MASJID AL-AQSHA
MASJID AL-AQSHA
Dalam rangka memperingati Isra’ Mi’raj kanjeng Nabi saw, berikut kami tampilkan sebuah artikel mengenai masjid Al Aqsha yang diambil dari Republika.
Masjid ini memiliki sejarah penting dalam dakwah Islam. Masjid Al- Aqsha yang berada di kota Palestina, merupakan salah satu tempat kebanggaan umat Muslim di seluruh dunia. Sebab, Rasulullah SAW pernah menyinggahi tempat ini saat perjalanan Isra dan Mi’raj untuk menerima perintah shalat lima waktu. (QS Al-Isra 17:1). Dan sejarah telah mencatat, bagaimana peristiwa Isra dan Mi’raj itu berlangsung.
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. 17:1)
Masjid Al-Aqsha menjadi tempat suci ketiga umat Islam setelah Masjid al-Haram di Makkah dan Masjid Nabawi di Madinah. Hal ini juga diakui oleh Karen Armstrong dalam bukunya yang berjudul Yerusalem; Satu Kota Tiga Iman.
Sebelum melaksanakan Mi’raj (naik ke langit), Rasulullah SAW melaksanakan shalat sunnat di masjid AI-Aqsha. Selain itu, masjid Al-Aqsha juga pernah menjadi kiblat pertama umat Islam sebelum datang perintah Allah kepada Rasulullah SAW untuk mengarahkan kiblatnya ke Baitullah (ka’bah) di Makkah. (QS. 2 : 142-145). Tentu menjadi sebuah pertanyaan besar, baik di kalangan umat Islam maupun umat lainnya, mengapa Rasulullah SAW justru melaksanakan Mi’raj dari Masjid Al-Aqsha? Mengapa tidak dari Masjid al-Haram? Mengapa saat melaksanakan shalat itu dulunya Rasulullah SAW menghadap ke Baitul Maqdis (Al_ Aqsha)? Dan tentunya masih banyak pertanyaan lainnya. Oleh karena itu, teramat penting bagi umat Islam untuk mengetahui hal tersebut.
Orang-orang yang kurang akalnya diantara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (Baitul Maqdis) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah: “Kepunyaan Allah-lah timur dan barat; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus”.
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Dan sesungguhnya jika kamu mendatangkan kepada orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil), semua ayat (keterangan), mereka tidak akan mengikuti kiblatmu, dan kamupun tidak akan mengikuti kiblat mereka, dan sebahagian merekapun tidak akan mengikuti kiblat sebahagian yang lain. Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti keinginan mereka setelah datang ilmu kepadamu, sesungguhnya kamu -kalau begitu- termasuk golongan orang-orang yang zalim. (QS. 2 : 142-145)
Dalam beberapa keterangan disebutkan, ketika Allah memerintahkan perintah shalat dan menghadap ke Masjid Al-Aqsha, hal itu dimaksudkan agar menghadap ke tempat yang suci, bebas dari berbagai macam berhala dan sesembahan. Ketika itu, kondisi Masjid al-Haram yang merupakan tempat keberangkatan Isra dan Mi’raj belum berupa bangunan masjid. Sebab kala itu masih dipenuhi berhala-berhala yang jumlahnya mencapai 309 buah dan senantiasa disembah oleh orang Arab sebelum kedatangan Islam. Sehingga, dibawah dominasi kekufuran seperti itu, Rasulullah SAW belum bisa menunaikan ibadah shalat di tempat tersebut.
Selain itu, bila Rasulullah SAW saat itu melaksanakan shalat dengan menghadap ke Masiid al-Haram, maka hal itu akan menjadi kebanggaan bagi kaum kafir quraisy bahwa Rasulullah SAW telah mengakui berhala-berhala mereka sebagai tuhan. Inilah salah satu hikmah diperintahkannya shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis (Al-Aqsha).
