Ketika lumpur jadi komoditas politik
Ini masih polemik apakah lumpur lapindo perlu diberi status bencana alam atau bukan.
Bagi kami, apapun status-nya, korban harus segera dijamin hak-haknya. Yang bertanggung jawab segera diadili.
Oh yaa..dulu pernah baca sekilas. Ada diberitakan pernah mengundang ahli geoligi dari Jepang untuk menganalisis penyebab lumpur lapindo ini. Bagaimana hasilnya? Kenapa dalam rapat DPR ini tak muncul ceritanya.
Sumber : http://tempointeraktif.com/
Edisi. 01/XXXVII/25 Februari – 02 Maret 2008
Berseluncur di Atas Lumpur Lapindo
Dewan Perwakilan Rakyat cenderung menilai lumpur Lapindo tak berkaitan dengan pengeboran. Dipenuhi intrik tingkat tinggi.
SATU ketukan palu Soetardjo Soerjogoeritno bisa ditafsirkan berbeda-beda. Getokan politikus 74 tahun itu ketika memimpin Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat, Selasa pekan lalu, membawa dua tafsir: interpelasi atau perpanjangan masa kerja Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
”Ketukan tadi memutuskan interpelasi,” kata Effendy Choirie, politikus Partai Kebangkitan Bangsa, setelah sidang yang dipimpin Wakil Ketua Dewan itu. Priyo Budi Santoso, Ketua Fraksi Partai Golkar, menafsirkan lain, ”Itu artinya memperpanjang tugas tim.” Mana yang benar? Tak jelas. ”Maklum saja, Pak Tardjo kan sudah sepuh,” kata Priyo.
Kisruh muncul setelah Tjahjo Kumolo, politikus PDI Perjuangan, membacakan laporan tim pengawas. Dibentuk untuk membendung hak interpelasi yang diusulkan sejumlah anggota, 9 September tahun lalu, tim ini beranggota 29 orang. Mereka perwakilan semua fraksi, yang jumlahnya ditentukan secara proporsional. Ketuanya Soetardjo, yang didampingi tiga wakil: Tjahjo, Priyo, dan Tamam Achda dari Partai Persatuan Pembangunan.
Laporan delapan halaman yang dibacakan Tjahjo dibuka dengan bab tentang dasar dan mekanisme kerja tim. Tak ada soal. Masalah baru muncul pada bagian yang dikategorikan ”fakta-fakta penting temuan tim” tentang menyemburnya lumpur di area pengeboran Lapindo Brantas, Desa Renokenongo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, 29 Mei dua tahun silam.
Di situ antara lain ditulis, para ahli geologi masih terpecah: sebagian berpendapat menyemburnya lumpur tak terkait dengan pengeboran Lapindo. Sebagian lainnya menyatakan sebaliknya. Tapi di situ pula ditulis beberapa ”fakta” yang memperkuat pendapat semburan lumpur akibat fenomena alam.
Pada 30 Januari 2008, tim itu memang hanya mengundang tiga narasumber yang menganggap semburan lumpur akibat bencana alam. Mereka adalah Prof Dr Sukendar Asikin dan Dr Doddy Nawangsidi, keduanya dari Institut Teknologi Bandung, serta Dr Ir Agus Guntoro dari Universitas Trisakti, Jakarta. Sukendar dan Asikin acap dipakai dalam iklan-iklan Lapindo yang tersebar di pelbagai media.
Menurut Tamam Achda, mereka yang berpendapat bahwa semburan akibat pengeboran Lapindo, seperti Dr Rudi Rubiandini, memang tidak diundang. ”Tapi dia beberapa kali diundang ke Komisi VII Dewan, jadi kami mengetahui pendapatnya,” katanya. Komisi VII adalah komisi DPR yang membawahkan bidang lingkungan.
Muhammad Najib, anggota tim dari PAN, menyatakan perdebatan telah terjadi sejak penyusunan rancangan kesimpulan. Beberapa anggota, seperti Nizar Dahlan (Partai Bulan Bintang) dan Ade Daud Nasution (Partai Bintang Reformasi), sejak awal berkeras bahwa lumpur yang telah menenggelamkan 12 desa di tiga kecamatan itu akibat bencana alam. Sedangkan tiga anggota dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang memiliki basis massa di kawasan Sidoarjo, cenderung menyalahkan Lapindo.
Dalam pertemuan akhir di Hotel Grand Kemang, Jakarta Selatan, tiga pekan lalu, perdebatan masih kencang. Abdullah Azwar Anas, politikus PKB, mengatakan partainya mengusulkan sejumlah rekomendasi. Di antaranya, jaminan pembayaran 80 persen sisa ganti rugi dilakukan tepat waktu. ”Kami usulkan semua aset Bakrie, kalau perlu, harus dijaminkan,” tuturnya, menyebut Aburizal Bakrie, yang keluarganya memiliki Lapindo.
