti Abd al-Wahhab dengan bersandar pada preseden kekejaman yang sama persis sebagai suatu cara untuk menjustifikasi pembunuhan terhadap orang-orang tak bersalah. Sesungguhnya, sangat mengejutkan bahwa preseden yang dibela Abd al-wahhab itu sendiri ternyata dikutip di berbagai website yang ditayangkan oleh kelompok-kelompok yang membunuh sandera di Irak. Tidak semuanya mengejutkan bahwa semua ekstremis ini kelihatan sekali terpengaruh secara langsung oleh tulisan Abd al-Wahhab dan oleh upaya tak tahu malu yang dilakukannya untuk membela kredibilitas laporan sejarah yang menjustifikasi pembunuhan dan kekejaman itu.

Penolakan Sulayman ibn Abd al- Wahhab dan Ulama se-zaman

Menilik sikap kalangan’Wahhabi yang mencampakkan sejarah dan hukum Islam dan seluruh tradisi klasik, tidaklah mengherankan bahwa gerakan tersebut menuai kritik pedas dari sangat banyak sarjana kontemporer-terutama sekali kakak Abd al-Wahhab sendiri, Sulayman, dan kabarnya juga ayah Abd al-Wahhab. Sulayman, saudara Muhammad ibn Abd al- Wahhab, menulis satu risalah yang didedikasikan untuk mengkritisi sikap, pendidikan, dan ajaran-ajaran saudaranya yang puritan. Seorang mufti berrnazhab Hanbali di Mekah, Ibn Humaydi (w. 1295 H./1.878 M.), sosok terkemuka dan pemegang otoritas kala itu, menceritakan bahwa ayah Muhammad ibn Abd al-‘Wahhab kesal dengan anaknya karena Muhammad ibn Abd al-Wahhab ternyata bukanlah murid yang baik di bidang yurisprudensi Islam dan dengan arogan menantang guru-gurunya. Sebenarnya, Abd al-Wahhab muda tidak merryelesaikan studinya di bidang Syariat, dan tak begitu jelas apakah dia putus sekolah atau dikeluarkan. Ibn Humaydi menyatakan, karena takut akan kemarahan ayahnya, Muhammad ibn Abd al-Wahhab tidak berani mulai mengajarkan ajaran-ajarannya yang puritan hingga sesudah kematian ayahnya.24

24. Muhammad ibn Abd Allah ibn Humaydi al-Najdi, al-Suhub al Wabilah ‘ala Dara’ih al-Hanabilah (Beirut: Makabat al-Imam Ahmad, 1989), h. 275. Penegasan serupa dibuat oleh al-Sayyid Ahmad ibn Zaini Dahlan, Khulashat al-Kalam fi Bayan ‘Umara’ al-Balad al-Haram (Kairo: Makabat al-Kulliyyat al-Azhariyyah, 1977), h. 229-230.

Secara keseluruhan, kritik yang ditujukan kepada Abd al- Wahhab beserta para pengikutnya oleh mereka yeng sezarrran dengan Abd al-Wahhab dan pengikutnya tidaklah terlalu mengagetkan. Orang-orang Wahhabi dikritik lanraran sangat kurang menghargai sejarah Islam, monumen-monumen bersejarah, tempat keramat dan pusaka peninggalan, tradisi intelektual Islam, atau penghargaan terhadap jiwa kaum muslim.25 Saudara Abd al-Wahhab, juga kritikus lain, menyatakan bahwa Abd al-Wahhab itu orang yang kurang terdidik dan intoleran yang dengan bodoh dan arogan menghina setiap pemikiran atau orang yang berbeda pendapat dengannya.26 Sulayman mengeluhkan bahwa selain mengandung unsur-unsur fanatik yang paling ekstrem, pandangan-pandangan saudaranya itu tidak memiliki preseden atau contoh di dalam sejarah Islam. Misalnya, tegas Sulayman, mayoritas sarjana Islam menghindarkan diri dari menyalahkan kaum rasionalis dan mistikus yang dipandang sebagai pelaku bidah, dan memilih berdebat dengan mereka secara damai.27

25. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h. 60-61, 120. Ibn Humaydi melaporkan cerita-cerita mengenai sejumlah ahli hukum yang dibunuh oleh para pengikut Abd al- Wahhab; lihat Ibn Humaydi, al-Suhub al-Wabilah, h. 276-280, 402,405.

26. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h. 9, 34-35. Dawud al-Musawi al-Baghdadi, Kitab Ashad al-Jihad fi Ibthal Da’wat al-Ijtihad (Kairo: al-Babi al-Halabi, t.t.), h. 40-41, menggambarkan Abd al-Wahhab sebagai orang yang kurang berpendidikan yang mengizinkan orang bodoh untuk mengajar tentang hukum Islam. Tentang pendidikan Muhammad ibn Abd al-Wahhab, lihat Michael Cook, “On the Origins of Wahhabism,” Journal of the Royal ,Asiatic Society 3, No. 2 (1992).

27. Lihat, untuk mendukung argumennya bahwa tindakan Abd al- Wahhab tidak ada presedennya, Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h. 21, 25, 30-32, 38.

Abd al-Wahhab, berdasarkan risalah saudaranya itu, tidak mengarahkan dirinya untuk membaca atau memahami karya-karya para pendahulu di bidang yurisprudensi. Namun, meski Abd al-Wahhab melecehkan karya banyak ahli hukum, ia memperlakukan ujaran sejumlah ulama, seperti ahli hukum bermazhab Hanbali-Ibn Taymiyyah (w. 728 H./1,328 M.), seolah-olah ujaran itu terwahyukan dari Tuhan, tidak boleh dipertanyakan atau didebat. Tetapi kemudian, Abd al- Wahhab sangat selektif terhadap karya Ibn Taymiyyah, dengan hanya mengutip ape yang disukainya dan membuang bagian yang lain. Lebih penting untuk dicatat, Ibn Humaydi, yang juga pengagum Ibn Thaymiyyah, mengulang tudingan serupa pada Abd al-Wahhab.28

28. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al Illahiyyah, h. 16, 72; Ibn Humaydi, al-Suhub al-Wabilah, h. 275.

Sulayman dan para sarjana lainnya mencatat ironi dalam fakta bahwa Abd al-Wahhab dan para pengikutnya, meskipun melarang taqlid (meniru atau mengikuti para ahli hukum pendahulu), pada akhirnya menegaskan dan bahkan memerintahkan taqlid, namun dalam bentuk yang berbeda. Mereka melarang praktik taqlid sejauh terkait dengan ahli hukum yang tidak disukainya, namun meminta umat Islam mengikuti pemikiran Wahhabi secara buta dan tidak kritis-sebuah standar ganda yang dikritisi habis-habisan oleh Sulayman. Intinya, kata Sulayman, orang-orang wahhabi bertindak seolah-olah satu-satunya ukuran komitmen terhadap Islam adalah mengikuti dan menaati mereka, sebab bila seorang muslim tidak sejalan dengan mereka, mereka menganggap muslim tersebut sebagai orang yang melakukan bidah per se.29 Tentunya, orang-orang wahhabi biasa menyebut diri mereka al-Muslimun (muslim) atau al-Muwahhidun (monoteis), yeng mengisyaratkan bahwa mereka yang tak menerima keyakinan mereka bukanlah termasuk muslim dan monoteis.30

29. Terhadap orang-orang Wahhabi, Sulayman mengatakan: “Wa taj’alun mizan kufr al-nashsh mukhalafatakum wa mizan al-lslam muwafaqatakum” (“Orang yang tak sependapat dengan kalian [orang-orang Wahhabi] disebut kafir, sedang mereka yang bersepakat dengan kalian dipandang muslim.”). Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawaiq al-Illahiyyah, h. 54; lihat juga h. 14, 42.

