Awas .. Awal Ramadhan 1433 H Berbeda
Meski belum disosialisasikan secara resmi, Muhammadiyah telah menetapkan awal Ramadhan 1433 H pada Selasa 20 Juli 2012. “Muhammadiyah sudah menetapkan awal bulan Ramadhan jatuh pada 20 Juli 2012,” ungkap anggota Majelis Tarjih PP Muhammadiyah, Ma’rifat Iman, Selasa (19/6).
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/12/06/19/m5v2zs-muhammadiyah-1-ramadhan-jatuh-pada-20-juli
Sedangkan Pemerintah akan menetapkannya dengan sidang itsbat 19 Juli 2012 (malam) setelah dilakukan rukyatul hilal. Kemungkinan hasilnya berbeda, karena 19 Jul 2012 maghrib rembulan, walaupun sudah positif di belakang matahari, namun masih sangat rendah (1.3 der), sehingga sangat sulit dirukyat.
Dengan demikian, kemungkinan besar bahwa Pemerintah akan menetapkan 21 jul 2012 sebagai awal Ramadhan 1433H.
Berikut simulasi kami, sunset 19 jul 2012. Hilal sangat sulit/tidak bisa dirukyat. Selain posisi yang sangat rendah, juga terlalu dekat dengan Matahari. Dan kita hanya punya waktu +- 8 menit untuk observasi. Lihat keterangan di bawah.
Keterangan: Rembulan
Local Time: 19/07/2012 17:36:49 (sunset, maghrib)
Location: Sleman, Yogyakarta, Indonesia
Latitude: 7° 40.517′ S
Longitude: 110° 21.55′ E
Name: The Moon
Age of Moon: New, 0.25 days old
Object type: Moon
Sets: 19/07/2012 at 17:44:54
Azimuth: 286° 22.745′
Altitude: 1° 20.895′
Berikut ini adalah peta penampakan hilal dari berbagai belahan dunia. Saya ambil dari: http://moonsighting.com/1433rmd.html
Bulan baru secara Astronomi adalah pada tanggal 19 Juli 2012 (Kamis) di 011:24 wib. Pada hari Kamis, 19 Juli 2012, hilal tidak dapat dilihat di mana saja di dunia dengan mata telanjang, kecuali di wilayah kecil Kepulauan Polinesia. Kecuali di Amerika Selatan dan Afrika Selatan, bahkan hilali tidak dapat dilihat dari manapun, termasuk Indonesia. (lihat kurva visibilitas).
Hasil yang sama dapat dilihat dari ICOPROJECT, di isni: http://icoproject.org/icop/ram33.html
wallahu a’lam.
.
Walau demikian, kami menunggu keputusan Pemerintah sebagai Ulul Amri.
.
.
Muhammadiyah Tak Mau Lagi Ikut Sidang Isbat
Din: “Kami sudah bisa menetapkan awal puasa, juga hari raya, sampai 100 tahun ke depan”.
Tribun Jogja – Rabu, 27 Juni 2012 22:14 WIB
TRIBUNJOGJA.COM, — Mulai tahun ini, Muhammadiyah tidak lagi mengikuti sidang isbat yang biasa digelar Kementerian Agama untuk menentukan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri.
Muhammadiyah tetap dengan metodenya menggunakan ilmu esakta, yaitu astronomi, untuk menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri. Tahun ini, Muhammadiyah telah menetapkan awal puasa Ramadhan jatuh pada 20 Juli 2012 dan salat tarawih dimulai pada 19 Juli 2012 malam.
“Kami sudah bisa menetapkan awal puasa, juga hari raya, sampai 100 tahun ke depan. Hal itu karena kami memiliki rumus esakta, seperti astronomi dan falak, sehingga sidang isbat tidak diperlukan lagi oleh kami,” ujar Din Syamsuddin, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Rabu (27/6/2012).
Dia menilai pelaksanaan sidang isbat bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hal tersebut mengacu pada sidang isbat tidak ada diskusi. Dalam sidang tersebut keputusan hanya dipegang satu orang dan hal itu, menurut dia, tidak layak bagi kalangan lain yang menghendaki tukar pikiran, seperti yang diharapkan Muhammadiyah.
“Menurut kami, sidang isbat tidak perlu karena melalui sidang itu, pemerintah tidak mengayomi umat. Dalam sidang itu, aspirasi banyak kalangan tidak terwadahi karena tidak ada tukar pendapat,” lanjutnya.
