Majelis Rasulullah tentang Tahlilan dan Yasinan

Jawaban habib munzir, di http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=8&id=5676&lang=en#5676

KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA – 2007/07/18 20:23
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA SYAFIE

Assalammu’alaikum wr.wb.

Habib tolong beri penjelasan mengenai hal ini, karena ini dalil dari orang salafi untuk berhujjah. semoga keberkahan Ilmu dapat meninggikan derat Habib di akhirat.

Mungkin ramai dari kalangan pengikut mazhab Syafie tidak menyedari bahawa bertahlil dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca al-Quran, berzikir, berdoa dan mengadakan hidangan makanan di rumah si Mati atau keluarga si Mati bukan sahaja Imam Syafie yang menghukum haram dan bid’ah, malah ramai para ulama mazhab Syafie turut berpendirian seperti Imam Syafie. Adapun antara meraka yang mengharamkan kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Ibn Kathir, Imam ar-Ramli dan ramai lagi para ulama muktabar dari kalangan yang bermazhab Syafie, sebagaimana beberapa fatwa tentang pengharaman tersebut dari mereka dan Imam Syafie rahimahullah:


وَاَكْرَهُ الْمَاْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ.
“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) makan, iaitu berkumpul di rumah (si Mati) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan)”.[1]
Mengadakan majlis kenduri iaitu dengan berkumpul beramai-ramai terutamanya untuk berzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara di rumah si Mati atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum bid’ah yang mungkar oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafie yang selanjutnya:
وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ.
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di rumah (si Mati) tersebut maka itu adalah bid’ah bukan sunnah”.2 [1]
Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2 hlm. 146 ada disebut pengharaman kenduri arwah, iaitu:
وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ اَهْلَ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوْ النَّاسَ اِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ قَالَ : عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ لاَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمْ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ. (رواه الامام احمد وابن ماجه باسناد صحيح).
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang menjemput orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si Mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si Mati kerana terdapat hadis sahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si Mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan”.3 [1] (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn majah dengan sanad yang sahih).
Fatwa Imam Syafie dan para ulama muktabar yang bermazhab Syafie telah mengharamkan berkumpul beramai-ramai dan menyediakan hidangan makanan di rumah si Mati untuk tujuan kenduri arwah, tahlilan, yasinan dan menghadiahkan (mengirim) pahala bacaan al-Quran kepada arwah si Mati Mereka berdalilkan al-Quran, hadis dan athar-athar para sahabat yang sahih sebagaimana yang dikemukakan oleh mereka melalui tulisan-tulisan di kitab-kitab mereka. Mereka tidak mungkin mengharamkan atau menghalalkan sesuatu mengikut akal fikiran, pendapat atau hawa nafsu mereka semata, pastinya cara mereka mengharamkan semua itu dengan berdalilkan kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar dari para ulama yang bermanhaj Salaf as-Soleh.

_____________________________ __________

[1]. Lihat: Al-Umm. Juz 1. Hlm. 248.
[2]. Lihat: مغنى المحتاج. Juz 1. Hlm. 268.

munzir

Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda,

Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,

عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم

Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).

وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء

Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)

Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.

Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :

حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).

Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?

Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.

2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.

Entahlah para wahabi itu bodoh dalam bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu bodoh atas syariah dan menyelewengkan makna.

3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman orang orang wahabi yg membuat kebenaran diselewengkan.

4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.

5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).

dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.

Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya.

Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah memberatkan mayyit, namun masa kini bila anda hadir jenazah lalu mereka hidangkan makanan dan anda katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yg wafat,

lihat Akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makan makan di rumah duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya,
kenapa?, tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu bila akan menghibur mereka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.

Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.

Sekali lagi saya jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika menyusahkan dan memberatkan mayyit, maka memberatkan dan menyusahkan mereka itulah yg makruh,

dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesedihan si mayyit, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.

