Benarkah Tarawih 20 Rakaat? (2)

Bab 2

Berbagai riwayat sehubungan dengan tarawih 20 rakaat

(1) Diriwayatkan oleh Yazid Ibn Khusayfah dari Sâib Ibn Yazîd bahwa semua orang mengerjakan sholat tarawih 20 rakaat dalam bulan ramadlan pada masa khalifah Umar Ibn Khatab ra. (Baihaqi dalam As Sunaul Kubra, vol.2 hal 496)

Riwayat ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad shahih dalam Ma’rifah sementara Imam Nawawi (676 A.H), Ibnul Iraqi dan Imâm Suyuti (911 A.H.) mensahihkan riwayat ini dalam Khulasah, Syarh Taqrib dan Masabih.

(2) Yazid Ibn Ruman meriwayatkan bahwa semua orang mengerjakan sholat 23 rakaat dalam bulan ramadlan pada masa kekhalifahan Umar ra.(20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir) (Baihaqi dalam As Sunaul Kubra, vol.2 hal 496).

Dalam hal riwayat ini berkisah tentang masa sahabat Umar, maka Yazid Ibn Ruman yang tidak hidup pada masa itu bukanlah hal yang penting. Masalah ini sudah sangat umum diketahui. (Untuk lebih jelasnya, lihat Rakaat Tarawih oleh Syeikh Habibur Rahman Azmi, hal 63-68)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Malik (179 A.H) dalam kitab Muwatta-nya (hal 9). Imam Syafi’i berkata,”Kitab yang paling terpercaya setelah Quran adalah al Muwatta. Para ulama hadits sepakat bahwa apapun yang tertulis adalah benar menurut pendapat Imam Malik dan selaras dengan prinsip-prinsip beliau.

Jadi, walaupun hadits ini mursal di dalam As-Sunanul Kubra, tetapi hadits ini termuat pula di dalam al Muwatta Imam Malik. Selain itu, hadits mursal diterima oleh Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Imam Syafi’i menerima hadits mursal jika didukung oleh riwayat-riwayat yang lain. (Syarh Nukhbatul Fikr, hal 64) Riwayat-riwayat lain mencukupi untuk mendukung hadits ini.

(3) Umar Ibn Khatab ra memerintahkan seseorang mengimami sholat tarawih 20 rakaat untuk orang banyak (Abubakr Ibn Shaibah dalam Musannaf-nya, vol.1 hal 483)

(4) Ubayy Ibn Ka’b ra biasa memimpin sembahyang dengan 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir. (Abu Dawud hal.202)

(5) Ulama Tâbi´î yang utama, Atâ berkata, “Saya menemui orang-orang mengerjakan tarawih 20 rakaat dan 3 rakaat witir (Abubakr Ibn Shaibah dalam Musannaf-nya, vol.1 pg.483)

(6) Abul Khusaib berkata bahwa Suwaid Ibn Ghaflah biasa melakukan lima duduk, yaitu dia biasa mengerjakan 20 rakaat (dan duduk setelah 4 rakaat) . (Baihaqi vol.2 hal 496)

(7) Nâfi Ibn Umar mengatakan bahwa Ibn Abi Mulaykah biasa mengerjakan 20 rakaat untuk mereka dalam bulan ramadlan. (Abubakr Ibn Shaibah dalam Musannaf-nya)

(8) Dilaporkan oleh Saîb Ibn Ubaid bahwa Ali Ibn Rabî´ah biasa mengerjakan 5 tarawih (yaitu 20 rakaat dan istirahat setiap 4 rakaat) dengan orang-orang, dan dia biasa mengerjakan 3 rakaat witir. (Abubakr Ibn Shaibah dalam Musannaf-nya)

(9) Ibn Abbas meriwayatkan bahwa Rasulullah saw biasa mengerjakan sembahyang 20 rakaat dalam bulan ramadlan sendirian dan beliau juga mengerjakan witir. (Abubakr Ibn Shaibah dalam Musannaf-nya dan Baihaqi)

Hadits ini telah diterima oleh umat dan dipraktekkan tanpa keraguan di seluruh dunia. Meskipun demikian, pihak wahaby memperdebatkan sanad hadits ini.

Mereka melemahkan karena ada dalam hadits ini periwayat yang bernama Ibrâhim Ibn Uthmân. Menurut mereka, dia sangat lemah dan tidak jujur. Tetapi wahaby ini juga, yang menetapkan fardu-nya (atau sunat-nya) surat fatihah dalam rukun sholat jenazah, dengan memakai hadits dengan periwayat yang sama, Ibrâhim Ibn Uthmân. (Salatur Rasul dari Hakim Muhammad Siyalkuti, hal 434). Di sini tidak ada kritikan apapun tentang periwayat, ataupun memberi keterangan tentang kesahihan haditsnya.

