Majelis Rasulullah tentang Tahlilan dan Yasinan
Jawaban habib munzir, di http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=&func=view&catid=8&id=5676&lang=en#5676
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA – 2007/07/18 20:23
KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA SYAFIE
Assalammu’alaikum wr.wb.
Habib tolong beri penjelasan mengenai hal ini, karena ini dalil dari orang salafi untuk berhujjah. semoga keberkahan Ilmu dapat meninggikan derat Habib di akhirat.
Mungkin ramai dari kalangan pengikut mazhab Syafie tidak menyedari bahawa bertahlil dengan cara berkumpul beramai-ramai, membaca al-Quran, berzikir, berdoa dan mengadakan hidangan makanan di rumah si Mati atau keluarga si Mati bukan sahaja Imam Syafie yang menghukum haram dan bid’ah, malah ramai para ulama mazhab Syafie turut berpendirian seperti Imam Syafie. Adapun antara meraka yang mengharamkan kenduri arwah, yasinan, tahlilan dan selamatan ialah Imam Nawawi, Ibn Hajar al-Asqalani, Imam Ibn Kathir, Imam ar-Ramli dan ramai lagi para ulama muktabar dari kalangan yang bermazhab Syafie, sebagaimana beberapa fatwa tentang pengharaman tersebut dari mereka dan Imam Syafie rahimahullah:
وَاَكْرَهُ الْمَاْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَاِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ.
“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) makan, iaitu berkumpul di rumah (si Mati) walaupun bukan untuk tangisan (ratapan)”.[1]
Mengadakan majlis kenduri iaitu dengan berkumpul beramai-ramai terutamanya untuk berzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara di rumah si Mati atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum bid’ah yang mungkar oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafie yang selanjutnya:
وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ.
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di rumah (si Mati) tersebut maka itu adalah bid’ah bukan sunnah”.2 [1]
Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2 hlm. 146 ada disebut pengharaman kenduri arwah, iaitu:
وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ اَهْلَ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوْ النَّاسَ اِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ قَالَ : عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ لاَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمْ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ. (رواه الامام احمد وابن ماجه باسناد صحيح).
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang menjemput orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si Mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si Mati kerana terdapat hadis sahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si Mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan”.3 [1] (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn majah dengan sanad yang sahih).
Fatwa Imam Syafie dan para ulama muktabar yang bermazhab Syafie telah mengharamkan berkumpul beramai-ramai dan menyediakan hidangan makanan di rumah si Mati untuk tujuan kenduri arwah, tahlilan, yasinan dan menghadiahkan (mengirim) pahala bacaan al-Quran kepada arwah si Mati Mereka berdalilkan al-Quran, hadis dan athar-athar para sahabat yang sahih sebagaimana yang dikemukakan oleh mereka melalui tulisan-tulisan di kitab-kitab mereka. Mereka tidak mungkin mengharamkan atau menghalalkan sesuatu mengikut akal fikiran, pendapat atau hawa nafsu mereka semata, pastinya cara mereka mengharamkan semua itu dengan berdalilkan kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar dari para ulama yang bermanhaj Salaf as-Soleh.
_____________________________ __________
[1]. Lihat: Al-Umm. Juz 1. Hlm. 248.
[2]. Lihat: مغنى المحتاج. Juz 1. Hlm. 268.
munzir
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,
Limpahan kebahagiaan dan kasih sayang Nya swt semoga selalu tercurah pada hari hari anda,
Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu, kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 7 hal 90)
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.
Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا
“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.Entahlah para wahabi itu bodoh dalam bahasa atau memang sengaja menyelewengkan makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu bodoh atas syariah dan menyelewengkan makna.
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Bupati menjadikan selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan beliau tak mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman orang orang wahabi yg membuat kebenaran diselewengkan.
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).
dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah memperbolehkannya bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya.
Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah memberatkan mayyit, namun masa kini bila anda hadir jenazah lalu mereka hidangkan makanan dan anda katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka hal itu malah menghina dan membuat sedih keluarga yg wafat,
lihat Akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makan makan di rumah duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya,
kenapa?, tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu bila akan menghibur mereka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau hadiah untuk membantu mereka.
Sekali lagi saya jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika menyusahkan dan memberatkan mayyit, maka memberatkan dan menyusahkan mereka itulah yg makruh,
dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka adalah menambah kesedihan si mayyit, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat mereka malu.
Selama hal ini ada riwayat Rasul saw memakannya dan mendatangi undangan istri almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa mengharamkannya karena bertentangan dg sunnah Nabi saw, karena hal itu diperbuat oleh Rasul saw, namun kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga duka, bila memberatkannya maka makruh, dan jangan sok berfatwa bahwa hal itu haram.
Akhir dari jawaban saya adalah : semestinya orang yg berhati suci dan menginginkan kebangkitan sunnah, mereka mengajak untuk bersedekah pada keluarga duka bila ada yg wafat di wilayahnya, namun sebagian dari kita ini bukan menghibur mereka yg kematian, malah mengangkat suara dg fatwa caci maki kepada muslimin yg ditimpa duka agar jangan memberi makan apa apa untuk tamunya, mereka sudah sedih dengan kematian maka ditambah harus bermuka tembok pula pada tamu tamunya tanpa menyuguhkan apapun, lalu fatwa makruh mereka rubah menjadi haram, jelas bertentangan dengan ucapan mereka sendiri yg berhujjah bahwa agama ini mudah, dan jangan dipersulit.
Inilah dangkalnya pemahaman sebagian saudara saudara kita, mereka ribut mengharamkan hal hal yg makruh dan melupakan hal hal yg haram, yaitu menyakiti hati orang yg ditimpa duka.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, maaf saya menjawab pertanyaan ini bukan diarahkan pada anda, namun pada mereka,
mengenai ucapan Imam Nawawi itu makruh, mereka merubahnya menjadi haram, entah karena bodohnya atau karena liciknya, atau karena kedua duanya,
demikian saudaraku yg kumuliakan,
wallahu a’lam
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 02:19
Assalammu’alaikum wr.wb.
Semoga keberkahan ilmu menjadikan Habib Munzir di tinggikan derajatnya di surga,Amin.
Habib , saya ini di istilahkan sebagai anak kecil yang polos selalu merengek-rengek ketika meminta bantuan. daripada itu apa yang di utarakan oleh Habib di atas ternyata sahabat saya dari Salafi telah membantahnya, saya nukil dengan berupa tanya jawab.
Habib : Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan dalam Tuhfatul Ahwadziy :
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه وأكلوا
“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat, dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Abu Al-Jauzaa: Mari kita lihat riwayat yang ada di Sunan Abu Dawud. Hadits tersebut ada di nomor 3332 :
حدثنا محمد بن العلاء أخبرنا بن إدريس أخبرنا عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافر أوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأة فجاء وجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظر آباؤنا رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فمه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها فأرسلت المرأة قالت يا رسول الله إني أرسلت إلى البقيع يشتري لي شاة فلم أجد فأرسلت إلى جار لي قد اشترى شاة أن أرسل إلى بها بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعميه الأسارى
Perhatikan kata berwarna merah yang ana garis bawahi. Nukilan dari Tuhfatul-Ahwadzi tersebut tidak tepat sehingga berubah dari makna yang diinginkan. Dalam Nukilan Pak Habib ditulis dengan imra-atihi yang berarti : istrinya/perempuan dari kalangan keluarga si mayit; sedangkan lafadh asli dalam Sunan Abi Dawud tertulis imra-ah yang berarti perempuan secara umum. Perubahan makna tentu sangat signifikan. Ketika kita menggunakan nukilan lafadh Pak Habib, tentu seakan-akan kita diperbolehkan atau bahkan disyari’atkan untuk makan dan/atau menyediakan makan ketika ada orang meninggal dari keluarga mayit. Padahal, bila kita tengok lafadh asli di Sunan Abi Dawud, sama sekali tidak menunjukkan itu. Arti hadits dalam Sunan Abu Dawud tersebut adalah (ana gunakan terjemahan Pak Habib dengan perubahan terjemahan di kata imra-ah saja) : “Kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang perempuan, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan” [selesai].
Nah, di dalam hadits di atas sama sekali tidak ada isyarat keluarga si mayit yang mengundang makan. Perhatikan itu !! Dan ingat pula, jikalau ada perbedaan penukilan, maka kita kembalikan kepada sumbernya. Dan sumbernya di sini adalah Sunan Abu Dawud. lafadhnya adalah sebagaimana ana bawakan.
Pernyataan Pak Habib itu jelas bertentangan dengan riwayat-riwayat yang justru lebih sharih daripada riwayat yang dibawakan Pak Habib yang menyatakan tidak diperbolehkannya makan makanan di keluarga si mayit.
Jarir bin ‘Abdillah Al-Bajaly radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
كنا نرى الاجتماع إلى أهل الميت وصنعة الطعام من النياحة
“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
قدم جرير على عمر فقال : هل يناح قبلكم على الميت. قال : لا. قال : فهل تجتمع النسآء عنكم على الميت ويطعم. قال : نعم. فقال : تلك النياحة.
Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
من عمل الجاهلية : النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المرأة ثم أهل الميت لبست منهم
“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اثنتان في الناس هما بهم كفر الطعن في النسب والنياحة على الميت
“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67)
Tolong riwayat-riwayat sampaikan pada Pak Habib. Barangkali beliau melewatkannya. Atau malah belum pernah membacanya ?
Habib : Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai (ghairu Mustahabbah), bukan haram, tapi orang wahabi mencapnya haram padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahabbah, berarti bukan hal yg dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.