Selama hal ini ada riwayat Rasul saw memakannya dan mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa mengharamkannya karena bertentangan dg sunnah Nabi saw, karena hal itu diperbuat oleh Rasul saw, namun kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga duka, bila memberatkannya maka makruh, dan jangan sok berfatwa bahwa hal itu haram.

Akhir dari jawaban saya adalah : semestinya orang yg berhati suci dan menginginkan kebangkitan sunnah, mereka mengajak untuk bersedekah pada keluarga duka bila ada yg wafat di wilayahnya, namun sebagian dari kita ini bukan menghibur mereka yg kematian, malah mengangkat suara dg fatwa caci maki kepada muslimin yg ditimpa duka agar jangan memberi makan apa apa untuk tamunya, mereka sudah sedih dengan kematian maka ditambah harus bermuka tembok pula pada tamu tamunya tanpa menyuguhkan apapun, lalu fatwa makruh mereka rubah menjadi haram, jelas bertentangan dengan ucapan mereka sendiri yg berhujjah bahwa agama ini mudah, dan jangan dipersulit.

Inilah dangkalnya pemahaman sebagian saudara saudara kita, mereka ribut mengharamkan hal hal yg makruh dan melupakan hal hal yg haram, yaitu menyakiti hati orang yg ditimpa duka.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, maaf saya menjawab pertanyaan ini bukan diarahkan pada anda, namun pada mereka,

mengenai ucapan Imam Nawawi itu makruh, mereka merubahnya menjadi haram, entah karena bodohnya atau karena liciknya, atau karena kedua duanya,

demikian saudaraku yg kumuliakan,

wallahu a’lam

Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 02:19
Assalammu’alaikum wr.wb.

Semoga keberkahan ilmu menjadikan Habib Munzir di tinggikan derajatnya di surga,Amin.
Habib , saya ini di istilahkan sebagai anak kecil yang polos selalu merengek-rengek ketika meminta bantuan. daripada itu apa yang di utarakan oleh Habib di atas ternyata sahabat saya dari Salafi telah membantahnya, saya nukil dengan berupa tanya jawab.

Habib : Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :

حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا

“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).

Abu Al-Jauzaa: Mari kita lihat riwayat yang ada di Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut ada di nomor 3332 :

حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا بن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعميه الأسارى
Perhatikan kata berwarna merah yang ana garis bawahi. Nukilan dari Tuhfatul-Ahwadzi tersebut tidak tepat sehingga berubah dari makna yang diinginkan. Dalam Nukilan Pak Habib ditulis dengan imra-atihi yang berarti : istrinya/perempuan dari kalangan keluarga si mayit; sedangkan lafadh asli dalam Sunan Abi Dawud tertulis imra-ah yang berarti perempuan secara umum. Perubahan makna tentu sangat signifikan. Ketika kita menggunakan nukilan lafadh Pak Habib, tentu seakan-akan kita diperbolehkan atau bahkan disyari’atkan untuk makan dan/atau menyediakan makan ketika ada orang meninggal dari keluarga mayit. Padahal, bila kita tengok lafadh asli di Sunan Abi Dawud, sama sekali tidak menunjukkan itu. Arti hadits dalam Sunan Abu Dawud tersebut adalah (ana gunakan terjemahan Pak Habib dengan perubahan terjemahan di kata imra-ah saja) : “Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang perempuan, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan” [selesai].

Nah, di dalam hadits di atas sama sekali tidak ada isyarat keluarga si mayit yang mengundang makan. Perhatikan itu !! Dan ingat pula, jikalau ada perbedaan penukilan, maka kita kembalikan kepada sumbernya. Dan sumbernya di sini adalah Sunan Abu Dawud. lafadhnya adalah sebagaimana ana bawakan.

Pernyataan Pak Habib itu jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang justru lebih sharih daripada riwayat yang dibawakan Pak Habib yang menyatakan tidak diperbolehkannya makan makanan di keluarga si mayit.

Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة

“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.

Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).

Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :

من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم

“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت

“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67)

Tolong riwayat-riwayat sampaikan pada Pak Habib. Barangkali beliau melewatkannya. Atau malah belum pernah membacanya ?

