Ketika Si Komo Lewat ..

Ketika Si Komo Lewat ..

Masih ingat lagu anak-anak karya kak Seto ini. Sangat pass dengan kondisi sekarang, dengan adanya kritikan salah seorang warga ketika SBY lewat.

Macet lagi, jalanan macet
Gara-gara si komo lewat
Pak polisi jadi binggung
Orang-orang ikut binggung

Macet lagi, macet lagi
Gara-gara si komo lewat
Jalan Thamrin, Jalan Sudirman
Katanya berkeliling kota

Reff:

Momo si komo hey… mau kemana?
Saya mau lihat gedung-gedung bertingkat
Momo si komo hey… mau kemana?
Saya mau lihat pembangunan merata

La la la la la la la la la la
weleh weleh weleh weleh weleh

bridge:
Ada Taman Mini Indonesia Indah Jakarta semua ada
Komo jalan-jalan, berkeliling kota
weleh weleh weleh weleh weleh

Macet lagi, macet lagi
Gara-gara si komo lewat
Lewat H.I. lewat Harmoni
Terakhir sampai di Monas

back to bridge:

back to *

Macet, macet lagi
Eh macet, jalanan macet
Macet, macet lagi
Lebih baik naik bis kota
Macet, macet lagi
Eh macet, jalanan macet
Macet, macet lagi
Lebih baik lewat jalan tol

Weleh weleh weleh

Wahai Para Pejabat, Dengarlah Ini…
Sabtu, 17 Juli 2010 | 08:04 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Iring-iringan pengawal para pejabat di Indonesia memang kerap mengundang keluhan. Tak tahan lagi memafhumi, Hendra NS, seorang warga Cibubur yang selalu berhadapan dengan petugas Patroli Pengawal (Patwal) Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun mengungkapkan kekesalannya melalui Surat Pembaca Kompas edisi 16 Juli 2010.

Keluh kesah Hendra seakan mewakili unek-unek ribuan warga lainnya yang kerap mendapatkan kesal yang sama saat berkendara di jalanan Ibu Kota. Setidaknya, Kompas.com merangkum beberapa keluhan lainnya. Semoga para pejabat mau mendengarnya….

Inilah surat Hendra yang dimuat di Harian Kompas dan mendapatkan tanggapan dari berbagai kalangan:

Redaksi Yth.

Trauma oleh Patwal Presiden

Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya—juga mayoritas pengguna jalan itu—memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.

Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya. Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman.

Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri. Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan.

Bingung dan panik, saya pun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan. Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?” Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara.

Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya. Saya jelaskan situasi tadi. Amarahya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti “Dari mana sumber suara speaker itu?”, atau “Mestinya kamu ikuti saya saja”, atau “Tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri”. Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris.

Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk hati satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat. Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, “Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?” Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.

Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.

HENDRA NS Cibubur ***

Seorang warga Jakarta, Rinda, juga pernah mengalami hal yang sama. Bekerja di kawasan Thamrin membuatnya saat berkendara kerap bersinggungan dengan iringan mobil pejabat yang berkantor di kawasan Medan Merdeka. Surat pembaca yang dikirimkan Hendra pun sempat dibacanya.

“Iya, itu surat pembaca udah bener banget. Saya pikir, orang Jakarta, kalo ditanya soal mobil-mobil pejabat yang lewat kesannya sama deh: kesal dan sok banget. Enggak merakyat,” kata Rinda, Jumat (16/7/2010) malam.

Ia lantas bercerita, suatu saat pernah mengalami kejadian yang membuatnya kesal setengah mati. Ketika melintas di kawasan Pakubuwono, Jakarta Selatan, petugas pengawal mobil pejabat dengan seenaknya meminta mobil-mobil menepi. Padahal, saat itu dalam keadaan macet.

“Saya paham sih, dia cuma pengawal yang mungkin takut sama bosnya. Tapi kelakuannya itu suka enggak mikir. Waktu itu sore dalam keadaan hujan. Pakubuwono itu kan satu arah. Pas macet banget. Mobil pengawalnya, kalo enggak salah Nissan Terrano. Bunyiin sirene yang ampun deh, heboh banget. Terus, jendela bagian depan dibuka, si petugas mengacung-acungkan pentungannya nyuruh mobil minggir karena mobil dia dan pejabat juga terjebak kemacetan. Lah, saya yang ada di sebelah mobilnya, langsung bilang, ‘Mau minggir gimana, Pak. Lihat dong, macet gini. Enak aja main perintah’. Saya bilang gitu, dia langsung turun, terus minggir-minggirin mobil. Mana bisa, saat itu padet banget. Akhirnya ikut kena macet juga enggak bisa apa-apa,” cerita Rinda panjang lebar.