Abu Al-Jauzaa: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan Ghairu mustahabbah hawuwa bid’ah bisa dimaknakan kepada mubah ? Aneh. Sepertinya Pak Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadh aslinya :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).
Habib : 2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.
Abu Al-Jauzaa :Sama juga dengan di atas. Ana sampai heran plus geleng-geleng kepala sama pengalihan makna Pak Habib ini. Perkataan bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) bisa diartikan makruh biasa yang malah beliau bawa pada makna mubah. Coba cermati perkataan Pak Habib di atas !! Perkataan [وما اعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه ] sama sekali tidak khusus pada makna yang Pak Habib maui : membuat makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah. Padahal artinya secara jelas adalah “Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan dari penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat”. Tidak ada pengkhususan “harus banyak” dan “meramaikan rumah”. Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkankan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya Makna Tahrim (bermakna Haram).
Dan seterusnya tidak perlu ana teruskan. Pak Habib ini justru yang gak ilmiah. Gaak ilmiah sama sekali……….. Dan tolong sampaikan kepada Pak Habib, bahwa kata makruh dalam syari’at itu dapat bermakna Haram. Tolong dibuka mushhafnya. Dalam QS. Al-Israa’ banyak menggunakan kata maruh yang bermakna haram.
Banyak sebenarnya kerancuan pendalilan Pak Habib ini yang perlu ditanggapi. Itung2 hemat energi.
——–
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 18:16
Habib dibawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya. tetapi sama bermanhaj-kan Salaf.
KENDURI ARWAH
Majlis kenduri arwah lebih dikenal dengan berkumpul beramai-ramai dengan hidangan jamuan (makanan) di rumah si Mati. Kebiasaannya diadakan pada hari kematian, dihari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus, setahun dan lebih dari itu bagi mereka yang fanatik kepada kepercayaan ini atau kepada si Mati. Malangnya mereka yang mengerjakan perbuatan ini tidak menyadari bahwa terdapat banyak fatwa-fatwa dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama besar dari kalangan yang bermazhab Syafie telah mengharamkan dan membid’ahkan perbuatan atau amalan yang menjadi tajuk perbincangan dalam tulisan ini.
Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 146, tercatat pengharaman Imam Syafie rahimahullah tentang perkara yang disebutkan di atas sebagaimana ketegasan beliau dalam fatwanya:
وَيَكْرَهُ اتِّخَاذُ الطَّعَامِ فِى الْيَوْمِ اْلاَوَّلِ وَالثَّالِث وَبَعْدَ اْلاُسْبُوْعِ وَنَقْلُ الطَّعَامِ اِلَى الْقُبُوْر
ِ
“Dan dilarang (ditegah/makruh) menyediakan makanan pada hari pertama kematian, hari ketiga dan seterusnnya sesudah seminggu. Dilarang juga membawa makanan ke kuburan”.
Imam Syafie dan jumhur ulama-ulama besar (ائمة العلماء الشافعية) yang berpegang kepada mazhab Syafie, dengan berlandaskan kepada hadis-hadis sahih, mereka memfatwakan bahwa yang seharusnya menyediakan makanan untuk keluarga si Mati adalah jiran/tentangga , kerabat si Mati atau orang yang datang menziarahi mayat, bukan keluarga (ahli si Mati) sebagaimana fatwa Imam Syafie:
وَاُحِبُّ لِجِيْرَانِ الْمَيِّتِ اَوْذِيْ قَرَابَتِهِ اَنْ يَعْمَلُوْا لاَهْلِ الْمَيِّتِ فِىْ يَوْمِ يَمُوْتُ وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا مَا يُشْبِعُهُمْ وَاِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ.“Aku suka kalau tetangga si
Mati atau kerabat si Mati menyediakan makanan untuk keluarga si Mati pada hari kematian dan malamnya sehingga mengenyangkan mereka. Sesungguhnya itulah amalan yang sunnah”.
Fatwa Imam Syafie di atas ini adalah berdasarkan hadis sahih:
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنِ جَعْفَرَ : لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرِ حِيْنَ قُتِلَ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِصْنَعُوْا لآلِ جَعْفَرِ طَعَامًا فَقَدْ اَتَاهُمْ مَايُشْغِلُهُمْ . (حسنه الترمزى وصححه الحاكم)
“Abdullah bin Ja’far berkata: Ketika tersebar tentang berita terbunuhnya Ja’far, Nabi sallallahu ‘alaihi wa-sallam bersabda: Hendaklah kamu menyediakan makanan untuk keluarga Ja’far, mereka telah ditimpa keadaan yang menyibukkan (kesusahan)”.
Dihasankan oleh at-Turmizi dan di sahihkan oleh al-Hakim.
Menurut fatwa Imam Syafie, adalah haram mengadakan kenduri arwah dengan menikmati hidangan di rumah si Mati, terutama jika si Mati termasuk keluarga yang miskin, menanggung beban hutang, meninggalkan anak-anak yatim yang masih kecil dan waris si Mati mempunyai tanggungan perbelanjaan yang besar Tentunya tidak dipertentangkan bahwa makan harta anak-anak yatim hukumnya haram. Telah dinyatakan juga di dalam kitab (اعانة الطالبين) jld. 2. hlm. 146:
وَقَالَ اَيْضًأ : وَيَكْرَهُ الضِّيَافَةُ مِنَ الطَّعَامِ مِنْ اَهْلِ الْمَيِّتِ لاَنَّهُ شَرَعَ فِى السُّرُوْرِ وَهِيَ بِدْعَةٌ
“Imam Syafie berkata lagi: Dibenci bertamu dengan persiapan makanan yang disediakan oleh ahli si Mati kerana ia adalah sesuatu yang keji dan ia adalah bid’ah”.
Seterusnya di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2. hlm. 146 – 147, Imam Syafie rahimahullah berfatwa lagi:
وِمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فَعْلُهُ مَا يَفْعَلُ النَّاسُ مِنَ الْوَحْشَةِ وَالْجَمْعِ وَاْلاَرْبِعِيْنَ بَلْ كَلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ
“Dan antara bid’ah yang mungkar ialah kebiasaan orang yang melahirkan rasa kesedihannya sambil berkumpul beramai-ramai melalui upacara (kenduri arwah) dihari keempat puluh (empat pulu harinya) pada hal semuanya ini adalah haram”.
Ini bermakna mengadakan kenduri arwah (termasuk tahlilan dan yasinan beramai-ramai) dihari pertama kematian, dihari ketiga, dihari ketujuh, dihari keempat puluh, dihari keseratus, setelah setahun kematian dan dihari-hari seterusnya sebagaimana yang diamalkan oleh masyarakat Islam sekarang adalah perbuatan haram dan bid’ah menurut fatwa Imam Syafie. Oleh itu, mereka yang mengaku bermazhab Syafie seharusnya menghentikan perbuatan yang haram dan bid’ah ini mematuhi wasiat imam yang agung ini.
Seterusnya terdapat dalam kitab yang sama (اعانة الطالبين) juz 2. hlm. 145-146, Mufti yang bermazhab Syafie al-Allamah Ahmad Zaini bin Dahlan rahimahullah menukil fatwa Imam Syafie yang menghukum bid’ah dan mengharamkan kenduri arwah:
وَلاَ شَكَّ اَنَّ مَنْعَ النَّاسِ مِنْ هَذِهِ الْبِدْعَةِ الْمُنْكَرَةِ فِيْهِ اِحْيَاءٌ لِلسُّنَّةِ وَاِمَاتَةٌ لِلْبِدْعَةِ وَفَتْحٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الْخَيْرِ وَغَلْقٌ لِكَثِيْرٍ مِنْ اَبْوَابِ الشَّرِّ ، فَاِنَّ النَّاسَ يَتَكَلَّفُوْنَ تَكَلُّفًا كَثِيْرًا يُؤَدِّيْ اِلَى اَنْ يَكُوْنَ ذَلِكَ الصُّنْعُ مُحَرَّمًا .
“Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang (mencegah) manusia dari perbuatan bid’ah yang mungkar demi untuk menghidupkan sunnah dan mematikan (menghapuskan) bid’ah, membuka banyak pintu-pintu kebaikan dan menutup pintu-pintu keburukan dan (kalau dibiarkan bid’ah berterusan) orang-orang (awam) akan terbiasa (kepada kejahatan) sehingga memaksa diri mereka melakukan perkara yang haram”.
Kenduri arwah atau lebih dikenali dewasa ini sebagai majlis tahlilan, selamatan atau yasinan, ia dilakukan juga di perkuburan terutama dihari khaul .(خول) Amalan ini termasuk perbuatan yang amat dibenci, ditegah, diharamkan dan dibid’ahkan oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana yang telah ditegaskan oleh beliau:
مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِنَ اْلاِجْتَمَاعِ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَصُنْعِ الطَّعَامِ مِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ“Apa yang diamalkan oleh manusia dengan berkumpul dirumah keluarga si mati dan menyediakan makanan adalah termasuk perbuatan bid’ah yang mungkar”. Lihat: اعانة الطالبين juz 2 hlm. 145.
