Imam Abu Zur`ah (w. 826 H) dan fatwanya tentang Maulid Nabi saw
Imam Abu Zur`ah (w. 826 H) dan fatwanya tentang Maulid Nabi saw
Imam al-Faqih al-Ushuli al-Mutafannin al-Hafiz al-Muhaqqiq ًWaliyuddin Abu Zur`ah Ahmad bin al-Hafiz al-Kabir Abi al-Fadhl Zainuddin ‘Abdur Rahim bin al-Husain al-‘Iraqi rahimahumUllah adalah salah seorang ulama besar bermazhab Syafi`i. Beliau dilahirkan pada bulan DzulHijjah tahun 762H. Didikan agama diperolehinya daripada ayahandanya sendiri yang juga seorang ulama besar yang mempunyai berbagai karangan. Selain itu, beliau juga melazimi pengajian ulama – ulama lain antaranya Imam al-Bulqini, Imam al-Burhan al-Abnaasi, Imam Sirajuddin Ibnu Mulaqqin @ Ibnu an-Nahwi asy-Syafi`i, Imam adh-Dhiya` al-Qazwini dan lain-lain lagi. Beliau mengarang banyak kitab dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan. Antara karya beliau:-
1. Syarah al-Bahjah;
2. Syarah Sunan Abi Dawud;
3. Mukhtashar al-Muhimmat;
4. Syarah Jam`ul Jawaami’ fil Ushul;
5. Syarah Nadzam al-Baidhawi;
6. Syarah Taqrib al-Asaanid;
7. Hasyiah ‘ala al-Kasysyaf.
Apabila al-Imam al-Jalal al-Bulqini rahimahUllah wafat pada tahun 824H, maka Imam Abu Zur`ah telah diangkat menjadi qadhi Mesir menggantikannya. Imam Abu Zur`ah sendiri wafat dalam bulan Sya’ban tahun 826H, rahimahUllah.
Imam al-Habib ‘Alawi bin Ahmad bin al-Hasan bin Shohibur Ratib al-Qutb al-Habib ‘Abdullah al-Haddad rahimahumUllah menulis dalam syarahnya bagi “Ratib al-Haddad”, halaman 91 bahawa Imam Abu Zur`ah pernah ditanya mengenai hukum mengadakan sambutan Mawlidin Nabi SAW. Adakah ianya mustahab atau makruh dan apakah ada warid ianya dilakukan oleh generasi salaf terdahulu yang menjadi ikutan umat? Maka beliau, rahimahUllah menjawab sebagai berikut:-
Membuat walimah (kenduri) dan memberikan jamuan makanan adalah sesuatu yang mustahab dilakukan pada bila-bila masa sahaja. Apatah lagi jika ianya disertai kegembiraan atas zahirnya nur an-nubuwwah pada bulan yang mulia ini. Walaupun generasi salaf tidak diketahui melakukan walimah yang sedemikian, namun keadaannya sebagai suatu bid`ah tidaklah memestikan yang ianya dianggap sebagai sesuatu yang dibenci (bid`ah makruhah). Betapa banyak bid`ah yang mustahabbah, bahkan yang dianggap sebagai wajib, apabila ianya tidak dicampuri oleh sesuatu mafsadah.
Jadi jelaslah menurut pandangan Imam Abu Zur`ah, mengadakan kenduri untuk memperingati mawlid Junjungan Nabi SAW adalah suatu bid`ah yang mustahab. Kenduri-kenduri mawlid ini walaupun tidak pernah dikerjakan oleh generasi salaf terdahulu adalah dibenarkan dengan syarat ianya bersih dari perbuatan-perbuatan yang mendatangkan fasad dan kerosakan menurut hukum syarak yang mulia. Maka amat kejilah fatwa songsang zaman ini yang menghukumkan orang-orang yang mengadakan majlis mawlid Nabi SAW sebagai bid`ah yang munkar, sedangkan dalam majlis tersebut tiada perbuatan yang menyalahi syarak. Eloklah kita campakkan sahaja fatwa karut tersebut dan berpeganglah kepada fatwa para ulama kita terdahulu. Bid`ah pun bid`ahlah asalkan bid`ah hasanah.
Sumber: http://bahrusshofa.blogspot.com/2011/02/fatwa-mawlid-abu-zurah.html
assalam,..mantab ustadz ,thanks atas pencerahannya…….
Hujjah gak nyambung, kok dibilang mantep…. TOLOL
ga nyambung dgn apa mas?
Wong isinya tntang biografi dan sekilas pendapat beliau tntang mawlid kok..
Ente tuh yg aneh
@M.penyembah berhala
maklumlah…kebakaran jenggot nt ya…wkwk
sono gih rapihi jenggot mu dulu ya…cuci kaki, wudhu,makan dulu biar anteng, baru ngaji yaa sing bener…wkwkw
jangan2 ente yg TUOLOOL
gak ada kok yang nganggap wajib kang, anak kecil juga tahu kalau gak wajib kok kabuuuuurrrr
Inilah yg disebut hujjah ASWAJA, mantabbb!
Semoga dengan adanya blog-blog seperti ini membawa kesadaran bagi ummat Islam agar sadar akan bahayanya Wahabi yg selalu menyerang ASWAJA. Dan ASWAJA punya dalil dan hujjahnya
Thanks Admin,
Heran dah pada tahu kalo gak pernah dikerjakan oleh org. terdahulu kok masih pada menganggap baik dgn dalil dan hujjah yg gak nyambung, apalagi percaya dgn perkataan ulama, ingat walaupun sang ulama itu hafal ratusan bahkan ribuan hadist tapi kalo perkataannya tidak sama dgn hadist, jgn dikuti karena ulama itu tidak maksum…hanya Nabi yg bersifat maksum. Disini susahnya kalo ulama leboh mementingkan materi daripada agama, bayangkan seandainya tidak ada yg mengundang untuk perayaan maulid nabi maka akan kerelah nasib si ulama itu…..prihatin sekali.