Sidang isbat adalah sidang untuk memutuskan awal puasa dan jatuhnya hari raya Idul Fitri yang dihadiri ormas Islam. Keputusan dalam sidang isbat sepenuhnya berada di tangan Kementerian Agama. (*)
.
Sumber: http://jogja.tribunnews.com/2012/06/27/muhammadiyah-tak-mau-lagi-ikut-sidang-isbat
keberagaman dalam menentukan jalan dan sikap sudah merupakan warna Islam sejak awal risallah ini disampaikan Rosululloh. indahnya perbedaan. namun juga sudah merupakan keniscayaan setiap perpecahan selalu di ikuti oleh munculnya para munafiqun yang mencari celah untuk mengkeruhkan suasana keberagaman.
semoga kita diselamatkan dari kekufuran, kebodohan dan kesulitan fikir. Amin Ya Rabbal Alamin
[…] ; http://orgawam.wordpress.com/2012/06/28/awas-awal-ramadhan-1433-h-berbeda/#more-3394 Share this:FacebookLike this:LikeBe the first to like […]
Perbedaan itu terjadi karena memang ada jalannya. Yang paling penting saya fikir, siapakah yang berhak mengumumkan awal ramadlan itu? Pemerintahkah, atau ormas?
–> pemerintah.. untuk menjaga persatuan ummat.
Sepengetahuan saya … Di dunia ini di manapun di negeri muslim dan mayoritas muslim, sedari dulu hingga sekarang, tidak ada ormas yg menetapkan sendiri awal dan akhir ramadhan, untuk menyaingi ulil amri-nya. Kecuali Muhammadiyah di Indonesia di era akhir zaman kini saja.
Saya setuju. Mudah2an Din Syamsudin menyadari, bahwa kalau dalam persoalan bisa atau tidak, banyak ulama-ulama, bahkan para ustadz di kalangan NU yang sangat pakar dalam hal falakiyah. Bedanya ulama-ulama NU bukan hanya sekedar bisa menggunakan metoda falakiyah saja tetapi juga tahu sejarah dan hukum menggunakannya. ‘Afwan.
Seharusnya kita ikut bersama menentukan awal ramadhan dan idul fitri bersama pemerintah RI, dengan demikian umat menjadi tenang dalam menjalankan ibadah puasa, JANGAN TERLALU MEMBANGGAKAN GOLONGAN, apalagi dg mengatakan sudah tahu sampai 100 tahun yg akan datang,
Ilmu Manusia sangat terbatas… bahkan manusia telah mempunyai sifat yang melekat dengan dirinya LUPA DAN SALAH. ..wasyawirhum bil arham…
Andai Rasulullah SAW hiup di jaman sekarang, tentunya masalah ini tidak akan menjadi rumit. Beliau yang menyuruh muslim untuk menuntut ilmu walau ke negeri China, tentunya beliau tidak akan anti IPTEK. Bila GHAMMA bisa dihilangkan dengan ilmu dan alat-alat modern, sampai kapan ikhtilaf ini selesai ? Akankah kasus Galileo-Galilei yang dihukum mati gereja akan terulang di umat ini dalam bentuk penafian ilmu astronomi modern ? Bukankah Allah juga sumber segala ilmu.
Selamat untuk Muhammadiyah yang telah berani tegas berijtihad dengan aplikasi science untuk kegiatan keagamaan. Semoga pembaharu NU segera memperoleh ILHAM untuk melakukan hal yang sama, sehingga umat bilsa menyatu.
Amin
–> Tidak hanya Muhammadiyah, sebenarnya ke semua pihak/pakar pun memakai aplikasi science yg sama canggihnya. Hasilnya pun insya Allah saya yakin menghasilkan angka yang sama (atau nyaris sama).
Muhammadiyah merasa mampu meramalkan sampai 100 th mendatang, padahal .. pakar yang lain pun juga bisa.. hanya angka threshold yang berbeda. Muhammadiyah 0 derajat, para pakar lain 2 der (yg saya tahu). Kemudian, muhammadiyah tidak mau lihat hilal (rukyat), sementara para pakar justru menantikan saat penglihatan itu. Muhammadiyah tak mau ikut pemerintah, sementara yang lain bersedia ikut sidang.
wallahu a’lam.
Soal aplikasi science secanggih apapun, bukan dan tidak bisa dijadikan untuk menetapkan hukum. Karena dia hanyalah alat. “alhukmu la yata’alku bil alat. Liannal alat khabariyun yahtamilu shidqa wal-kidzba wahua suyakkun. al-syak laa yu’tabar. Wallahu’alam.
