Tentang Bid’ah (1)

Diterjemahkan dari kitab: Mafahim Yajibu an-Tusahah oleh Syeikh Muhammad Alwi Al Maliki

Diantara umat islam yang mengaku ulama atau pakar ajaran Islam, ada orang yang menisbatkan dirinya kepada sunnah ulama salaf yang saleh. Mereka mengaku sebagai pengikut ulama salaf juga mengaku Ahlu Sunnah wal Jama`ah. Dengan gagah berani dan penuh kebanggaan, mereka mengajak umat islam untuk mengikuti jejak langkah atau sunnah para ulama salaf yang saleh dengan cara-cara primitif, penuh kebodohan, fanatisme buta, dengan pemahaman yang dangkal dan dengan dada (pengertian ) yang sempit.

Bahkan, mereka juga berani memerangi setiap sesuatu yang baru dan mengingkari setiap penemuan baru yang baik dan berfaedah hanya karena dinilai (oleh pemahaman mereka yang sempit) sebagai bid’ah. Dalam pemahaman mereka, tidak ada sesuatu yang bid’ah kecuali pasti menyesatkan. Mereka tidak mau melihat adanya realitas yang menuntut adanya perbedaan antara bid’ah hasanah (yang baik) dan bid’ah dlolalah (yang sesat). Padahal ruh Islam menghendaki adanya pembedaan antara berbagai bid’ah yang ada. Semestinya umat Islam mengakui bahwa bid’ah itu ada yang baik dan ada yang sesat atau menyesatkan. Yang demikian itulah yang menjadi tuntutan akal yang cerdas dan pemahaman atau pandangan yang cemerlang.

Itulah yang di – tahkiq atau diakui kebenarannya setelah dilakukan penelitian oleh para ulama ushul (fiqh) dari kalangan ularna salaf yang saleh, seperti Imam Al-’Izz bin Abdussalam, Imam Nawawi, Iman Suyuthi, Imamn Jalaluddin AI-Mahally, dan Ibnu Hajar — Rahimahulloh Ta’ala

Hadits-hadits Nabi Muhammad Saw – untuk menghindari kesalah-pahaman – perlu ditafsiri sebagiannya dengan sebagian hadits yang lain, dan diperjelas kesempurnaan arahnya dengan hadits-hadits lainnya. Umat Islam perlu memahami sabda Nabi Muhammad Saw itu dengan pemahaman yang cermat dan komprehensif, sempurna dan menyeluruh. Jangan sekali-kali memahaminya secara parsial atau sepotong-sepotong. Ia juga mesti dipahami dengan ruh Islam dan sesuai dengan pendapat para ulama salaf saleh.

Oleh karena itu, kita menemukan banyak hadits yang untuk memahaminya secara benar diperlukan kecermelangan akal, disertai hati yang sensitif yang pemaknaan dan pemahamannya didasarkan pada “lautan syariat Islam” sambil memperhatikan kondisi dan situasi umat Islam dan berbagai kebutuhannya. Situasi dan kondisi umat memang harus diselaras-kan dengan batasan-batasan kaidah Islam dan teks-teks Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw, tidak boleh keluar dari itu.

Diantara contoh hadits yang perlu dipahami secara benar dan komprehensif, proposional dan sempurna adalah sabda Nabi Muhammad Saw berikut

Setiap bi’ah adalah dlolalah “menyesatkan”.

Untuk memahami hadits seperti itu, kita mesti mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut adalah bid’ah sayyi’ah. Yaitu bid’ah yang salah dan menyesatkan. Bid’ah yang dimaksud dengan sabda Nabi Muhammad Saw tersebut adalah suatu peribadahan yang tidak didasarkan pada ajaran pokok agama Islam.

Pendekatan yang seperti itu pula yang harus digunakan untuk memahami berbagai hadits, seperti hadits berikut (Yg artinya – Wallohu wa Rasuluhu a’lam):

Tidak ada shalat – yang sempurna- bagi tetangga masjid kecuali (yang dilakukan) di dalam masjid.

Hadits diatas, mekipun mengandung “pembatasan” (hashr), yaitu menafikan (meniadakan) shalat dari tetangga masjid, tetapi kandungan umum dari berbagai hadits lain mengenai shalat mengisyaratkan bahwa hadits tersebut perlu dipahami dengan suatu kayyid atau pengikat. Maka pengertiannya, “tidak ada shalat (fardu) yang sempurna bagi tetangga masjid, kecuali di masjid.”

Begitu pula berkenaan dengan hadits Rasulullah Saw di bawah ini (Yg artinya – Wallohu wa Rasuluhu a’lam):

Tidak ada shalat dengan (tersedianya) makanan.

Maksudnya, tidak ada shalat yang sempurna jika makanan telah tersedia. Seperti itu pula pendekatan yang harus kita gunakan untuk memahami hadits berikut (Yg artinya – Wallohu wa Rasuluhu a’lam):

“Tidak beriman (dengan keimanan sempurna) salah seorang di antaramu kecuali ia mencintai sesuatu untuk saudaranya seperti ia mencintainya untuk (kepentingan) dirinya”

Begitu juga hadits berikut (Yg artinya – Wallohu wa Rasuluhu a’lam):

”Demi Allah, tidak beriman; Demi Allah, tidak beriman; Demi Allah, tidak beriman – dengan keimanan yang sempuma.” Ada yang bertanya: ”Siapakah – yang tidak sempurna keimananya itu – wahai Rasulullah?”

Beliau bersabda: ”Orang yang tidak menyelamatkan tetangganya dari gangguannya”

“Tidak masuk surga pengadu domba.”

“Tidak masuk surga pemutus tali persaudaraan. Tidak masuk surga orang yang durhaka kepada kedua orangtuanya.”

Menurut para ulama, yang dimaksud tidak masuk surga itu adalah tidak masuk secara baik dan utama, atau tidak masuk surga jika menganggap halal atau boleh melakukan perbuatan munkar seperti itu. Jadi, para ulama – atau pakar – itu tidak memahami hadits menurut lahirnya; mereka memahaminya melalui takwil.

Maka harus seperti itulah memahami hadits tentang bid’ah, Keumuman kandungan berbagai hadits serta kondisi dan sikap para sahabat mengesankan bahwa yang dimaksud dengan bid’ah dalam hadits tersebut hanyalah bid’ah sayyi’ah (bid’ah yang jelas-jelas tidak ada landasan pokok dari ajaran Islam); tidak semua bid’ah.

Cobalah kita perhatikan hadits-hadits berikut ini (Yg artinya – Wallohu wa Rasuluhu a’lam):

Siapa yang menetapkan – atau melakukan – suatu kebiasaan (Sunnah) yang baik, maka ia berhak mendapatkan pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya sampai hari kiamat ….

Henduklah kamu sekalian (mengikuti) Sunnahku dan Sunnah para kholifah yang cerdik pandai dan mendapat petunjuk…

Perhatikan juga perkataan Umar bin Khathab r.a. mengenai salat tarawih: ”Sebaik-baik bid’ah adalah ini.” (Yakni, melakukan salat tarawih dengan berjamaah – penrj). Hanya Allah Yang Lebih Mengetahui yang sebenarnya.”

Sumber: http://asysyifawalmahmuudiyyah.wordpress.com/