Di dalam kitab fikh (حاشية القليوبي) juz. 1 hlm. 353 atau di kitab قليوبى – عميرة) -(حاشيتان juz. 1 hlm. 414 dapat dinukil ketegasan Imam ar-Ramli rahimahullah yang mana beliau berkata:
قَالَ شَيْخُنَا الرَّمْلِى : وَمِنَ الْبِدَعِ الْمُنْكَرَةِ الْمَكْرُوْهِ فِعْلُهَا كَمَا فِى الرَّوْضَةِ مَا يَفْعَلُهُ النَّاسُ مِمَّا يُسَمَّى الْكِفَارَةَ وَمِنْ صُنْعِ طَعَامِ للاِجْتَمَاعِ عَلَيْهِ قَبْلَ الْمَوْتِ اَوْبَعِدَهُ وَمِنَ الذَّبْحِ عَلَى الْقُبُوْرِ ، بَلْ كُلُّ ذَلِكَ حَرَامٌ اِنْ كَانَ مِنْ مَالٍ مَحْجُوْرٍ وَلَوْ مِنَ التَّركَةِ ، اَوْ مِنْ مَالِ مَيِّتٍ عَلَيْهِ دَيْنٌ وَتَرَتَّبَ عَلَيْهِ ضَرَرٌ اَوْ نَحْوُ ذَلِكَ.
“Telah berkata Syeikh kita ar-Ramli: Antara perbuatan bid’ah yang mungkar jika dikerjakan ialah sebagaimana yang dijelaskan di dalam kitab “Ar-Raudah” yaitu mengerjakan amalan yang disebut “kaffarah” secara menghidangkan makanan agar dapat berkumpul di rumah si Mati sama sebelum atau sesudah kematian, termasuk (bid’ah yang mungkar) penyembelihan untuk si Mati, malah yang demikian itu semuanya haram terutama jika sekiranya dari harta yang masih dipersengketakan walau sudah ditinggalkan oleh si Mati atau harta yang masih dalam hutang (belum dilunas) atau seumpamanya”.
Di dalam kitab (الفقه على المذاهب الاربعة) jld.1 hlm. 539, ada dijelaskan bahawa:
وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَكْرُوْهَةِ مَا يَفْعَلُ الآن مِنْ ذَبْحِ الذَّبَائِحَ عِنْدَ خُرُوْجِ الْمَيِّتِ اَوْ عِنْدَ الْقَبْرِ وَاِعْدَادِ الطَّعَامِ مِمَّنْ يَجْتَمِعُ لِتَّعْزِيَةِ . “Termasuk bid’ah yang dibenci ialah apa yang menjadi amalan orang sekarang, yaitu menyembelih beberapa sembelihan ketika si Mati telah keluar dari rumah (telah dikebumikan). Ada yang melakukan sehingga kekuburan atau menyediakan makanan kepada sesiapa yang datang berkumpul untuk takziyah”.
Kenduri arwah pada hakikatnya lebih merupakan tradisi dan kepercayaan untuk mengirim pahala bacaan fatihah atau menghadiahkan pahala melalui pembacaan al-Quran terutamanya surah yasin, zikir dan berdoa beramai-ramai yang ditujukan kepada arwah si Mati. Mungkin persoalan ini dianggap isu yang remeh, perkara furu’, masalah cabang atau ranting oleh sebahagian masyarakat awam dan dilebih-lebihkan oleh kalangan mubtadi’ (مبتدع) “pembuat atau aktivis bid’ah” sehingga amalan ini tidak dipersoalkam oleh pengamalnya tentang haram dan larangana dari Imam Syafie rahimahullah dan para ulama yang bermazhab Syafie.
Pada hakikatnya, amalan mengirim atau menghadiahkan pahala bacaan seperti yang dinyatakan di atas adalah persoalan besar yang melibatkan akidah dan ibadah. Wajib diketahui oleh setiap orang yang beriman bahawa masalah akidah dan ibadah tidak boleh dilakukan secara suka sesui dengan hwa nafsunya (tanpa ada hujjah atau dalil dari Kitab Allah dan Sunnah RasulNya), tidak boleh berdalilkan pada anggapan yang disangka baik lantaran ramainya masyarakat yang melakukannya, kerana Allah Subhanahu wa-Ta’ala telah memberi ancaman yang tegas kepada mereka yang suka bertaqlid (meniru) perbuatan orang banyak yang tidak ada dalil atau perintahnya dari syara sebagaimana firmanNya:
وَاِنْ تُطِعْ اَكْثَرَ مَنْ فِى اْلاَرْضِ يُضِلُّوْكَ عَنْ سَبِيْلِ اللهِ اِنْ يَّتَّبِعُوْنَ اِلاَّ الظَّنَّ وَاِنْ هُمْ اِلاَّ يَخْرُصُوْنَ”Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, nescaya mereka akan menyesatkan diri kamu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanya mengikuti persangkaan belaka dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah)”.
Al-An’am, 6:116.
Begitu juga sesuatu amalan yang diangap ibadah sama ada yang dianggap wajib atau sunnah, maka ia tidak boleh ditentukan oleh akal atau hawa nafsu, antara amalan tersebut ialah amalan kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) maka lantaran ramainya orang yang mengamalkan dan adanya unsur-unsur agama dalam amalan tersebut seperti bacaan al-Quran, zikir, doa dan sebagainya, maka kerananya dengan mudah diangkat dan dikategorikan sebagai ibadah. Sedangkan kita hanya dihalalkan mengikut dan mengamalkan apa yang benar-benar telah disyariatkan oleh al-Quran dan as-Sunnah jika ia dianggap sebagai ibadah sebagaimana firman Allah Azza wa-Jalla:
ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَى شَرِيْعَةٍ مِنَ اْلاَمْرِ فَاتَّبِعْهَا وَلاَ تَتَّبِعْ اَهْوَاءَ الَّذِيْنَ لاَ يَعْلَمُوْنَ . اَنَّهُمْ لَنْ يُّغْنُوْا عَنْكَ مِنَ اللهِ شَيْئًا”Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan yang wajib ditaati) dalam urusan (agamamu) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui (orang jahil). Sesungguhnya mereka sekali-kali tidak akan dapat menolak diri kamu sedikitpun dari siksaan Allah”.
Al-Jasiyah, 45:18-19.
Setiap amalan yang dianggap ibadah jika hanya berdalilkan kepada dhonn mengikut perkiraan akal fikiran, perasaan, keinginan hawa nafsu atau ramainya orang yang melakukan tanpa dirujuk terlebih dahulu kepada al-Quran, as-Sunnah dan athar yang sahih untuk dinilai haram atau halal, sunnah atau bid’ah, maka perbuatan tersebut adalah suatu kesalahan (haram dan bid’ah) menurut syara sebagaimana yang dijelaskan oleh ayat di atas dan difatwakan oleh Imam Syafie rahimahullah. Memandangkan polemik dan persoalan kenduri arwah kerapkali ditimbulkan maka ia perlu ditangani dan diselesaikan secara syarii (menurut hukum dari al-Quran dan as-Sunnah) serta fatwa para ulama Ahli Sunnah wal-Jamaah dari kalangan Salaf as-Soleh yang muktabar. Dalam membincangkan isu ini pula, maka ana tumpukan kepada kalangan para ulama dari mazhab Syafie kerana mereka yang bermazhab Syafie menyangka bahwa amalan kenduri arwah, tahlilan, yasinan atau amalan mengirim pahala adalah diajarkan oleh Imam Syafie dan para ulama yang berpegang dengan mazhab Syafie.
Insya-Allah, mudah-mudahan tulisan ini bukan saja dapat menjawab pertanyaan bagi mereka yang bertanya, malah akan sampai kepada mereka yang mempersoalkan isu ini, termasuklah mereka yang masih salah anggap tentang hukum sebenar kenduri arwah (tahlilan atau yasinan) menurut Ahli Sunnah wal-Jamaah.
munzir
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 23:04
telah dijelaskan didalam Tuhfatul Ahmawdziy, bahwa dalam Al Misykaat disebutkan dhamir dengan dhamir dhiafah, maka dalam hal ini shohibul Misykaah mempunyai hujjah pula dalam riwayatnya, tidak bisa kita menafikan hadits begitu saja dengan mengambil satu riwayat dan menghapus yg lainnya.
—
Ijtima; ila ahlilamyyitوأما صنعة الطعام من أهل الميت إذا كان للفقراء فلا بأس به لأن النبي صلى الله عليه وسلم قبل دعوة المرأة التي مات زوجها كما في سنن أبي داود وأما إذا كان للأغنياء والاضياف فمنوع ومكروه لحديث أحمد وابن ماجة
Namun bila membuat makanan dari keluarga mayyit, bila untuk para fuqara maka diperbolehkan, karena Nabi saw menerima undangan wanita yg wafat suaminya sebagaimana diriwayatkan pada sunan Abi dawud, namun bila untuk orang orang kaya dan perjamuan maka terlarang dan Makruh sebagaimana hadits riwayat Ahmad dan Ibn Majah.
(Syarh Sunan Ibn Majah Juz 1 hal 116)فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية
Bila keluarga mayyit membuat makanan untuk orang maka makruh, karena hal itu menambah atas musibah mereka dan menyibukkan, dan meniru niru perbuatan jahiliyah.
(Almughniy Juz 2 hal 215)(MAKRUH.. BUKAN HARAM)
Lalu shohibul Mughniy menjelaskan kemudian :
وإن دعت الحاجة إلى ذلك جاز فإنه ربما جاءهم من يحضر ميتهم من القرى والأماكن البعيدة ويبيت عندهم ولا يمكنهم إلا أن يضيفوهBila mereka melakukannya karena ada sebab/hajat, maka hal itu diperbolehkan, karena barangkali diantara yg hadir mayyit mereka ada yg berdatangan dari pedesaan, dan tempat tempat yg jauh, dan menginap dirumah mereka, maka tak bisa tidak terkecuali mereka mesti dijamu
(Almughniy Juz 2 hal 215)(DISINI HUKUMNYA BERUBAH MENJADI MUBAH KARENA ADA HAJAT, BUKAN JAMUAN UNTUK MENGUNDANG ORANG BANYAK)
nah.. inilah kebodohan para wahabi, bagaimana ucapan “Ghairu Mustahibbah dan adalah Bid’ah” bisa dirubah jadi haram?, sedangkan makna Mustahibbah adalah disukai untuk dilakukan dan disejajarkan dg makna sunnah secara istilahi, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan),
didalam Ushul dijelaskan bahwa Mandub, hasan, annafl, sunnah, Mustahab fiih (mustahibbah), Muragghab fiih, ini semua satu makna, yaitu yutsab ala fi’lihi walaa yu’aqabu alaa tarkihi (diberi pahala bila dilakukan dan tidak berdosa jika ditinggalkan).
