(Ketua) Muhammadiyah Yang Marah-Marah

Metode Hisab Muhammadiyah Sudah Bisa Pastikan 1 Syawal 1441 H
Rabu, 31 Agustus 2011 00:04 wib

BANDUNG- Perbedaan penentuan awal bulan Syawal bukan kali ini saja terjadi. Perbedaan penentuan tanggal, menurut Kepala Kantor Pengurus Wilayah  Muhammadiyah Jawa Barat Dikdik Dahlan, terjadi dalam hal memandang kemunculan bulan pertama atau hilal sebagai awal bulan Komariah (penanggalan dalam Islam).

Tiap tahun pemerintah selalu menggelar sidang Itsbat untuk menentukan awal Ramadan maupun akhir Ramadan atau tanggal pelaksanaan Idul Fitri.  Sidang itsbat, kata Dikdik, dilakukan sesudah dilakukan rukyat (pengamatan hilal) sore harinya saat matahari tenggelam. Jika hilal berada lebih dari dua derajat di atas ufuk, maka dipastikan hilal bisa diruyat dan esoknya sebagai awal bulan. Jika tidak ada hilal maka puasanya digenapkan menjadi 30 hari, sehingga 1 Syawal atau pelaksanaan salat Id dilakukan lusanya.

“Jadi pemerintah menunggu dulu ruyat. Kita tidak menggunakannya,” ujar Dikdik, Selasa (30/8/2011)


Muhammadiyah, lanjut Dikdik, menggunakan metode hisab hakiki yang tidak melakukan rukyat. Metode ini hanya menghitung posisi bulan. Meski hilal kurang dari dua derajat di atas ufuk tetap dinilai sebagai bulan positif sehingga besoknya tetap sebagai awal bulan.

Sehingga puasa tidak digenapkan menjadi 30 hari seperti yang dilakukan pemerintah lewat sidang itsbat.

Didik menegaskan, hisab hakiki yang digunakannya sesuai Al Quran yang menyatakan bahwa kemunculan bulan memungkinkan untuk dihitung (dihisab). Atas dasar itulah Muhammadiyah tidak melakukan ruyat.

Dengan metode ini, dia mengklaim sudah bisa menentukan kapan tanggal Idul Fitri pada tahun 2020 atau 1 Syawal 1441 Hijriah. “Selain itu Nabi Muhammad SAW kebanyakan menjalani puasa selama 29 hari ketimbang yang 30 hari,” tuturnya.

Di tempat terpisah, Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin menguraikan perbedaan penentuan Idul Fitri pernah terjadi pada Idul Fitri 1327 H/2006 M dan 1428 H/2007 H serta Idul Adha 1431/2010. Menurutnya, perbedaan terjadi karena kriteria dalam melihat awal datangnya bulan.

Menurutnya, Muhammadiyah memakai kriteria hisab wujudul hilal yang menyatakan meski hilal di bawah dua derajat di atas ufuk, tetap sebagai bulan positif dan sebagai patokan awal bulan. Meskipun bulan itu sulit diamati. Nah, pada lebaran kali ini posisi bulan kurang dari dua derajat, sehingga dipastikan penentuan 1 Syawal akan berbeda antara hasil sidang itsbat dan Muhammadiyah.

Namun, Thomas menyebutkan, kriteria penghitungan Muhammadiyah secara astromoni sebenarnya tidak tepat. Mendasarkan penghitungan kepada ketinggian bulan positif merupakan metode lama yang secara astronomi sudah ditinggalkan.

Dunia astronomi saat ini sudah memakai metode baru yakni imkan rukyat yang berlandaskan kepada tinggi bulan dan matahari lebih dari 4 derajat atau ketinggian bulan di atas ufuk sekira lebih dari 3 derajat. Sedangkan jarak bulan dengan matahari lebih dari 6,4 derajat. “Metode inkam ruyat selalu memerhatikan kemungkinan bulan bisa diruyat atau tidak,” ujarnya.