@bukanu
malu ah klo belum tahu ngemeng begitu,…
@ Maulid dan gembira atas lahirnya Rasul saw sudah ada sejak zaman sahabat radhiyallahu ‘anhum., sebagaimana syair syairnya Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra :
“Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah.., maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : “… dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya kelahiranmu itu dan dalam tuntunan kemuliaan kami terus mendalaminya” (Mustadrak ‘ala shahihain hadits no.5417).
Apakah Abbas bin Abdulmuttalib ra, mengulangi pembacaan syairnya setiap tahun seperti pembacaan barzanji pd. maulid zaman sekarang ini mas…
–> Memangnya kenapa dengan diulangi setiap tahun. Apakah kalau diulangi setiap tahun menjadi haram/sesat mas? … kaidah yang aneh.
Pujian terhadap baginda Nabi saw kini ada yang mengulanginya setiap minggu, bahkan setiap hari/malam. Apakah yg begini jadi tambah sesat. Duhh bingung aku dengan kaidah ini.
“Bid`ah pun bid`ahlah asalkan bid`ah hasanah”, emang kata siapa bid’ah itu ada dibagi2…padahal Baginda Rasulpun tidak pernah membagi2 bid’ah, hanya ulama yg mementingkan diri pribadinya yg membagi bid’ah menjadi 3 ataupun 5 bagian…jd perkataan siapa yg harus kita ikuti, Baginda Rasul atau ulama.
–> kami mengikuti Rasulullah saw. Kami tak mengalami era dan tak dapat melihat baginda Rasul saw langsung. Maka kami mengikuti para ulama yang mengikuti Rasul saw, karena hanya para ulama lah pewaris Nabi.
Jika tak melalui ulama, anda mengikuti baginda Rasul saw melalui siapa? Orientaliskah?
jgn lupa, wahabi juga mmbagi bid’ah mnjadi 2 yaitu bidah agama dan bidah dunia,
Nabi ga pernah jg membaginya sperti itu..
SEBAGAI SESAMA TUKANG BAGI BIDAH, SEBAIKNYA JGN SALING CELA…
mngenai komentator yg mnyebut bahwa Nabi tidak pernah mmbagi bid’ah, ada baiknya meliat kmbali hadis di bagian atas blog ini, “brg siapa mngadakan perkara baru dalam agama Islam dan seterusnya” yg secara eksplisit mnyebut pembagian bid’ah alias perkara baru..
JELAS SEKALI NABI PUN MEMBAGI2 BID’AH..
Pun jelas juga ke-“asal bunyi”-an orang2 yg menyebut Nabi tidak membagi bid’ah..
Selama Nabi masih hidup tidak ada yg namanya bid’ah mas, adanya setelah beliau wafat, aneh anda tidak mengerti kalimat bahasa yg benar rupanya….
pertama,
kalo menurut anda begitu, terus ngapain Nabi mengucapkan hadis berikut?
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam perkara baru yang baik maka baginya pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam perkara baru yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun” (H.R. Muslim)
ini hadis yg saya maksud bahwa Nabi juga mengakui adanya pembagian bid’ah..
kedua,
darimana anda tau tidak ada bid’ah di zaman Nabi?
emangnya sahabat yg dikirim ke etiopia untuk mengajarkan Islam, pun begitu juga sahabat2 yg dikirim mengajar itu, dikirim dengan dibekali HP? agar kalo ada masalah baru, bisa nanya Nabi langsung via HP?
dalam keadaan “lost contact” dengan Nabi, apakah mereka bisa secepatnya menghubungi Nabi ketika ada suatu masalah (misalnya berhadapan dengan “sesuatu yg baru”)???
logikanya, mereka pasti akan berijtihad kan??
nah, apa ijtihad keputusan mengenai suatu masalah itu bukan bid’ah/sesuatu yg baru??
kalo ga sempat nanya Nabi, apa namanya kalo bukan bid’ah??
apa anda lupa, ada hadis tentang keabsahan ijtihad setelah tidak ditemukannya keputusan Allah (Quran) dan keputusan Nabi (Hadis) terhadap sahabat yg akan dikirim ke suatu tempat??
ketiga,
siapa sebenarnya yg aneh, anda atau saya?
PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW.,
MENURUT SYARIAT ISLAM
Muqaddimah
Segala puji bagi Allah SWT yang telah menyempurnakan agama Islam untuk hamba-hamba-Nya yang beriman dan menjadikan Sunnah Rasul-Nya, Muhammad saw., sebagai sebaik-baik petunjuk yang diikuti. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Rasulullah saw., keluarganya, dan para sahabatnya serta pengikutnya yang tetap setia dalam menegakkan Sunnahnya hingga hari berbangkit.
Allah SWT telah menyempurnakan agama Islam bagi hamba-hamba-Nya; menyempurnakan nikmat-Nya bagi mereka. Allah tidak mewafatkan Nabi-Nya kecuali setelah beliau selesai menyampaikan risalah Islam secara paripurna dan jelas dalam syariat-Nya. Rasulullah saw., juga telah menjelaskan agama Islam ini baik melalui perkataan, perbuatan maupun taqrir, sehingga setiap hal-hal baru yang tidak dijelaskan oleh beliau saw., baik berupa i’tiqad (keyakinan), perkataan maupun perbuatan yang tidak ada landasannya dalam agama, maka semuanya itu disebut bid’ah dan tertolak.
Bid’ah adalah penambahan terhadap ajaran agama Islam yang tidak diizinkan oleh Allah serta merupakan tasyabbuh (penyerupaan) dengan musuh-musuh Allah dari kalangan Yahudi dan Nasrani. Selain itu, melakukan perbuatan bid’ah berarti telah melakukan pelecehan terhadap Islam dengan menganggap bahwa Islam belum sempurna dan menuduh secara terang-terangan bahwa Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam dari umatnya. Berhati-hatilah terhadap bid’ah, karena bid’ah itu sesat dan sesat tidak lain kecuali ke neraka.
