Sunnah-Sunnah (Haiat) Dalam Shalat

Dikutib dari kitab Matan at Taqrib karya Abu Syuja’  Bab Sunnah Haiat,

Sunnah haiat adalah amalan sunnah dalam shalat yang apabila terlupa tidak perlu dilakukan sujud sahwi. Sunnah haiat dalam mengerjakan shalat ada lima belas, yaitu:

1.    Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ruku’, dan i’tidal.

Mengangkat kedua tangan ketika takbiratul ihram, ruku’, dan i’tidal merupakan sunnah haiat. Bukhari (705) dan Muslim (390) meriwayatkan dari Ibnu Umar ra, dia berkata,

“Saya melihat Rasulullah Saw membuka shalat dengan takbir. Beliau mengangkat kedua tangannya ketika takbir sehingga keduanya sejajar dengan kedua bahu. Jika bertakbir untuk ruku’, beliau melakukan semisalnya. Jika mengucapkan sami’alldhu liman hamidahu, beliau melakukan semisalnya dan mengucapkan Rabbana lakal hamdu. Beliau tidak melakukannya ketika sujud dan ketika mengangkat kepalanya dari sujud.”

2. Meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri.

Dasar meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim (401)

dari Wail bin Hijr ra bahwa dia melihat Rasulullah saw mengangkat kedua tangannya ketika melakukan shalat, kemudian meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya.

3. Membaca doa iftitah.

Mengenai membaca doa iftitah, Muslim (771) meriwayatkan dari Ali ra, dari Rasulullah saw. Apabila mendirikan shalat, beliau mengucapkan,

Kuhadapkan wajahku kepada Dzat yang menciptakan langit dan bumi dengan keadaan lurus dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik. Sesungguhnya shalat, ibadah, hidup dan matiku aku serahkan kepada Allah Rabb semesta alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Demikianlah yang diperintahkan kepadaku dan aku termasuk orang yang berserah diri.

4. Membaca ta’awudz

Apabila kamu membaca Al Qur’an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. (QS.16:98)

5. Mengeraskan bacaan ketika shalat jahr dan memelankan bacaan ketika shalat sirr.

Bacaan dikeraskan dalam shalat subuh, dua rakaat pertama shaalt maghrib, isya’, shalat jum’at, shalat idul Fitri, shalat Idul Adha, shalat khusuf (gerhana bulan), shalat istisqa’, shalat tarawih, shalat witir pada bulan ramadlan, serta dua rakaat thawaf pada malam hari dan waktu subuh.

Shalat sunnah muthlaq pada malam hari,bacaannya pertengahan antara sirr dan jahr. Allah swt berfirman,

Katakanlah: “Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan jangan kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu”.(QS.17:110)

Yang dimaksud shalat dalam ayat di atas adalah shalat malam. Selain shalat-shalat yang disebutkan, maka dilakukan dengan sirr (bacaan pelan). Hal itu ditunjukkan oleh berbagai hadits, di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (735) dan Muslim (463)

dari Jabir bin Muth’irn ra, dia berkata, “saya mendengar Rasulullah saw membaca surat Ath-Thur ketika shalat Maghrib.”

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (733) dan Muslim (463)

dari Al-Barra’ bin ‘Azib ra, dia berkata, “Saya mendengar Rasuiullah g membaca surat At-Tin ketika shalat Isya’. Saya tidak pernah mendengar seorang pun yang lebih baik suara dan bacaannya selain dia.

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (739) dan Muslim (449) dari hadits lbnu Abbas ra tentang kehadiran jin. Mereka mendengar Al-Qur’an dari Nabi saw. Di dalam kisah ini disebutkan, “Beliau mengerjakan shalat Subuh bersama para sahabatnya. Tatkala rnendengar Al-Qur’an, mereka diam memperhatikannya.”

Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw mengeraskan bacaannya sehingga orang yang hadir bisa mendengar bacaannya. Hadits yang menunjukkan bacaan sirr pada selain shalat yang disebutkan tadi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (713)

dari Khabbab ra bahwa seseorang bertanya kepadanya, “Apakah Rasulullah saw membaca bacaan ketika shalat Dhuhur dan Ashar?” Dia rnc’njawalb, “Ya.” Orang tadi bertanya lagi, “Dengan apa kalian mengetahui hal itu?” Dia menjawab, “Dari gerakan jenggotnya.”

Bukhari (738) dan Muslim (396) meriwayatkan

dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Dalam setiap shalat beliau membaca. Apa yang Rasuiuilah saw perdengarkan kepada kami, rnaka karni memperdengarkannya kepada kalian. Apa yang dipelankannya, rnaka kami juga memelankannya kepada kalian.”

Para sahabat ra, tidak rneriwayatkan bacaan jahr pada selain posisi-posisi itu

6. Membaca amin.

Mengenai membaca amin, Abu Dawud (934) meriwayatkan dari Abu Hurairah ra, dia berkata, “Jika Rasulullah saw membaca,


beliau mengucapkan amin sehingga orang yang berada di shaf pertama mendengarnya.”

Ibnu Majah (853) menambahkan, “Masjid pun bergaung karenanya”

Bacaan amin juga disunnahkan kepada makmum yang dilakukan setelah imam. Imam Bukhari (749) dan Muslim (410) meriwayatkan

dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Jika  imam mengucapkan,

maka ucapkanlah amin.” Barangsiapa yang ucapan aminnya bersamaan dengan ucapan amin para malaikat, diampunilah dosanya yang telah berlalu.”

Dalam riwayat Abu Dawud (936), “Jika imam mengucapkan amien, maka ucapkanlah juga amien.”

7. Membaca surat lain setelah membaca Al-Fatihah.

Membaca surat lain setelah Al Fatehah adalah pada dua rakaat pertama. Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadits.

Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (745) dan Muslim (451)

dari Abu Qatadah ra bahwa Nabi saw membaca Al Fatehah dan surat lainnya pada dua rakaat pertama shalat Dhuhur dan shalat Ashar. Dalam riwayat lain disebutkan, “Begitu juga yang beliau lakukan ketika shalat Subuh.”

Makmum tidak membaca selain Al-Fatihah dalam shalat jahriyah. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (832, 824), Nasa’i (2/741), dan selain keduanya

dari Ubadah bin Ash-Shamit ra, dia berkata, “Kami berada di belakang Rasulullah saw ketika shalat Subuh. Beliau rnembaca surat panjang. Tatkala selesai, beliau bersabda, ‘Baranghali kalian ikut membaca bacaan imam kalian?”‘ Ubadah rnelanjutkan, “Kami berkata, Ada apa, demi Allah?’ Beliau menjawab, ‘Jangan melakukannya kecuali untuk Ummul Qur’an (yaitu Al-Fatihah). Sesungguhnya tidak” dianggap shalat bagi orang yang tidak membacanya.”

Dalam riwayat lain, “Janganlah membaca bagian apapun dari Al-Qur’an jika saya menjahrkannya kecuali Ummul Quran (AI-Fatihah).”

8. Bertakbir ketika hendak ruku’ dan bangun dari ruku’.

Mengenai bertakbir ketika hendak ruku’ dan bangun dari ruku’, Bukhari (752) danMuslim (392) meriwayatkan

dari Abu Hurairah ra, bahwa dia mengerjakan shalat bersama orang-orang. Dia bertakbir setiap kali ruku’ dan bangun dari ruku’. Tatkala selesai, dia berkata , “Saya adalah orang yang paling mirip shalatnya di antara kalian dengan Rasulullah saw.”