Dalam surah Al-Baqarah [2] ayat 142, Allah SWT menjelaskan mengapa perpindahan kiblat itu dilakukan. Sewaktu Nabi Muhammad SAW hijrah ke Madinah, sekitar 16-17 bulan setelah hijrah itu, Allah memerintahkan Rasulullah untuk menghadapkan wajahnya ke Masjid al-Haram (Ka’bah). Perpindahan ini dimaksudkan, bahwa ibadah shalat itu bukan semata-mata menghadap ke Masjid al-Haram atau Al-Aqsha sebagai tujuan, melainkan menghadapkan diri pada Allah. Dan adapun ka’bah adalah sebagai pemersatu umat Islam dalam nenentukan arah kiblat.
Sama seperti Al-Aqsha yang juga belum berupa bangunan masjid (ketika itu), dan al-Shakhra masih berupa gundukan tanah yang dipenuhi dengan debu. Adapun hikmah dibalik penyebutan Allah terhadap Al-Haram dan Al-Aqsha sebagai masjid (sebagaimana surah al-Isra’ [17] ayat 1), adalah untuk nenunjukkan pada umat Islam bahwa semua itu merupakan nukjizat yang akan datang dan terwujud seiring dengan berjalannya waktu sebagaimana sekarang ini, keduanya telah menjadi Masjid.
Dibangun Nabi Ya’kub
Selain masjid Al-Aqsha, di Palestina (Jerusalem) ini, juga sangat istemewa, lantaran di kota ini beberapa rasul terdahulu menerima wahyu dari Sang Khalik.
Syahdan, kali pertama ]erusalem dibangun Nabi Daud as setelah menguasai kota itu dari masyarakat Yebusit. Nabi Daud as lalu mengembangkan dan menjadikan Jerusalem sebagai ibu kota kerajaannya.
Tahta kerajaan Nabi Daud lalu digantikan Nabi Sulaiman as. Di kota itu, Nabi Sulaiman membangun sebuah Haekal atau Harem Syarief (tempat yang mulia) yang lengkap dengan singgasananya. Para ahli sejarah Yahudi menyatakan, Nabi Sulaiman membangun sebuah kuil yang bernama Baitallah.
Haekal atau Baitallah itu menjadi tempat beribadah umat Yahudi pertama yang indah dan megah. Di tengah Haekal itulah terdapat sebuah batu hitam bernama Sakhrah Muqaddasah.
Berlandaskan batu itulah, Rasulullah SAW melanjutkan mi’raj menghadap Sang Pencipta untuk menerima perintah shalat.
Hanafi al-Mahlawi, dalam bukunya Al-Amakin al-Masyhuriyah fi Hayati Muhammad SAW, (Harum Semerbak, Tempat-tempat Bersejarah yang dikunjungi Rasulullah SAW), menyatakan, jauh sebelum Nabi sulaiman AS membangun Haikal tersebut, Nabi Ya’kub AS (nenek moyang sulaiman AS) telah membangun sebuah masjid di Palestina yaitu Masjid Al-Aqsha.
Masjid Al-Aqsha pertama kali dibangun oleh Nabi Ya’kub AS dan direnovasi oleh Nabi Daud AS kemudian disempurnakan oleh Nabi Sulaiman AS. Masjid Al-Aqsha adalah masjid kedua yang dibangun di atas dunia ini setelah Masiid al-Haram (Makkah).
Dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim disebutkan, Abu Dzar RA meriwayatkan bahwa ia bertanya kepada Rasulullah sAW tentang rnasjid pertama yang dibangun di muka bumi, Rasul menjawab : “Masjid al-Haram.” AbuDzat bertanya lagi, “selanjutnya masjid apa?” Beliau menjawab , “Masitd Al-Aqsha”‘ Abu Dzar bertanya lagi, “Berapa lama jarak pembangunan keduanya?” Rasulullah SAW berkata, “40 tahun ‘”. Lalu Allah menjadikan bumi ini bagi kalian sebagai masjid. oleh karena itu, kapanpun waktu shalat, lakukanlah shalat diatasnya, karena dia memiliki keutamaan.”
Dalam beberapa keterangan, Masjid Al-Aqsha pertama kali dibangun pada sekitar 2500 tahun sebelum masehi (SM).