Maka, Thomas mengimbau kepada Muhammadiyah untuk mau mengubah kriteria dari kriteria lama menjadi kriteria yang lebih baru secara astronomi supaya potensi perbedaan itu bisa dihilangkan. “Kalau kriteria Muhammadiyah tidak diubah, dapat dipastikan awal Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 juga akan beda,” katanya. (ugo)

Sumber: http://ramadan.okezone.com/read/2011/08/30/335/497952/metode-hisab-muhammadiyah-sudah-bisa-pastikan-1-syawal-1441-h

.

Kecewa, Din Syamsuddin Sarankan Sidang Itsbat Ditiadakan
Selasa, 30 Agustus 2011 02:08 wib

JAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengaku kecewa dengan keputusan pemerintah menetapkan 1 Syawal jatuh pada Rabu 31 Agustus. Din menyebut penentuan Hari Raya Idul Fitri yang dilakukan melalui sidang Itsbat hanya mengakomodir kepentingan kelompok tertentu.

“Kalau rapat Istbat seperti selama ini yaitu hanya menjustifikasi kepentingan pemerintah maka tidak perlu rapat Itsbat,” kata Din Syamsuddin saat dihubungi okezone, Senin (29/8/2011) malam.

Din menyebutkan beberapa alasan mengapa sidang Itsbat terkesan hanya mendukung kelompok tertentu. Pertama, pemeritah tidak mengakomodir penghitungan 1 Syawal yang dilakukan Muhammadiyah dengan metode penghitungan atau hisab.

“Inilah pandangan ilmiah yang sangat dianjurkan oleh Islam maka keputusan (menggunakan hisaab) tersebut adalah keputusan berdasarkan agama,” jelas Din.

Kedua, sidang Itsbat tadi malam juga tidak mengakomodir adanya kesaksian dari dua daerah yang telah melihat bulan baru atau hilal. “Tadi malam ada kesaksian di bawah sumpah melihat hilal di Cakung dan Jepara tapi ditolak rapat Istbat. Itu menunjukkan sikap otoriter dan tidak adil dari Menteri Agama (Suryadharma Ali, red),” ujarnya.

Ke depan Din berharap pemerintah tidak perlu ikut campur menentukan awal Ramadan dan 1 Syawal agar tidak terjadi kebingungan bagi masyarakat. Kendati begitu Din berharap masyarakat tetap saling menghargai meski merayakan Idul Fitri di hari yang berbeda.

“Biarlah masing-masing kelompok menunaikan ibadah dengan keyakinannya. Bagi yang berkeyakinan Idul Fitri besok (hari ini), silakan beramai-ramai salat di lapangan. Sementara bagi yang meyakini tanggal 31 Agustus adalah Idul Fitri, silakan juga melaksanakan salat Id. Yang terpenting silaturahim harus tetap dijaga,” kata Din.
(fer)

Sumber: http://ramadan.okezone.com/read/2011/08/29/335/497877/kecewa-din-syamsuddin-sarankan-sidang-itsbat-ditiadakan

.

Din Syamsuddin Kecam Pernyataan Prof Thomas
Selasa, 30 Agustus 2011 01:02 wib

JAKARTA – Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengecam pernyataan Thomas Jalaluddin, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang menyebut metode hisab dan rukyat sudah tak sesuai lagi digunakan untuk menetapkan awal Ramadan dan 1 Syawal.

“Pernyataan Thomas Jalaluddin sangat disayangkan apalagi menyinggung Muhammadiyah. Dia mungkin ahli astronomi tapi bukan ahli agama, maka jangan semena-mena mengeluarkan pernyataan di saat umat Islam harus menjaga toleransi ukhuwah,” kata Din Syamsuddin saat dihubungi okezone, Senin (29/8/2011) malam.

Menurut Din setiap kelompok organisasi Islam punya cara tersendiri untuk menentukan jatuhnya 1 Syawal. Jadi perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri, sambung Din tak perlu diperdepatkan apalagi disalahkan.