Al Hafidz Ibn Hajar menyatakan bahwa Ibrâhim Ibn Uthmân adalah seorang hafidz, yaitu dia seorang yang terkemuka di bidang hadits. Tidak seorangpun meragukan ingatannya. Beberapa ulama seperti Imam Shu’bah mengkritisi kesahihannya sementara ulama-ulama yang lain seperti Yazid Ibn Harun memandangnya sebagai sahih. Jadi, dia dikatakan sebagai periwayat yang mukhtalaf. Sehingga haditsnya turun kategori menjadi hasan. Hal ini dengan asumsi bahwa ada kritik dari Imam Shu’bah. Tetapi jika kritikannya dapat dimentahkan, maka hadits itu menjadi sahih.

Syeikh Abdul Aziz, seorang ulama terkemuka Delhi menyatakan bahwa beliau bukan periwayat yang lemah yang dapat menyebabkan periwayatan beliau ditolak.

(10) Shaytar Ibn Shakl yang adalah murid dari Alî kwh melaporkan bahwa beliau (Alî) biasa membuat imamat sembahyang 20 rakaat di bulan ramadlan dan kemudian beliau yang mengimami 3 rakaat witir. (Baihaqi vol.2 hal.496)

(11) Abdur Rahmân Sulami meriwayatkan bahwa sahabat Alî kwh memanggil Qurrâ (pembaca Quran) dalam bulan ramadlan dan memerintahkan seorang dari mereka untuk mengimami sholat 20 rakaat sementara Alî kwh yang akan memimpin sembahyang witir. (Baihaqi vol.2 hal.496)

(12) Dikatakan dari Qiyamul Lail oleh Muhammad Ibn Ka’b Al-Qurazi bahwa semua orang-orang biasa mengerjakan 20 rakaat tarawih di bulan ramadlan. Mereka biasa memanjangkan bacaan quran dan mengerjakan 3 rakaat witir (Qiyamul Layl oleh Muhammad b. Nasr Marwazi hal.91)

(13) A’mash berkata bahwa Abdullah Ibn Mas’ud ra biasa mengerjakan 20 rakaat tarawih dan 3 rakaat witir. (Qiyamul Layl oleh Muhammad b. Nasr Marwazi hal.91)

(14) Nafi, budak yang dibebaskan oleh Ibn Umar ra dan murid dari Aisya ra, Abu Hurairah dan Abu Rafi’ ra, meriwayatkan bahwa dia melihat orang-orang mengerjakan 36 rakaat tarawih dan kemudian witir. (Tuhfatul Ahwazi vol.2 hal.73)

(15) Dawud Ibn Qais meriwayatkan bahwa dalam masa kekhalifahan Umar Ibn Abdil Aziz (101 A.H) dan Aban Ibn Utsman (105 A.H) dia melihat orang-orang Madinah mengerjakan sembahyang 36 rakaat. Khalifah Umar Ibn Abdil Aziz memerintahkan Qurra untuk mengerjakan sembahyang 36 rakaat. (Qiyamul Layl oleh Muhammad b. Nasr Marwazi hal.91-92)

(16) Abdul Aziz bin Rafai’ (Rahimahullâh) menyebutkan bahwa Ubay bin Ka’ab ra biasa mengimami sembahyang 20 rakaat tarawih dan kemudian 3 rakaat witir. (Atharus Sunan hal.53)

(17) Ubay bin Ka’ab ra meriwayatkan bahwa Umar ra memerintahkan padanya dengan mengatakan bahwa jika ia mengimami sembahyang (tarawih) maka hal itu akan lebih baik. Kemudian beliau berkata,”Kerjakan 20 rakaat untuk orang-orang .” ( Atharus Sunan hal.255)

(18) Diriwayatkan oleh Hasan bahwa Umar Ibnul Khattab ra mengumpulkan orang-orang (bersholat ) dengan Ubay Ibn Ka’b ra dan ia biasa mengimami 20 rakaat (tarawih) untuk mereka. (Abu Dawud)

Ada 2 keterangan mengenai Sunan Abu Dawud ini. Sebagian tertulis 20 rakaat, sebagian yang lain tertulis 20 malam. Keduanya diterima sebagai hadits. Shaikh Muhammad Ali As-Sâbuni dari Makkah juga menuliskan hadits ini dalam kitabnya, Al-Hadyun Nabawi As-Sahîh fî Prayerit-Tarâwîh. Al Allamah Dzahabi meriwayatkan hadits ini dengan kata-kata 20 rakaat di dalam Siyar Alamin Nubala-nya.