9. Mengucapkan ketika i’tidal


Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwasanya Rasulullah saw jika bangkit hendak shalat, beliau membaca takbir waktu berdiri, dan membaca takbir ketika hendak ruku’, lalu beliau membaca: “Sami’allahu limanhamidah”, ketika mengangkattulang punggungnya dari ruku’, kemudian membaca:”Rabbana lakal hamdu” sambil berdiri, lalu beliau takbir ketika hendak sujud, lalu takbir ketika mengangkat kepalanya, lalu takbir ketika akan sujud, lalu takbir ketika bangkit, kemudian beliau berbuat demikian dalam shalat seluruhnya; dan beliau takbir ketika bangkit dari duduk (tahiyat) dari dua rakaat”. [Bukhari, Muslim]

10. Membaca tasbih dalam ruku’ dan sujud.

Mengenai membaca tasbih dalam ruku’ dan surjud, Muslim (772) dan selainnya meriwayatkan

dari Hudzaifah ra, dia berkata, “Pada suatu malam saya shalat bersama Rasulullah saw.” Dalarn hadits ini lalu disebutkan, “Kemudian beliau ruku’ dan mengucapkan


kemudian sujud dan mengucapkan

11. Meletakkan kedua tangan di atas kedua paha ketika duduk.

Mengenai meletakkan kedua tangan di atas kedua paha ketika duduk, Muslim (580) meriwayatkan

dari Ibnu Umar ra tentang cara duduk Nabi saw. Dia berkata, “Jika duduk dalarn tahiyat, beliau rneletakkan telapak tangan kirinya di atas paha (lutut) kirinya, dan yang kanan di atas paha (lutut) kanannya, dan menggenggam seluruh jari-jarinya serta memberi isyarat dengan telunjuknya. “

12. Menggenggam jari-jari tangan kanan, kecuali jari telunjuk dalam bertasyahhud, dan mengembangkan jari-jari tangankiri.

13. Duduk iftirasy dalam semua duduk.


14. Duduk tawarruk pada saat duduk terakhir.


Dasar duduk tawaruk pada saat duduk terakhir adalah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari (794)

dari Abu Humaid As-Sa’idy ra, dia berkata, “Saya adalah orang yang paling hafal di antara kalian tentang shalat Rasulullah saw.” Lalu disebutkan, “Jika duduk pada dua rakaat, beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya. Jika duduk pada rakaat terakhir, beliau mengedepankan kaki kirinya, menegakkan kaki yang lainnya dan duduk di atas pantatnya.”

Mengedepan kaki kirinya, artinya di bawah kaki kanannya yang ditegakkan. Muslim (579) meriwayatkan dari Abdullah bin Az-Zubair ra,

”Jika Rasulullah saw duduk dalam shalat, beliau meletakkan kaki kirinya di antara paha dan betisnya serta membentangkan kaki kanannya. “

15. Melakukan salam kedua.

Mengenai salam kedua, Muslim (582) meriwayatkan

dari Sa’ad ra , dia berkata, “Saya melihat Rasulullah saw mengucapkan salam ke arah kanan dan kirinya sehingga saya rnelihat putih pipinya.” Abu Dawud (996) dan selainnya meriwayatkan dari Ibnu Mas’ud ra, bahwa Nabi saw mengucapkan salam ke arah kanan dan kirinya sehingga terlihatlah putih pipinya, Assalamu’alakum warahmatullah, Assalamu’alakum warahmatullah.”

Tirmidzi mengatakan (295), “Hadits Ibnu Mas’ud ini adalah hadits hasan shahih.

.

Sumber: Matan al Ghayah wa at Taqrib, karya al Imam Abu Syuja’. versi terjemah Fikih Islam Lengkap, penjelasan hukum-hukum islam madzab syafi’i, Dr. Mustafa Diib al Bugha, Media Dzikir, Solo, 2010.

Sepintas tentang pengarang,

Al Imam Abu Syuja’ dengan nama lengkap Abu Syuja’ Ahmad ibn Husain ibn Ahmad al Ashfihani, lahir tahun 433 H di kota Ashfihan, salah satu kota penting di Iran yang banyak disinggahi para ulama ketika itu, sehingga ilmu pengetahuan dan agama berkembang pesat di sana.