Tempat Bersejarah di Masjid Al-Aqsha
Masjid Al-Aqsha merupakan masjid kebanggaan umat Islam selain Masjid al-Haram di Makkah, dan Masjid Nabawi di Madinah. Masjid Al-Aqsha merupakan kiblat umat Islam pertama, sebelum Rasulullah sAW diperintahkan untuk memindahkan kiblat dari Masjid Al-Aqsha ke Masjid al-Haram. selain itu, Rasul SAW pernah melaksanakan shalat dua rakaat saat menjalankan Isra dan Mi’raj sebelum naik ke langit untuk menerima perintah shalat lima waktu.
Di dalam masjid Al-Aqsha terdapat sejumlah tempat yang bersejarah, antara lain:
l. Menara Bab al-Ashbath
Bangunan ini terletak di sebelah utara Al-Aqsha antara gerbang Hittah dan gerbang al-Ashbath. Bangunan ini didirikan pada zaman Sultan al-Mulk al-Asyraf Sya’ban (764-771 H / 1363-1376 M) yang dipimpin oleh Gubernur Saifuddin Qatlubigo :ahun 769 H / 1367 M. Hal ini diketahui dari prasasti yang ada disana.
Perlu disebutkan disini bahwa menara ini terdiri dari delapan sudut, bukan empat sudut seperti umumnya. Bangunan ini mengalami perbaikan pada zaman kekhalifahan Utsmaniyah dan dibentuk menyerupai silinder (bulat).
2. Qubbah al-Silsilah
Bangunan ini terletak beberapa meter di sebelah timur Qubbah Shakhra (Kubah Batu). Qubbah al-Silsilah ini dibangun oleh Kekhalifahan Bani Umayyah, Abdul Malik bin Marwan (65-68H / 507-685M). Sedangkan Qubbah Shakhra dibangun antara tahun 66-72 H oleh Khalifah Abdul Malik bin Marwan juga.
Kubah ini berdiri di atas bangunan segi enam yang ditopang oleh enam tiang. Bangunan ini dikelilingi oleh serambi yang terdiri dari 11 segi dan berada diatas 11 tiang yang kokoh sebagaimana mihrab yang berada di atasnya.
Dinamakan Qubbah al-Silsilah yang berarti Kubah Rangkaian, karena adanya rangkaian cahaya yang tergantung di dalamnya serta bisa dilihat dari luar. Rangkaian cahaya ini tergantung antara langit dan bumi.
Bangunan ini pernah direnovasi sebanyak dua kali, yaitu pada masa kerajaan Mamlukiyah dan kekhalifahan Utsmaniyyah, yaitu masa Sultan al-Malik al-Dzahir Bebres (658-676H) dan Sultan Sulaiman al-Qanuni (926-974H).
3. Menara Gerbang Silsilah
Bangunan ini terletak di sebelah barat Al-Haram al-Syarief (AI-Aqsha, antara gerbang Silsilah dan Sekolah al-Asyrafiyah. Bangunan ini didirikan pada zaman Sultan al-Nashir Muhammad bin Qalawan, tepatnya tahun ketiga dari kesultanannya (741-809H / 1309 -1340M) berdasarkan perintah dari Sultan al-Malik al-Nashir pada tahun 730 H/1329 M, sebagaimana trtulis pada prasastinya.
4. Menara al-Magharibah
Bangunan ini terletak di bagian barat daya dari Al-Haram al-Syarief al-Qudsiyyah. Menara ini terkenal dengan kemegahannya yang dibangun oleh Hakim Syarifuddin Abdurrahman bin al-Shahib, salah seorang menteri dari Sultan Fakhruddin al-Khalily. Bangunan ini pada masa keemasannya Syarifuddin sebagai penjaga Al-Haramain al-Syarifayn (di Al-Quds dan Hebron) tahun 677 H.
5. Qubbah Mi’raj
Bangunan ini terletak di sebelah barat Qubbah al-Shakhra agak miring ke sebelah utara. Bangunan ini didirikan pada masa kesultanan al-Ayubiyah tepatnya pada masa Sultan al-Amlik al-Adil Saifuddin Abi Bakar (596-615H / 1200-1218 M) atas perintah Amir al-ZanjlI| walikota al-Quds, sebagaimana tertuiis pada prasasti di sebelah pintu masuk utama.