Ia memaklumi, jika para pejabat memang mendapatkan perlakuan yang istimewa. Namun, ia mengharapkan, ada sikap arif dari sang pejabat untuk memahami kondisi saat berkendara di jalan raya.

“Jangan karena kita rakyat biasa, kemudian mereka seenaknya aja memperlakukan kita. Sekali-sekali merasakan jadi rakyat biasa kan juga enggak apa-apa. Merasakan bagaimana nikmatnya macet, ha-ha-ha,” ujarnya.

Ya, semoga mereka mendengarnya! Anda juga, punyakah pengalaman yang sama?

.

sumber: http://nasional.kompas.com/read/2010/07/17/08042646/Wahai.Para.Pejabat..Dengarlah.Ini…

.

Atau simaklah ketika sayidina Umar ibn Khattab ra mengunjungi Yerusalem untuk menerima kunci penyerahan kota suci tersebut dari uskup di sana.

Ketika Yerusalem menyerah kepada tentara islam ketika itu, Uskup Agung Sophronius menghendaki kota suci itu hanya akan diserahkan ke tangan Khalifah Umar bin Khattab ra. Sophronius menghendaki agar Amirul Mukminin tersebut datang ke Yerusalem untuk menerima penyerahan kunci kota suci tersebut

Maka berangkatlah sayidina Umar ra ke Yerusalem dengan ditemani seorang pelayan dan seekor unta yang ditungganginya bergantian. Ketika sampai di wilayah Yerusalem, kebetulan tiba giliran pelayan untuk menunggang unta tersebut. Pelayan itu menolak dan memohon agar khalifah mau menunggang hewan tersebut. Tapi Khalifah Umar ra menolak dan mengatakan bahwa saat itu adalah giliran Umar ra yang harus berjalan kaki.

Masyarakat menyaksikan suatu pemandangan yang belum pernah terjadi. Ada pelayan duduk di atas unta sedangkan tuannya berjalan kaki menuntun hewan tunggangannya itu dengan mengenakan pakaian dari bahan kasar yang sangat sederhana. Lusuh dan berdebu, karena telah menempuh perjalanan yang amat jauh. Sebuah teladan mengenai kebersahajaan sayidina Umar ibn Khattab ra.

Mungkin terlalu susah untuk diamalkan pada saat ini, mengingat adanya faktor keselamatan pejabat dan lain-lain, namun teladan di atas perlu diresapi (dalam bentuk yang disesuaikan) untuk menampakkan kesederhanaan pemimpin. Bahwa pemimpin itu benar-benar mengerti dan memahami apa yang dirasakan oleh rakyatnya yang paling kecil sekalipun.

Jika tak dapat mencontoh dari contoh teladan para sahabat dan salihin, ada contoh yang sangat dekat dengan kita. Lihat berita di bawah. Ini dari tanah air sendiri, dan baru saja lengser kemarin. Contoh yang baik-baik ditiru dan yang buruk ditinggalkan.

.

Gus Dur Tak Mau Dikawal
Rabu, 30 Desember 2009 | 21:19 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Baik para pemimpin maupun pejabat di negeri ini biasanya mendapatkan pengawalan ketat jika bepergian ke mana pun. Aturan ini tak berlaku bagi mantan presiden keempat RI, almarhum Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.

Orang dekat Gus Dur, Hermawi Taslim, mengungkapkan bahwa Gus Dur tak pernah mau memakai iring-iringan pengawal jika bepergian. Seperti lazim dijumpai di jalanan, para pejabat negara, apalagi mantan presiden, biasanya diikuti beberapa mobil maupun motor pengawal dari pihak kepolisian.

“Gus Dur dikenang sebagai sosok yang sederhana. Beliau sangat sederhana. Makan seadanya. Tidak pernah mau dikawal ketat. Tidak pernah mau melalui jalan VIP. Agak susah mendapatkan sosok seperti Gus Dur,” kata Hermawi dengan suara tersendat kepada Kompas.com, Rabu (30/12/2009) malam.

Sejak lengser dari kursi kepresidenan, Gus Dur mendapatkan tiga pengawal pribadi. Akan tetapi, hubungannya dengan para pengawal seperti teman. “Gus Dur itu sering ngobrol seperti teman dengan para pengawalnya atau ajudannya. Obrolannya bisa soal memelihara bebek, lele, dan lain-lain. Beliau sangat low profile,” ungkap Hermawi yang pernah menjabat ketua DPP PKB.

sumber: http://lipsus.kompas.com/topikpilihan/read/2009/12/30/21193786/Gus.Dur.Tak.Mau.Dikawal

.

mohon maaf kl tak berkenan.