30. Al-‘Ujlani, Tarikh al-Bilad al-Arabiyyah al- Su’udiyyah, jilid pertama, bagian 2, h. 279-281.

Pendek kata, Sulayman menegaskan bahwa metodologi Wahhabi didasarkan atas cita rasa despotisme: seluruh tradisi intelektual Islam diabaikan begitu saja dan kaum muslim diberi pilihan untuk menerima interpretasi ganjil kaum Wahhabi atas Islam atau didakwa kafir dan dibunuh. Dan memang, pada saat mereka menaklukkan Semenanjung Arab pada abad ke- 18, setiap kali kaum wahhabi menaklukkan sebuah kota, mereka meminta penduduk muslim setempat untuk mengulang syahadat, namun saat ini, para penduduk di sana juga harus mengucapkan syahadat sembari bersumpah akan mengikuti keyakinan dan praktik Wahhabi. Para penduduk yang tak mau menyatakan komitmen kepada Islam sebagaimana dipahami dan ditafsirkan oleh Wahhabi dipandang berstatus kafir dan akan dibunuh dengan pedang.31 Sumber-sumber kesejarahan melukiskan heboh pembantaian besar-besaran yang dilakukan militer Wahhabi pada abad ke-18 di seluruh Arabia.32

31. Dahlan, Khulashat al-Kalam, h. 230. Prakik ini dengan gamblang dan menyedihkan tergambar di dalam sebuah surat yang ditandatangani pada 1792 oleh sekelompok ahli hukum Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali yang dikirim kepada penguasa ‘Utsmani yang memohon bantuan untuk melawan kekejaman kelompok Wahhabi. Surat itu direproduksi sebagai yang pertama dari dua dokumen sejarah dalam al-‘Ujlani, TArikh at-Bilad al- Arabiyyah al-Su’udiyyah, jilid pertama, bagian 2, huruf “dzal” hingga “ghin.”

32. Lihat risalah oleh mufti Mekah pada waku itu, Ahmad ibn Zaini Dahlan, al-Dawlat al-‘Utsmaniyyah min Kitab al-Futuhat al- Islamiyyah (Istanbul: Hakikat Kitabevi, 1986), jilid kedua, h. 229-240. Untuk deskripsi mengenai kekejaman itu, lihat juga Algar, Wahhabism, h. 24-26.

Di dalam risalahnya itu Sulayman berpendapat bahwa orang-orang Wahhabi pada akhirnya bersikap seolah-olah mereka sendiri, setelah Islam melintasi sejarah selama berabad-abad, telah menemukan kebenaran tentang Islam dan merasa diri mereka sempurna. Sulayman mencatat bahwa dari sudut teologis, klaim ini sangat berbahaya. Mustahil umat Islam teperdaya dan salah memahami dan mengamalkan agama mereka untuk jangka waktu berabad-abad, dan kemudian menemukan kebenaran hanya sesudah Muhammad ibn Abd al- Wahhab dilahirkan di muka bumi. Sulayman menegaskan bahwa implikasi klaim seperti ini sangat mengancam iman umat Islam.33 Ia sangat berhati-hati untuk mencatat bahwa tindakan menuduh seorang muslim berstatus kafir adalah dosa besar di dalam Islam, dan bahkan Ibn Thaymiyyah, ulama yang dikagumi Abd al-Wahhab, melarang praktik takfir (menuduh muslim sebagai kafir).34 Untuk membuktikan pendapatnya, Sulayman memungkasi risalahnya dengan menyitir 52 hadis, yang dinisbahkan pada Nabi dan sebagian pada Sahabat Nabi, tentang dosa menuduh seorang muslim sebagai kafir atau musyrik.35

33. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h. 17-19, 62-64, 70-77, 74-75,  80-82,  92,  100-102,  110-112. Untuk pandangan Rasyid Ridha tentang keunggulan tiga abad pertama Islam, lihat Muhammad Rasyid Ridha, Majallat al-Manar (Mansura, Mesir: Dar al-Wafa’, 1327), edisi 28, h. 502-504 (selanjutnya Ridha, al-Manar). Penilaian Ridha terhadap keunggulan tiga abad pertama itu sama dengan penilaian Abd al- Wahhab.

34. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h., 48-49.

35. Sulayman ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al-Illahiyyah, h., 121-142.

Saya sudah memfokuskan diri pada risalah Sulayman yang mengkritisi saudaranya dan gerakan Wahhabi, karena memang teks tersebut secara historis bernilai penting. Tidak mengherankan, risalah Sulayman dilarang oleh Arab Saudi, dan memang sudah ada upaya besar-besaran yang dilakukan di negara itu dan di lain tempat untuk mengubur risalah tersebut. Kini, karya penting itu tidak lagi dikenal di dunia Islam dan sangat sulit didapat. Saya harus berjuang keras untuk menemukannya. Bahkan di Mesir pun juga sulit. Tapi buku itu menyajikan satu gambaran kontekstual yang sangat kuat ihwal kelahiran gerakan puritan yang kelak memainkan peran penting pada abad ke-20 dan setelahnya. Gerakan Wahhabi akan menorehkan pengaruh kuat dalam menentukan keyakinan dan teologi semua gerakan puritan berikutnya., namun risalah Sulayman memperlihatkan bahwa banyak keyakinan dan praktik Wahhabisme dipandang sebagai suatu penyimpangan dan perusakan terhadap Islam arus utama.36 Islam puritan adalah satu penyimpangan yang dipandang sebagai sesuatu yang marginal di hadapan arus utama, dan beberapa ahli hukum, termasuk Sulayman, yakin bahwa Wahhabi akan menjadi fenomena yang berumur pendek.

36. John Lewis Burckhardt, al-Badw wa al-Wahhabiyyah, penerjemah: Muhammad al-Asyuti (Beirut: Dar Swidan, 1995), h. 250.

Sikap Para Ulama abad 12 -13 H

Para ahli hukum lain juga memberikan perhatian besar mengenai potensi bahaya yang dimunculkan Wahhabisme terhadap integritas etika Islam. Sulayrman ibn Suhaym (w. 1175H./1761 M.), ahli hukum bermazhab Hanbali dari Najd dan mantan pendukung Abd al-Wahhab, menulis risalah yang saat itu berpengaruh yang meminta para ahli hukum Islam untuk menyikapi ancaman Wahhabi secara serius dan mengambil tindakan aktif untuk menghadangnya.37

37. Risalah itu direproduksi dalam Husayn Ghannam, Rawdhat al- Afkar wa al-Afham Li Murtad Hal al-Imam wa Ti’dad Ghazawat Dzwi al- lslam (Riyadh: al-Maktabah al-Ahlilyah, 1949), jilid pertama, h. 111-113.