6. Qubbah Nahwiyyah
Qubbah ini terletak di pojok barat daya Qubbah al-Shakhra, dan dibangun pada zaman al-Ayubiyah tepatnya pada Sultan Malik Isa tahun 604H/1207 M. Dulu bangunan ini merupakan tempat belajar bahasa Arab, karena Sultan Malik Isa terkenal dengan kecintaannya pada bahasa Arab. Demikian tertulis pada prasasti yang terdapat dalam qubbah tersebut.
Qubbah ini terdiri atas dua ruangan dan satu aula yang memanjang yang bisa dimasuki dari pintu utama. Ruangan ini dihiasi dengan ukiran-ukiran pepohonan. Demikian juga tiang-tiangnya yang kokoh yang dihiasi denganberbagai ukiran yang menunjukkan bangunan ini didirikan pada dua zaman yaitu Sahlibiyah dan Ayubiyah.
7. Mimbar Masjid
Bangunan ini dibuat atas perintah Syekh Nuruddin Zanki yang dihadiahkan kepada Shalahuddin al-Ayyubi atas keberhasilannya membebaskan Palestina dari cengkeraman tentara Israel.
Al-Shakhra; Batu Tambatan Buraq
Salah satu poin penting yang teriadi dalam peristiwa lsra dan Mi’raj Rasulullah SAW adalah tempat berpijaknya kaki Rasulullah saat akan naik ke langit dan menaiki buraq kendaraan yang membawa Rasulullah SAW dan malaikat Jibril, sejenis baghal yang lebih kecil dari kuda namun lebih besar dari keledai, yakni sebuah batu (al-Shakhra).
Batu itu terletak di sekitar Masjid al-Shakhra (kubah batu) yang juga dijuluki dengan nama Dome of the Rock. Masjid ini dibangun oleh Khalid bin Walid atas perintah Khalifah Umar bin Khattab RA, pada tahun 15H / 636M, ketika tentara Islam berhasil menaklukkan Palestina (Yerusalem) dari tangan Israel. Karenanya ada pula yang menyebutnya dengan nama Masjid Umar. Dan hingga kini, batu itu tersimpan denganbaik didalam Masjid Kubah Batu tersebut.
Banyak pihak yang mengaitkan batu tempat berpijak kaki Rasulullah SAW dan tambatan buraq tersebut dengan cerita¬cerita mistik, yaitu batu terapung’ Konon disebutkan’ batu itu dulunya juga ingin ikut naik bersama Rasulullah SAW’ namun beliau melarangnya. Karena sudah sempat naik (mengambang)’ Rasulullah memerintahkannya untuk berhenti, sehingga menjadi teraPung.
Cerita ini diungkapkan oleh banyak pihak untuk merusak keimananumatlslam.Bahkan,diinternetbanyakberedarfoto¬foto batu yang seolah-olah terapung (mengambang). Padahal foto mengambang itu merupakan hasil rekayasa. Karena sesungguhnya, pada batu itu terdapat penyangga dibawahnya.
Wa Allahu A’Iam.
Sumber: Syahruddin El Fikri, Situs-Situs Dalam Al Qur’an, Republika, 2010
BENARKAH NABI MUHAMMAD SAW SHALATNYA MENGHADAP KE KIBLAT BAITUL MAQDIS SEBELUM KE MASJIDIL HARAM?
Shalat Nabi Muhammad SAW sebelum Isra’ berkiblat ke Baitul Maqdis?
Pada awal Islam, Nabi shallallahu’alaihi wa sallam bersama ummat Islam mendirikan shalat menghadap ke Baitul Maqdis. Semasa beliau masih di kota Makkah, bila mendirikan shalat, beliau berdiri di sisi selatan Ka’bah, sehingga dapat menghadap ke Baitul Maqdis dan sekaligus juga menghadap ke Ka’bah.
Namun setelah beliau hijrah ke kota Madinah, beliau tidak dapat melakukan hal tersebut, mengingat kota Madinah berada di arah utara Kota Makkah, dan Baitul Maqdis berada di arah utara kota Madinah. Letak geografis kota Madinah ini menjadikan beliau harus membelakangi Ka’bah bila sedang mendirikan shalat.