Perbuatan bid’ah, salah satunya adalah peringatan maulid Nabi saw., berarti beranggapan bahwa Allah SWT belum menyempurnakan agama-Nya bagi umat ini, atau beranggapan bahwa Rasulullah saw., belum menyampaikan segala sesuatu yang mesti dikerjakan umatnya. Tidak diragukan lagi, bahwa anggapan seperti ini mengandung bahaya besar karena telah secara nyata menentang Allah dan Rasul-Nya. Allah SWT telah menyempurnakan agama-Nya ini secara haq dan sungguh tidak pantas manusia melakukan perubahan-perubahan dalam agama-Nya. Kita tidak memungkiri bahwa Muhammad saw., adalah Nabi paling mulia dan terakhir. Seorang Nabi yang paling sempurna penyampaian dan ketulusannya. Seandainya Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah, maka sudah pasti Rasulullah saw., telah menerangkannya kepada umatnya, atau paling tidak pasti telah dikerjakan oleh para sahabatnya.
Tetapi, semua itu tidak pernah terjadi. Tidak pernah kita temukan Rasulullah saw., atau para sahabat, tabi’in atau tabi’it tabi’in atau Imam Madzhab sekalipun yang memperingati maulid Nabi saw. Peringatan ini bukan bagian dari ajaran Islam, tapi ini perbuatan bid’ah dan termasuk tasyabbuh terhadap Yahudi dan Nasrani dalam hari-hari besar mereka. Banyak umat ini yang giat dan bersemangat menghadiri acara bid’ah ini, bahkan membelanya. Sementara disisi lain, mereka justru meninggalkan kewajibannya sebagai hamba Allah seperti melaksanakan shalat wajib, shalat berjamaah, shalat Jumat, bahkan sebagian mereka terbiasa melakukan perbuatan dosa dan bermaksiat.
Sebagian pendukung maulid Nabi saw., juga mengklaim bahwa Rasulullah saw., datang menghadiri acara tersebut (dengan membaca Barzanji, Daiba’ atau Qasidah Burdah, kitab-kitab yang banyak mengandung kesesatan dan kemusyrikan). Karena itu, mereka berdiri untuk menghormati dan menyambutnya. Ini adalah kebatilan yang paling besar dan kebodohan yang sangat nyata. Rasulullah saw., tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum Hari Kiamat, tidak berkomunikasi dengan seorang manusiapun, juga tidak menghadiri pertemuan-pertemuan umatnya sama sekali.
Mencintai Rasulullah saw., bukanlah dengan menyelenggarakan peringatan bid’ah semacam maulid, tapi mencintai Rasulullah saw., adalah dengan mentaati perintahnya, membenarkan semua yang disampaikannya, menjauhi segala larangannya dan memenuhi perintahnya serta tidak beribadah kecuali hanya kepada Allah SWT sesuai dengan syariat-Nya.
Orang yang Pertama Kali Mengadakan Maulid Nabi Muhammad saw
Peringatan Maulid Nabi Muhammad saw., adalah bid’ah yang mungkar. Kelompok yang pertama kali mengadakannya adalah Bani ‘Ubaid al-Qaddah yang menamakan diri mereka dengan kelompok Fathimiyah pada abad ke-4 Hijriyah. Mereka menisbatkan diri kepada putra Ali bin Abi Thalib. Padahal mereka adalah pencetus aliran kebatinan, dimana tokoh pendirinya adalah Ibnu Dishan yang dikenal dengan al-Qaddah, salah seorang pendiri aliran Bathiniyah di Irak (lihat al-Bida’ al-Hauliyah, Syaikh at-Tuwaijiry, hal. 137). Para ulama Ahlus Sunnah telah bersaksi bahwa mereka adalah orang-orang munafik zindiq, yang menampakkan keislaman dan menyembunyikan kekafiran (istilah yang diberikan: taqiyyah).
Alasan Dilarangnya Memperingati Maulid Nabi Muhammad saw
Ada beberapa alasan yang dikemukakan oleh para ulama Ahlus Sunnah tentang kebatilan bid’ah memperingati Maulid Nabi Muhammad saw., dan bantahan terhadap para pendukung peringatan Maulid Nabi saw., tersebut, yakni: Pertama, peringatan Maulid Nabi saw., adalah bid’ah yang dibuat-buat dalam agama ini. Allah SWT tidak menurunkan keterangan sedikitpun dan ilmu tentang itu. Nabi saw., tidak pernah mensyariatkannya, baik secara lisan, perbuatan, maupun ketetapan beliau (lihat QS. al-Hasyr: 7; al-Ahzab: 21; HR. Bukhari nomor hadits 2697 dan Muslim no. 1718).
Kedua, Khulafa ar-Rasyidin dan para sahabat Nabi saw., lainnya tidak ada yang pernah mengadakan peringatan Maulid Nabi saw., dan tidak pernah mengajak untuk melakukannya. Hal ini sebagaimana pesan dan amanat Nabi saw., dalam hadits beliau:
فعليكم بسنتي و سنة الخلفا ء الراشد ين المهد ين . تمسكوا بها وعضوا عليها با لنو اجذ.
وإياكم ومحدثات الأمور, فإن كل محدثة بدعة, وكل بدعة ضلالة.
“Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin kalian walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang erat-erat Sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru (bid’ah) itu sesat”. (HR. Abu Daud no. 3991; at-Tirmidzi no. 2676; Ibnu Majah no. 42; Ahmad, IV/126-127; ad-Darimi, I/44; al-Hakim, I/95; dan al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah, I/205; dishahihkan oleh Imam adz-Dzahabi. Lihat dalam al-Irwa’ al-Ghalil, nomor 2455).
Peringatan Maulid tidak pernah dilakukan Rasulullah saw., dan para sahabatnya. Seandainya perbuatan itu baik, niscaya mereka adalah orang pertama yang terlebih dahulu mengerjakannya. Silahkan baca Tafsir Imam Ibnu Katsir tentang ulasan yang sangat mengagumkan ini dalam Tafsir beliau (VII/278-279, cet. Dar ath-Thayyibah).