Nah.. imam Nawawi mengatakan hal itu ghairu mustahibbah, yaitu bukan hal yg bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, maka jatuhlah derajatnya antara mubah dan makruh,
Imam Nawawi tidak mengucapkan haram, karena bila haram beliau tak payah payah menaruh kata ghairu mustahibbah dlsb, beliau akan berkata haram mutlaqan (haram secara mutlak), namun beliau tak mengatakannya,
Dan mengenai kata “Bid’ah” sebagaimana mereka menukil ucapan Imam Nawawi, fahamilah bahwa Bid;ah menurut Imam Nawawi terbagi lima bagian, yaitu wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram (rujuk syarh nawawi ala shahih Muslim Juz 6 hal 164-165),
maka sebelum mengambil dan menggunting Ucapan Imam Nawawi, fahami dulu apa maksud bid;ah dalam ta;rif Imam Nawawi, barulah bicara fatwa Bid’ah oleh Imam Nawawi,
bila Imam Nawawi menjelaskan bahwa dalam Bid’ah itu ada yg Mubah dan yg makruh, maka ucapan “Bid’ah Ghairu Mustahibbah” bermakna Bid;ah yg mubah atau yg makruh,
kecuali bila Imam Nawawi berkata “Bid’ah Muharramah” (Bid’ah yg haram).
Namun kenyataannya Imam Nawawi tidak mengatakannya haram, maka hukumnya antara Mubah dan makruh.
Untuk Ucapan Imam Ibn Hajar inipun jelas, beliau berkata Bid’ah Munkarah Makruhah, (Bid’ah yg tercela yg makruh), karena Bid;ah tercela itu tidak semuanya haram, sebagaimana masa kini sajadah yg padanya terdapat hiasan hiasan warna warni membentuk pemandangan atau istana istana dan burung burung misalnya, ini adalah Bid’ah munkarah yg makruh, tidak haram untuk memakainya shalat, tidak batal shalat kita menggunakan sajadah semacam itu, namun Bid;ah munkarah yg makruh, tidak haram,
Hukum darimana makruh dibilang haram, makruh sudah jelas makruh, hukumnya yutsab ala tarkihi wala yu’aqabu ala fi’lihi (mendapat pahala bila ditinggalkan dan tidak mendapat dosa bila dilakukan),
Dan yg dimakruhkan adalah menyiapkan makanan untuk mengundang orang, beda dengan orang datang lalu shohibul bait menyuguhi.
Dijelaskan bahwa yg dimaksud adat jahiliyyah ini adalah membuat jamuan besar, mereka menyembelih sapi atau kambing demi mengundang tamu setelah ada kematian, ini makruh hukumnya, namun beda dengan orang datang karena ingin menjenguk, lalu sohibulbait menyuguhi ala kadarnya,
Bukan kebuli dan menyembelih kerbau, hanya besek sekedar hadiahan dan sedekah.
Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh, walaupun ada yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.2. membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah, tidak terkecuali ada kematian atau kelahiran atau apapun,
3. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322)
4. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian adalah hal yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar the pahit, atau kopi sederhana.
5. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.
6. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg mengharamkannya, bahkan sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibn Majah dijelaskan hal itu pernah dilakukan oleh Rasul saw,
———-
munzir
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT – 2007/07/19 23:32
mengenai fatwa Imam Syafii didalam kitab I’anatutthaalibin itu wahai saudaraku, yg diharamkan adalah Ittikhadzuddhiyafah, (mengadakan jamuan besar), sebagaimana dijelaskan oleh tulisan anda sendiri dari ucapan itu karena hal itu “Syara’a lissurur”, yaitu jamuan makan untuk kegembiraan, bukan untuk kematian,nah.. adat orang jahiliyah masa lalu mereka menjamu tamu tamu dg jamuan besar bila ada yg mati diantara mereka, ada yg menyembelih kerbau, ada yg menyembelih kambing, ada yg menyembelih kerbau diatas kuburan si mayyit.
hal semacam itu yg diharamkan oleh Imam Syafii, dan Imam Syafii mengatakan makruh apabila keluarga duka membuat hidangan2, (bukan haram),
yg diharamkan oleh Imam Syafii adalah menyembelih kerbau dan perayaan setelah kematian hingga 40 hari.sebagaimana dijelaskan didalam Almughniy dalam penjelasan saya yg terdahulu, bila ia menyiapkan makanan untuk tam yg datang dari jauh, maka hal itu tentunya diperbolehkan,
kesimpulannya, selama hal itu berupa suguhan suguhan ala kadarnya, sekedar kopi dan teh, maka hal itu mubah, dan bila menjadi jamuan makan maka hukumnya makruh, bila dibikin pesta maka hukumnya haram.
namun bila diniatkan untuk sedekah, walau menyembelih seribu ekor kerbau selama 40 hari 40 malam atau menyembelih 1.000 ekor kambing selama 100 hari atau bahkan tiap hari sekalipun, hal itu tidak ada larangannya, bahkan mendapat pahala.
wahabi ini barangkali pelit saja, saya lebih suka orang yg kematian itu bersedekah, pahalanya untuk mayyit, itu mestinya yg diangkat ke permukaan ummat,
umumkan dan buat selebaran dan bagikan ke barat dan timur, bagi mereka yg mau bikin kenduri kematian silahkan buat sebanyak banyaknya makanan, tapi niatkan untuk sedekah dan pahalanya untuk mayyit..!, dan setiap tetangga keluarga yg kematian, disarankan mengumpulkan sedekah atau uang untuk keluarga mayyit..!
nah.. itu kan lebih baik, daripada nakal nukil gunting tambal ucapan para imam dan mereka sendiri tidak memanut syafii.
kok anti amat sih pada orang berdzikir, masih untung mereka kumpul dzikir, saya sangat mendukung upacara tahlil 3 hari, 7 hari, 40 hari, kalau perlu setiap hari bagi keluarga mayyit, karena disitu ajang dakwah, banyak teman teman mayyit yg tobat,
mereka para narkoba, atau koruptor, atau preman, atau kelompok gelap lainnya, bila hadir di acara tahlilan kematian temannya kulihat mereka nunduk, ada yg menangis, ada yg menyesal, ada yg tobat,
demi Allah berkali kali saya hadir di rumah duka tempat pemuda yg mati sebab narkotika, saya datang dan pastilah teman2nya hadir, maka sudah bisa dipastikan ada beberapa orang temannya yg tobat, mereka gentar melihat temannya sudah dihadiahi surat yaasin, mereka risau mati seperti itu, mereka ingat kematian,
duh.. sungguh hal seperti ini mesti dimakmurkan..
bukan dimusnahkan, naudzubillah dari dangkalnya pemahaman tentang maslahat muslimin..
AlMuntazar
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/18 11:25
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ana membaca tulisan-tulisan diatas hanya menjelaskan tentang acara KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAMA namun tidak menjelaskan satupun mengenai sampai tidaknya pahala yang di kirimkan kepada si Mayit dari bacaan yang dibaca pada acara tersebut .
Wassalam,
munzir
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/18 16:30
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,Rahmat dan kesucian hari hari ramadhan semoga selalu menerangi hari hari anda,
saudaraku yg kumuliakan, maaf kalau saya tak memperjelas, sungguh pembahasan ini telah saya jelaskan di forum ini dg sejelas jelasnya, ucapan diatas adalah memperjelas masalah tahlilan yg telah saya ulas di artikel di halaman depan, dan diatas telah disebutkan bahwa hadits hadits shahih telah memperjelas sampainya pengiriman amal, sedekah, dan para ulama telah sepakat sampainya doa doa, dan tahlilan itu adalah doa.
namun jika anda perlu penjelasan lebih gamblang, maka saya tampilkan jawaban saya sebelumnya di website ini sebelum tanya jawab diatas.
saudaraku yg kumuliakan,
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih, Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yg Jelas dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk Ibunya yg telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya yg telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih Muslim hadits no.1967).
dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yg memungkirinya apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk mayiit, tapi berikhtilaf adalah pd Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yg menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini telah mansukh dg ayat “DAN ORAN ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yg mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yg bermanfaat, dan anaknya yg berdoa untuknya, maka orang orang lain yg mengirim amal, dzikir dll untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yg dihadiahkan untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al Qur’an untuk mendoakan orang yg telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yg memungkirinya, siapa pula yg memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?, hanya syaitan yg tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dg tujuan agar semua orang awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat, bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk mempermudah muslimin terutama yg awam.
Atau dikumpulkannya hadits Bukhari, Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab,
bila mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,munculkan satu dalil yg mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya muslimin untuk mendoakan yg wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yg mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil yg melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yg sudah diperbolehkan oleh Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yg melarang orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yg alergi dengan suara Laa ilaaha illallah kalau bukan Iblis dan pengikutnya ?, siapa yg membatasi orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan untuk melarang yg berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan atas hal ini adalah kemungkaran yg nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yg merupakan adat orang kafir, bahkan mimbar yg ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya, sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yg berpuasa pada hari 10 muharram, (shahih Bukhari) bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727)
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh dan para Imam imam mengirim hadiah pd Rasul saw :
• Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji untuk Rasulullah saw”.
• Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yg pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw, ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia memiliki 70 ribu masalah yg dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada 313H
• Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).demikian saudaraku yg kumuliakan,
Walillahittaufiq
AlMuntazar
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/19 11:59
Assalamualaikum Ya Sayyidi,
Ada beberapa hal lagi yang menjadi ganjalan.
1. Imam Nawawi dalam Kitabnya SYARAH MUSLIM ( JUZ 1 HAL.90) dan Kitab TAKLIMATUL MAJMU’ (JUZ 10 HAL 426) Membantah bahwa Pahala Baca’an dan Sholat yang Digantikan bagi si mayit tidak akan sampai kepada si mayit. Kalo tidak salah Imam Nawawi ini bermazhab Syafi’i (Koreksi jika Ana salah).
2. Al Haitami dalam Kitabnya AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH ( JUZ 2 HAL 9 )
3. Imam Muzani dalam Hamisy AL UM, AS SYAFI’I ( JUZ 7 HAL 269)
4. Imam Al Khazin dalam tafsirnya Al Khazin , AL JAMAL (JUZ 4 HAL.236), lebih jelas mengatakan :
” DAN YANG MASYHUR DALAM MAZHAB SYAFI’I BAHWA BACA’AN QUR’AN (YANG PAHALANYA DI KIRIMKAN KEPADA MAYIT) ADALAH
TIDAK DAPAT SAMPAI KEPADA MAYIT YANG DIKIRIMI”
Dan masih ada beberapa kitab ulama AHLU SUNNAH yang menjelaskan kurang lebih sama dengan yang ada di atas.
Dari pengamatan Ana, kalau di lihat betul dari beberapa literatur Kaum AHLU SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN dan Syia’h, bahwa Tradisi Kaum AHLU SUNNAHNYA PARA ALAWIYIN (HABAIB) lebih banyak kemiripannya dengan tradisi kaum Syi’ah ( Cuman DI SYI’AH SAHABAT YANG DIANGGAP MURSAL DI BUANG/ DICORET DARI DAFTAR MEREKA ) dari pada dengan MEREKA yang ada di ke 4 mazhab SUNI.
WASSALAM,
munzir
Re:MENGIRIM PAHALA DAN BACA’AN KEPADA MAYIT ? – 2007/09/19 13:17
saudaraku yg kumuliakan, saran saya anda belajarlah dengan guru yg mempunyai sanad yg jelas, mengutip dari sana sini merupakan hal yg menyesatkan,anda berbicara dengan menukil ucapan orang wahabi, saya ragu anda membaca buku buku itu sendiri, anda hanya mengambil saja dan barangkali anda belum pernah melihat buku buku itu, kami mengenal siapa Imam Nawawi, kami mempunyai sanad kepada Imam Nawawi, kami mengenal Imam syafii dan kami mempunyai sanad kepada Imam syafii, demikian pula pada Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga Imam Imam Muhaddistin lainnya, kami mempunyai sanad yg bersambung kepada mereka, kami tidak menukil dan meraba raba dengan buku buku terjemah,
pertanyaan anda sudah pernah saya jawab di web ini,
pertanyaan dari wahabi, anda jangan tersinggung dg jawaban dibawah ini karena merupakan nukilan ulang dari jawaban saya yg lalu : dan saya jawab sbgbr :
3 hal yg akan saya jawab dari ucapan mereka ini,
dan perlu saya jelaskan bahwa mereka ini adalah bodoh dan tak memahami syariah atau memang sengaja menyembunyikan makna, atau kedua duanya, licik bagaikan missionaris nasrani dan ingin membalikkan makna sekaligus bodoh pula dalam syariah.
1. Ucapan Imam Nawawi dalam Syarah Nawawi Ala shahih Muslim Juz 1 hal 90 menjelaskan :
من أراد بر والديه فليتصدق عنهما فان الصدقة تصل الى الميت وينتفع بها بلا خلاف بين المسلمين وهذا هو الصواب وأما ما حكاه أقضى القضاة أبو الحسن الماوردى البصرى الفقيه
الشافعى فى كتابه الحاوى عن بعض أصحاب الكلام من أن الميت لا يلحقه بعد موته ثواب فهو مذهب باطل قطعيا وخطأ بين مخالف لنصوص الكتاب والسنة واجماع الامة فلا التفات اليه ولا تعريج عليه وأما الصلاة والصوم فمذهب الشافعى وجماهير العلماء أنه لا يصل ثوابها الى الميت الا اذا كان الصوم واجبا على الميت فقضاه عنه وليه أو من أذن له الولي فان فيه قولين للشافعى أشهرهما عنه أنه لا يصلح وأصحهما ثم محققى متأخرى أصحابه أنه يصح وستأتى المسألة فى كتاب الصيام ان شاء الله تعالى وأما قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعى أنه لا يصل ثوابها الى الميت وقال بعض أصحابه يصل ثوابها الى الميت وذهب جماعات من العلماء الى أنه يصل الى الميت ثواب جميع العبادات من الصلاة والصوم والقراءة وغير ذلك وفى صحيح البخارى فى باب من مات وعليه نذر أن ابن عمر أمر من ماتت أمها وعليها صلاة أن تصلى عنها وحكى صاحب الحاوى عن عطاء بن أبى رباح واسحاق بن راهويه أنهما قالا بجواز الصلاة عن الميت وقال الشيخ أبو سعد عبد الله بن محمد بن هبة الله بن أبى عصرون من أصحابنا المتأخرين فى كتابه الانتصار الى اختيار هذا وقال الامام أبو محمد البغوى من أصحابنا فى كتابه التهذيب لا يبعد أن يطعم عن كل صلاة مد من طعام وكل هذه إذنه كمال ودليلهم القياس على الدعاء والصدقة والحج فانها تصل بالاجماع ودليل الشافعى وموافقيه قول الله تعالى وأن ليس للانسان الا ما سعى وقول النبى صلى الله عليه وسلم اذا مات ابن آدم انقطع عمله الا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح يدعو له“Barangsiapa yg ingin berbakti pada ayah ibunya maka ia boleh bersedekah atas nama mereka (kirim amal sedekah untuk mereka), dan sungguh pahala shadaqah itu sampai pada mayyit dan akan membawa manfaat atasnya tanpa ada ikhtilaf diantara muslimin, inilah pendapat terbaik, mengenai apa apa yg diceritakan pimpinan Qadhiy Abul Hasan Almawardiy Albashriy Alfaqiihi Assyafii mengenai ucapan beberapa Ahli Bicara (semacam wahabiy yg hanya bisa bicara tanpa ilmu) bahwa mayyit setelah wafatnya tak bisa menerima pahala, maka pemahaman ini Batil secara jelas dan kesalahan yg diperbuat oleh mereka yg mengingkari nash nash dari Alqur’an dan Alhadits dan Ijma ummat ini, maka tak perlu ditolelir dan tak perlu diperdulikan.
Namun mengenai pengiriman pahala shalat dan puasa, maka madzhab Syafii dan sebagian ulama mengatakannya tidak sampai kecuali shalat dan puasa yg wajib bagi mayyit, maka boleh di Qadha oleh wali nya atau orang lain yg diizinkan oleh walinya, maka dalam hal ini ada dua pendapat dalam Madzhab Syafii, yg lebih masyhur hal ini tak bisa, namun pendapat kedua yg lebih shahih mengatakan hal itu bisa, dan akan kuperjelas nanti di Bab Puasa Insya Allah Ta’ala.
Mengenai pahala Alqur’an menurut pendapat yg masyhur dalam madzhab Syafii bahwa tak sampai pada mayyit, namun adapula pendapat dari kelompok Syafii yg mengatakannya sampai, dan sekelompok besar ulama mengambil pendapat bahwa sampainya pahala semua macam ibadah, berupa shalat, puasa, bacaan Alqur’an, ibadah dan yg lainnya, sebagaimana diriwayatkan dalam shahih Bukhari pada Bab : “Barangsiapa yg wafat dan atasnya nadzar” bahwa Ibn Umar memerintahkan seorang wanita yg wafat ibunya yg masih punya hutang shalat agar wanita itu membayar(meng qadha) shalatnya, dan dihikayatkan oleh Penulis kitab Al Hawiy, bahwa Atha bin Abi Ribah dan Ishaq bin Rahawayh bahwa mereka berdua mengatakan bolehnya shalat dikirim untuk mayyit,
telah berkata Syeikh Abu Sa’ad Abdullah bin Muhammad bin Hibatullah bin Abi Ishruun dari kalangan kita (berkata Imam nawawi dengan ucapan : “kalangan kita” maksudnya dari madzhab syafii) yg muta’akhir (dimasa Imam Nawawi) dalam kitabnya Al Intishar ilaa Ikhtiyar bahwa hal ini seperti ini. (sebagaimana pembahasan diatas), berkata Imam Abu Muhammad Al Baghawiy dari kalangan kita dalam kitabnya At Tahdzib : Tidak jauh bagi mereka untuk memberi satu Mudd untuk membayar satu shalat (shalat mayyit yg tertinggal) dan ini semua izinnya sempurna, dan dalil mereka adalah Qiyas atas Doa dan sedekah dan haji (sebagaimana riwayat hadist2 shahih) bahwa itu semua sampai dengan pendapat yg sepakat para ulama.
Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : “dan tiadalah bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
Maka jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai.
maka dari kesimpulannya Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.
Inilah liciknya orang orang wahabi, mereka bersiasat dengan “gunting tambah”, mereka menggunting gunting ucapan para imam lalu ditampilkan di web web, inilah bukti kelicikan mereka,
Saya akan buktikan kelicikan mereka :
2. Ucapan Imam Ibn katsir :
وأن ليس للإنسان إلا ما سعى أي كما لا يحمل عليه وزر غيره كذلك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هو لنفسه ومن هذه الآية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه أن القراءة لا يصل إهداء ثوابها إلى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولا حثهم عليه ولا أرشدهم إليه بنص ولا إيماءة ولم ينقل ذلك عن أحد من الصحابة رضي الله عنه ولو كان خيرا لسبقونا إليه وباب القربات يقتصر فيه على النصوص ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء فأما الدعاء والصدقة فذاك مجمع على وصولهما ومنصوص من الشارع عليهما
“ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”
Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah :
“Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259).
nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : “wahai Allah, sampaikanlah apa yg kami baca, dari…. dst, hadiah yg sampai, dan rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat…..”
bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya.
Lalu berkata pula Imam Nawawi :
أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)
Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad : :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”. (Al Mughniy Juz 2 hal : 225)
Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar Juz 4 hal 142).
Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.
Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.
Dan sungguh hal yg lucu bila kalangan wahabi ini meracau dengan mengumpulkan dalil gunting sambung lalu menyuguhkan kita racun agar kita teracuni,
mereka kena batunya di website MR.. he..he..jawaban saya yg pertama telah jelas bahwa banyak para Muhaddits dan Imam yg menghadiahkan pahala bacaan Alqur’annya pada rasul saw dll.
wallahu a’lam
—
pendapat saya, justru syiah yg banyak mencuri cara cara Imam Imam Ahlulbait untuk kelicikan mereka, dan mereka adalah pengkhianat Ahlulait, merekalah musuh Ahlulbait namun mereka berkedok dg mencintai Ahlul Bait, naudzubillah dari Akidah yg memusuhi Khalifah Abubakar Asshiddiq ra, Khalifah Umar bin Khattab ra, Khalifah Utsman bin Affan ra,mereka yg memusuhi para khulafa urrasyidin adalah musuh kaum muslimin, mereka musuh Allah dan Rasul Nya, dan akan mati dalam su’ul khatimah jika tidak bertaubat.
demikian saudaraku yg kumuliakan,
wallahu a’lam
.
.
Jawaban habib Munzir di http://majelisrasulullah.org/index.php?option=com_simpleboard&Itemid=28&func=view&id=12723&catid=7&lang=en
zubaidi
Mohon penjelasan kirim pahala – 2008/03/13 21:52
Assalaamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin ana dapat bersilaturahmi dengan Habibana di forum yang di muliakan Allah SWT ini.. Salam kenal ana untuk Habibana, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan barakah kebahagiaan kepada Habibana dan seluruh Jamaah MR serta tetamu yang bersilaturahmi lewat Website MR dengan Allah SWT memuliakan kita semua sebagai Umat Rasulullah Muhammad SAAW… amiien..
Habib Munzir yang di Muliakan Allah..,ana ingin bertanya tentang keterangan Ibnu Abbas ra tentang di-mansukh-kannya ayat “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG KECUALI APA YG DIPERBUATNYA” dengan ayat “DAN ORANG-ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”.
Mohon Habibana dapat memberikan penjelasan/syarah dari kitab tafsir, juga hadits dan atsar yang dapat ana gunakan untuk pedoman kaitannya dengan kaum tertentu di zaman ini yang mereka banyak menentang ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah khususnya tentang mendo’akan dan hadiah pahala bagi orang yang telah meninggal dunia.
terus terang Bib ana beberapa hari yang lalu berdebat dengan orang wahabi yang mengaku ahlussunnah wal jama’ah yang bersikukuh dengan pendapatnya bahwa hal mengirim doa dan pahala bagi orang yang telah meninggal (tahlilan) itu bid’ah dhalalah dan pahala yang dikirimkan tidak akan pernah sampai siapapun yang mendo’akan, mereka berpendapat dengan keterangan Imam Nawawi dengan pendapat yang MASYHUR di kalangan ulama, Bukan pendapat yang SHAHIH. Kemudian berpendapat bahwa di yaumul hisab nanti setiap manusia akan mempertanggungjawabkan amalnya masing-masing lalu bagaimana dengan kiriman doa dan pahala untuk orang yang meninggal tadi…?
itulah Bib yang jadi pendapat meraka..
Ana mohon penjelasannya Bib..?!
Terimakasih sebelumnya ana ucapkan untuk Habibana dan saudara2 ana di MR yang akan dan telah membantu ana.. InsyaAllah semua yang ana ingin lakukan adalah untuk menjaga dakwah Ahlussunnah wal Jama’ah dakwah dengan akhlaqul karimah wa mau’idhatul hasanah..insyaallah..
Mudah2an kita semua selalu dalam penjagaan Allah SWT dan juga ridla-NYA SWT.. amiien..
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
munzir
Re:Mohon penjelasan kirim pahala – 2008/03/14 14:08
Alaikumsalam warahmatullah wabarakatuh,Rahmat dan Kebahagiaan semoga selalu terlimpah pada hari hari anda dan keluarga,
Saudaraku yg kumuliakan,
mengenai ucapan Ibn Abbas ra yg mengatakan ayat itu mansukh dijelaskan pada Muharrar Alwajiiz Juz 6 hal 233,jelaslah sudah bahwa Imam Nawawi menjelaskan dalam hal ini ada dua pendapat, dan yg lebih masyhur adalah yg mengatakan tak sampai, namun yg lebih shahih mengatakannya sampai,
tentunya kita mesti memilih yg lebih shahih, bukan yg lebih masyhur, Imam nawawi menjelaskan bahwa yg shahih adalah yg mengatakan sampai, walaupun yg masyhur mengatakan tak sampai, berarti yg masyhur itu dhoif, dan yg shahih adalah yg mengatakan sampai.
maka dari kesimpulannya Imam Nawawi menukil bahwa sebagian ulama syafii mengatakan semua pengiriman amal sampai.Berkata Imam Ibn Katsir : “ Yakni sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalanya sendiri, dan dari ayat yang mulin ini (ayat 39,Surah An-Najm) Imam Syaf’i dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit adalah tidak sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rosulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala melalui bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan baik dengan nash maupun isyarat, dan tidak ada seorangpun (shahabat) yang mengamalkan perbuatan tersebut, jika amalan itu baik, tentu mereka lebih dahulu mengamalkanya, padalah amalan untuk mendekatkan diri kepada Allah ta’ala hanya terbatas yang ada nash-nashnya dalam al-Qur’an dan as-Sunnah, dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”
Mereka memutusnya sampai disini, demikian kelicikan mereka, padahal kelanjutannya adalah :
“Namun mengenai doa dan sedekah maka hal itu sudah sepakat seluruh ulama atas sampainya, dan telah ada Nash nash yg jelas dari syariah yg menjelaskan keduanya” (Tafsir Imam Ibn Katsir juz 4 hal 259).nah. telah jelas bahwa tahlilan itu adalah doa, dan semua pengiriman amal itu dengan doa : “wahai Allah, sampaikanlah apa yg kami baca, dari…. dst, hadiah yg sampai, dan rahmat yg turun, dan keberkahan yg sempurna, kehadirat…..”
bukankah ini doa?, maka Imam Ibn Katsir telah menjelaskan mengenai doa dan sedekah maka tak ada yg memungkirinya.
Lalu berkata pula Imam Nawawi :أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء وقضاء الدين بالنصوص الواردة في الجميع ويصح الحج عن الميت اذا كان حج الاسلام وكذا اذا وصى بحج التطوع على الأصح عندنا واختلف العلماء في الصوم اذا مات وعليه صوم فالراجح جوازه عنه للأحاديث الصحيحة فيه
والمشهور في مذهبنا أن قراءة القرآن لا يصله ثوابها وقال جماعة من أصحابنا يصله ثوابها وبه قال أحمد بن حنبل“Sungguh sedekah untuk dikirimkan pada mayyit akan membawa manfaat bagi mayyit dan akan disampaikan padanya pahalanya, demikian ini pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, demikian pula mereka telah sepakat atas sampainya doa doa, dan pembayaran hutang (untuk mayyit) dengan nash2 yg teriwayatkan masing masing, dan sah pula haji untuk mayyit bila haji muslim,
demikian pula bila ia berwasiat untuk dihajikan dengan haji yg sunnah, demikian pendapat yg lebih shahih dalam madzhab kita (Syafii), namun berbeda pendapat para ulama mengenai puasa, dan yg lebih benar adalah yg membolehkannya sebagaimana hadits hadits shahih yg menjelaskannya,
dan yg masyhur dikalangan madzhab kita bahwa bacaan Alqur’an tidak sampai pada mayyit pahalanya, namun telah berpendapat sebagian dari ulama madzhab kita bahwa sampai pahalanya, dan Imam Ahmad bin Hanbal berpegang pada yg membolehkannya” (Syarh Imam Nawawi ala shahih Muslim Juz 7 hal 90)Dan dijelaskan pula dalam Almughniy :
ولا بأس بالقراءة ثم القبر وقد روي عن أحمد أنه قال إذا دخلتم المقابر اقرؤوا آية الكرسي وثلاث مرار قل هو الله أحد الإخلاص ثم قال اللهم إن فضله لأهل المقابر وروي عنه أنه قال القراءة ثم القبر بدعة وروي ذلك عن هشيم قال أبو بكر نقل ذلك عن أحمد جماعة ثم رجع رجوعا أبان به عن نفسه فروى جماعة أن أحمد نهى ضريرا أن يقرأ ثم القبر وقال له إن القراءة ثم القبر بدعة فقال له محمد بن قدامة الجوهري يا أبا عبد الله ما تقول في مبشر فلهذا قال ثقة قال فأخبرني مبشر عن أبيه أنه أوصى إذا دفن يقرأ عنده بفاتحة البقرة وخاتمتها وقال سمعت ابن عمر يوصي بذلك قال أحمد بن حنبل فارجع فقل للرجل يقرأ
“Tidak ada larangannya membaca Alqur’an dikuburan , dan telah diriwayatkan dari Ahmad bahwa bila kalian masuk pekuburan bacalah ayat alkursiy, lalu Al Ikhlas 3X, lalu katakanlah : Wahai Allah, sungguh pahalanya untuk ahli kubur”.