Arah kiblat shalat Nabi Muhammad SAW ke BAITUL MAQDIS tidak jelas, karena tata cara shalat sebelum isra pun tidak ada
Imam Ibnu Utsaimin pernah ditanya tentang masalah ini, jawaban beliau:
Yang kami tahu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melaksanakan shalat sebelum peristiwa isra mi’raj, di pagi dan sore hari. Bagaimana cara beliau shalat? Allahu a’lam, yang jelas beliau shalat. Bisa jadi tata caranya dengan ijtihad mereka atau berdasarkan wahyu. Jika tata cara shalat yang beliau kerjakan ketika itu, berdasarkan wahyu maka statusnya telah mansukh (dihapus) [dengan tata cara shalat yang saat ini]. Jika berdasarkan ijtihad, syariat telah menjelaskan tata cara shalat yang benar. *)
Shalat menghadap ke arah kiblat Masjidil Haram atau Ka’bah?
Menghadap kiblat termasuk salah satu syarat sah shalat. Kecuali ketika shalat khouf (shalat ketika perang), mereka yang tidak mampu menghadap kiblat karena udzur, atau ketika shalat di atas kendaraan.
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke LANGIT, maka sungguh Kami akan menghadapkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Hadapkanlah mukamu ke arah MASJIDIL HARAM. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke MASJIDIL HARAM itu adalah BENAR dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan. (QS. al-Baqarah: 144).
Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajari cara shalat yang benar, beliau mengatakan:
Jika kamu hendak melakukan shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke arah kiblat dan lakukan takbiratul ihram. (HR. Bukhari 6667 & Muslim 912). **)
Kalau kita mengintip sinyal Al Quran maka penekanan istilah yang tepat dan benar adalah ke arah MASJIDIL HARAM bukan KA’BAH atau BAITUL HARAM. Ya rasanya ada 15 ayat yang menyebutkan bahwa arah kiblat itu MASJIDIL HARAM simak: QS. 2:144, 149, 150, 191, 196, 217, QS. 5:2, 8:34, 9:7,19, 28, 17:1, 22:25, 48:25, 27.
Lalu mengapa timbul istilah yang benar itu Masjidil Haram bukan Ka’bah atau Baitul Haram?
Pertama: Ada kaitannya dengan istilah Masjidil Aqsha (QS. 17:1) jadi masjid ini bukanlah yang dimaksudkan dengan Masjidil Aqsha yang ‘diinkarnasikan’ dari Baitul Maqdis ada di Palestina. Walaupun ada anggapan bahwa seolah Nabi Muhammad SAW isra’nya ke Sidhratul Muntaha berangkat dari Masjidil Aqsha ini. Masjid Aqsha Palestina baru ada setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Kedua: Masjidil Aqsha yang termuat dalam QS. 17:1 bisa jadi bukan yang dimaksud ada di bumi ini sebagaimana ada penegasan bahwa Nabi Muhammad SAW tidaklah menghadapkan arah kiblatnya ke Baitul Maqdis tapi bahkan beliau selalu menengadahkan mukanya ke LANGIT (QS. 2:144). Kemudian bisa saja Masjidil Aqsha yang dimaksud yang ada di Sidhratul Muntaha ya berarti tempat yang gaib bagi manusia dan yang tak perlu diperdebatkan.
Ketiga: Bagi Nabi Muhammad SAW diberikan sesuatu keleluasaan untuk menghadapkan arah kiblatnya sebebasnya mau ke arah barat atau timur. Karena itu hanya: Orang-orang yang KURANG AKAL-nya di antara manusia akan berkata: “Apakah yang memalingkan mereka (umat Islam) dari kiblatnya (BAITUL MAQDIS?) yang dahulu mereka telah berkiblat kepadanya?” Katakanlah (Hai Muhammad):”Kepunyaan Allah-lah TIMUR dan BARAT; Dia memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya ke jalan yang lurus (QS. 2:142).
Keempat: Untuk menegaskan bahwa mana orang-orang yang mau mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW dengan orang-orang yang menolaknya. “…. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang (mau) mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. 2:143).