Ketiga, peringatan hari kelahiran (ulang tahun/maulid) adalah kebiasaan orang-orang sesat dan yang menyimpang dari kebenaran. Karena yang pertama kali menciptakan kebiasaan ini adalah dinasti Fathimiyah Ubaidiyah, yang sesungguhnya adalah keturunan Yahudi, bahkan ada yang mengatakan bahwa mereka berasal dari kalangan Majusi (lihat Siyar A’lamin Nubala, Imam adz-Dzahabi, XV/213). Orang yang dianggap pertama kali melakukan perbuatan tercela ini adalah al-Mu’iz Lidinillah al-Ubaidi al-Maghribi yang keluar dari Maroko menuju Mesir pada bulan Ramadhan 362H (lihat dalam al-Bidayah wa an-Nihayah, Ibnu Katsir, XI/272-273, 345; dan Siyar A’lamin Nubala, XV/159-215).
Keempat, Allah SWT, berfirman:
“….pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu…..” (QS. al-Maidah: 3).
Al-Hafizh Ibnu Katsir (wafat th. 774 H) menjelaskan, “Ini merupakan nikmat Allah SWT, terbesar yang diberikan kepada umat ini. Tatkala Allah SWT menyempurnakan agama mereka. Sehingga, mereka tidak memerlukan agama lain dan tidak pula Nabi lain selain Nabi mereka, yaitu Nabi Muhammad saw,. Oleh karena itu, Allah SWT menjadikan beliau sebagai penutup para Nabi dan mengutusnya kepada seluruh manusia daan jin. Sehingga, tidak ada yang halal kecuali yang beliau halalkan, tidak ada yang haram kecuali yang diharamkannya, dan tidak ada agama kecuali yang disyari’atkannya. Semua yang dikabarkannya adalah haq, benar, dan tidak ada kebohongan, serta tidak ada pertentangan sama sekali. Sebagaimana firman Allah SWT:
“telah sempurnalah kalimat Tuhanmu (al-Qur’an) sebagai kalimat yang benar dan adil…..”(QS. al-An-am: 115). Maksudnya, benar dalam kabar yang disampaikan dan adil dalam seluruh perintah dan larangan. Setelah agama disempurnakan bagi mereka, maka sempurnakanlah nikmat yang diberikan kepada mereka. Maka ridhailah Islam untuk diri kalian, karena ia agama yang dicintai dan diridhai Allah SWT. Karenanya Allah Swt mengutus Rasul saw., yang paling utama dan menurunkan Kitab yang paling mulia (al-Qur’an).
Mengenai firman Allah SWT, (Qs. al-Maidah ayat 3) ‘Ali bin Abi Thalhah berkata, dari Ibnu ‘Abbas ra, “Maksudnya adalah Islam. Allah SWT telah mengabarkan kepada Nabi-Nya saw., dan kaum Mukminin bahwa Dia telah menyempurnakan keimanan untuk penambahan sama sekali. Dan Allah SWT telah pernah menguranginya, bahkan telah meridhainya sehingga Allah SWT, tidak akan memurkainya selamanya.”
Orang yang melaksanakan Sunnah dan meninggalkan bid’ah termasuk bid’ah Maulid Nabi saw., maka mereka menjadi asing di masyarakat pendukung perayaan ini. Padahal Nabi saw., telah menjelaskan dengan sangat jelas. Beliau saw., tidak membiarkan satu jalan pun yang dapat menghantarkan ke Surga dan menjauhkan dari Neraka melainkan telah beliau jelaskan kepada umatnya. Kalau peringatan Maulid Nabi saw., itu termasuk ajaran agama yang diridhai Allah SWT, tentu beliau saw., telah menjelaskannya atau melakukannya. Beliau saw., bersabda:
ما بعث الله من نبي إلا كا ن حقا عليه أن يد ل أمته على خير ما يعلمه لهم و ينذرهم شرما يعلمه لهم
“Tidaklah Allah SWT mengutus seorang Nabi. Kecuali wajib baginya untuk menunjukkan kebaikan yang diketahuinya kepada ummatnya dan memperingatkan mereka terhadap keburukan yang diketahuinya kepada mereka”. (HR. Muslim, no. 1844).
Kelima, dengan mengadakan bid’ah-bid’ah semacamnya itu, timbul kesan bahwa Allah SWT belum menyempurnakan agama ini, sehingga pelu dibuat ibadah lain untuk menyempurnakannya. Juga menimbulkan kesan, Rasulullah saw., belum tuntas menyampaikan agama ini kepada umatnya sehingga kalangan ahli bid’ah merasa perlu menciptakan hal baru dalam agama ini. Padahal Allah SWT telah menyempurnakan agama dan nikmat-Nya bagi hamba-hamba-Nya.
Keenam, dalam Islam tidak ada bid’ah hasanah, semua bid’ah adalah sesat sebagaimana sabda Nabi saw:
كل بد عة ضلا لة وكل ضلا لة في النار
“Setiap bid’ah adalah kesesatan dan setiap kesesatan tempatnya di neraka”. (HR. an-Nasa’i, III/189).
Imam asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
من استحسن فقد شرع
“Barangsiapa menganggap baik sesuatu (ibadah) maka ia telah membuat satu syari’at”. (al-Ba’its ‘ala Inkaril Bida’ wa al-Hawadits, hal. 50; al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ul Jawami juz. 2 hal. 353; al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi ‘Ilmi Al-Ushul, hal. 171). Dan di antara kaidah ahli ilmu yang telah ma’ruf ialah bahwa “Perbuatan baik ialah yang dipandang baik oleh syari’at dan perbuatan buruk ialah apa yang dipandang buruk oleh syari’at”.
Syaikh Hafizh bin Ahmad bin ‘Ali al-Hakami rahimallah (wafat 1377H) berkata, “Kemudian ketahuilah bahwa semua bid’ah itu tertolak tidak ada sedikitpun yang diterima; semuanya jelek tidak ada kebaikan padanya; semuanya sesat tidak ada petunjuk sedikitpun didalamnya; semuanya adalah dosa tidak berpahala; semuanya batil tidak ada kebenaran didalamnya. Dan makna bid’ah ialah syari’at yang tidak diizinkan Allah SWT dan tidak termasuk urusan (agama) Nabi saw., dan para sahabatnya”. (Ma’arijul Qabul, II/519-520).