Dan diriwayatkan pula bahwa bacaan Alqur’an di kuburan adalah Bid’ah, dan hal itu adalah ucapan Imam Ahmad bin hanbal, lalu muncul riwayat lain bahwa Imam Ahmad melarang keras hal itu, maka berkatalah padanya Muhammad bin Qudaamah : Wahai Abu Abdillah (nama panggilan Imam Ahmad), apa pendapatmu tentang Mubasyir (seorang perawi hadits), Imam Ahmad menjawab : Ia Tsiqah (kuat dan terpercaya riwayatnya), maka berkata Muhammad bin Qudaamah sungguh Mubasyir telah meriwayatkan padaku dari ayahnya bahwa bila wafat agar dibacakan awal surat Baqarah dan penutupnya, dan bahwa Ibn Umar berwasiat demikian pula!”, maka berkata Imam Ahmad :”katakana pada orang yg tadi kularang membaca ALqur’an dikuburan agar ia terus membacanya lagi..”.
(Al Mughniy Juz 2 hal : 225)Dan dikatakan dalam Syarh AL Kanz :
وقال في شرح الكنز إن للإنسان أن يجعل ثواب عمله لغيره صلاة كان أو صوما أو حجا أو صدقة أو قراءة قرآن ذلك من جميع أنواع البر ويصل ذلك إلى الميت وينفعه ثم أهل السنة انتهى والمشهور من مذهب الشافعي وجماعة من أصحابه أنه لا يصل إلى الميت ثواب قراءة القرآن وذهب أحمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من أصحاب الشافعي إلى أنه يصل كذا ذكره النووي في الأذكار وفي شرح المنهاج لابن النحوي لا يصل إلى الميت عندنا ثواب القراءة على المشهور والمختار الوصول إذا سأل الله إيصال ثواب قراءته وينبغي الجزم به لأنه دعاء فإذا جاز الدعاء للميت بما ليس للداعي فلأن يجوز بما هو له أولى ويبقى الأمر فيه موقوفا على استجابة الدعاء وهذا المعنى لا يختص بالقراءة بل يجري في سائر الأعمال والظاهر أن الدعاء متفق عليه أنه ينفع الميت والحي القريب والبعيد بوصية وغيرها وعلى ذلك أحاديث كثيرة
“sungguh boleh bagi seseorang untuk mengirim pahala amal kepada orang lain, shalat kah, atau puasa, atau haji, atau shadaqah, atau Bacaan Alqur’an, dan seluruh amal ibadah lainnya, dan itu boleh untuk mayyit dan itu sudah disepakati dalam Ahlussunnah waljamaah.
Namun hal yg terkenal bahwa Imam Syafii dan sebagian ulamanya mengatakan pahala pembacaan Alqur’an tidak sampai, namun Imam Ahmad bin hanbal, dan kelompok besar dari para ulama, dan kelompok besar dari ulama syafii mengatakannya pahalanya sampai, demikian dijelaskan oleh Imam Nawawi dalam kitabnya Al Adzkar,
dan dijelaskan dalam Syarh Al Minhaj oleh Ibn Annahwiy : “tidak sampai pahala bacaan Alqur’an dalam pendapat kami yg masyhur, dan maka sebaiknya adalah pasti sampai bila berdoa kepada Allah untuk memohon penyampaian pahalanya itu,
dan selayaknya ia meyakini hal itu karena merupakan doa, karena bila dibolehkan doa tuk mayyit, maka menyertakan semua amal itu dalam doa tuk dikirmkan merupakan hal yg lebih baik, dan ini boleh tuk seluruh amal,
dan doa itu sudah Muttafaq alaih (tak ada ikhtilaf) bahwa doa itu sampai dan bermanfaat pada mayyit bahkan pada yg hidup, keluarga dekat atau yg jauh, dengan wasiat atau tanpa wasiat, dan dalil ini dengan hadits yg sangat banyak” (Naylul Awthar lil Imam Assyaukaniy Juz 4 hal 142, Al majmu’ Syarh Muhadzab lil Imam Nawawiy Juz 15 hal 522).Kesimpulannya bahwa hal ini merupakan ikhtilaf ulama, ada yg mengatakan pengiriman amal pada mayyit sampai secara keseluruhan, ada yg mengatakan bahwa pengiriman bacaan Alqur’an tidak sampai, namun kesemua itu bila dirangkul dalam doa kepada Allah untuk disampaikan maka tak ada ikhtilaf lagi.
Dan kita semua dalam tahlilan itu pastilah ada ucapan : Allahumma awshil, tsawabaa maa qaraa’naa minalqur’anilkarim… dst (Wahai Allah, sampaikanlah pahala apa apa yg kami baca, dari alqur’anulkarim…dst). Maka jelaslah sudah bahwa Imam Syafii dan seluruh Imam Ahlussunnah waljamaah tak ada yg mengingkarinya dan tak adapula yg mengatakannya tak sampai.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga sukses dg segala cita cita, semoga dalam kebahagiaan selalu,
Wallahu a’lam
Tulisan Anda hari ini begitu luar biasa dan inspiratif. Tetaplah menulis…!!
http://mobil88.wordpress.com
Saya ingin menyampaikan kepada seluruh TKI yang bekerja di negeri orang saya ibu hermawati seorang TKI DI MALAYSIA pengen pulang ke indo tapi gak ada ongkos sempat saya putus asah apalagi dengan keadaan susah gaji suami itupun buat makan sedangkan hutang banyak kebetulan suami saya buka-buka internet mendapatkan nomor MBAH RONO katanya bisa bantu orang melunasi hutang melalui jalan TOGEL dengan keadaan susah jadi saya coba hubungi MBAH RONO dan minta angka bocoran MALAYSIA angka yang di berikan 4D TOTO ternyata betul-betul tembus 100% bagi saudarah-saudara di indo mau di luar negeri apabila punya masalah hutang sudah lama belum lunas jangan putus asah beliau bisa membantu meringankan masalah anda hubungi MBAH RONO di nomor (_085_340_489-469_) ini asli bukan rekayasa atau silahkan buktikan sendiri…
Saya ingin menyampaikan kepada seluruh TKI yang bekerja di negeri orang saya ibu hermawati seorang TKI DI MALAYSIA pengen pulang ke indo tapi gak ada ongkos sempat saya putus asah apalagi dengan keadaan susah gaji suami itupun buat makan sedangkan hutang banyak kebetulan suami saya buka-buka internet mendapatkan nomor MBAH RONO katanya bisa bantu orang melunasi hutang melalui jalan TOGEL dengan keadaan susah jadi saya coba hubungi MBAH RONO dan minta angka bocoran MALAYSIA angka yang di berikan 4D TOTO ternyata betul-betul tembus 100% bagi saudarah-saudara di indo mau di luar negeri apabila punya masalah hutang sudah lama belum lunas jangan putus asah beliau bisa membantu meringankan masalah anda hubungi MBAH RONO di nomor (_085_340_489-469_) ini asli bukan rekayasa atau silahkan buktikan sendiri
karena terjadi khilafiah, maka akhlak kita adalah mencoba tuk saling memahami dan toleransi. jangan sampai menjadi permusuhan antar sesama muslim krn akan bertabrakan dengan ayat Qur’an, sesungguhnya orang2 mukmin adalah bersaudara. salam damai tuk semuanya. trims
–> benar mas/mbak. Alangkah baiknya jika imbauan ini disampaikan ke semua pihak. ,,.. Hentikanlah men-vonis sesama muslim sebagai sesat, ahli bid’ah, tukang khurafat, musyrik, dll. Karena itu sangat menyakitkan. Inilah sebenarnya awal perpecahan itu.
ups…jangan saling menyalahkan ya…!!! apa lagi sampai mengatakan bodoh pada suatu kaum yang mana aja benar yang penting dalam konteks quran dan sunnah, serukanlah dakwah bil hikmah karena islam mengajarkan toleransi dan ukhuwah. wassalam
Bukankah perkataan imam syafi’i ketika mengatakan makruh berarti haram? terus bagaimana dengan kata dalam ayat al hujurat : 7 dengan apa yang dipahami habib tentang makan makruh dari perkataan imam Safi’i?
“Ketahuilah olehmu bahwa di kalanganmu ada Rasulullah. Kalau ia menuruti kemauanmu dalam beberapa urusan benar-benarlah kamu mendapat kesusahan, tetapi Allah menjadikan kamu ‘cinta’ kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus” (Al Hujurat : 7)
–> makruh itu yaa makruh .. bukan haram.
aku cuma mau bacain al fatihah…..!!!!
khususon ila….