Kelima: Penggunaan istilah KA’BAH atau BAITUL HARAM (RUMAH SUCI) (QS. 5:95, 97) ‘sayangnya’ dalam terjemahan Al Quran selalu dibuat dan ditulis di (..) dengan istilah BAITULLAH istilah YANG TIDAK TEGAS ya seolah-oleh merujuk pada a.l. QS. 2:125, 127, 158, 3:96, 97, 5:2, 8:35.
Beda halnya dengan istilah MASAAJIDALLAH atau Masjid-masjid ALLAH memang termuat dalam QS. 9:17, 18 dan 72:18 beda dengan Baitullah. Istilah Ka’bah yang tegas dan tepat adalah BAITUL HARAM atau RUMAH SUCI (QS. 5:2, 97 dan 14:37) hal ini sejalan dengan penggunaan istilah MASJIDIL HARAM jadi bukannya BAITULLAH. Atau istilah Ka’bah atau Baitul Haram lainnya juga disebut BAITIL THAIFIN (QS. 2:125 dan 22:26) atau BAITIL ATIQ (SQ.2:29 dan 33)
http://aleichem.blogspot.co.id/2013/06/perubahan-arah-kiblat-adalah-inisiatif.html
https://muslim.or.id/19965-mengambil-pelajaran-dari-pergeseran-kiblat.html
*) http://islamancient.com/play.php?catsmktba=22684
**) https://konsultasisyariah.com/24916-wajib-menghadap-ke-kabah.html
–> Ada riwayat bahwa sebelum shalat diarahkan ke Masjidil Haram, sebelumnya menghadap ke Masjidil Aqsa di Palestina. Bacalah sirah Nabi.
Ada sebuah masjid dengan nama Masjid Qiblatain, masjid di mana baginda Nabi saw saat mengimami shalat diperintahkankan untuk mengubah arah kiblat dari Yerusalem ke Mekah. Oleh karena itu masjid tersebut disebut masjid dengan dua Qiblat. Masjid ini unik berisi dua mihrab, satu menghadap Masjidil Aqsa dan satu lagi menghadap Masjidil Haram. Masjid Qiblatain ini adalah satu di antara tiga masjid paling awal dalam sejarah Islam, bersama-sama dengan Masjid Quba dan Masjid an-Nabawi.
Ke dua mihrab itu masih ada selama berabad-abad. Sayang di era wahabi yang berkuasa saat ini, masjid ini direnovasi dengan menghilangkan mihrab yang menghadap ke masjidil Aqsa, dan hanya menyisakan satu miheab yang menghadap Mekah. Akibatnya, akan ada orang-orang yang tidak percaya bahwa dulu sebelum menghadap ke Masjidil Haram, umat islam pernah shalat menghadap Masjidil Aqsa. Tidak ada prasasti sejarah …
Wallahu a’lam. Mohon maaf kl tak berkenan.
BAITUL MAKDIS, MASJIDIL AQSHA DAN PALESTINA TAK ADA KAITAN DENGAN MISI ISLAM DAN KAUM MUSLIM!
Dan (ingatlah), ketika Kami berfirman: “Masuklah kamu ke negeri ini (Baitul Makdis), dan makanlah dari hasil buminya, yang banyak lagi enak dimana yang kamu sukai, dan masukilah pintu gerbangnya sambil bersujud, dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa”, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu. Dan kelak Kami akan menambah (pemberian Kami) kepada orang-orang yang berbuat baik”. [SQS. Al-Baqarah, 2: 58]
Dan (ingatlah), ketika dikatakan kepada mereka (Bani Israel): “Diamlah di negeri ini saja (Baitul Makdis) dan makanlah dari (hasil bumi) nya dimana saja kamu kehendaki.”. Dan katakanlah: “Bebaskanlah kami dari dosa kami dan masukilah pintu gerbangnya sambil membungkuk, niscaya Kami ampuni kesalahan-kesalahanmu”. Kelak akan Kami tambah (pahala) kepada orang-orang yang berbuat baik. [SQS. Al-A’raf, 7: 161]
Kedua ayat tersebut di atas menggambarkan suasana keadaan di era Bani Israel yang hidup di era Nabi Musa As. atau setelah eranya. Sementara era sebelum ada Bani Israel adalah era keturunan Nabi Ismail As. dan Ishak As. dan Nabi Ismail As itu sendiri sudah diperintahkan oleh Allah SWT kepada Nabi Ibrahim As. agar menghijrahkan anaknya, Nabi Ismail As. ke luar dari (katakanlah) Palestina atau ada yang menganggap Syam dsb. yakni hijrah ke negari Arab. Jadi, keturunan Nabi Ismail As. sama sekali tak punya hubungan komunikasi dengan Bani Israel yang ada di Palestina. Lalu, kapankah Palestina menjadi negeri kaum Muslim?