Para ulama Islam dan para peneliti kaum Muslimin secara terus-menerus mengingkari budaya perayaan maulid tersebut dan mengingkarinya demi mengamalkan nash-nash dari Kitabullah dan Sunnah Rasul yang memang memperingatkan bahaya bid’ah dalam Islam, memerintahkan agar mengikuti Sunnah Nabi saw., serta memperingatkan juga agar tidak menyelisihi beliau dalam ucapan, perbuatan, dan amalan.
Ketujuh, memperingati kelahiran Nabi saw., tidak membuktikan kecintaan terhadap Rasulullah saw., karena kecintaan beliau itu hanya dapat dibuktikan dengan mengikuti beliau saw., mengamalkan Sunnah beliau dan menaati beliau saw. Allah SWT berfirman:
“Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah akan mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran: 31).
Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Ayat yang mulia ini sebagai pemutus hukum atas setiap orang yang mengaku mencintai Allah SWT tetapi tidak berada di atas jalan Nabi Muhammad saw., maka ia dusta dalam pengakuannya mencintai Allah SWT sampai ia mengikuti syari’at dan agama yang dibawa Nabi Muhammad saw., dalam setiap perkataan, perbuatan dan keadaannya. Disebutkan dalam kitab ash-Shahih, Rasulullah saw., bersabda:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهورد
“Barangsiapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunan kami, amalan tersebut tertolak”. (HR. Bukhari no. 2697 dan Muslim no. 1718).
Oleh karena itu, maksud firman Allah yang maknanya: “Katakanlah (Muhammad), Jika kamu mencintai Allah, maka ikutilah aku. Niscaya Allah mengasihimu”, adalah kalian akan mendapatkan sesuatu yang melebihi kecintaan kalian kepada-Nya, yaitu kecintaan-Nya kepada kalian. Ini lebih besar daripada kecintaan kalian kepada-Nya. Seperti yang dikatakan oleh ahli Hikmah, “Yang jadi ukuran bukanlah jika engkau mencintai, tetapi yang jadi ukuran adalah jika engkau dicintai”. Al-Hasan al-Bashri berkata, “Ada suatu kaum yang mengaku mencintai Allah SWT, lalu Allah SWT menguji mereka melalui ayat ini…”. Kemudian firman Allah yang maknanya, “Dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang”. Maksudnya adalah dengan mengikuti Rasulullah saw., kalian akan memperoleh pengampunan berkat keberkahan utusan-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir, II/32).
Kedelapan, memperingati Maulid Nabi Muhammad saw., serta menjadikannya sebagai perayaan berarti menyerupai orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam hari raya mereka, padahal kita dilarang untuk menyerupai mereka dan mengikuti gaya hidup mereka. (lihat Iqtidha’ Shiratil Mustaqim Mukhalafatu Ash-habil Jahim, Ibnu Taimiyah, II/614-615; Zaadul Ma’ad, I/59).
Kesembilan, orang yang berakal tidak mudah terperdaya dengan banyaknya orang yang memperingati Maulid Nabi saw., karena tolok ukur kebenaran itu bukan pada jumlah orang yang mengamalkannya, tetapi berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman Salafush Shalihin.
Kesepuluh, berdasarkan kaedah syariat, yaitu mengembalikan perkara yang diperselisihkan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya (lihat QS. an-Nisaa’: 59; dan QS. asy-Syuura: 10), maka bila dikembalikan persoalan Maulid Nabi saw., ini kepada Allah dan Rasul-Nya, kita tentu akan mendapati bahwa Allah memerintahkan agar kita mengikuti Nabi-Nya dengan baik. Bahkan Nabi saw., sendiri tidak pernah memerintahkan atau memperingati kelahiran beliau sendiri, juga tidak pernah dilakukan oleh para sahabat, tabi’in, juga tabi’it tabi’in. Karenanya, jelaslah bahwa Maulid Nabi saw., bukanlah berasal dari Allah dan Rasul-Nya (Islam), tetapi lebih merupakan perbuatan bid’ah.
Adapun ketika beliau menganjurkan umatnya berpuasa sunnah pada hari Senin, beliau bersabda yang artinya: “Itu adalah hari kelahiranku, hari aku diutus sebagai Nabi, dan hari aku diberikan wahyu…”, maksudnya adalah beliau saw., mengajarkan agar umatnya berpuasa pada hari Senin dengan meneladani beliau, bukan merayakan kelahiran beliau. (lihat Shahih Muslim, hadits nomor 1162).
Kesebelas, perayaan hari kelahiran Nabi saw., merupakan perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan/melampaui batas) terhadap beliau saw., padahal Allah dan Rasul-Nya melarang berbuat ghuluw. Rasulullah saw., bersabda:
إيكم والغلو فى الدين٠فاءنما أهلك من كان قبلكم الغلو في الدين
“Jauhkanlah diri kalian dari ghuluw (berlebih-lebihan) dalam agama, karena sesungguhnya sikap ghuluw dalam agama ini telah membinasakan orang-orang sebelum kalian”. (HR. Ahmad, I/215, 347; an-Nasa’i, V/268; Ibnu Majah, no. 3029; Ibnu Khuzaimah, no. 2867; dan lainnya, dari Abdullah Ibnu Abbas).
Beliau saw., tidak suka disanjung melebihi dari sanjungan yang Allah berikan dan ridhai. Tetapi banyak orang melanggar larangan Nabi saw., tersebut, sampai-sampai ada yang berdo’a dan meminta pertolongan kepadanya, bersumpah dengan namanya serta meminta kepadanya sesuatu yang tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Sebagian dari perbuatan-perbuatan ini dilakukan ketika peringatan maulid Nabi saw.
Abdullah bin asy-Syikhhir berkata, “Ketika aku pergi bersama delegasi Bani ‘Amir untuk menemui Rasulullah saw., kami berkata kepada beliau, “Engkau adalah sayyid (tuan/penguasa) kami!” Spontan Nabi saw., menjawab:
السيد الله تبارك وتعالى
“Sayyid (tuan/penguasa) kita adalah Allah Tabaaraka wa Ta’ala!”