Habib : Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahabbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahabbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.

Abu Al-Jauzaa: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan Ghairu mustahabbah hawuwa bid’ah bisa dimaknakan kepada mubah ? Aneh. Sepertinya Pak Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadh aslinya :

وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.

“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).

Habib : 2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :

من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.

Abu Al-Jauzaa :Sama juga dengan di atas. Ana sampai heran plus geleng-geleng kepala sama pengalihan makna Pak Habib ini. Perkataan bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) bisa diartikan makruh biasa yang malah beliau bawa pada makna mubah. Coba cermati perkataan Pak Habib di atas !! Perkataan [وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه ] sama sekali tidak khusus pada makna yang Pak Habib maui : membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah. Padahal artinya secara jelas adalah “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat”. Tidak ada pengkhususan “harus banyak” dan “meramaikan rumah”. Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkankan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya Makna Tahrim (bermakna Haram).

Dan seterusnya tidak perlu ana teruskan. Pak Habib ini justru yang gak ilmiah. Gaak ilmiah sama sekali……….. Dan tolong sampaikan kepada Pak Habib, bahwa kata makruh dalam syari’at itu dapat bermakna Haram. Tolong dibuka mushhafnya. Dalam QS. Al-Israa’ banyak menggunakan kata maruh yang bermakna haram.

Banyak sebenarnya kerancuan pendalilan Pak Habib ini yang perlu ditanggapi. Itung2 hemat energi.

——–

Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 18:16
Habib dibawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya. tetapi sama bermanhaj-kan Salaf.

KENDURI ARWAH
Majlis kenduri arwah lebih dikenal dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. Kebiasaannya diadakan pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahwa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini.

Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 146, tercatat pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:
وَيَكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِى الْيَوْمِ اْلاَوَّلِ وَالثَّالِث وَبَعْدَ اْلاُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ اِلَى الْقُبُوْر

ِ
“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.
Imam Syafie dan jumhur ulama-ulama besar (ائمة العلماء الشافعية) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahwa yang seharusnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran/tentangga , kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati) sebagaimana fatwa Imam Syafie:
وَاُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِهِ اَنْ يَعْمَلُوْا لاَهْلِ الْمَيِّتِ فِىْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَا يُشْبِعُهُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.“Aku suka kalau tetangga si

Mati atau kerabat si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”.
Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ . (حسنه الترمزى وصححه الحاكم)

“Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyibukkan (kesusahan)”.
Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.
Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar Tentunya tidak dipertentangkan bahwa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan juga di dalam kitab (اعانة الطالبين) jld. 2. hlm. 146:
وَقَالَ اَيْضًأ : وَيَكْرَهُ الضِّيَافَةُ مِنَ الطَّعَامِ مِنْ اَهْلِ الْمَيِّتِ لاَنَّهُ شَرَعَ فِى السُّرُوْرِ وَهِيَ بِدْعَةٌ

“Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.
Seterusnya di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2. hlm. 146 – 147, Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:
وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِيْنَ بَلْ كَلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ

“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramai-ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie. Oleh itu, mereka yang mengaku bermazhab Syafie seharusnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini mematuhi wasiat imam yang agung ini.
Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 145-146, Mufti yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ اِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَاِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الشَّرِّ ، فَاِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .

“Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan terbiasa (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”.
Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul .(خول) Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”. Lihat: اعانة الطالبين juz 2 hlm. 145.
Di dalam kitab fikh (حاشية القليوبي) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab قليوبى – عميرة) -(حاشيتان juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:
قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التَّركَةِ ، اَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.
“Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” yaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuk (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.
Di dalam kitab (الفقه على المذاهب الاربعة) jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa:
وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يَفْعَلُ الآن مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ اَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِتَّعْزِيَةِ . “Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, yaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”.
Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si Mati. Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi’ (مبتدع) “pembuat atau aktivis bid’ah” sehingga amalan ini tidak dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan larangana dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.
Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka sesui dengan hwa nafsunya (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berdalilkan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa-Ta’ala telah memberi ancaman yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang banyak yang tidak ada dalil atau perintahnya dari syara sebagaimana firmanNya:
وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.
Al-An’am, 6:116.
Begitu juga sesuatu amalan yang diangap ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah”.
Al-Jasiyah, 45:18-19.
Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dhonn mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar yang sahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafie rahimahullah. Memandangkan polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan maka ia perlu ditangani dan diselesaikan secara syarii (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh yang muktabar. Dalam membincangkan isu ini pula, maka ana tumpukan kepada kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahwa amalan kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh Imam Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab Syafie.
Insya-Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan saja dapat menjawab pertanyaan bagi mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini, termasuklah mereka yang masih salah anggap tentang hukum sebenar kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.

munzir

Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 23:04
telah dijelaskan didalam Tuhfatul Ahmawdziy, bahwa dalam Al Misykaat disebutkan dhamir dengan dhamir dhiafah, maka dalam hal ini shohibul Misykaah mempunyai hujjah pula dalam riwayatnya, tidak bisa kita menafikan hadits begitu saja dengan mengambil satu riwayat dan menghapus yg lainnya.

Ijtima; ila ahlilamyyit

وأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة

Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
(Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116)

فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية

Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)

(MAKRUH.. BUKAN HARAM)

Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوه

Bila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yg hadir mayyit mereka ada yg berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat yg jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu
(Almughniy Juz 2 hal 215)

(DISINI HUKUMNYA BERUBAH MENJADI MUBAH KARENA ADA HAJAT, BUKAN JAMUAN UNTUK MENGUNDANG ORANG BANYAK)

nah.. inilah kebodohan para wahabi, bagaimana ucapan “Ghairu Mustahibbah dan adalah Bid’ah” bisa dirubah jadi haram?, sedangkan makna Mustahibbah adalah disukai untuk dilakukan dan disejajarkan dg makna sunnah secara istilahi, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan),

didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).

Nah.. imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,

Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,

Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut Imam Nawawi terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk syarh nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 164-165),

maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid;ah dalam ta;rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi,

bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yg Mubah dan yg makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid;ah yg mubah atau yg makruh,

kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yg haram).

Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.

Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah yg tercela yg makruh), karena Bid;ah tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yg padanya terdapat hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan atau istana istana dan burung burung misalnya, ini adalah Bid’ah munkarah yg makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun Bid;ah munkarah yg makruh, tidak haram,

Hukum darimana makruh dibilang haram, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan),

Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.

Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya,

Bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.

Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh, walaupun ada yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.

2. membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah, tidak terkecuali ada kematian atau kelahiran atau apapun,

3. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322)

4. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian adalah hal yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar the pahit, atau kopi sederhana.

5. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.

6. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg mengharamkannya, bahkan sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibn Majah dijelaskan hal itu pernah dilakukan oleh Rasul saw,

———-

munzir

Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT – 2007/07/19 23:32
mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin itu wahai saudaraku, yg diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan oleh tulisan anda sendiri dari ucapan itu karena hal itu “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan, bukan untuk kematian,

nah.. adat orang jahiliyah masa lalu mereka menjamu tamu tamu dg jamuan besar bila ada yg mati diantara mereka, ada yg menyembelih kerbau, ada yg menyembelih kambing, ada yg menyembelih kerbau diatas kuburan si mayyit.

hal semacam itu yg diharamkan oleh Imam Syafii, dan Imam Syafii mengatakan makruh apabila keluarga duka membuat hidangan2, (bukan haram),
yg diharamkan oleh Imam Syafii adalah menyembelih kerbau dan perayaan setelah kematian hingga 40 hari.

sebagaimana dijelaskan didalam Almughniy dalam penjelasan saya yg terdahulu, bila ia menyiapkan makanan untuk tam yg datang dari jauh, maka hal itu tentunya diperbolehkan,

kesimpulannya, selama hal itu berupa suguhan suguhan ala kadarnya, sekedar kopi dan teh, maka hal itu mubah, dan bila menjadi jamuan makan maka hukumnya makruh, bila dibikin pesta maka hukumnya haram.

namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.

wahabi ini barangkali pelit saja, saya lebih suka orang yg kematian itu bersedekah, pahalanya untuk mayyit, itu mestinya yg diangkat ke permukaan ummat,

umumkan dan buat selebaran dan bagikan ke barat dan timur, bagi mereka yg mau bikin kenduri kematian silahkan buat sebanyak banyaknya makanan, tapi niatkan untuk sedekah dan pahalanya untuk mayyit..!, dan setiap tetangga keluarga yg kematian, disarankan mengumpulkan sedekah atau uang untuk keluarga mayyit..!

nah.. itu kan lebih baik, daripada nakal nukil gunting tambal ucapan para imam dan mereka sendiri tidak memanut syafii.

kok anti amat sih pada orang berdzikir, masih untung mereka kumpul dzikir, saya sangat mendukung upacara tahlil 3 hari, 7 hari, 40 hari, kalau perlu setiap hari bagi keluarga mayyit, karena disitu ajang dakwah, banyak teman teman mayyit yg tobat,

mereka para narkoba, atau koruptor, atau preman, atau kelompok gelap lainnya, bila hadir di acara tahlilan kematian temannya kulihat mereka nunduk, ada yg menangis, ada yg menyesal, ada yg tobat,

demi Allah berkali kali saya hadir di rumah duka tempat pemuda yg mati sebab narkotika, saya datang dan pastilah teman2nya hadir, maka sudah bisa dipastikan ada beberapa orang temannya yg tobat, mereka gentar melihat temannya sudah dihadiahi surat yaasin, mereka risau mati seperti itu, mereka ingat kematian,

duh.. sungguh hal seperti ini mesti dimakmurkan..

bukan dimusnahkan, naudzubillah dari dangkalnya pemahaman tentang maslahat muslimin..

AlMuntazar

Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/18 11:25
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ana membaca tulisan-tulisan diatas hanya menjelaskan tentang acara KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA namun tidak menjelaskan satupun mengenai sampai tidaknya pahala yang di kirimkan kepada si Mayit dari bacaan yang dibaca pada acara tersebut .

Wassalam,

munzir

Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/18 16:30
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Rahmat dan kesucian hari hari ramadhan semoga selalu menerangi hari hari anda,

saudaraku yg kumuliakan, maaf kalau saya tak memperjelas, sungguh pembahasan ini telah saya jelaskan di forum ini dg sejelas jelasnya, ucapan diatas adalah memperjelas masalah tahlilan yg telah saya ulas di artikel di halaman depan, dan diatas telah disebutkan bahwa hadits hadits shahih telah memperjelas sampainya pengiriman amal, sedekah, dan para ulama telah sepakat sampainya doa doa, dan tahlilan itu adalah doa.

namun jika anda perlu penjelasan lebih gamblang, maka saya tampilkan jawaban saya sebelumnya di website ini sebelum tanya jawab diatas.

saudaraku yg kumuliakan,
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?

Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).

dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yg memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.

Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dg ayat “DAN ORAN ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,

Mengenai hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat, dan anaknya yg berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yg dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yg telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).

Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yg tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dg tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yg awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab,
bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,

munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ada dari kesempitan pemahamannya.

Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.

Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)

Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw :
• Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
• Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
• Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).

demikian saudaraku yg kumuliakan,

Walillahittaufiq

AlMuntazar

Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/19 11:59
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ada beberapa hal lagi yang menjadi ganjalan.
1. Imam Nawawi dalam Kitabnya SYARAH MUSLIM ( JUZ 1 HAL.90) dan Kitab TAKLIMATUL MAJMU’ (JUZ 10 HAL 426) Membantah bahwa Pahala Baca’an dan Sholat yang Digantikan bagi si mayit tidak akan sampai kepada si mayit. Kalo tidak salah Imam Nawawi ini bermazhab Syafi’i (Koreksi jika Ana salah).
2. Al Haitami dalam Kitabnya AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH ( JUZ 2 HAL 9 )
3. Imam Muzani dalam Hamisy AL UM, AS SYAFI’I ( JUZ 7 HAL 269)
4. Imam Al Khazin dalam tafsirnya Al Khazin , AL JAMAL (JUZ 4 HAL.236), lebih jelas mengatakan :
” DAN YANG MASYHUR DALAM MAZHAB SYAFI’I BAHWA BACA’AN QUR’AN (YANG PAHALANYA DI KIRIMKAN KEPADA MAYIT) ADALAH
TIDAK DAPAT SAMPAI KEPADA MAYIT YANG DIKIRIMI”

Dan masih ada beberapa kitab ulama AHLU SUNNAH yang menjelaskan kurang lebih sama dengan yang ada di atas.

Dari pengamatan Ana, kalau di lihat betul dari beberapa literatur Kaum AHLU SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN dan Syia’h, bahwa Tradisi Kaum AHLU SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN (HABAIB) lebih banyak kemiripannya dengan tradisi kaum Syi’ah ( Cuman DI SYI’AH SAHABAT YANG DIANGGAP MURSAL DI BUANG/ DICORET DARI DAFTAR MEREKA ) dari pada dengan MEREKA yang ada di ke 4 mazhab SUNI.

WASSALAM,

munzir

Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/19 13:17
saudaraku yg kumuliakan, saran saya anda belajarlah dengan guru yg mempunyai sanad yg jelas, mengutip dari sana sini merupakan hal yg menyesatkan,

anda berbicara dengan menukil ucapan orang wahabi, saya ragu anda membaca buku buku itu sendiri, anda hanya mengambil saja dan barangkali anda belum pernah melihat buku buku itu, kami mengenal siapa Imam Nawawi, kami mempunyai sanad kepada Imam Nawawi, kami mengenal Imam syafii dan kami mempunyai sanad kepada Imam syafii, demikian pula pada Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga Imam Imam Muhaddistin lainnya, kami mempunyai sanad yg bersambung kepada mereka, kami tidak menukil dan meraba raba dengan buku buku terjemah,

pertanyaan anda sudah pernah saya jawab di web ini,

pertanyaan dari wahabi, anda jangan tersinggung dg jawaban dibawah ini karena merupakan nukilan ulang dari jawaban saya yg lalu : dan saya jawab sbgbr :

3 hal yg akan saya jawab dari ucapan mereka ini,

dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua duanya, licik bagaikan missionaris nasrani dan ingin membalikkan makna sekaligus bodoh pula dalam syariah.

1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :

من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له

“Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.

Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.

Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafii yg mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,

telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama.

Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : “dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)

Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,

tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai.

maka dari kesimpulannya Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.

Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambah”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka,

Saya akan buktikan kelicikan mereka :

2. Ucapan Imam Ibn katsir :

وأن ليس للإنسان إلا ما سعى أي كما لا يحمل عليه وزر غيره كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه ومن هذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماءة ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنه ولو كان خيرا لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما

“ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”

Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah :

“Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259).

nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : “wahai Allah, sampaikanlah apa yg kami baca, dari…. dst, hadiah yg sampai, dan rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat…..”

bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya.

Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,

demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,

dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ

“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.

Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad : :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)

Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة

“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.

Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,

dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,

dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,

dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar Juz 4 hal 142).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.