Beberapa ahli hukum arus utama yang menulis pada periode ini, seperti ulama bermazhab Hanafi, Ibn ‘Abidin (w. 1253 H./1,837 M.)’ dan ahli hukum bermazhab Maliki, al-Shawi (w. 1241’H./1825 M.), menggambarkan kaum Wahhabi sebagai kelompok fanatik, dan karena praktik kaum Wahhabi yang suka menumpahkan darah, ia menyebut mereka “Khawarij Islam modem”.38

38. Muhammad Amin Ibn Abidin, Hasyiyat Radd al-Mukhtar (Kairo: Mushthafa al-Babi, 1966), jilid keenam, h. 413; Ahmad al- Shawi, Hasyiyat al-Allamah al-Shawi ‘ala Tafsir al-Jalalayn (Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi, t.t.), jilid ketiga, h. 307-308. Lihat juga Ahmad Dallal, “The Origins and Objectives of Islamic Revivalist Thought, 1750-1850,” Journal of the American Oriental Society 113, No. 3 (1993), h. 341-359; al-Rihani, Tarikh Najd, h. 43-44. Tuduhan serupa, sebagai Khawarij Islam modern, dibuat dalam Sulaymnn ibn Abd al-Wahhab, al-Shawa’iq al- Illahiyyah, h. 10,28,50-51; Yusuf ibn Ahmad al-Dijjawi, “Tawhid al-Uluhiyyah wa Tawhid al-Rububiyyah,” Nurr al-Islam (juga dikenal sebagai Majallat al-Azhar: The Azhar University Journal) 1, No. 4 (1933), h. 320,329; al-Sayyid Muhammad al-Kutsayri, al-Salafiyyah bayn Ahl al-Sunah wa al-‘Imamiyyah (Beirut: al- Ghadir li al-Thiba’ah, 1997), h. 345-452.

Khawarij adalah sekte keras dan fanatik yang’muncul di Semenanjung Arab pada awal Islam namun pada akhirnya lemah dan terpinggirkan. Seperti kelompok’Wahhabi, Khawarij memandang semua umat Islam, kecuali mereka, sebagai kaum kafir; dan seperti kelompok ‘Wahhabi, mereka juga membunuh sangat banyak umat Islam di Arabia. Khawarij bahkan membunuh Ali, yang tak lain adalah menantu Nabi yang dihormati dan khalifah keempat. Lama kelamaan, karena kebencian tiada henti dan kritik terhadap para ahli hukum klasik dan kampanye beruntun oleh banyak negara muslim, Khawarij dipaksa untuk berubah atau punah. Sekarang, kelompok sempalan baru yang lahir dari Khawarij asli adalah sebuah sekte yang dikenal sebagai Ibadhiyyah, yang hidup di Oman dan beberapa bagian Aljazair. Hukum dan teologi Ibadhiyyah tidak lagi seperti yang dimiliki pendahulu mereka yang fanatik. Pada kenyataannya, Ibadhiyyah ditekan untuk memoderatkan pandangan mereka dan menjadi jauh lebih dekat dengan muslim arus utama. Akan tetapi, sayangnya, prediksi banyak ahli hukum bahwa Wahhabisme niscaya bakal bernasib seperti Khawarij ternyata meleset.

Kesederhanaan, ketegasan, dan absolutisme pemikiran keagamaan Abd al-Wahhab menjadikannya menarik bagi suku-suku di gurun pasir, khususnya di wilayah Najd. Ketika itu, Najd di negara Saudi termasuk wilayah yang paling tribal, kurang berkembang, dan dihuni oleh kelompok masyarakat yang kurang beragam. Akan tetapi, pada akhirnya, ide-ide Abd al-Wahhab terlampau radikal dan ekstrem untuk meraup pengaruh luas di dunia Arab, apalagi di seluruh dunia Islam. Para sarjana kontemporer sudah menegaskan relatif marginalnya pemikiran ekstremis Wahhabi pada abad ke-18 dan ke-19, dan telah menunjukkan bahwa pemikiran revivalis moderat seperti Muhammad al-Syawkani (w. 1250 H./7834 M.) dan Ali Jahl al-Shan’ani (w. 1225 H./1810 M.) cukup berbeda dengan pemikiran V/ahhabi, dan jauh lebih berpengaruh pada waktu itu.39

39. Lihat Dallal, “The Origins and Objectives of Islamic Revivalist Thought, 1750-1850,” h. 341-359.

Aliansi Dengan Al- Saud

Cukup mungkin bahwa ide-ide Abd al-Wahhab tidak akan meluas, bahkan di Arab, andai saja pada akhir abad ke-19 keluarga Al Sa’ud tidak menggabungkan diri dengan gerakan Wahhabi dan berperang melawan kekuasaan Dinasti ‘Utsmani di Semenanjung Arab. Dengan memadukan semangat keagamaan dan nasionalisne Arab yang kuat, pemberontakan itu sangat besar dampaknya, hingga mencapai Damaskus di utara dan Oman di Selatan. Balatentara Mesir di bawah kepemimpinan Muhammad Ali pada 1818, sesudah beberapa kali ekspedisi yang gegal, berhasil memadamkan pemberontakan itu, dan Wahhabisme, seperti gerakan ekstremis lain dalam sejarah Islam, tampaknya menemui jalan kepunahannya.40 Tetapi ternyata tidak demikian.

40. D. Van der Meulen, The Wells of lbn Sa’ud (London: Kegan Paul International Publications, 2000), h. 35-36.

Aliansi Al Saud/W’ahhabi sejak 1745 hingga 1818 dikenal sebagai negera Saudi pertama, yang berakhir tatkala militer Mesir dan Turki menghancurkan kota al-Dir’iyyah, ibu kota kerajaan Saudi pertama, dan membantai penduduknya. Pembunuhan massal ini benar-benar membekas dalam memori kaum Wahhabi dan membakar semangat mereka dengan menjadikan sebagai simbol penderitaan dan pengorbanan mereka.

Ideologi Wahhabi dihidupkan kembali sekali lagi pada awal abad ke-20 di bawah kepemimpinan Abd al-‘Aziz ibn al-Saud (memerintah 1319-1373 H-/1902-1953 M.), pendiri negara Saudi modern, yang menganut teologi puritan kaum Wahhabi dan menggabungkan dirinya dengan suku-suku Najd. Inilah yang menjadi cikal-bakal negara Arab Saudi. Pemberontakan Wahhabi pertama di Semenanjung Arab pada abad ke-18 bertujuan menggulingkan kendali ‘Utsmani dan memperkuat jenis Islam puritannya Abd al-Wahhab ke dunia Arab, sebanyakbanyaknya. Kaum Wahhabi juga berupaya mengontrol Mekah dan Madinah, dan dengan melakukan itu, mendapatkan kemenangan simbolis yang besar dengan mengendalikan pusat spiritual dunia Islam.41

