Para ‘Alim Tentang Keutamaan Ilmu

Saya nukil dari Ihya Ulumudin karya Imam al Ghazali Bab Tentang Keutamaan Ilmu.

“Antara orang yang ‘alim dan orang yang beribadah adalah seratus derajat, antara setiap dua derajat itu ditempuh kuda pacuan yang dilatih selama tujuh puluh tahun”.  [H.R. Al Ashfihani dalam At Targhib wat Tarhib, dari Ibnu Umar dari ayahnya]

Sayidina Ali bin Abi Thalib ra berkata kepada Kumail :

“Hai Kumail, ilmu itu lebih utama dari pada harta karena ilmu itu menjagamu sedangkan kamu menjaga harta. Ilmu adalah hakim, sedangkan harta adalah yang dihakimi. Harta menjadi berkurang dengan dibelanjakan, sedangkan ilmu menjadi berkembang dengan dibelanjakan (diberikan kepada orang lain)”.

Ali ra juga berkata :

“Orang yang ‘alim itu lebih utama dari pada orang yang berpuasa, berdiri ibadah malam dan berjuang. Apabila seorang ‘alim meninggal maka berlobanglah dalam Islam dengan suatu lobang yang tidak tertutup kecuali oleh penggantinya”. Dan ia ra berkata dalam bentuk puisi (nazham) :

“Tidak ada kebanggaan kecuali bagi ahli ilmu, sesungguhnya Mereka di atas petunjuk, dan mereka penunjuk orang yang minta petunjuk. Nilai setiap orang adalah sesuatu yang menjadikannya baik, sedangkan orang-orang bodoh itu musuh ahli ilmu. Maka carilah kemenangan kamu dengan ilmu, dengan ilmu itu kamu hidup selamanya, munusia itu mati, sedangkan ahli ilmu itu hidup”.

Ibnu Abbas ra berkata :

“Sulaiman bin Dawud as disuruh memilih antara ilmu, harta dan kerajaan maka beliau memilih ilmu, lalu beliau diberi harta dan kerajaan”.

Fathul Maushuli rahimahullah berkata : “Bukankah orang sakit apabila dicegah makan, minum dan obat maka ia mati ?”. Mereka (orang-orang) menjawab : “Ya”. Ia berkata : “Demikian juga hati, apabila dicegah dari padanya hikmah dan ilmu selama tiga hari maka hati itu akan mati”. Ia benar karena makanan hati adalah ilmu dan hikmah, dan dengan keduanyalah hidupnya hati sebagaimana makanan tubuh adalah makanan.

Al Hasan rahimahullah berkata :

“Tinta ulama itu ditimbang dengan darah syuhada’ maka tinta ulama itu unggul atas darah syuhada’ “.

Ibnu Mas’ud ra berkata :

“Wajib atasmu untuk berilmu sebelum ilmu itu diangkat, sedangkan diangkatnya ilmu adalah matinya perawi-perawinya. Demi Dzat yang jiwaku di tanganNya sungguh orang-orang yang terbunuh di jalan Allah itu sebagai syuhada’ itu senang dibangkitkan oleh Allah sebagai ulama karena kemuliaan ulama yang mereka lihat. Sesungguhnya seseorang itu tidak dilahirkan sebagai orang yang berilmu, namun ilmu itu dengan belajar”.

Ibnu Abbas ra berkata :

“Mendiskusikan ilmu pada sebagian malam lebih saya sukai dari pada menghidupkan malam itu (dengan shalat dan sebagainla : pent)”. Demikian juga dari Abu Hurairah ra dan Ahmad bin Hambal rahimahullah.

Al Hasan berkata mengenai firman Allah Ta’ala :

Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat” (Al Baqarah : 201).

Bahwasanya kebaikan di dunia itu adalah ilmu dan ibadah, sedangkan kebaikan di akhirat adalah syurga.

Asy Syafi’i rahmatullah ‘alaih berkata :

“Termasuk kemuliaan ilmu adalah setiap orang yang dikatakan berilmu walaupun mengenai sesuatu yang remeh maka ia bergembira dan barang siapa yang (dikatakan) tidak memiliki ilmu maka ia bersedih”‘

Umar ra berkata :

”Wahai manusia, wajib atasmu untuk berilmu”. Sesungguhnya Allah Yang Maha Suci memiliki selendang yang dicintaiNya. Barangsiapa menuntut satu bab dari ilmu maka Allah menyelendanginya dengan selendangNya. Jika ia berbuat dosa maka ia agar memperbaikinya tiga kali agar selendangNya itu tidak dilepas dari padanya, meskipun dosanya itu berkepanjangan sehingga ia meninggal”‘

AzZubair bin Abu Bakar berkata :

“Ayahku di Irak berkirim surat kepadaku ,’wajib atasmu berilmu. Jika kamu fakir maka ilmu itu menjadi hartamu. Dan jika kamu kaya maka ilmu itu menjadi keindahan bagimu”.

Demikian itu dihikayatkan juga dalam wasiyat-wasiyat Luqman kepada anaknya, ia berkata :

“Hai anakku, duduklah pada ulama dan merapatlah kepada mereka dengan kedua lututmu karena sesunguhnya Allah Yang Maha Suci menghidupkan hati dengan cahaya hikmah sebagaimana Dia menghidupkan tanah dengan hujan dari langit”.

Sebagian hukama berkata :

“Apabila orang ‘alim meninggal maka ia ditangisi oleh ikan di air, dan oleh burung di udara, ia hilang tetapi sebutannya tidak dilupakan penyebutannya.

.

wallahu a’lam.