Pembayaran 80 persen sisa pembayaran pada Mei 2008 diatur Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 tentang pembentukan Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Di aturan yang sama ditulis Lapindo membeli tanah dan bangunan yang terkena luapan sesuai dengan peta 22 Maret 2007. Di luar itu, biaya dibebankan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Semua anggota dari fraksi lain menolak usul PKB. Menurut Azwar Anas, perdebatan berlanjut dua hari dua malam. Namun tak dicapai kata sepakat. Merasa kalah angin, politikus PKB meninggalkan rapat berikutnya. Baru sepekan setelah pertemuan Kemang, Azwar Anas, yang sedang berada di Singapura, ditelepon para koleganya. ”Mereka minta saya meneken kesimpulan tim karena usulan-usulan kami sudah diakomodasi,” kata Azwar.
Alvin Lie, anggota dari PAN, mengakui adanya kompromi dalam penyusunan kesimpulan tim pengawas. ”Dalam politik, selalu ada take and give. Kami ambil jalan tengah,” katanya. Jalan tengah ini adalah semua paparan pada bab tentang ”fakta penting temuan tim” tetap sama, tapi rekomendasi usulan PKB disertakan pada lampiran.
Celakanya, lampiran rekomendasi itu terselip entah ke mana ketika Tjahjo membacakan laporan dalam sidang paripurna, Selasa pekan lalu. Bagian ini juga hilang pada salinan laporan yang dibagikan ke para anggota Dewan.
Dua lembar yang terselip itu berisi lima butir rekomendasi. Di antaranya, mendesak pemerintah menjamin terlaksananya pembayaran 80 persen pembelian tanah dan bangunan oleh Lapindo. Tiap lembar dibubuhi paraf 24 anggota tim pengawas.
Menurut Tamam Achda, tak terbacanya rekomendasi saat sidang paripurna itu hanya kecelakaan. ”Itu tidak sengaja, hanya kesalahan teknis dari petugas sekretariat,” katanya. Tapi sumber Tempo menyatakan ini bagian dari permainan yang menguntungkan Lapindo.
Bisik-bisik pun muncul di kalangan anggota Dewan: para anggota tim pengawas telah ”ditaklukkan” Lapindo. Tempo, paling tidak, menerima rumor ini dari beberapa partai. Dimintai komentar tentang ha ini, Tamam Achda mengaku tak kaget. ”Sudah biasa kami dikatakan menerima uang,” kata anggota Komisi VI yang mengurus soal perindustrian dan perdagangan ini.
Tjahjo Kumolo juga mengatakan tak memiliki kepentingan dengan Lapindo. ”Jika berkepentingan,” kata dia, ”mengapa saya mau menjadi juru bicara di sidang paripurna?” Ketua Fraksi PDI Perjuangan ini mengaku ditunjuk menjadi juru bicara oleh Soetardjo Soerjogoeritno, Priyo Budi Santoso, dan Tamam Achda.
Yuniwati Teryana, Vice President Lapindo Brantas, pun membantah perusahaannya mempengaruhi anggota Dewan. ”Selama ini yang kami lakukan wajar-wajar saja. Tidak mungkin kami melakukan intervensi,” katanya kepada D.A. Candraningrum dari Tempo.
Apa pun alasannya, sejumlah anggota Dewan mengkritik laporan tim pengawas dalam sidang paripurna. ”Tim ini seperti humas Lapindo saja,” kata Permadi, anggota PDI Perjuangan. Tjatur Sapto Edy, dari Partai Amanat Nasional, menganggap tim itu berlaku tidak adil. Alasannya, hanya ahli ”pro-fenomena alam” yang diundang.
Seorang anggota Dewan dari PDI Perjuangan mengatakan telah memperoleh bocoran kesimpulan tim pengawas beberapa hari sebelum sidang. Yang agak aneh, menurut dia, salinan draf laporan itu justru diberikan kepadanya oleh orang dalam Lapindo sendiri. Isinya sama persis dengan yang dibacakan Tjahjo Kumolo. Jadi, ”Ada apa ini?” kata sumber itu.
Dengan bahan bocoran itu pula, beberapa politikus membahas ”serangan balik” untuk tim pengawas, sehari sebelum sidang. Mereka menyiapkan strategi penolakan laporan tim. Hasilnya adalah hujan interupsi yang antara lain disampaikan oleh Djoko Susilo dari PAN dan Permadi.