41. Al-Freih, “Historical Background,” h. 339-351.

Meskipun pemberontakan pada abad ke-18 digagalkan, pemberontakan pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 melahirkan satu situasi yang sangat berbeda. Dari abad ke-17 hingga awal abad ke 20, Semenanjung Arab merupakan masyarakat yang sangat tribal dengan sejumlah besar keluarga terkemuka yarrg saling bersaing berebut dominasi dri antara yang lain. Namun wilayah Hijaz di Arab, berbeda dengan wilayah Najd, secara kultural sangatlah beragam; semua bentuk kebiasaan dan orientasi teologis ada di sana, membentuk suatu mozaik kompleks keyakinan dan praktik. Bahkan dalam bidang yurisprudensi, di Mekah dan Madinah, yang berada di Hijaz, terdapat sekolah hukum dan hakim bermazhab Syafi i, Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Juga ada perkumpulan sufi dan ahli hukum Syiah, terlepas dari populasi Syiah yang sangat besar di bagian-bagian lain di Hijaz. Ibadah haji tiap tahun ke Mekah tampak laksana satu festival dari beragam praktik dan ritual yang mencerminkan keragaman dunia Islam itu sendiri, yang kesemuanya terakomodasi dan dihormati oleh penguasa ‘Utsmani. Keragaman keyakinan, teologi, ritual, dan praktik merupakan kutukan bagi kaum Wahhabi, dan salah satu tujuan yang dinyatakan mereka adalah menjadikan semua pengunjung tempat-tempat suci itu untuk beribadah sesuai dengan satu versi ritual, yang mereka pandang sebagai satu-satunya praktik keimanan yang benar.

Aliansi TriTunggal, Al Saud – Wahhabi – Inggris

Sebuah tritunggal telah terbentuk dan hendak mengubah wajah Semenanjung Arab untuk selanjutnya, dan mungkin juga negara-negara muslim. Tri tunggal ini terdiri atas keluarga Al Sa’ud, kaum Wahhabi, dan Inggris. Keluarga Al Sa’ud ingin mengalahkan semua pesaing lain dan menguasai Arabia. Kelompok Wahhabi ingin memperkuat citra puritan Islam di seluruh Arab. Inggris menginginkan pemerintahan kuat di Arabia yang kelak dapat melayani kepentingan-kepentingan Inggris dengan memberikan konsesi eksklusif pertambangan minyak kepada perusahaan-perusahaan Ingris. Inggris juga ingin memperlemah Dinasti ‘Utsmani dengan menjauhkan Mekah dan Madinah dari kendali mereka. Untuk mencapai tujuannya, dengan agak oportunis, Inggris tidak hanya mendukung keluarga Al Sa’ud; mulanya Ingris mendukung beberapa keluarga kuat secara bersamaan, seperti keluarga Rasyidi, Banu Khalid, dan Al Sa’ud, yang ke semuanya berebut dominasi atas Semenanjung Arab.42

42. Tentang kisah keterlibatan Inggris di Arabia dan dukungan Inggris terhadap Al Sa’ud, lihat Efram Karsh dan Inari Karsh, Empires of Sand: The Strugle for Mastery in the Middle East, 1789-1923 (Cambridge, MA: Harvard LJniversity Press, 1999), khususnya h. l7l-198.

Hubungan antara Al Sa’ud dan wahhabi bisa dirunut dari tahun 1744, tatkala Muhammad Ibn Sa’ud (w. 1762), penguasa al-Dir’iyyah, sebuah kota kecil di Najd, memberi perlindungan dan sebuah basis teritorial kepada Abd al-wahhab, ketika para ahli hukum Najd memprotes keras Abd al-wahhab lantaran tindakan fanatik dan tindakan-tindakannya yang tak berlandasan. Dengan menggabungkan diri bersama kaum Wahhabi, keluarga Al Sa’ud memperoleh kekuatan perang yang penuh semangat dan ideolog yang memberinya keuntungan yang nyata atas keluarga-keluarga lain untuk membantu mempersembahkan kemenangan dan kekuasaan buat Inggris. Al Sa’ud menyediakan dukungan finansial kepada kelompok Wahhabi dan, lewat koneksi Inggris mereka, persenjataan yang memang sangat dibutuhkan. Pada gilirannya, sesudah menaklukkan teritori dan menempatkan Al Sa’ud sebagai penguasa politik yang sah, kaum wahhabi berharap keluarga Al Sa’ud memberi mereka kendali bebas atas semua urusan agama. Dengan hasil kerja sama ini, pada abad ke-20 akhirnya Al Sa’ud mendapatkan perhatian penuh dari Inggris, yang menggunakan seluruh kekuatannya untuk mendukung keluarga Al Sa’ud sebagai penguasa sah wilayah yang kemudian menjadi Arab Saudi.43

43. Tentang aliansi intim antara Al Sa’ud dan Inggris, lihat Algar, Wahhabism, h. 37-45; James Wynbrandt, A Brief History of Saudi Arabia (New York Checkmark Books, 2004), h. 176-193; dan Nasir al-Faraj, Qiyam al-Arsy al-Su’udi: Dirasah Tarikhiyyah li al-‘ Illaqat al- Su’udiyyah al-Britaniyyah (London: al-Safa Publisher, t.t.).

Meskipun aliansi antara Al Sa’ud dan Inggris, sebuah aliansi muslim/nonmuslim, tidak konsisten dengan ajaran Wahhabi, penting kiranya disadari bahwa menurut Al Sa’ud dan wahhabi, aliansi mereka tidak termotivasi oleh dorongan praktis dan kemudahan, melainkan oleh kesamaan motivasi ideologis yang sungguh-sungguh dan keyakinan yang tulus. Mengikuti pandangan ini, Al Sa’ud beralih ke paham Wahhabi, dan kedua kekuatan itu membentuk satu perpaduan (tak) suci yang terus berlanjut hingga kini. Apakah karena kemudahan atau keyakinan, ikatan antara Al Sa’ud dan Wahhabi mcnjadi sangar kuat.44 Nyatanya, orang-orang Wahhabi menghancurkan semua keragaman yeng pernah eksis di wilayah Hijaz, khususnya di Mekah, Madinah, dan Jeddah, dan mereka memaksa semua orang Arab untuk tunduk pada kekuasaan Al Sa’ud.45

44. Gerald de Gaury Rulers of Mecca (London: Harrap, 1951), 275. Penulis buku ini berpendapat bahwa aliansi Ibn Sa’ud dengan orang-orang Wahhabi ditempa lantaran keyakinan.