Tinggalkan perselisihan. Umat Islm tetap mentaati pemerintahnya ” Athiullah wa athiurrasul wa ulil amri minkum”, bukan mentaati Muhammadiyah…waqtasimuw bihablillahi jami’ah wala tafarraquw.
Muhammadiyah harusnya rujuk pada sabda Rasulullah ” suumuw biruwyatiw waftiruw biru’yati….
Pemerintah yg KORUP gitu……
Duit anggaran di Korupsi sekarang Puasa juga dikorupsi…….he 3x….!
@ Hilman :
Mengaku gak korupsi puasa? mengaku patuh pada ketetapan 1 Romadhon seperti di Makkah sana?…. Kalo gitu ikut juga dooong tarowihnya 20 roka’aat seperti di Makkah sana. Jangan korupsi roka’at tarowih ah…
Ber”kiblat” ke Makkah koq setengah setengah….
http://debu-semesta.blogspot.com/2012/07/berkiblat-ke-makkah-koq-setengah.html
@ Hilman : http://debu-semesta.blogspot.com/2012/07/berkiblat-ke-makkah-koq-setengah.html
Ini adalah copy paste dari http://www.republika.co.id tapi menurut saya sangat menyejukkan :
“Rukyat Dulu, Baru Hisab”
Problematika penetapan awal bulan, juga terjadi di negara Islam mancanegara. Perbedaan yang muncul kemudian, dinilai sebagai dinamika dalam pengambilan hukum.
Fenomena itu pun, menurut Wakil Mufti Dar Al-Ifta Mesir, Prof Dr Muhammad Anwar Syalabi, pernah terjadi dalam diskursus kajian fikih. Ini bila kaitannya dengan negara satu dan negara lain.
Tetapi, menurutnya, bila perbedaan muncul dalam satu negara mestinya tak boleh terjadi. “Perbedaan tidak dibenarkan dalam kasus ini,” katanya.
Solusinya ialah mengembalikan pada penetapan pemerintah. Berikut petikan lengkap perbincangannya dengan wartawan Republika, Nashih Nashrullah, di sela-sela Multaqa Nasional Alumni Al Azhar II, Jakarta, Sabtu (7/7).
Bagaimana prinsip penetapan awal bulan?
Soal penetapan awal Ramadhan, Rasulullah SAW telah memastikan caranya dan tidak memberikan ruang ijtihad di dalamnya, yaitu penggunaan rukyat. Ini sesuai dengan sabdanya: “Berpuasa dan berbukalah kalian karena me lihat hilal. Jika mendung menutupinya maka sempurnakanlah Sya’ban 30 (hari).”
Prinsip rukyat pada dasarnya ialah melihat dengan mata telanjang. Jika dengan cara ini bisa tercapai maka perbedaan mutlak tidak akan ada, entah esok atau kini. Tetapi, bila terhalang mendung dan sulit melihat hilal maka merujuk pada penggunaan hisab astronomi.
Hal ini sesuai dengan Keputusan Muktamar Jeddah pada 1990-an. Inti ketetapannya, hisab astronomi dipakai untuk alternatif rujukan (itsbat) bukan menegasikan (nafy). Misalnya, berdasarkan perhitungan hisab yang akurat diketahui bahwa besok Ramadhan, tetapi rukyat gagal melihat hilal maka boleh merujuk pada hisab.
Tetapi, seandainya hasil hisab menyebut Sabtu awal Ramadhan dan pada Kamis hilal tampak, maka hisab tidak berlaku. Meski demikian, tidak boleh hanya bergantung pada hisab. Rukyat tetap yang utama.
Silang pendapat soal isbat, sahkah?
Perbedaan penetapan seperti itu ada dalam fikih. Baik di era salaf atau kontemporer. Akan tetapi, perbedaan yang mencolok pada poin apakah tiap negara mempunyai mathla’ (titik terbit) sendiri? Atau, apakah negara-negara yang bertemu waktunya walau sebagian malam dianggap satu mathla’?
Ulama berbeda pendapat. Sebagian ulama berpandangan, tiap negara punya mathla’. Yang saya maksud negara di situ, bisa satu wilayah negara dengan sistem pemerintahan yang tunggal. Bukan kota per kota atau provinsi per provinsi. Misalnya, jika Malaysia melihat hilal, sementera Indonesia negatif, maka Malaysia boleh saja berpuasa.