Syeikh Ibn Taymiyyah menyatakan bahwa telah terbukti bahwa Ubay Ibn Ka’b ra biasa mengerjakan 20 rakaat tarawih sebagai imam dari para jamaah dan kemudian mengerjakan 3 rakaat witir. Kebanyakan ulama menyimpulkan hal itu adalah sunnah karena ia mengerjakan itu di antara para Muhajirin dan Ansar dan tidak seorangpun menyanggahnya.(Fataawa Ibn Taymiyyah)

Ibn Taymiyyah menyatakan di manapun ketika seseorang mengerjakan tarawih sebagaimana madzab Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, yaitu 20 rakaat, atau 36 rakaat sebagaimana Imam Malik, atau 23 atau 11, maka dia telah melakukannya dengan baik. (Fataawa Al-Kubra, vol.4 hal.176) Beliau juga berpendapat bahwa kebanyakan umat islam mengerjakannya dengan 20 rakaat. (Majmuah Fataawah Ibn Taymiyyah, vol.22 hal.272)

Banyak riwayat-riwayat lain yang membuktikan jumlah rakaat 20 ini. Abdullah Ibn Masud ra juga biasa mengerjakan 20 rakaat. (Tuhfatul Ahwazi vol.2 hal.75)

Sampai dengan era Imam Malik (179 A.H), adalah kebiasaan resmi Madinah adalah 36 rakaat. Kadang-kadang sampai 41 rakaat. Imam Tirmidzi menunjukkan bahwa kebiasaan Madinah adalah 41 rakaat. Sembahyang 36 dikerjakan di mana saja pengikut Imam Malik berada.

Di Makkah, sampai era Ata Ibn Abi Rabah (114 A.H), 20 rakaat biasa dikerjakan. (Musannaf Ibn Abi Shaibah). Imam Syafi’i (204 A.H) sependapat dengan hal ini. Imam Tirmidzi menyebutkan bahwa kebanyakan ulama telah menerima riwayat Ali dan Umar ra dll – yaitu 20 rakaat. Nafi Ibn Umar menyebutkan bahwa Ibn Abi Mulaykah (117 A.H.) biasa dengan orang-orang mengerjakan 20 rakaat.

Abdullâh Ibn Masûd (32 A.H.), Suwaid Ibn Ghaflah (81 A.H), Ali Ibn Rabîah, Sufyân Thauri, Abdullah Ibn Mubârak (181 A.H.) dari Khurasân, Dawûd Zâhiri, Imâm Abu Hanîfa (150 A.H.) dan semua pengikutnya, Imâm Ahmad Ibn Hanbal (241 A.H.) dan semua pengikutnya, Imâm Shâfi’î dan semua pengikutnya mengerjakannya dengan 20 rakaat.

Ringkasnya, itu semua adalah amalan para salafus shaleh sejak zaman Umar ra sampai dengan sekitar pertengahan abad ke tiga di pusat-pusat utama para ulama seperti Makkah, Madinah, Kufa, Basrah, Baghdad, Khurasân, dll. Semua kitab-kitab muktabar dari ke empat madzab dan yang lainnya sepakat dengan sembahyang 20 rakaat (tarawih). (lebih detailnya lihat Bidayatul Mujtahid vol.1 hal. 210; Tirmidhi vol.1 hal.112; Kashful Qana hal.276; Sharh Muhtahil Iradat vol.1 hal. 256, Mughni Ibn Qudamah; Sharh Nawawi ala Muslim)

Ijma

Mullah Ali Qâri menyebutkan bahwa para sahabat ra telah ber-ijma dalam amalan sembahyang tarawih 20 rakaat. (Mirqat vol.3 hal.194) Allâmah Ibn Abdul Barr Mâliki dan Ibn Hajar Makki telah meriwayatkan ijma sembahyang 20 rakaat ini. Allâmah Qâdi Khan, Allâmah Shamsuddîn, Allâmah Qastalâni, Sheikh Muhammad Zakarriyya Kandhelwi, Allâmah Abdul Hayy Lucknowi dan Nawwâb Siddiq Hasan telah meriwayatkan Ijmâ ini. (Fataawa Qadi Khan, Sharh Muqanna vol.1 hal.852, Sharh Bukhari of Qastalani). Imâm Nawawi menyebutkan bahwa praktek 20 rakaat telah diamalkan sejak zaman salafus shaleh dan telah kuat hujahnya.

Ibn Qudâmah menyebutkan dalam Al-Mughni bahwa ini sudah seperti ijma. (Al Mughni vol.1 hal.803) Ibn Hajar Makki menyebutkan bahwa para sahabat ra telah bersepakat dengan 20 rakaat. (Mirqat). Hal ini telah mencukupi dalam hal hujah untuk 20 rakaat karena sunnah khulafa selaras dengan sunnah Nabi saw.