Tercatat usianya sangat panjang, sampai 160 tahun, karena lahir 433 H dan wafat tercatat pada tahun 593 H. Demikian dikatakan di dalam kitab al Bujairimi I hal 12. Tentang tahun wafatnya, terdapat perbedaan pendapat di antara ahli-ahli sejarah. Kitab Kasyfuz Zhunun mengatakan, beliau wafat tahun 488 H, demikian juga Ensiklopedi Umum (Indonesia) menerangkan wafat beliau pada tahun 488 H.

Tetapi dalam Daeratul Ma’arif al Islamiyah, karangan beberapa Orientalis mengatakan bahwa tahun wafatnya tidak dikenal, dan tercatat pada tahun 500 H beliau masih hidup. Dan di dalam kitab al Bujairimi dikatakan bahwa usia beliau sangat panjang, sampai 160 tahun, sehingga wafatnya adalah pada tahun 593 H. Ada kemungkinan bahwa beliau ini menghilang dari negerinya Ashfihan pada tahun 488 H, sehingga orang menyangkanya beliau tmeninggal. Orang tidak tahu bahwa beliau mengasingkan diri menjadi pelayan Masjid Madinah sampai wafatnya pada tahun 593 H.

Abu Syuja’ adalah seorang ulama saleh dan zuhud. Tidak keluar dari rumahnya sebelum mengerjakan shalat sunnah dua rakaat dan membaca beberapa ayat al Qur’an. Ketika menjadi Wazir (qadli), ia sangat pemurah. Diangkatnya 10 orang pembantunya untuk membagi-bagikan hadiah dan sedekah, terutama sekali untuk ahli-ahli ilmu. Kemudian di akhir usianya menjadi sangat zuhud, dilepaskannya seluruh hartanya dan pergi ke Madinah al Munawarah untuk menjadi pelayan, tukang bersih lantai, dan bertugas menyalakan lampu di Masjid Madinah.

Beliau meninggal di Madinah dan dimakamkan di ruangan mushala yang dibuatnya dekat masjid Madinah di samping “pintu Jibril”.

Sebuah kitabnya yang sangat terkenal di tanah air adalah kitab fikih bermadzab Syafi’i yang berjudul “Matan at Taqrib” atau “Matan Abi Syuja'” atau “Gayatul Taqrib”. Ini adalah sebuah kitab fikih syafi’i kecil untuk klas-klas permulaan. Banyak kitab-kitab lanjutan yang mensyarah kitab Taqrib ini. Tercatat, Al Iqna (al Iqna fi hil alfadz abi syuja’) karya khatib Syarbini (w. 977 H). Al Bujairimi ‘alal khatib karya syaikh Sulaiman al Bujairimi (w. 1221 H). Kifayatul Akhyar fii hili Gayatil Ikhtisar, karya Taqiyudin Abu Bakar ibn Muhammad al Hasani ad Dimyaqi (w. 829 H). Itu semua adalah kitab-kitab syarah untuk Matan at Taqrib karya al Imam Abu Syuja’. Juga kitab asli yang dikutib di sini, “At Tadzhib fi Adillat Matan al Ghayat wa at Taqrib al Masyhur bi Matan Abi Syuja’ fi al Fiqh Asy Syafi’i”, karya Dr. Mustafa Diib al Bugha (versi terjemahan bahasa Indonesia dengan judul “Fikih Islam Lengkap, penjelasan hukum-hukum Islam madzab Syafi’i).

wallahu a’lam.

.


Tentang al Imam Abu Syuja disadur dan ditulis kembali dari sumber utama

Ulama Syafi’i dan Kitab-kitabnya dari Abad ke Abad, KH Siradjudin Abbas, Pustaka Tarbiyah, 1977.