Sedangkan pendapat lainnya, dan yang saya anggap benar, yaitu bila negara-negara itu bertemu walau sebagian kecil malam; 15 menit, 10 menit, dan seterusnya bisa disebut bagian. Jika demikian, maka hasilnya bisa diberlakukan untuk negara-negara lain.
Contoh, jika di Mesir terlihat maka Indonesia juga bisa ikut ke Mesir. Sekalipun, misalnya, selisih waktu antarkedua negara itu kurang lebih empat jam. Pendapat ini dijadikan dasar di Mesir menyikapi Ramadhan dan Syawal. Merujuk pada pendapat-pendapat di atas, semuanya bisa jadi benar. Ini karena, kedua pendapat tersebut memiliki argumentasi.
Bagaimana bila perbedaan terjadi di satu negara?
Perbedaan dalam satu negara tidak dibenarkan. Sebagai contoh di Mesir. Bila di Aswan, Qena, atau Sohag, ada yang mengaku melihat hilal, sementara di Kairo negatif, kemudian penetapan masing-masing wilayah berbeda maka itu salah. Karena masih dalam negara yang sama. Apalagi ada lembaga fatwa ataupun instansi pemerintah di sana yang memiliki otoritas penetapan berdasarkan masukan badan-badan astronomi dan merujuk dalil-dalil syariat.
Maka, tidak boleh berbeda. Kaidah fikih menyatakan: “Ketetapan hakim (pemerintah) menghilangkan perbedaan.” Dalam kasus Indonesia, jika terdapat lembaga otoritatif yang telah ditunjuk pemerintah terkait itsbat, maka ketetapannya mengikat dan wajib diikuti oleh segenap penduduk. Karena pemerintah juga berlaku sebagai qadi.
Ulama sepakat soal ini. Tidak boleh segelintir atau sekelompok orang menolaknya. Dengan alasan, misalnya, Arab Saudi, ataupun negara lainnya tidak melihat hilal. Apalagi mempublikasikannya jauh hari. Pengumuman itsbat yang berlaku sepanjang sejarah ialah malam usai pelaksanaan rukyat.
Apakah ketentuan itu berlaku untuk Dzulhijjah?
Ada pengecualian terkait Dzulhijjah. Ulama bersepakat, wajib mengikuti penetapan Arab Saudi. Mengapa? Karena erat kaitannya dengan pelaksanaan wukuf di Arafah dan tidak menimbulkan kebingungan serta perpecahan.
Sekalipun misalnya, berdasarkan hisab dan rukyat negara tertentu berbeda dengan Arab Saudi. Ini pernah terjadi pada 2005. Dar Al Ifta ketika itu telah menetapkan Idul Adha. Setelah itu, Dewan Mahkamah Tertinggi Arab Saudi mengumumkan berbeda. Dar Al Ifta pun akhirnya mengikuti ketetapan Arab Saudi agar umat Islam bersatu.
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Anfaal: 46). Jika umat pecah maka musuh Islamlah yang diuntungkan.
Sumber Republika
Memutuskan kapan seorang muslim itu berpuasa setelah tahu bulan telah tanggal 1 ramadhan, hal ini diketahui setelah melakukan hisab berdasarkan rukyat yang dilakukan berulang sehingga menghasilkan suatu rumusan yang pas/tepat/benar, tentunya hal ini sudah lebih dahulu mamahami dalilnya baik naqli maupun aqli ( AlQur’an dan Alhadits) dan ditambah dengan ilmu-ilmu lainnya yang dapat membantu. kITA MENYIKAPINYA DENGAN ARIF DAN BIJAKSANA, JANGAN PERBEDAAN DIPERUNCING; alangkah bodohnya kita, Inikan namanya ijtihad, bila benar dapat pahala 2, bila slah dapat 1.Kita mestinya berpikir yang lebih maju yaitu bagaimana umat islam di dunia mempunyai calender yang satu, Insya Allah Umat Islam akan bersatu dan tidak mudah untuk dipecah-belah. wallahu A’lam bishawab.