Hudzaifa meriwayatkan bahwa Nabi saw bersabda,”Ikuti dua setelah aku”. dan beliau menunjuk kepada Abu Bakr danUmar ra.(Tirmidhi vol.2 hal. 229) Jika 20 rakaat bukan sunnah, maka sahabat Umar ra telah melakukan hal yang seburuk-buruknya bidah. Dan jika demikian, para sahabat yang lain tidak akan menerimanya. Mereka mengetahui sabda-sabda dan perbuatan-perbuatan Nabi saw. Imâm Abu Yusuf menyebut bahwa beliau bertanya pada Imâm Abu Hanifa tentang tarâwîh dan praktek dari Umar ra. Imâm Abu Hanifa menjawab bahwa tarawih adalah sunnah muakkadah dan Umar ra tidak melakukan yg demikian sekehendaknya sendiri ataupun beliau melakukan seburuk-buruknya bidah. Beliau memulai itu untuk mengamalkan apa yang beliau peroleh dari Nabi saw. (Maraqil Falah hal.8)

Syeikh Atiyyah Muhammed Sâlim yang merupakan hakim agung di Madina Munawwarah dan mufti di Masjidun Nabawi (Alâ Sâhibihi As-salâm) menuliskan dalam kitabnya bahwa beliau telah mencatat sejarah sembahyang tarawih selama lebih dari seribu tahun di Masjidun Nabawi (Alâ Sâhibihi As-salâm). Beliau mencatat bahwa peristiwa-peristiwa bersejarah sejak era Nabi saw hingga 1390 H, yaitu hampir 14 abad. Dari kitab beliau dipastikan bahwa selama periode itu, sembahyang tarawih tidak pernah kurang dari 20 rakaat di Masjidun Nabawi (Alâ Sâhibihi As-salâm). Yang ada adalah 20 rakaat atau lebih (tidak pernah kurang). Setelah memaparkan fakta sejarah ini, Syeikh Atiyyah bertanya kepada pembaca, sepanjang abad periode itu, benarkah 8 rakaat merupakan batas maksimum limit atau benarkah amalah yang kurang dari 20 rakaat yang dibenarkan?! Telah 1400 tahun, sembahyang tarawih adalah antara 20 sampai 40 rakaat. Tak seorangpun yang mempunyai iman akan mengatakan bahwa praktek sembahyang (tarawih) lebih dari 8 rakaat adalah terlarang.

Sebelumnya di th 1376 H, seorang ulama hadits dari India, Moulanâ Habibur Rahman Azmi menulis kitab berjudul “Raka’ât-e-Tarâwîh”, di sana tertulis:

“Penentangan dari Ghair Muqallidîn (sekelompok orang yang tidak mengikuti madzab) di India ini dimulai baru sejak sekitar seratus tahun terakhir ini dan tidak pernah terdengar sebelumnya. Di seluruh dunia islam, 20 rakaat atau lebih telah lama diamalkan. Dengan kata lain, dari era Umar ra hingga saat itu, tidak ada masjid di dunia ini yang di dalamnya diamalkan 8 rakaat tarawih, yang mana mengimplikasikan bahwa sepanjang sekitar 1250-an tahun, semua muslim (ahlu sunnah) mengerjakan 20 rakaat atau lebih sebagai sunnah. Setelah masa yang panjang itu, muncul sekte ini dan membuat pernyataan – bahwa apa yang umat islam lakukan selama ini tidak benar. Yang benar hanyalah yang 8 rakaat. Kemudian Habibur Rahman Azmi membahas dari kitab-kitab hadits tentang praktek tarawih selama 1250 tahun ini. Beliau menyebutkan bahwa amalan umat islam (20 rakaat) ini tidak bertentangan dengan hadits, bahkan selaras dengan sunnah Rasulullah saw dan para khalifah yang diberi petunjuk ra.

Sheikh Atiyyah, dengan cara yang hampir sama membuktikan kevalidan dari 20 rakaat dari sudut pandang sejarah dan hadits. Beliau juga mengutip dari kitab-kitab dari para Imam Madzab (Malik, Syafi’i, Ahmad dan Abu Hanifah rhm) dan kemudian mengutip hadits shahih berikut:

“Peganglah kuat-kuat sunnahku dan sunnah khulafa yang diberi petunjuk (yaitu Abu Bakr, Umar, Utsman dan Ali ra.”(Mishkat hal.30)

Akhirnya kami bertanya, adakah fuqaha atau muhadits yang menolak 20 rakaat tarawih sejak era Umar hingga era penjajahan Inggris? Adakah kitab-kitab yang menolak amalan tersebut (20 rakaat) di era sepanjang itu?

Bersambung ………

sumber: http://qa.sunnipath.com/