45. Tentang perusakan keragaman intelekual di dua kota suci itu, lihat Algar, Wahhabism, h. 44.

Penting untuk dicatat bahwa pada berbagai tahap yang mengantar pada berdirinya Kerajaan Arab Saudi pada 1932- negara Saudi pertama yang gagal (1745-1818), negara kedua yang juga gagal (kira-kira dari 7824 hingga 7891), atau yang ketiga, negara yang berhasil bertahan (dimulai pada 1902 dan berlanjut hingga l932) – keluarga Al Sa’ud dan W’ahhabi telah meninggalkan jejak intoleransi, kebencian, dan fanatisme yang luar biasa, yang berujung pada berbagai aksi kekerasan, pembantaian, dan tindakan kejam. Warisan tak manusiawi ini menjadi bagian dari masa silam yang akan terus membayangi negara Saudi serta membentuk sensibilitas etis terhadap tipe Islam yang diajarkan Wahhabi dan disebarluaskan ke seluruh dunia Islam. Daftar dosa Saudi-Wahhabi yang berupa aksi intoleran dan tindakan kejam tentunya sangat panjang. Misalnya, berbagai pemberonrakan Wahhabi pada abad ke-19 dan ke-20 telah sangat banyak menumpahkan darah, karena orang-orang Wahhabi tanpa pandang bulu membantai kaum muslim, terutama mereka yang masuk dalam perkumpulan sufi dan sekte Syiah. Pada 1802, umpamanya, tentara Wahhabi membantai penduduk Karbala yang menganut Syiah,46 dan pada 1803, 1804, dan 1806, Wahhabi mengeksekusi sangat banyak orang Suni di Mekah dan Madinah, yeng mereka pandang, untuk satu atau lain alasan, sebagai pelaku bidah.47 Jumlah mereka yang dieksekusi dan dibantai oleh aliansi Saudi-Wahhabi tak pernah bisa dihitung. Namun dari catatan sejarah jelaslah bahwa jumlahnya berada dalam kisaran puluhan ribu, jika tidak lebih. Pada saat penaklukan tahap kedua di Semenanjung Arab, misalnya, atas perintah al Sa’ud, Wahhabi mengeksekusi rnassal 40.000 orang dan mengarnputasi 350.000 orang. 48

46. Tentang tindakan brutal yang dilakukan di Karbala, lihat Algar, Wahhabism, h. 24.

47. Tentang deskripsi yang menyayat hati mengenai brutalitas wahhabi yang dilakukan di Karbala dan tempat-tempat lain, lihat al-Sayyid Muhammad al-Kutsayri, al-Salafiyyah bayn Ahl al-Sunah wa al- ‘Imamiyyah (Beirut: al- Ghadir li al- Thiba’ah, 1997), h. 327-339.

48. Ahmad ibn Zini Dahlan, Futuhat al-Islamiyyah ba’d Mudiy al- Futuhat al-Nabawiyyah (Beirut: Dar Shadir, 1997), jilid kedua, h. 234-245. Algar, Wahhabism, h. 42; Van der Muelen, The Wells of Ibn Sa’ud, h. 33-34; Geoff Simons, Saudi Arabia: The Shape of a Client Feudalism (Palgrave, UK: Macmillan, I998), h. 151-173. Untuk survei historis tentang hal ini dan peristiwa-peristiwa sesudah itu, lihat Joseph Kostiner, The Making of saudi Arabia: From chieftaincy to Monarchical State (Oxford: Oxford University Press, 1993), h. 62-70, 100-117; Joseph A. Kechichian, Succession in Saudi Arabia (New York Palgrave Press, 2001), h. 161-168; Richard Harlakenden Sanger, The Arabian Peninsula (Freeport, NY: Books for Libraries press, 1954), h. 27-35.

Pada 1912, Raja Abd al-‘Aziz, dari keluarga Al Sa’ud membentuk kekuatan militer yang dikenal dengan sebutan Ikhwan, yang terdiri atas orang-orang fanatik dari Najd yang sangat berkomitmen untuk membela pemikiran Abd al- Wahhab. Kekuatan perang Ikhwan disusun dengan tujuan yang jelas, yaitu menguasai Semenanjung Arab, menundukkan semua pesaing yang berebut kekuasaan, dan membangun negara Islam yang didirikan berdasarkan ajaran keagamaan Abd al-wahhab. Ikhwan memainkan peran efektif dalam membangun dan memperluas kendali raja. Namun pada akhirnya mereka tak puas dengan apa yang mereka lihat sebagai liberalisme dan keinginan Raja untuk bekerja sama dengan kaum nonmuslim-dalam hal ini Inggris. Sesungguhnya, Abd al-‘Aziz dipaksa untuk memetik pelajaran yang dengan sangat menyakitkan berulang lagi beberapa dekade berikutnya lewat pengalaman pemerintah Saudi dengan al-Qaeda: amuk fanatisme tidak bisa dengan mudah dikontrol atau dimanipulasi oleh pemerintahan apapun. Abd al-Aziz telah memberi kesempatan bebas untuk kelompok Ikhwan dalam membantai umat Islam di Arab, khususnya di Hijaz dan Yaman. Akan tetapi, berakar pada ekstremisme, Ikhwan tidak bahagia dengan instruksi Abd al-‘Aziz yang membolehkan digunakannya temuan modern seperti telegraf, telegram, mobil, dan pesawat udara di dalam teritori yang berada di bawah kontrol Saudi. Lebih buruk lagi, Ikhwan mulai melakukan eksekusi dan pembantaian di Irak dan di daerah lain yang kini menjadi wilayah Yordania. Mereka menegaskan hak mereka untuk terus menyebarkan paham Wahhabi tanpa menghiraukan batas-batas teritorial yang ditentukan Ingris. Pada saat itu, wilayah tersebut berada di bawah pendudukan Inggris, dan pembantaian yang dilakukan kelompok Ikhwan itu sangat mempermalukan pemerintah Inggris karena pembarrtaian itu rnenimpa para penduduk yang secara hukumn wajib dilindungi Inggris. Selain itu, pada saat serangan dilancarkan, Ikhwan juga bentrok dengan dan membunuh tentara Inggris. Pada 1915, Raja ‘Abd al Aziz telah menandatangani sebuah pakta ”persahabatan dan kerja sama” dengan Inggris, dan ia menerima tunjangan hidup bulanan yang sangat besar dari pemerintah Inggris yang tak bisa ia cegah.

Ikhwan juga mulai memiliki kebiasaan menyerang dan menghukum jamaah haji yang datang dari seluruh negara muslim ke Mekah karena menjalankan apa yang menurut Wahhabi dipandang sebagai ritual yang tidak islami. Dalam banyak kasus, Ikhwan mencambuk dan bahkan mengeksekusi jamaah haji yang melakukan ritual yang bertentangan dengan pemahaman Wahhabi mengenai hukum Islam, sekalipun menurut mazhab pemikiran lain ritual tersebut dinilai sangat sah. Tidak mengejutkan, dalam konteks ‘Abd al-‘Aziz yang bekerja keras untuk memperkuat aliansi politik yang mengokohkannya di hadapan musuh-musuhnya di Semenanjung Arab, tindakan Ikhwan ini menyebabkan krisis diplomatik, tidak hanya dengan Inggris, melainkan juga dengan negara-negara muslim lainnya.

Penghancuran Tempat-Tempat Bersejarah

Raja Abd al-‘Aziz coba mencegah Ikhwan dari merebut wilayah yang berada di bawah kekuasaan Inggris, dan juga coba mengendalikan Ikhwan dari mencampuri urusan jamaah haji. Namun Ikhwan merasa tersakiti oleh apa yang mereka lihat sebagai kemauan Raja Abd al-‘Lziz untuk berkompromi dengan para pelaku bidah dan praktik jahat mereka. Akibatnya, Ikhwan memberontak melawan Raja pada 1929. Namun, dengan bantuan Inggris yang menggunakan kekuatan udara untuk membantai mereka, Abd al-Aziz mengalahkan dan membubarkan kelompok tentara Ikhwan.49 Selayaknyalah Inggris memberi ganjaran atas loyalitas mereka dengan menaikkan tunjangan Raja Abd al-Aziz dan menganugerahinya suatu gelar kekesatriaan pada l935,50 (ia dianugerahi gelar kesatria Ordo Bath, Ordo Bath adalah sekumpulan orang yang mendapatkan gelar kehormatan “Sir’/Dame” karena prestasi mereka-peny’). Walaupun kelompok Ikhwan sudah dibubarkan, tidak berarti keluarga Sa’ud meninggalkan paham Wahhabi. Ini sungguh sangat mustahil. Antara wahhabisme dan Al Sa’ud telah terjalin hubungan yang saling membutuhkan; yang satu tak bisa eksis tanpa yang lain. Pada waktu itu, kaum Wahhabi melayani negara atau mereka yang memegang tampuk kekuasaan, sebagaimana negara atau pemegang kekuasaan melayani kaum Wahhabi.