Muhammadiyah jangan dulu sesumbar itu mengatakan bahwa 100 tahun sudah bisa menetapkan. pemerintah RI melalui kementerian agama juga bisa menetapkan 100 tahun kedepan melalui hisab. bahkan untuk 1 juta tahun juga bisa. kementerian agama ahli nya bukan cuma satu orang lho pak Din Syamsuddin. banyak. melebihi 30 orang dipusat dan ratusan didaerah seluruh indonesia. ada kesannya anda itu seolah-olah lebih pintar. tidak. zahir hadits tersebut adalah rukyat bukna hitung. faqdurulahu sama artinya fakmilu bukan faqdurulahu artinya hisablah. salah. BUYA HAMKA SENDIRI BERUBAH PENDAPATNYA DARI HISAB KEPADA RUKYAT SEBELUM WAFATNYA. karena mengapa rasulullah saw katakan “shumu lirukyatihi waftiru li rukyatihi” artinya oang bodoh dan orang pintar, orang pendidikan rendah dan pendidikan tinggi, rakyat jelata dan pejabat bisa mengamalkan hadits ini. tanpa perlu hisab yang rumit-rumit. bukankah allah dan rasulnya sudah mempermudah dengan melihat modal mata dan alat???
foto diata salah. the moon dimaksud adalah seharusnya matahari (the sun). diatas matahari sebelah kiri kita baru the moon. kesalahan berikutnya gambar itu tidak jujur. seharunya matahariitu tidak nampak lagi. harusnya terbenam. dan ketinggian bulan seharusnya tidak setinggi itu, tapi lebih rendah lagi. thank you
–> rembulan memang sngat dekat matahari. Sebelah kiri atas sedikit (dilihat dari sisi pembaca). Tulisan the moon berada di samping rembulannya itu sendiri (bukan menimpa rembulan). Coba lihat baik2. Ada bulatan rembulan (sangat tidak jelas) di sana.
Tidak ada niat tak jujur. Sinar yg tampak terang adalah dari sinar hasil matahari yg sudah di bawah ufuk. Ketika di zoom sangat dekat, software menunjukkan matahari telah di bawah ufuk. Kl zoom jauh mennjukkan masih ada sisa2 sinar sebgaimana gambar di atas (dimaksudkan seperti sinar saat maghrib).
terima kasih kritikannya.
( Sekedar wacana, jangan antipati dulu walau mungkin anda anggap dari orang yg terpengaruh grakan wahabi )
Jadi, Umm al-Qura University (UaQU) sebetulnya telah menyusun kalender Islam dan telah dipublikasikan beberapa tahun yang lalu. Kriterianya yang paling baru adalah ternyata “wujudul hilal” dan sangat sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam Al Qur’an Surat Ya Sin: 38-40.
Dalam kalender tersebut, 1 Ramadan 1433 lalu telah ditetapkan bertepatan dengan 20 Juli 2012. Kepastian ini kemudian disyahkan oleh Majlis al-Qada al-A‘la dalam sidangnya di Taif karena ada saksi yang bersumpah melihat hilal. Padahal beberapa data astronomi ketinggian hilal pada maghrib 19 Juli 2012 lalu yang dicatat untuk beberapa kota di Arab Saudi adalah sebagai berikut (data diambil dari Accurate Times, dalam satuan derajat):
Jeddah: 1.3
Mekah: 0.9
Madinah: 0.9
Taif: 1.3
Riyadh: 0.7
Kota2 yang lain belum dilihat, tapi diperkirakan di seluruh wilayah Arab Saudi akan berada di bawah 2 derajat. Di beberapa kota malah jauh di bawah 2 derajat. Dengan demikian, beberapa catatan penting yang harus dikemukakan di sini adalah:
Tidak betul bahwa kriteria wujudul hilal adalah kriteria yang usang seperti yang dikampanyekan oleh seorang ahli astronomi Indonesia. Kalau melihat perkembangan kriteria yang dikembangkan oleh UaQU, justru kriteria imkan rukyat adalah yang usang dan telah ditinggalkan hamper 40 tahun lalu.
Kriteria minimum 2 derajat itu ternyata tidak memiliki dasar. Kalau memang Rasul menghendaki ini, mengapa beliau tidak memberikan batasan ketinggian Bulan “sepenggalah” seperti minimum ketinggian Matahari sebagai syarat sholat dhuha? Mengapa umat Islam berani menambahi syarat minimum 2 derajat?
Beberapa organisasi besar seperti Islamic Society of North America (ISNA), Fiqh Council of North America (FCNA), dan European Council for Fatwa and Research (ECFR) yang dipimpin oleh ulama besar Mesir Prof. Yusuf Qaradawi dan banyak lagi (di 47 negara atau 61%) menyatakan “follow Saudi”.