Walhasil, akhir sidang yang dipimpin Soetardjo itu pun kisruh. Para pemimpin Fraksi Partai Golkar, Fraksi Demokrat, dan Fraksi Partai Amanat Nasional pun meminta digelar rapat konsultasi. Rapat yang diadakan pada Jumat pekan lalu ini dilakukan untuk memperjelas keputusan sidang paripurna.
Menurut Ketua Dewan Agung Laksono, ketukan palu Soetardjo itu memang berarti dua hal. Pertama, memperpanjang masa kerja tim pengawas. Kedua, usulan hak interpelasi pun tetap dilanjutkan. Mestinya, kata Agung, ”Pak Tardjo mengetuk palu dua kali sehingga tidak diinterpretasikan berbeda.”
Budi Setyarso
Menyembur, Lalu Berliku
2006
29 Mei Lumpur panas muncrat dari area pengeboran Lapindo Brantas di. Dalam sepekan, lumpur ini menelan 10 hektare kawasan dan melenyapkan jalan tol Gempol-Surabaya, sekitar 200 meter dari sumber semburan.
9 Juni Kementerian Lingkungan Hidup meminta Lapindo bertanggung jawab.
18 Juni Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro (kanan) mengatakan Lapindo harus bertanggung jawab.
21 Juni Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie mengatakan penanggung jawab banjir lumpur adalah Lapindo.
31 Juli Polisi menetapkan Imam P. Agustino, General Manager Lapindo, sebagai tersangka. Begitu pula Yeni Nawawi, Presiden Direktur PT Medici, perusahaan subkontraktor pengeboran, serta Nurohmad Sawulo, Vice Drilling Share Service PT Energi Mega Persada, dan sembilan pengawas pengeboran.
8 September Presiden membentuk Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo, dengan masa kerja enam bulan.
13 Oktober Medco Brantas, satu di antara pemegang saham Lapindo, menggugat perusahaan ini ke arbitrase internasional. Medco menuding Lapindo tak becus bekerja sehingga tragedi lumpur panas terjadi.
2007
8 Maret Masa tugas Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di Sidoarjo berakhir. Pemerintah memperpanjangnya sebulan.
16 Maret Medco Energi menjual Medco Brantas ke Grup Prakarsa.
8 April Presiden membentuk Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo, yang dikukuhkan melalui Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007.
8 Mei Prakarsa mencabut gugatan arbitrase terhadap Lapindo Brantas.
4 September Rapat Paripurna DPR menyetujui pembentukan Tim Pengawas Penyelesaian Kasus Lumpur Lapindo, dengan masa kerja tiga bulan hari kerja.
14 Desember Mahkamah Agung menolak permohonan uji materi Peraturan Presiden tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo yang diajukan para korban.
27 Desember Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak gugatan Walhi terhadap Lapindo, Presiden, Menteri Energi, Badan Pengelola Migas, Menteri Lingkungan, pemerintah Jawa Timur, pemerintah Sidoarjo, PT Energi Mega Persada, PT Medco Energy Ltd., dan Santos, Australia. Pengadilan Jakarta Utara menolak gugatan serupa yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia.
2008
19 Februari Rapat Paripurna DPR mendengarkan laporan Tim Pengawas Penanganan Lumpur Sidoarjo. DPR menyebutkan lumpur yang muncrat merupakan fenomena alam.
.
Opini
Bermain Lumpur Lapindo
UNTUK kesekian kali kita terpaksa mengurut dada melihat ulah politikus negeri ini. Tim pengawas penanganan lumpur Lapindo yang dibentuk DPR ”pagi-pagi” sudah mengumandangkan suara bahwa bencana lumpur panas di Sidoarjo itu merupakan fenomena alam semata, bukan kelalaian manusia. Sebuah kesimpulan kontroversial.
Itu sudah bisa ditebak karena tim DPR tersebut hanya mengundang para ahli yang berpendapat bahwa semburan lumpur terjadi akibat bencana alam. Sayangnya, yang beranggapan bahwa semburan itu akibat salah pengeboran tidak diundang. Dan lihatlah ”kebetulan” yang menarik: kesimpulan tim DPR datang di puncak semburan advertorial dari Lapindo di sejumlah media—yang isinya tentu saja membenarkan versi bencana alam.
Rapat Paripurna DPR pekan lalu belum menerima kesimpulan tim DPR itu. Kami menyarankan Rapat Paripurna DPR jangan pernah mengambil keputusan sebelum ada kajian ilmiah di lapangan oleh tim independen—yang beranggota berbagai pihak. Penggunaan hak interpelasi oleh DPR dalam kasus ini merupakan langkah wajib, mengingat begitu hebatnya penderitaan rakyat.