“Thomas adalah provokator yang berbahaya yang bersembunyi di balik kedok ilmiah dengan menyalahkan pihak lain. Seyogyanya Menteri Agama tidak memakai dia untuk ikut menentukan awal Ramadan dan 1 Syawal karena terbukti Thomas sudah memecah belah umat,” tegas Din.

Dalam sidang Itsbat di kantor Kementerian Agama, Thomas memberi pemaparan mengenai penghitungan penetapan 1 Syawal dengan cara melihat bulan baru atau hilal. Saat itu dia menyinggung metode hisab dan rukyat yang kerap menimbulkan perbedaan penetapan.

Menurut Thomas, astronomi merupakan metode terbaik dalam menentukan awal bulan Qomariyah karena sesuai dengan syarat yang berlaku termasuk memenuhi ketentuan Islam. Dia mengatakan pada tahun 1994 pernah ada kesepakatan untuk menggunakan ilmu astronomi dalam melihat hilal.

“Pada saat itu Muhammadiyah yang menolak penggunaan ilmu astronomi,” ujarnya.
(fer)

Sumber: http://ramadan.okezone.com/read/2011/08/29/335/497876/din-syamsuddin-kecam-pernyataan-peneliti-lapan

.

Din: Pemerintah Tak Perlu Urusi 1 Syawal
Selasa, 30 Agustus 2011 00:04 wib

JAKARTA – Pemerintah memutuskan 1 Syawal 1432 H jatuh pada Rabu, 31 Agustus. Keputusan yang diambil dalam sidang Itsbat ini berbeda dengan putusan Muhammadiyah yang menetapkan hari ini sebagai Idul Fitri.

Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Din Syamsuddin menyesalkan keputusan pemerintah yang terkesan mendukung salah satu kelompok untuk menentukan 1 Syawal.

“Seyogyanya pemerintah tidak ikut campur dalam menetapkan Idul Fitri. Apalagi berpihak kepada salah satu pendapat, dengan mengabaikan pendapat lain,” kata Din saat dihubungi okezone, Senin (29/8/2011) malam.

Menurut Din, dikesampingkannya pendapat kelompok lain seperti Muhammadiyah merupakan sebuah pelanggaran konstitusi. “Pemerintah dapat dianggap melanggar UUD 1945 pasal 29 yang menekankan jaminan negara untuk kebebasan menjalankan ibadah, kebebasan beragama bagi warga negara,” sambungnya.

Din menjelaskan keputusan Muhammadiyah tentang penetapan Idul Fitri sudah berdasarkan dalil agama dan ketentuan yang tidak bertentangan dengan syariat Islam. “Keputusan Idul Fitri seperti yang ditetapkan Muhammadiyah bukan mengada-ada,” tegas dia.

Ketetapan Muhammadiyah menetapkan 1 Syawal jatuh pada 30 Agustus 2011 berdasarkan tanda akhir bulan Ramadan yang terjadi sore kemarin. Dalam penghitungan, bulan belum terbenam dan bertengger di atas ufuk dengan ketinggian hampir 2 derajat selama kurang lebih tujuh menit.

Din menambahkan, penetapan 1 Syawal tidak perlu harus dilakukan dengan melihat hilal atau bulan baru secara kasat mata, melainkan dapat dikonversikan secara eksak ke dalam hitungan waktu, jam, menit, dan detik.

“Bagi Muhammadiyah inilah hilal yang diketahui berdasarkan dewan hilal, bahwa Syawal sudah datang pada 29 Agustus malam, maka Idul Fitri jatuh pada tanggal 30 Agustus,” ujarnya.

Atas perbedaan hari Idul Fitri ini, Din mengajak seluruh umat muslim di Indonesia untuk tetap saling menghargai. “Tidak perlu saling menyalahkan, tapi saling menghormati,” katanya.

Khusus kepada Menteri Agama Suryadharma Ali, Din berharap Menag mengakomodir seluruh kelompok dalam menetapkan awal Ramadan termasuk Idul Fitri. “Menag harus menjamin konstitusi dan jangan menetapkan sesuatu yang berpihak pada pihak tertentu saja yang menguntungkan pihak lain,” pungkasnya.
(fer)

Sumber: http://ramadan.okezone.com/read/2011/08/29/335/497875/din-pemerintah-tak-perlu-urusi-1-syawal

.