Siapakah ISNA dan FCNA?
Dr. Shaukat yang memimpin moonsighting.com (lihat tulisan seri pertama) dulunya adalah konsultan bagi ISNA dan FCNA ketika mereka memulai proyek eksperimen untuk melakukan rukyatul hilal di Amerika Utara (AS dan Kanada). Proyek ini dilakukan pertama kali pada 1994 dengan menyebar sekitar 2000 relawan perukyat ke seluruh Amerika Utara setiap bulan untuk melakukan rukyat. Harapannya, dengan hasil rukyat akan dapat disusun sebuah database model untuk kehadiran hilal berdasarkan rukyah. Sementara itu, ISNA dan FCNA terus dikejar oleh keperluan memperjuangkan agar umat Islam di Amerika memperoleh hak libur untuk melaksanakan ibadahnya (missal: sholat Iedul Fitri).
Katakanlah ada 200 pekerja Islam di Boeing, 300 di Microsoft, dan ribuan lagi di industri yang lain, atau bahkan di pemerintahan Amerika. Saat mereka meminta izin libur terkait dengan Iedul Fitri, mereka selalu ditolak karena:
Pertama, permintaan izin dilakukan beberapa minggu atau bulan sebelumnya.
Kedua, tidak ada kepastian tanggalnya karena kepastian hanya dapat dipeoleh ketika hilal telah kelihatan.
Bagaimana mungkin di sebuah organisasi modern dengan jadwal delivery produk yang sangat ketat, tiba2 ratusan orang minta libur dengan mendadak, dan tidak pasti hari dan tanggalnya?
Setelah 13 tahun melakukan riset ekperimental rukyatul hilal ini, maka pada 13 Agustus 2006, FCNA mengeluarkan fatwa bahwa kalender Islam harus dibuat berdasarkan perhitungan astronomi, dan kriteria yang dipakai adalah wujudul hilal, persis seperti yang dimiliki oleh UaQU. Jadi sangat wajar kalau ISNA dan FCNA kemudian menyatakan “follow Saudi” meskpun mereka memiliki hasil perhitungan sendiri yang sama akuratnya dengan hasil UaQU.
Ketika fatwa FCNA ini dikeluarkan, muncullah hujatan dari seluruh penjuru dunia dengan mengatakan: “ini Fatwa Syetan”, dll. FCNA tidak bergeming dan terus mengkampanyekan pentingnya kalender Islam untuk kehidupan umat Islam Amerika sampai sekarang.
Dan jerih payah ISNA dan FCNA ini telah berbuah manis dengan diakuinya Ramadan sebagai bulan suci umat Islam oleh Kongres Amerika pada 5 September 2007, hanya setahun setelah fatwa FCNA yang dihujat sebagai “Fatwa Syetan” itu. Ini merupakan langkah penting dalam sejarah umat Islam di Amerika (lihat gambar).
Jadi kepastian hukumlah sebetulnya sumber persatuan. Persatuan dengan pemaksaan kehendak oleh penguasa seperti hasil sidang Istbat hanyalah persatuan yang semu.
Pertanyaannya, mengapa justru Indonesia tidak belajar saja dari kegagalan dan keberhasilan sudara2 kita seperti di Amerika ini? Mengapa malah kita kemudian kembali ke square one. Padahal tingkat kesulitan melihat hilal di negara tropis seperti Indonesia akan jauh lebih tinggi. Akankah kita menghabiskan waktu puluhan tahun untuk sampai pada suatu kesimpulan seperti ISNA dan FCNA: tidak mungkin memperoleh kepastian penyusunan kalender Islam dengan rukyah.
Jadi pada pendapat saya, perpecahan umat Islam itu justru karena tidak adanya kepastian kalender Islam, yang berarti tidak ada kepastian hukum. Dan penyebabnya karena kita ngotot untuk merukyah. Saya tidak tahu apa landasan hukum yang mendasari Departemen Agama untuk melakukan Sidang Istbat ini? Kalender adalah domain hukum, bukan domain kebijakan publik. Mengapa eksekutif mengambil posisi untuk menentukan sesuatu yang di luar domain kekuasaannya? Jadi sebelum ada masyarakat yang mem PTUN kan Departemen Agama, sebaiknya sidang Istbat itu dihentikan saja. Jikapun telah ada landasan hukumnya, masyarakat tetap dapat mengajukan uji materi atas perundangan ini ke Mahkamah Konstitusi, demi menghindari power abuse