49. Van der Muelen, The Wells of Ibn Sa’ud, h. 65-68; Kostiner, The Making of Saudi Arabia, h. 117-140; Wynbrandt, Saudi Arabia, h. 184-186.

50. Algar, Wahhabism, h. 39.

Di wilayah-wilayah yang jatuh ke dalam kekuasaan mereka, kaum wahhabi memperkenalkan praktik yang secara luar biasa memperluas kekuasaan intrusif negara kepada para pelaksana hukum yang mendefinisikan aturan dan tata perilaku secara sempit, yang menurut mereka dipandang sebagai satu-satunya Islam yang benar. Hubungan arrtara keluarga Al Sa’ud dan Wahhabi berlangsung dengan baik, lebih dari sekadar hubungan pragmatis dan saling memberi dukungan. Saudi dan Wahhabi menemukan satu model untuk menjawab persoalan tentang bagaimana negara Islam seharusnya bertindak di dunia modern.Menurut model ini, yang kemudian sangat berpengaruh di kalangan muslim puritan, kekuasaan intrusif negara yang baru sungguh-sungguh membatasi kebebasan individu dan memaksa orang yang menentang untuk menaati tata perilaku yang sangat spesifik-semuanya dilakukan dengan alasan untuk memperkuat hukum Tuhan. Alih-alih negara merangkul dan menoleransi praktik agama dan budaya yeng berbeda, seperti terjadi di Mekah dan Madinah pada masa ‘Utsmani, misalnya, negera memberangus semua bentuk pluralisme agama dan memaksakan ortodoksi yang kaku. Dalam model Saudi, negara mencipta dan memperkuat apa yang pada akhirnya disebut unit polisi agama: unit polisi agama ini memainkan peran ganda, yaitu memaksakan ortodoksi kaku yang didukung negara dan menghancurkan semua wujud keragaman atau perbedaan pendapat. Tanpa kecuali, tindakan Wahhabi dilakukan dengan dalih untuk memperkuat hukum Tuhan. Kenyataannya, tindakan mereka itu hanya menguatkan pandangan mereka yang sangat sempit dan ganjil tentang hukum Islam yang sangat berbeda dengan keyakinan dan praktik kaum muslim yang hingga sekarang masih tetap bertahan. Misalnya, Wahhabi secara berkala memberi hukuman cambuk kepada para penghuni wilayah yang ada di bawah kekuasaan mereka karena mendengarkan musik, mencukur janggutnya, memakai sutra atau emas (ini berlaku hanya untuk laki-laki), merokok, bermain dadu, catur, atau kartu, atau tak mematuhi aturan ketat menyangkut pemisahan jenis kelamin. Dan, mereka menghancurkan semua tempat keramat dan banyak monumen bersejarah Islam yang didirikan di Semenanjung Arab.51

51. Simons, Saudi Arabia, h. 152-159; Kostiner, The Making of Saudi Arabia, h. 119; Van der Meulen, The Wells of Ibn Sa’ud, h. 62-113.

Praktik perusakan batu nisan keluarga Nabi dan para Sahabat yang dilakukan kaum Wahhabi menyebabkan trauma dan kontroversi besar-besaran di dunia Islam.52 Seperti perusakan patung-patung Buddha yang dilakukan Taliban di Afghanistan, perusakan nisan keluarga Nabi dan para Sahabat di Mekah, Madinah, dan Jubila belum pernah terjadi sebelumnya dalam perjalanan sejarah Islam. Batu nisan ini dipelihara dan dimuliakan oleh umat Islam selama ribuan tahun dan beberapa tempat pemakaman itu menjadi tempat keramat, yang dikunjungi jutaan umat Islam selama berabad-abad.53

52. Algar, Wahhabism, h. 43. Untuk catatan detail tentang penghancuran tempat-tempat bersejarah oleh kaum Wahhabi, lihat, Yusuf al- Hajiri, al-Baqi’ Qisat Tadmir Al Sa’ud li al-Atsar al- Islamiyyah bi al- Hijaz (Beirut: Mu’assassat al-Baqi’, 1990). John Lewis Burckhard, al-Badu’ wa al- Wahhabiyyah, penerjemah: Muhammad al-Asyuti (Beirut: Dir Swidan, 1995), h. 244-250; al-Sayyid Muhammad al-Kutsayri, al-Salafiyyah bayn Ahl al-Sunah wa al-Imamiyyah (Beirut: al-Ghadir li al-Thiba’ah, 7997), h. 331.

53. Algar, Wahhabism, h., 25- 28.

Dalam tindakan lain yang belum pernah terjadi sebelumnya yang melukai perasaan banyak muslim, Muhammad ibn Abd al-Wahhab menebang pohon (yang dikenal sebagai Syajarat al-Dzib) di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Wadi Hanifa dekat Jubila-sebuah pohon yang berusia lebih dari seribu tahun dan memiliki arti sejarah yang penting.54 Perusakan yang tak beralasan terhadap tempat-tempat bersejarah ini semuanya dilakukan demi melindungi islam dari ancaman teradopsinya kernbali praktik-praktik kaum pagan.

54. Al-Rihani, Tarikh Najd, h. 38-39.

Mereka juga memperkenalkan praktik yang menurut catatan sejarah pertama kali dilakukan, yaitu mengecek kehadiran warga pada waktu salat: mereka menyiapkan daftar warga kota dan memanggili nama-nama mereka setiap salat lima waktu di masjid; siapa yang absen tanpa alasan yang dapat diterima, ia akan dicambuk.55

55. John Lewis Burckhardt, al-Badw wa al-Wahhabiyyah, penerjemah: Muhammad al-Asyuti (Beirut: Dir Swidan, 1995), h.244.

Peran Strategis Sebagai Penguasa Mekah dan Madinah

Dengan menjadi penjaga Mekah dan Madinah, kaum Wahhabi secara unik mengambil posisi untuk memaksakan versi ortodoksi mereka terhadap jamaah haji dari seluruh dunia. Sebagai indikasi dari popularitas-ajaran, Wahhabi yang terbatas pada tahap perkembangannya, praktik keras tak kenal kompromi kaum Wafthabi pada musim haji menyebabkan beberapa benturan dengan jamaah haji dari Afrika dan Asia Tengara. Pada 1926, misalnya kebencian kaum Wahhabi pada semua bentuk instrumen musik melahirkan kemelut arrtera Mesir dan Arab Saudi, ketika prajurit Mesir yang memikul tandu seremonial untuk membunyikan terompet pada waktu haji diserang dan diganggu, dan alat musik mereka dihancurkan. Kemelut ini berakhir ketika Raja Abd al Aziz membuat pernyataan yang mendamaikan kepada pemerintah Mesir, tetapi baru pada tahun-tahun belakangan ini saja orang Mesir bisa menjalankan acara tahunan mereka dengan meniup terompet dan musik. Kaum Wahhabi juga melarang semua bentuk nyanyian dan tarian sufi di Mekah dan Madinah, dan akhirnya di semua bagian Arab Saudi.56

56. Lihat, tentang peristiwa ini dan yang lain, Michael Cook, Commanding Right and Forbidding Wrong in Islamic Thaught (Cambridge: Cambridge University Press, 1997), h. 180-191; Van der Meulen, The Wells of Ibn Sa’ud, h. 104-113. Dilaporkan, media massa Mesir dengan sungguh-sungguh mengkritisi kalangan Wahhabi atas insiden ini, lihat Ridha, al-Manar, edisi 27, h. 463-468.