Lalu kami berkata, “Dan engkau adalah orang yang paling utama dan paling agung kebaikannya.” Beliau saw., mengatakan:
قولوا بقولكم أوبعض قولكم ولا يستجر ينكم الشيطان
“Katakanlah sesuai dengan apa yang biasa (wajar) kalian katakan, atau seperti sebagian ucapan kalian dan janganlah sampai kalian terseret oleh syaithan”. (HR. Abu Daud, no. 4806; Ahmad, IV/24, 25; Bukhari dalam al-Adabul Mufrad, 211/Shahih al-Adabul Mufrad, no. 155; an-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, 247 dan 249).
Kebanyakan qashidah dan puji-pujian yang dinyanyikan oleh yang melaksanakan Maulid Nabi saw., itu tidak lepas sikap berlebih-lebihan dan kultus individu terhadap Rasulullah saw., bahkan terkadang mengandung ucapan-ucapan syirik. Beliau saw., bersabda:
لا تطروني كما أطرت النصارى ابن مريم, فإنما أنا عبده, فقولوا: عبدالله ورسوله
“Janganlah kalian mengkultuskan diriku sebagaimana orang-orang Nasrani mengkultuskan Isa bin Maryam. Sesungguhnya aku tidak lain hanyalah seorang hamba maka katakanlah, Hamba Allah dan Rasul-Nya”. (HR. Bukhari, no. 3445).
Maksudnya, janganlah kalian memujiku dengan cara bathil dan janganlah kalian berlebih-lebihan dalam memujiku, sebagaimana yang telah dilakukan oleh orang-orang Nasrani terhadap ‘Isa as. Sehingga mereka menganggap memiliki sifat Ilahiyyah. Karenanya, sifatilah aku sebagimana Rabb-ku memberi sifat kepadaku. Katakanlah: “Hamba Allah dan Rasul (utusan)-Nya”. (Aqidah at-Tauhid, hal. 151).
Keduabelas, berbagai perbuatan syirik, bid’ah, dan haram yang terjadi dalam peringatan maulid Nabi saw. Dalam perayaan maulid Nabi saw., sering terjadi hal-hal yang diharamkan, seperti kesyirikan, bid’ah, terjadi ikhtilath antara kaum laki-laki dan perempuan yang tidak halal, menggunakan nyanyian dan alat musik, rokok, dan lainnya. Bahkan sering terjadi perbuatan syirik Akbar (besar), seperti istighatsah kepada Rasulullah saw., atau para wali.
Penghinaan terhadap Kitabullah, diantaranya dengan merokok pada saat majelis al-Qur’an, sehingga terjadilah kemubadziran dan membuang-buang harta. Sering juga diadakan dzikir-dzikir yang menyimpang di masjid-masjid pada acara Maulid Nabi tersebut dengan suara keras diiringi tepuk tangan yang tak kalah kerasnya dari pemimpin dzikirnya. Semuanya itu adalah perbuatan yang tidak disyariatkan berdasarkan kesepakatan para ulama yang berpegang teguh kepada kebenaran. (lihat al-Ibda’ fi Madharil Ibtida’, Syaikh Ali Mahfuzh, 251-252).
Ketigabelas, dalam peringatan maulid terdapat keyakinan bathil bahwa ruh Nabi Muhammad saw., menghadiri acara-acara maulid yang mereka adakan. Dengan alasan itu mereka berdiri dengan mengucapkan selamat dan menyambut kedatangan beliau saw. Itu jelas perbuatan paling bathil dan paling buruk sekali. Karena Rasulullah saw., tidak akan keluar dari kubur beliau sebelum hari kiamat dan tidak akan berhubungan dengan seseorang (dalam keadaan sadar), tidak pula hadir dalam pertemuan-pertemuan mereka. Beliau saw., akan tetap berada dalam kubur beliau hingga hari kiamat. Ruh beliau berada di ‘Illiyyin yang tertinggi di sisi Rabb beliau dalam Darul Karamah. (at-Tahdzir min al-Bida’, asy-Syaikh Bin Baz, hal. 13).
Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) akan mati dan mereka akan mati (pula)”. (QS. Az-zumar: 30).
Dan dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman:
“Kemudian, sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian benar-benar akan mati. Kemudian, sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari Kiamat”. (QS. al-Mukminun: 15-16).
Rasulullah saw., bersabda:
أناسيد ولد آدم يوم القيامة وأول من ينشق عنه القبر وأول شافع أول مشفع
“Aku adalah penghulu manusia di hari Kiamat nanti dan orang yang pertama kali keluar dari alam kubur, serta orang yang pertama kali memberi syafa’at dan yang menyampaikan syafa’at”. (HR. Muslim no. 2278).
Ayat dan hadits di atas serta berbagai ayat dan hadits senada lainnya menunjukkan bahwa Nabi saw., dan orang-orang yang sudah mati lainnya akan keluar dari kubur mereka pada hari Kiamat nanti. Al-Allamah Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, menyatakan, “Ini adalah pendapat yang sudah disepakati oleh para ulama kaum Muslimin, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan mereka”. (at-Tahdzir minal Bida’, hal. 14).
Sebagai tambahan, ketika Rasulullah saw., masih hidup, beliau tidak mau dihormati dengan berdiri. Lalu bagaimana bisa mereka menghormati beliau saw., dengan cara berdiri setelah beliau wafat.
Hakikat Mencintai Rasulullah saw
Orang yang benar-benar mencintai Rasulullah saw., adalah orang yang menampakkan tanda-tanda tertentu pada dirinya. Diantaranya adalah:
1. Mengikuti Nabi saw., mentauhidkan Allah SWT, menjauhi syirik, mengerjakan Sunnahnya, mengikuti perkataan dan perbuatan Rasulullah saw., beradab dengan adabnya.