Simak tulisa ini:
Palestina, Tanah Kaum Muslim
Inilah tanah pilihan, Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menetapkan keberkahan tanah Palestina, tanah yang juga termasuk bagian dari Syam. Keberkahannya ini dapat dirunut, misalnya Syam menjadi tempat hijrah Nabi Ibrahim Alaihissalam, tempat singgah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menjalankan Isra dan Mi’raj, tempat dakwah para Nabi. Dakwah yang membawa misi agama tauhid. Dan juga lantaran keberadaan Masjidil Aqsha di tanah Palestina yang penuh berkah.
https://almanhaj.or.id/2431-palestina-tanah-kaum-muslimin.html
Selanjutnya digunakan pula dalil sbb.: “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda kebesaran Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Al-Israa : 1]
Pada masa kekuasaan Romawi inilah, Isa Al-Masih diutus oleh Allah. Pada masa itu pula, musibah dahsyat dialami kaum Yahudi. Bangsa Romawi melakukan genocide (pemusnahan) secara keras etnis mereka, lantaran orang-orang Yahudi melakukan pemberontakan. Baitul Maqdis pun dihancurkan. Bangsa Yahudi tercerai-berai. Sebagian melarikan diri ke seluruh penjuru wilayah bumi. Demikianlah hukuman Allah dengan mendatangkan bangsa yang menindas mereka. Siksaan dan kepedihan ditimpakan kepada mereka, atas kerusakan, tindak aniaya dan akibat akhlak mereka yang buruk.
Bangsa Romawi menguasai tanah Baitul Maqdis hingga beberapa lama, hingga kemudian pada abad pertama hijriyah, pada masa khalifah Umar Ibnu Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, kaum Muslimin berhasil mengambil alih penguasaan tanah penuh berkah ini dari tangan bangsa Romawi yang memeluk agama Nashrani, meliputi Palestina, Syam dan daerah yang ada di dalamnya. Tepatnya pada pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khaththab Radhiyallahu ‘anhu, pada bulan Rajab tahun 16H, sehingga menjadi Darul Islam. Penyerahan Baitul Maqdis ini terjadi, setelah pasukan Romawi disana dikepung oleh pasukan kaum Muslimin selama empat puluh hari di bawah komando Abu Ubaidah Ibnul Jarrah Radhiyallahu ‘anhu. Kemudian Khalifah Umar Ibnul Khaththab menetapkan orang-orang Yahudi tidak boleh tinggal di Baitul Maqdis.
Kalau benar uraian di atas bahwa ketika terjadi peristiwa Isra’ Nabi Muhammad SAW singgah ke Masjidil Aqsha dari Masjidil Haram, apa benar sudah ada Masjidil Aqsha yang konon dianggap di Baitul Makdis atau Palestina??? Pada hal sejarah mencatat bahwa Masjidil Aqsha itu baru dibangun oleh Khalifah Umar bin Khatab setelah puluhan tahun wafatnya Nabi Muhammad SAW? Jadi, kurang tepat adanya anggapan bahwa Masjidil Aqsha yang disebut dalam SQS. Isra’, 17:1 adalah Masjidil Aqsha yang ada di Palestina. Lalu Masjidil Aqsha yang disebut dalam surat tersebu dimana, menjadi masalah yang gaib bagi kita ya hanya Allah SWT yang Maha Mengetahuinya.