Salah satu tindakan yang dilakukan Abd al- Wahhab di Arab yang dipermasalahkan dan ditentang besar-besaran adalah hukuman rajam hingga mati terhadap perempuan yang berzina. Sumber-sumber kesejarahan menyatakan bahwa tak ada orang yang dirajam hingga mati di Arab dalam bentangan waktu yang sangat panjang, dan bahwa banyak ahli hukum merasa terkejut oleh apa yang mereka pandang sebagai eksekusi tak manusiawi terhadap perempuan itu.57 Laporan sejarah ini sangat menarik untuk dicermati, karena sekarang ini merajam orang hingga mati dilakukan sepanjang waktu di Arab Saudi–dan orang-orang sama sekali tak merasa heran dengan praktik semacam itu.

57. Al-Rihani, Tarikh Najd, h. 39.

Sebelum mereka memperkuat basis kekuasaan mereka di Arab, kaum Wahhabi, dengan praktik fanatik dan kejam, kerap memicu protes luas dari negara-negara Islam Arab dan non- Arab, sehingga menimbulkan situasi yang secara politik memalukan bagi keluarga Al Sa’ud. Agar tidak kehilangan dukungan politik yang dibutuhkan dari negara-negara muslim, Saudi (baik sebelum dan sesudah negara modern Arab Saudi didirikan) sering menyikapi situasi memalukan ini dengan mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mendamaikan dan ditujukan untuk meredam kecemasan umat Islam tentang apa yang akan terjadi dengan tempat suci Mekah dan Madinah.58 Akan tetapi, selain keadaan yang memaksa diambilnya tindak kekerasan untuk mengatasi pemberontakan Ikhwan pada 1929, para penguasa Al Sa’ud mengurangi pembatasan atau mulai memoderasi praktik Wahhabi. Sepanjang dekade 1930-an dan 1940-en, pemerintah Saudi mengatasi semua rasa keterkekangan berkenaan dengan praktik fanatik Wahhabisme, dan memperkuat klaimnya atas tempat-tempat suci di Mekah dan Madinah. Pada dekade 1950-an, pemerintah Saudi tidak lagi membuat pemyaaan yang bersifat mendamaikan terhadap negara-negara muslim atau meminta maaf atas praktik dan dampak perbuatan kaum Wahhabi. Sementara terus mengandalkan dukungan pada pemerintah Inggris (dan kemudian pemerintah Amerika juga), pemerintah Saudi tidak lagi membutuhkan dukungan dari negara-negara muslim lain. Wahhabisme telah berdiri tegak di Arab Saudi dan juga di pusat nadi Islam, Mekah dan Madinah. Dikarenakan faktor ganda, yaitu dukungan non-muslim dan penemuan minyak, pemerintah Saudi mulai menangkis kritik yang dilancarkan negara-negara muslim moderat.

58. De Gaury, Rulers of Mecca, h. 276.

Saudi Mengeksport Keyakinan Wahhabisme ke Seluruh Dunia

Negara-negara itu tak menemukan cara untuk dapat rnenekan pemerintah Saudi secara efektif dan memengaruhi jenis Islam yang sudah dominan di tanah suci, dan pemerintah Saudi benar-benar tak punya dorongan untuk memodifikasi atau memoderasi keyakinan yeng dipeluknya. Akan tetapi, tahun 1970-an betul-betul menjadi titik perubahan penting bagi Arab Saudi dan dunia muslim. Sebelum 1970-an, Saudi bertindak seakan-akan Wahhabisme adalah sebuah urusan internal yang dengan baik diadaptasi untuk kebutuhan asli masyarakat dan budaya Saudi. Tahun 1970-an menjadi titik balik karena pemerintah Saudi memutuskan untuk menjalankan satu kampanye sistematis guna secara agresif “mengekspor” keyakinan Wahhabi ke seluruh negara muslim.59

59. Tentang kebijakan-kebijakan agresif Arab Saudi dalam menyebarkan ajaran Wahhabi di negara-negara muslim, lihat Nabil Muhammad Rasywan, al-Islam al-Su’udi Dur al-Su’udiyyin fi Ifsad Din al-Muslimin. Buku ini juga tidak mencantumkan keterangan tempat, tanggal, atau nama penerbitnya.

Ringkasnya, empat faktor utama berperan bagi tetap hidup dan meluasnya paham Wahhabi di dunia Islam kontemporer:

1. Dengan memberontak melawan Dinasti ‘Utsmani, Wahhabisme menyeru untuk mendukung ideologi nasionalisme Arab yang muncul pada abad ke-18. Dengan memperlakukan pemerintah muslim ‘Utsmani sebagai kekuatan asing yang berkuasa, Wahhabi menciptakan satu preseden kuat bagi tertanamnya benih-benih determinasi diri dan otonomi bangsa Arab.

2. Seperti dicatat di atas, Wahhabisme mendorong umat Islam untuk kembali pada apa yang oleh Abd al-V/ahhab dipandang sebagai Islam yang asli dan murni. Karena itu, Wahhabisme menolak seluruh pengalaman historis dan mendesak untuk kembali pada contoh para generasi awal (al-salaf al-sholeh) yang “terbimbing dengan benar”. Ungkapan “generasi awal yang terbimbing dengan benar” merujuk pada generasi para Sahabat Nabi dan generasi sesudalrnya (gcnerasi penerus—al tabi’in). Dan generasi penerus ini dilihat dari sudut idealistik, dan mereka sering disitir sebagai contoh yang harus ditiru. Ide Wahhabi ini sebenarnya mengandung arti pembebasan yang sejalan dengan semangat kaum reformis muslim, karena hal itu berarti lahirnya kembali ijtihad, atau kembali ke pengujian dan penentuan isu-isu hukum tanpa harus terbebani oleh preseden dan doktrin-doktrin yang diwariskan. Dengan kata lain, ide melepaskan masa silam berikut muatan yangdimilikinya dan memulai sesuatu yang segar adalah hal yang membebaskan. Paling tidak, secara teoretis, umat Islam dapat menggunakan ijtihad (analisis dan pemikiran independen dan baru) untuk rrrlihat dengan mata baru pada sumber-sumber orisinal Alquran dan Sunah hinggadapat tiba pada interpretasi dan solusi baru bagi problem-problem masa kini tanpa dibebani oleh masa silam. Menurut kaum Wahhabi, satu-satunya masa lalu yang relevan dan mengikat adalah yang telah dicipta oleh Nabi, para Sahabat. dan tabiin.