2. Lebih mendahulukan perintah dan syari’at Rasulullah saw., daripada hawa nafsu dan keinginan dirinya.
3. Banyak bershalawat untuk Rasulullah saw., sesuai dengan Sunnahnya. Dalam al-Qur’an Surat al-Ahzab ayat 56, Allah SWT berfirman:
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya”.
4. Mencintai orang yang dicintai Nabi saw., baik keluarga maupun sahabatnya yang Muhajirin dan Anshar serta memusuhi orang-orang yang memusuhi Rasulullah saw, dan membenci orang yang mencintainya.
5. Mencintai al-Qur’an yang diturunkan kepada beliau saw., mencintai Sunnahnya, dan mengetahui batas-batasnya. (al-Bida’ al-Hauliyah, Syaikh at-Tuwaijiry, hal. 192-193 dengan secara ringkas).
Fatwa para ulama tentang Bid’ahnya Perayaan Maulid Nabi saw.
Berikut ini adalah beberapa fatwa para ulama yang menyatakan bahwa peringatan Maulid Nabi saw., adalah bid’ah dhalalah.
1. Al-‘Allamah asy-Syaikh Tajuddin al-Fakihani (wafat th. 734 H) berkata:
“Saya tidak mengetahui dasar peringatan Maulid ini, baik itu dari al-Qur’an, Sunnah, dan tidak pernah dinukil pengalaman salah seorang ulama umat yang diikuti dalam agama dan berpegang teguh dengan atsar-atsar generasi yang telah lalu. Bahkan perayaan (maulid) tersebut adalah bid’ah yang diada-adakan oleh para pengekor hawa nafsu…”. (al-Maurid fi ‘Amalil Maulid, dinukil dari Rasa-il fi Hukmil Ihtifal bi Maulidin Nabi, I/7-14).
2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:
“Menjadikan suatu hari raya selain dari hari raya yang disyariatkan, seperti sebagian malam di bulan Rabiul Awwal yang disebut dengan malam Maulid, atau sebagian malam di bulan Rajab, atau hari ke-18 di bulan Dzulhijjah, atau hari Jum’at pertama di bulan Rajab, atau hari ke-8 bulan Syawal yang dinamakan ‘idul abrar oleh orang-orang bodoh, maka semua itu termasuk bid’ah yang tidak pernah dianjurkan dan tidak pernah dilakukan oleh para ulama Salaf. Wallahu a’lam”. (Majmu’ Fatawa, XXV/298).
3. Al-‘Allamah Ibnul Hajj (wafat th. 737) menjelaskan tentang peringatan Maulid Nabi saw:
“…Hal itu adalah tambahan dalam agama, bukan perbuatan generasi Salaf. Mengikuti Salaf, lebih utama bahkan lebih wajib daripada menambahkan berbagai niat (tujuan) yang menyelisihi apa yang pernah dilakukan Salafush Shalih. Sebab, Salafush Shalih adalah manusia yang paling mengikuti Sunnah Rasulullah saw., dan (paling) mengagungkan beliau dan Sunnahnya. Mereka lebih dahulu bersegera kepada hal itu, namun tidak pernah dinukil dari salah seorang dari mereka bahwa mereka melakukan maulid. Dan kita adalah pengikut mereka, maka telah mencukupi kita apa saja yang telah mencukupi mereka”. (al-Madkhal, II/234-235).
4. Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdul ‘Aziz bin Baz berkata:
“Tidak diperbolehkan melaksanakan peringatan Maulid Nabi saw., dan peringatan hari kelahiran selain beliau karena hal itu merupakan bid’ah dalam agama. Sebab, Rasul saw., tidak pernah melakukannya, tidak juga para Khulafa ar-Rasyidin, dan tidak pula para Sahabat lainnya, dan tidak juga dilakukan oleh orang-orang generasi-generasi yang diutamakan. Padahal mereka adalah manusia yang paling mengetahui Sunnah, paling mencintai Rasulullah saw., dan paling mengikuti syari’at dibandingkan orang-orang setelah mereka…”. (Hukmul Ihtifal bil Maulid an-Nabawi, dinukil dari Rasaail fi Hukmil Ihtifal bi Maulidin Nabiy, I/57, dengan ringkas).
5. Syaikh Hamud bin ‘Abdillah at-Tuwaijiri berkata:
“….Dan hendaklah juga diketahui bahwa memperingati malam Maulid Nabi saw., dan menjadikannya sebagai peringatan tidak termasuk petunjuk Rasulullah saw. Tetapi ia adalah perbuatan yang diada-adakan yang dibuat setelah zaman beliau saw., setelah berlalu sekitar enam ratus tahun. Oleh karena itu, memperingati perayaan yang diada-adakan ini masuk dalam larangan keras yang Allah sebutkan dalam firman-Nya:
“…..Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih”. (QS. An-Nuur: 63).
Jika dalam acara maulid yang diada-adakan ini ada sedikit saja kebaikan maka para sahabat telah bergegas melakukannya….”. (ar-Raddul Qawiy ‘ala ar-Rifa’i wa al-Majhul wa Ibni ‘Alawi wa Bayan Akhta-ihim fil Maulidin Nabawi, dinukil dari Rasaail fi Hukmil Ihtifal bi Maulidin Nabiy, I/70, dengan ringkas).
6. Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin berkata:
Pertama: bahwa malam kelahiran Rasulullah saw., tidak diketahui secara pasti, bahkan sebagian ahli sejarah menetapkan bahwa malam kelahiran Rasul adalah malam ke-9 Rabi’ul Awwal, bukan malam ke-12. Dengan demikian, manjadikannya malam dua belas bulan Rabi’ul Awwal tidak memiliki dasar dari sudut pandang sejarah.
Kedua: dari sudut pandang syari’at maka peringatan ini tidak memilki dasar. Karena jika ia termasuk syari’at Allah SWT, pasti Nabi saw., telah melakukannya atau menyampaikannya kepada umatnya. Seandainya beliau telah melakukannya atau telah menyampaikannya maka hal itu pasti terjaga karena Allah SWT berfirman, yang artinya: “Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan al-Qur’an, dan pasti Kami pula yang memeliharanya”. (QS. Al-Hijr: 9).