Dan sungguh hal yg lucu bila kalangan wahabi ini meracau dengan mengumpulkan dalil gunting sambung lalu menyuguhkan kita racun agar kita teracuni,
mereka kena batunya di website MR.. he..he..

jawaban saya yg pertama telah jelas bahwa banyak para Muhaddits dan Imam yg menghadiahkan pahala bacaan Alqur’annya pada rasul saw dll.

wallahu a’lam

pendapat saya, justru syiah yg banyak mencuri cara cara Imam Imam Ahlulbait untuk kelicikan mereka, dan mereka adalah pengkhianat Ahlulait, merekalah musuh Ahlulbait namun mereka berkedok dg mencintai Ahlul Bait, naudzubillah dari Akidah yg memusuhi Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, Khalifah Umar bin Khattab ra, Khalifah Utsman bin Affan ra,

mereka yg memusuhi para khulafa urrasyidin adalah musuh kaum muslimin, mereka musuh Allah dan Rasul Nya, dan akan mati dalam su’ul khatimah jika tidak bertaubat.

demikian saudaraku yg kumuliakan,

wallahu a’lam

.

.

Jawaban habib Munzir di http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=28&func=view&id=12723&catid=7&lang=en

zubaidi

Mohon penjelasan kirim pahala – 2008/03/13 21:52
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh

Alhamdulillaahirabbil’aalamiin ana dapat bersilaturahmi dengan Habibana di forum yang di muliakan Allah SWT ini.. Salam kenal ana untuk Habibana, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan barakah kebahagiaan kepada Habibana dan seluruh Jamaah MR serta tetamu yang bersilaturahmi lewat Website MR dengan Allah SWT memuliakan kita semua sebagai Umat Rasulullah Muhammad SAAW… amiien..

Habib Munzir yang di Muliakan Allah..,ana ingin bertanya tentang keterangan Ibnu Abbas ra tentang di-mansukh-kannya ayat “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA” dengan ayat “DAN ORANG-ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”.

Mohon Habibana dapat memberikan penjelasan/syarah dari kitab tafsir, juga hadits dan atsar yang dapat ana gunakan untuk pedoman kaitannya dengan kaum tertentu di zaman ini yang mereka banyak menentang ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya tentang mendo’akan dan hadiah pahala bagi orang yang telah meninggal dunia.

terus terang Bib ana beberapa hari yang lalu berdebat dengan orang wahabi yang mengaku ahlussunnah wal jama’ah yang bersikukuh dengan pendapatnya bahwa hal mengirim doa dan pahala bagi orang yang telah meninggal (tahlilan) itu bid’ah dhalalah dan pahala yang dikirimkan tidak akan pernah sampai siapapun yang mendo’akan, mereka berpendapat dengan keterangan Imam Nawawi dengan pendapat yang MASYHUR di kalangan ulama, Bukan pendapat yang SHAHIH. Kemudian berpendapat bahwa di yaumul hisab nanti setiap manusia akan mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing lalu bagaimana dengan kiriman doa dan pahala untuk orang yang meninggal tadi…?

itulah Bib yang jadi pendapat meraka..
Ana mohon penjelasannya Bib..?!

Terimakasih sebelumnya ana ucapkan untuk Habibana dan saudara2 ana di MR yang akan dan telah membantu ana.. InsyaAllah semua yang ana ingin lakukan adalah untuk menjaga dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah dakwah dengan akhlaqul karimah wa mau’idhatul hasanah..insyaallah..

Mudah2an kita semua selalu dalam penjagaan Allah SWT dan juga ridla-NYA SWT.. amiien..

Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.

munzir

Re:Mohon penjelasan kirim pahala – 2008/03/14 14:08
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,

Rahmat dan Kebahagiaan semoga selalu terlimpah pada hari hari anda dan keluarga,

Saudaraku yg kumuliakan,
mengenai ucapan Ibn Abbas ra yg mengatakan ayat itu mansukh dijelaskan pada Muharrar Alwajiiz Juz 6 hal 233,

jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai.
maka dari kesimpulannya Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.

Berkata Imam Ibn Katsir : “ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”

Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah :
“Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259).

nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : “wahai Allah, sampaikanlah apa yg kami baca, dari…. dst, hadiah yg sampai, dan rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat…..”

bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya.
Lalu berkata pula Imam Nawawi :

أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل

“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)

Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :

ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ

“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)

Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :

وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة

“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam Nawawiy Juz 15 hal 522).

Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.

Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.

Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,

Wallahu a’lam