Semestinya DPR mendengar semua pendapat ahli. Bahkan tim investigasi independen bentukan pemerintah, yang diketuai Dr Rudi Rubiandini dan kini telah dibubarkan, berpendapat bahwa semburan lumpur itu akibat kesalahan pengeboran oleh Lapindo Brantas Incorporated, satu unit bisnis Grup Bakrie. Sebuah tanda tanya besar muncul ketika DPR, yang jelas tak punya kompetensi dalam urusan ini, mengesampingkan pendapat tim investigasi independen.
Tak masuk akal kalau tim DPR tidak tahu bahwa status bencana alam akan berakibat semua ongkos ganti rugi dan pembangunan infrastruktur yang rusak berpindah ke pundak pemerintah. Apakah tim DPR sengaja membiarkan Grup Bakrie lenggang kangkung dan kelak menagih pemerintah atas semua biaya yang dikeluarkan lewat mekanisme cost recovery? Tak mudah mencari jawabnya.
Bersikap kritis terhadap beberapa data sebenarnya cukup. Misalnya, Lapindo mengatakan muntahan lumpur panas sejak 29 Mei 2006 itu dipicu gempa bumi di Yogyakarta. Ada data stasiun geofisika di Tretes—hanya terpisah 15 kilometer dari Porong—mencatat sisa getaran gempa Yogya di sana cuma 1-2 skala modified mercalli intensity (MMI). Kekuatan sebesar itu hanya mampu menggoyang lampu gantung di langit rumah! Struktur lapisan tanah baru bisa berubah jika skala intensitas di atas angka 10. Dari sini saja kelihatan argumen Lapindo lemah.
Kalau tim DPR mau serius membela sebagian konstituennya yang terbenam lumpur, mereka seharusnya tergerak menguliti laporan Badan Pemeriksa Keuangan pada akhir Mei tahun lalu. Laporan yang disusun dari hasil kajian PT Exploration Think Tank Indonesia itu memuat sejumlah catatan penting. Salah satunya, PT Medici Citra Nusantara, perusahaan kontraktor pengeboran yang ditunjuk Lapindo dan masih kepunyaan Grup Bakrie, tidak cukup berkualitas.
Bukti bahwa Medici tak andal cukup banyak. Perusahaan itu miskin jam terbang, baru sekali mengebor pada 2001. Pemasangan casing alias selubung pengaman di kedalaman 8.500 kaki pun diabaikan, meskipun mitra Lapindo yaitu Medco E&P Brantas telah memperingatkannya. Itu argumen penting PT Exploration dalam mengambil kesimpulan bahwa eksplorasi di sumur itulah yang memicu semburan lumpur.
Kalau ada niat memperbaiki semua yang bengkok, tim DPR sepatutnya melanjutkan temuan BPK atas sejumlah penyimpangan yang dibuat Direktorat Jenderal Migas dan BP Migas. Lokasi pengeboran sumur Banjarpanji-1 hanya lima meter dari wilayah permukiman dan 37 meter dari jalan tol Surabaya-Gempol yang merupakan sarana umum. Ini jelas melanggar ketentuan Badan Standar Nasional Indonesia, yang mengatur jarak minimum pengeboran adalah 100 meter dari jalan umum, rel kereta api, atau perumahan.
Setelah berbagai temuan dikumpulkan, DPR bisa mengupayakan pembentukan sebuah forum kajian independen para pakar. Di forum itulah data-data otentik pengeboran yang selama ini dirahasiakan dibuka dan dikaji secara transparan. Tapi kajian forum, menurut kami, tidak perlu menjadi dasar bagi DPR ataupun pemerintah untuk mengambil keputusan politik atas semburan lumpur Lapindo.
Keputusan akhir lumpur Lapindo mesti diambil melalui pengadilan—yang dijalankan dengan kontrol ketat warga negara yang peduli pada penderitaan sebagian rakyat Sidoarjo. Dengan begitu, akan jelas apakah layak negara dibebani Rp 27,4 triliun seperti tertera dalam Peraturan Presiden Nomor 14/2007. Akan terang juga apakah Lapindo hanya pantas menanggung Rp 3,4 triliun untuk ongkos ganti rugi—sedangkan pemiliknya adalah manusia terkaya Indonesia versi majalah Forbes.
Jika pengadilan memutuskan terbukti terjadi pelanggaran yang dilakukan demi kepentingan pribadi pemegang saham, prinsip piercing the corporate veil bisa diterapkan. Aset pribadi pemegang saham bisa dituntut untuk biaya ganti rugi, tidak sebatas aset perusahaan.