Karena tidak ada sesuatu pun yang terjadi dari hal itu maka dapat diketahuilah bahwa Maulid Nabi saw., tidak termasuk agama Allah. Jika tidak termasuk agama Allah maka kita tidak boleh beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah dengannya. Apabila Allah SWT telah meletakkan jalan tertentu agar dapat sampai kepada-Nya yaitu apa yang dibawa Rasulullah saw., maka bagaimana bisa kita selaku hamba Allah diperbolehkan untuk membuat jalan sendiri yang mengantarkan kepada Allah? Ini merupakan kejahatan terhadap hak Allah SWT, yaitu mensyari’atkan dalam agama Allah sesuatu yang bukan bagian terhadap firman Allah SWT, yang artinya: “…pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-ku bagimu.”. (QS. 5:3). (Majmu’ Fatawa wa Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, II/298, dengan ringkas).
7. Syaikh shalih bin Fauzan bin ‘Abdullah al-Fauzan hafizhahullah berkata:
“Melaksanakan Maulid Nabi saw., adalah bid’ah. Tidak pernah dinukil dari Nabi saw., tidak dari para Khulafa ar-Rasyidin, dan tidak juga dari generasi yang diutamakan bahwa mereka melaksanakan peringatan ini. Padahal mereka adalah orang yang paling cinta kepada Rasulullah saw., dan paling semangat melakukan kebaikan. Mereka tidak melakukan suatu bentuk ketaatan pun kecuali yang disyari’atkan Allah swt dan Rasul-Nya sebagai pengamalan dari firman Allah SWT, yang maknanya: “…Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah….’ (QS. Al-Hasyr: 7).
Maka ketika mereka tidak melakukan peringatan maulid ini, dapat diketahuilah bahwa perbuatan itu adalah bid’ah. Kesimpulannya bahwa menyelenggarakan peringatan Maulid Nabi saw., termasuk perbuatan bid’ah yang diharamkan yang tidak memiliki dalil, baik dari Kitabullah maupun dari Sunnah Rasulullah saw…”. (al-Muntaqa min Fatawa Syaikh Shalih Fauzan, II/185-186, dengan ringkas).
Demikian uraian yang dapat kami sampaikan, mudah-mudahan bermanfaat. Semoga shalawat serta salam tercurah kepada Nabi Muhammad saw., juga kepada keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Akhir. Dan akhir seruan kami ialah segala puji bagi Allah, Rabb seluruh alam.
demikian, semoga menjadi pencerahan bagi kita semua. wallahu a’lam bish-shawwab.
to Bukanu,
jangan lupa mencela Perayaan Maulid Muhammad ibn Abdul Wahhab di Riyadh tanggal 8 – 14 Maret 1980, Arab Saudi, dihadiri antar lain Syeikh Ibn Baz,
juga ya..
biar adil..
sama2 ngadain maulid juga kok saling cela???
ya Allah, mudah2an revolusi timur tengah juga ikut menggusur penguasa yg pro Wahabi di Makkah Madinah &mnggantinya dgn yg pro ahlusunnah..
Ya Tarim Wahlaha..
Apakah anda tidak berpikir karena Aswaja marak melakukan perayaan2 bid’ah seperti sekarang inilah, maka Indonesia semakin terpuruk keadaannya dibanding sebelum marak praktek bid’ah pd zaman orba, maka kesimpulannya do’a anda tertolak mas…kita lihat bersama.
jangan melarikan pembicaraan ke masalah lain mas..
kita diskusi ttg keabsahan perayaan maulid, dibolehkan atau tidak? ga perlu dihubungkan kepada terpuruknya bangsa ini..
saya kan sekedar mngasih info, bahwa wahabi se level arab saudi pun mengadakan perayaan syukuran kelahiran Syekh Muhammad bin Abdul Wahhab, sang pencetus Wahabi..
bahkan ulama wahabi se level Syeikh Ibn Baz pun menghadirinya..
lagipula apa hubungannya terpuruknya suatu bangsa dengan “benar atau tidaknya” praktek beragama??
apakah Syiah itu benar, hanya dengan melihat negara Iran dalam keadaan makmur??
apakah Wahabi itu yg paling benar, berdasarkan kondisi kemakmuran arab saudi sekarang?
apakah skulerisme merupakan faham yg diridoi Allah, hanya dengan melihat kejayaan Amerika sekarang??
tolong lah perdalam pemikiran anda sedikit saja, supaya tidak terhina sebagai orang yg berpemikiran dangkal dan aneh..
@bukanu
wkwkk,pd awal nya omong,bla..bla..
pas di jawab ternyata ada, beralih ke bacaan brp x tiap tahunnya,
ya jawaban ustadz admin cukup ya tuk mewakili…wkwkwkk
biarlah di akherat saja kita jelaskan mana yang paling benar menurut allah dan rasululloh SAW
kita sebagai umat tidak penting mencari siapa yang paling benar,yang paling penting kita bersatu karena musuh kita sekarang sedang tersenyum karena islam ternyata mudah di adu domba.Kita semua mempunyai pegangan(al-quran&assunnah)dan guru masing2.Jadi selama ke tiganya benar maka selamatlah kita,Allahummahdina ya hadi…………..
to pnentang ulama= klw bukan belajar dari mereka lantas anda balajr agama dan kanal Rasulullah dri mana sdangkan anda tdak brtemu aplgi hdup di zaman beliau??
ulama pewaris Rasul
to wahabi,
terlepas dalil2 yg anda gunakan untuk menyalahkan peringatan maulid Nabi,
bagaimanakah Perayaan “Maulid” Muhammad ibn Abdul Wahhab sang pencetus kelompok Wahabi, di Riyadh tanggal 8 – 14 Maret 1980, Arab Saudi, dihadiri antar lain Syeikh Ibn Baz??
Peluru yg kalian tembakkan, kembali ke kepala anda sendiri..
bagaimana mas Abu Hafizh??
[…] Imam Abu Zur`ah (w. 826 H) […]
setiap bid’ah adalah sesat