Tanggapan Prof Thomas Djamaluddin: Rela Disebut Provokator Demi Kemajuan Muhammadiyah
Selasa, 30 Agustus 2011 13:21 wib

JAKARTA- Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Din Syamsuddin mengecam pernyataan Thomas Djamaluddin, peneliti Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) yang menyebut metode hisab dan rukyat yang digunakan Muhammadiyah sudah tak sesuai lagi digunakan untuk menetapkan awal Ramadan dan 1 Syawal.

Din juga menyebut, Thomas sebagai seorang provokator yang berbahaya yang bersembunyi di balik kedok ilmiah dengan menyalahkan pihak lain. Dalam sidang Itsbat di kantor Kementerian Agama, kemarin, Thomas memberi pemaparan mengenai penghitungan penetapan 1 Syawal dengan cara melihat bulan baru atau hilal. Saat itu dia menyinggung metode hisab dan rukyat yang kerap menimbulkan perbedaan penetapan.

Terkait Hal itu, Thomas pun mengatakan dirinya rela disebut provokator demi mengubah pandangan Ormas Islam tersebut. “Tidak apa-apa, Tujuan saya provokatif untuk menyadarkan Muhammadiyah, saya bukan menyerang Muhammadiyah, tapi kriterianya,” kata Thomas saat berbincang dengan okezone, Selasa (30/8/2011).

Dikatakannya, pada dasarnya penyatuan umat melalui penyatuan kalender Islam hampir terwujud. Dua syarat penyatuan kalender Islam sebenarnya sudah terpenuhi, yakni adanya otoritas tunggal yakni kementerian agama, dan faktor kesatuan wilayah Negara Republik Indonesia. “Tinggal satu langkah lagi yaitu penyatuan kriteria terkait penentuan awal bulan, ini yang belum terpenuhi,” kata Thomas.

Mengapa? Saat ini, kondisi dalam pembuatan kalender semuanya berdasarkan hisab (perhitungan). “Semuanya telah menggunakan kriteria Imkan Rukyat yaitu kemungkinan untuk bisa di Rukiyat. Kecuali Muhammadiyah yang menggunakan kriteria usang kriteria, Wujudul hilal,” katanya.

Wujudul Hilal merupakan kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriah dengan menggunakan dua prinsip, Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima’ qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset). Maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.

“Muhammdiyah mengatakan bahwa alasan ketinggian dua derajat tidak ilmiah. Tapi menurut saya ketinggian 0 derajat yang disebut dipegang Muhammadiyah justru tidak Ilmiah,” katanya.

Thomas saat ini terus berupaya mengajak Muhammadiyah mengubah kriteria tersebut supaya sama-sama mewujudkan sistem kalender yang seragam dan mapan. “Sistem kalender yang bukan hanya digunakan untuk ibadah. Tetapi juga untuk kegiatan bisnis, dan pemerintahan,” katanya.

“Kriteria Imkan rukiyat bisa mempersatukan hisab dan rukyat, bila Muhammadiyah tetap pada pendirian dan keyakinannya maka hal ini akan terus terulang. Pada tiga tahun ke depan yakni 2012, 2013, 2014, nantinya akan mengalami perbedaan awal Ramadan antara Muhammadiyah dengan ormas-ormas lain, karena perbedaan kriteria tersebut,” katanya.

Dikatakan Thomas, sebenarnya dia telah mencoba untuk mendiskusikan penentuan kriteria tersebut dengan Muhammadiyah sejak tahun sepuluh tahun silam. “Namun, mereka menutup diri karena berdalih itulah keyakinan mereka,” katanya.

Padahal, kriteria usang yang digunakan Muhammadiyah yakni Wujudul Hilal, justru kata Thomas bisa memecah belah umat. Sebagai ormas besar yang modern, Thomas berharap agar Muhammadiyah mau berubah demi penyatuan Umat.