3. Dengan memegang kendali atas Mekah dan Madinah, Arab Saudi dapat memerankan pengaruh yang luar biasa pada budaya dan pemikiran umat Islam. Tempat-tempat suci- Mekah dan Madinah-adalah jantung simbolis Islam dan tempat jutaan kaum muslim menunaikan ibadah haji setiap tahun. Dengan mengatur apa yang dipandang sebagai keyakinan dan praktik yang sah pada saat pelaksanaan ibadah haji, Arab Saudi menjadi mulai memengaruhi sistem keyakinan Islam itu sendiri. Misalnya, untuk tujuan yang semata simbolis, raja Arab Saudi menyandang gelar sebagai penjaga dan pelayan umat Islam (khadim al-haramayn). Kenyataannya, gelar itu hanya menegaskan posisi moral otoritas raja Saudi yang diklaimkan untuk dirinya sendiri dalam kaitannya dengan dunia Islam.

4. Barangkali yarrg paling penting untuk dicatat adalah penemuan dan pemanfaatan sumber daya minyak di Arab Saudi yang menjadi sumber dana segar yang melimpah untuk negara itu. Khususnya, setelah 1975, dengan naiknya harga minyak, Arab Saudi dengan agresif mendukung promosi pemikiran Wahhabi ke seluruh dunia. Bahkan, jika kita mencermati sepintas lalu pada sejumlah ide dan praktik dominan yang secara khusus ditemukan di masjid-masjid, akan terlihat betapa luas pengaruh pemikiran Wahhabi pada dunia Islam saat ini.

Sebagian alasan bagi dilancarkannya kampanye agresif Arab Saudi untuk memperluas corak keyakinannya terkait dengan elemen ketiga sebagaimana disebut di atas. Sebagai penjaga dua tempat suci, secara politis Arab Saudi akan terlihat aneh jika memiliki sistem keyakinan yang berbeda dengan dunia Islam lainnya. Lebih tegas lagi, status sebagai penjaga tempat-tempat suci itu bernilai sensitif di dunia Islam, dan klaim kedaulatan eksklusif Saudi atas tempat-tempat ini tetap masih problematik sejak 1920-an hingga 1960-en, khususnya karena sikap intoleran Wahhabi terhadap praktik ritual yang mereka pandang tidak benar. Pada 1950-an dzn 1960-an, Arab Saudi mendapat tekanan sangat besar dari rezim-rezim republikan dan nasionalis Arab yang cenderung melihat sistem Saudi sebagai sesuatu yang kuno dan reaksioner. Rezim nasionalis Arab, khususnya rezim Gamal Abdel Nasser di Mesir, bercorak sekuler, sangat sosialis, dan revolusioner. Pemerintahan Arab Saudi dan negara-negara Teluk lain yang menganut sistem dinasti, kapitalistik, dan teokratis dipandang terbelakang secara historis dan antirevolusioner. Menurut nasionalis Arab revolusioner, Arab Saudi adalah negara buatan yang dibentuk oleh kekuatan kolonial dalam rangka memenuhi kepentingan imperialisme Barat. Oleh karena itu, Gamal Abdel Nasser, misalnya, tidak hanya menentang status Saudi sebagai penjaga tempat-tempat suci, tapi ia juga berupaya menggulingkan pemerintah Arab Saudi. Pada 1970-an, Arab Saudi akhirnya memiliki sarana finansial untuk memperkuat legitimasinya. Kaum Wahhabi harus mengubah sistem keyakinannya sendiri untuk membuatnya lebih sejalan dengan keyakinan kaum muslim lainnya, atau mereka harus agresif menyebarkan keyakinan mereka ke seluruh dunia muslim. Pilihan pertama mensyaratkan rezim Saudi mengubah dirinya. Namun, dalam banyak hal, rezim Saudi merasa lebih mudah untuk berusaha mengubah dunia Islam. Itulah opsi yang mereka pilih. Akibatnya, pemerintah Arab Saudi melancarkan kampanye yang bertujuan mengubah negara-negara muslim dengan menyebarkan ideologi Wahhabi ke seluruh dunia sebagai satu-satunya bentuk Islam yang benar.60

60. Aburish, Nasser, h. 162, 256-257, 303.

Awalnya, proses penyebaran ini dilakukan dengan memberikan dukungan finansial pada organisasi-organissi penting, namun pada 1980-an, proses ini menjadi lebih canggih dan menyeluruh. Demikianlah, Arab Saudi, misalnya, menciptakan organisasi perwakilan seperti Liga Muslim Dunia (Rabithahal- ‘Alam al-Islami), yang secara luas mendistribusikan literatur Wahhabi dalam semua bahasa utama dunia, memberikan hadiah dan sumbangan, serta menyediakan dana untuk jaringan penerbit, sekolah, masjid, organisasi, dan perseorangan yang begitu banyak. Efek kampanye ini adalah banyak gerakan Islam di seluruh dunia menjadi pendukung teologi Wahhabi. Selain itu, sejumlah besar institusi, seperti sekolah, penerbit buku, majalah, koran, atau bahkan pemerintahan, dan juga perseorangan, seperti imam, guru, atau penulis, belajar mengubah perilaku, ucapan, dan pikiran mereka sedemikian rupa sehinga bisa mendapatkan keuntungan dari donasi Saudi. Di banyak belahan dunia muslim, jenis ucapan dan tindakan yang salah (seperti tidak mengenakan atau menganjurkan jilbab) berarti sama dengan penolakan terhadap donasi Saudi, dan dalam banyak konteks berarti perbedaan antara menikmati standar hidup yang layak atau hidup dalam kemiskinan yang hina.

Meskipun demikian, penting dicatat bahwa Wahhabisme tidak tersebar di dunia muslim modern di bawah benderanya sendiri. Mengingat asal-usul keyakinan Wahhabi yang marginal, persebaran yang bersifat massif sulit dilaksanakan. Wahhabisme menyebar ke dunia muslim di bawah bendera Salafisme. Sesungguhnya, istilah Wahhabisme dipandang sebagai sebutan yang menghina di antara para pengikut Abd al-Wahhab, karena kaum Wahhabi lebih melihat diri mereka sebagai wakil ortodoksi Islam. Menurut para pengikutnya, Wahhabisme bukan suatu mazhab pemikiran di dalam Islam, melainkan Islam itu sendiri, dan satu-satunya Islam yang mungkin. Fakta bahwa Wahhabisme menolak digunakannya istilah mazhab memberinya suatu sifat yang agak tidak jelas dan membuat banyak doktrin dan metodologinya bisa dengan mudah ditransfer. Salafisme, berbeda dengan Wahhabisme, adalah paradigma yang lebih kredibel di dalam Islam, dan dalam banyak hal, dapat menjadi sarana yang ideal bagi Wahhabisme. Karena itu, dalam literatur mereka, tokoh-tokoh Wahhabi secara konsisten melukiskan diri mereka sebagai kaum Salafi (pengikut Salafisme), dan bukan Wahhabi.
.

Wallahu a’lam.