“Tetapi juga sama pentingnya adalah demi kemajuan Muhammadiyah sendiri, jangan sampai muncul kesan di komunitas astronomi “Organisasi Islam modern, tetapi kriteria kalendernya usang”. Semoga Muhammadiyah mau berubah,” kata Thomas. (ugo)

Sumber: http://ramadan.okezone.com/read/2011/08/30/335/497904/peneliti-lapan-rela-disebut-provokator-demi-kemajuan-muhammadiyah

.

Menteri Agama: Perbedaan Bukan Karena Pemerintah Otoriter
Rabu, 31 Agustus 2011 | 16:08 WIB

TEMPO Interaktif, Jakarta – Menteri Agama Suryadharma Ali membantah pemerintah bersikap otoriter terkait perbedaan penetapan Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1432 Hijriah, Rabu 31 Agustus 2011. Ia menolak disebut tidak mendengarkan suara Muhammadiyah dalam sidang isbat.

Suryadharma mengklaim keputusan itu diambil dari hasil musyawarah yang telah disepakati bersama, bahkan dari PP Muhammadiyah. “Sikap otoriter yang bagaimana? Itu kan ada 12 pembicara di sidang isbat, sebelas setuju hari Rabu, satu saja yang Selasa,” kata Suryadharma Ali di Jakarta, Rabu 31 Agustus 2011. “Keputusan dari Muhammadiyah kemarin juga menghormati sidang. Mereka minta izin melaksanakan Idul Fitri Selasa, jadi tidak ada masalah.”

Karena itu, Suryadharma menyangkal jika kabar Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin sempat mengungkapkan kekecewaannya kalau suara Muhammadiyah itu tidak didengar di Sidang Isbat. “Ah, tidak. Kalau toh ada, itu pendapat dia sendiri,” ujarnya.

Suryadharma membantah jika langkah dalam sidang Isbat Senin lalu itu menunjukkan keberpihakan Kementerian Agama pada organisasi Nahdlatul Ulama. Politisi PPP itu berkeras ada 12 tokoh yang memberikan pendapat atas laporan dilaksanakan rukyat lebih dari 90 titik. “Semua dibacakan, termasuk keputusan resmi organisasi. Juga pandangan Majelis Ulama.”

Suryadharma juga menegaskan apa yang terjadi semata-mata soal prejudice semata. Sebaliknya Surya juga mengajak Muhammadiyah untuk ikut bermusyawarah mencari kriteria dalam menetapkan hari raya Lebaran, sehingga tak perlu ada yang merasa ditinggalkan atau tidak dilibatkan dalam hal tersebut.

“Itu hanya prejudice. Kami tidak membeda-bedakan. Ya, Muhammadiyah harus mau juga untuk berbagi. Jadi dia tidak berada pada posisi sekarang,” kata Suryadharma. “Jadi harus maulah bermusyawarah. Mencari titik temu kriteria mana yang dipakai. Muhammadiyah selalu diundang, tidak ada satu pun yang ditinggalkan. Jadi enggak bener itu kalau dibilang ada yang ditinggalkan.”

Soal tudingan kebohongan dalam sidang Isbat yang menyebut pelaksanaan Idul Fitri di negara Malaysia dan Arab Saudi hari Rabu dan bukan Selasa, 30 Agustus 2011, Suryadharma mengatakan tak pernah menyebut hal itu.

Ditanya soal kabar benarkah pemerintah mengakui kesalahan dalam penentuan Idul Fitri, Suryadharma kembali membantahnya. “Tidak ada, pemerintah tetap konsisten,” ucapnya.

Ia justru menuding hal itu diembuskan bukan dari sumber yang akurat. “Itu fitnah, makanya hati-hati,” ujarnya. Menurutnya, pemerintah tidak merasa memiliki kesalahan. “Minta maaf salahnya di mana, tidak ada yang salah,” ujarnya.

Sumber: http://www.tempointeraktif.com/hg/kabar_lebaran_10/2011/08/31/brk,20110831-354211,id.html