JAWABANMU KURANG MEMUASKAN-SEPERTI TIDAK PUNYA KE ILMU AN.
jawaban kurang memuaskan masih mending dibandingkan ditanya A jawabnya B,
masih mending daripada ditanyain tapi ga jawab2,malah loncat2 ke masalah lain.. ga pernah selesai2..
yg lucu lagi, bukan pengikut mazhab Syafii malah ngotot membahas pekerjaan mazhab Syafii, bawa2 kitab2 mazhab Syafii terjemahan pula..
yg mnterjamahkan kitab Syafiinyapun bukan pengikut mazhab Syafii pula..
Kitab terjemahannya (maupun non terjemahannya) sudah diedit/dipalsu pula..
saya senang sekali jawaban admin di artikel “http://orgawam.wordpress.com/2010/01/28/majelis-rasulullah-tentang-tahlilan-dan-yasinan/”, yg saya coba copas lagi biar bisa membuka wawasan pikiran anda yg sudah dibikin dangkal oleh Wahabi (admin, mohon izin ya) :
“Wa’alaikum salam wrwb. Siapakah yg lebih mengetahui pendapat imam Syafi’i. Tentu saja anak cucu muridnya. Itulah para ulama pengikut madzab-nya. Jika anda serius ingin belajar madzab Syafi’i, belajarlah ke para ulama Syafiiyah. Dan NU adalah sebuah organisasi yang (hampir) semua ulamanya bermadzab Syafi’i.
Ketika ada orang yg tidak bermadzab Syafi’i memegang (atau berkomentar ttg) kitab beliau, maka jadinya yaaa … cem-macem menurut tafsir mereka sendiri. Pendapat2 mereka tak bisa dinisbahkan sebagai pendapat imam Syafi’i, betapapun kerasnya klaim mereka”
ada lagi :
“Jika anda pakai al Umm terjemahan, setahuku al Umm diterjemahkan bukan oleh seorang yg bermadzab Syafii. Pengantarnya pun oleh syaikh bin Baz, yg jelas2 tak bermadzab syafi’i. Banyak pendapat syaikh bin Baz ini yg tidak pass (bahkan bertentangan) dengan pendapat ulama2 Syafiiyah. Maka mengenai hal2 yg meragukan/ bertentangan/ stelan yg tak pas (seperti kasus-kasus yg anda sebut di atas), lebih baik anda tanyakan langsung ke ulama-ulama madzab syafi’i”
assalaa mu alaikum, maaf saya koment dikit. kalau do,a orang hidup bisa sampai pada yang mati ( bkn anak yang saleh) ,ber arti di surga banyak keturunan orang kaya.karna dia orang berduit bisa kumpulkan orang banyak utk mendo,a kan yang mati.wah enak bener ya .kalau begitu dosa org korupsi yang sdh mati bisa di tutup dg uangyna .panggil saja orang banyak2 buat tahlillan .pantesan korupsi dan kejahatan lainnya merajalele di negri ini.maaf ;tradisi jahilliyah jangan di bawa2 ,agam islam tdk sama dg agama lain,tapi saya maklum juga karna dari jaman nabi2 terdahulu jika menyampaikan kebenaran selalu ada penolakan karna kebiasaan yang di anggap kebenaran .tks wassalam.
–> wangalaikum salam wrwb. Saya kira apa yang dijelaskan habib Munzir (Majelis Rasulullah) sudah jelas. Mohon maaf kl tak berkenan.
to mas wawan hrmawan,
Komen ada mncerminkan penarikan ksimpulan yg lucu&ngawur,
Tidak prnah ada hadis atau pndapat ulama mnyebutkan hubungan antar kekayaan pentahlil dengan pengabulan oleh Allah..
Logika anda masih perlu diasah agar penarikan kesimpulan anda tidak ngawur..
Masya Alloh,,,yang ngaku wahabi kalau mau jum’atan sebaiknya tidak boleh pake sandal,jam tangan pake kopyah model,sekarang,,apalagi kacamata,,karena karena Rosululloh tidak mencontohkan demikian,,jika masih pake,,artinya,,,anda harus belajar lagi lebih dalam,,,lagi,,biar bisa memahami penjelasan habib,,sukron
dan berpegang teguhlah kamu pada tali agama Allah dan jangan bercerai berai (penggalan surah QS :3 : 103) tolong ya resapin
Pakai sandal bukan ibadah boss, tapi urusan dunia, yang ibadah jelas jum’atannya oke..
komentar anda mncerminkan anda ga tw sma skali ttng bid’ah.. bnyak2 blajar lg lah..
Ya akhi pengikut Sunnah
Di Alqur’an dan Hadits itu tidak ada hukum ini wajib, sunnah, makruh, dlsb..
Para ulama’ lah yang menyimpulkan hukum2 tersebut, dan para ulama telah membuat definisi untuk setiap istilah hukum tersebut, wajib adalah, makruh adalah, dlsb.
Jadi jika Imam Syafi’i menyebut sesuatu dengan status makruh berarti makruh dalam ta’rif beliaum, yaitu ta’rif para ulama tersebut.. jangan dicampur aduk, digunting tambal, jadi rancu dan membingungkan.
Salam
–> Kalau menurut imam syafi’i itu makruh .. yaa makruhlah menurut imam syafi’i. Jika kita bicara dengan acuan imam syafi’i, maka pakailah bahasa imam syafi’i dengan maksud sesuai dengan maksud imam syafi’i. Memakai kitab syafi’i dengan pemaknaan bukan maksud imam syafi’i adalah manipulasi fatwa.
masalah makruh kan sudas jelas, artinya; yaitu perbuatan manusia yang di benci ALLAH ,mengapa hal yang buruk anda lakukan, kalau memeng ber iman kepada ALLAH mestinya hal yang tdk di sukai ALLAH itu harus di jauhi,wassalam
–> makruh menurut definisi hukum syariah (dari majelisrasulullah.org yang bermadzab syafii), tidak berdosa melakukannya dan diberi pahala ketika meninggalkannya. Menurut bahasa artinya tidak disukai (dibenci, sebaiknya ditinggalkan). Jika anda bicara hukum, pakailah definisi hukum. Ingat kitab yang dikutib itu kitab bermadzab syafii.
Ketika sebuah perbuatan dihukumi makruh (lihat maksud definisi hukum makruh) kemudian diterjemahkan (secara bahasa) menjadi dibenci. Kemudian dijelaskan sebagai hal buruk yang harus dijauhi (bermakna HARAM). Ini adalah pembelokan makna dari maksud awal.
wallahu a’lam.
orang saklek y seperti ini,,,,,sukanya ngotot,,tidak mau dengar penjelasan dari yang dekat dengan,,,ulama,,visi pembicaraannnya bukan mencari benar tapi mencari menang,,,ini yang bahaya,,,
sip, mantaplah…, terimakasih kepada semuanya yg sdh membahas masalah ini, maklu saya orang awam, dan semakin tau bahwa banyak hal di dunia islam yang sebenarnya sudah diatur dengan begitu terperinci, hatipun mengamini, tidak ada yang menyulitkan, tinggal menata niat, alhamdulillah..
alhamdulillaaHi rabbil’aalamiin/
mohon izin copy paste untuk disebar luaskan kepada kaum muslimin di wilayah saya; Cimahi Bandung
jadi tahlilan makruh ya?
berarti harus ditinggalkan dong… karena imam syafe’i yg mengatakan makruh
–> yang makruh itu meratap. Sedangkan yang dianggap meratap itu ketika mengadakan perjamuan/pesta. Sedangkan tahlilan itu bukan pesta.
keukeuh wae teu ngarti numatak ,angkat ngaos
lumayan dapet ilmu…
alhamdulillah…
saya gak habis fikir dengan apa yang dikatakan habib,ko berani sekali memutar balik fakta apalagi ini hadits Rosullullah,ingaaat pa habib barang siapa berbicara/berdusta atas namaku(kata Rasulullah/Wallohu a’lam)maka tempat duduknya di neraka, kepentingan apakah yang membuat habib demikian??,ingat bib perkataan habib akan diikuti semua orang yang awam terhadap agama,artinya semua akan terbawa dosa…,saya lebih faham dengan apa yang dikatakan abu aljauzza.
–> bagian manakah yang memutar balikkan fakta??..
Sami ieu oge,sok diajar duei ngaos,tambahan deui elmu
To Sultan,
Seandainya anda tau sejarah bahwa Sultan Saladin termasuk tokoh yang “menggalakkan” Maulid Nabi dengan syair2 indah, mungkin anda ga akan memakai nama “Sultan Saladin”…
biasanya orang yang Maulidan itu kemungkinan besar juga pelaku Tahlilan, Ziarah Kubur, Tawassul dll…
gimana? masih idola ma “Sultan Saladin”??
maaf ya,hehehe
kepada akhuna wawan dan al-faqir
sepertinya anda kurang wawasan atau kurang membaca? jika yang anda maksudkan sultan shalahuddin al-ayyubi, maka anda sungguh keliru dan salah besar menuduh beliau sebagai peletak dasar maulid nabi atau ahli maulid nabi. orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi bukanlah beliau, tetapi ubaid al-qadah dari firqah fathimiyah, sekte syi’ah rafidhah. lihat lagi dalam kitab al-bidayah wa an-nihayah, XI/202, karya al-hafizh al-imam ibnu katsir. juga baca dan rujuk lagi dengan akal yang bersih dan hati yang jernih dalam al-bida’ al-hauliyah karya syaikh abdullah bin abdul aziz at-tuwaijry dan fatawa tata’allaq bil maulid an-nabawi.
semoga kita memiliki kecerdasan yang baik dalam memahami agama Allah yang sempurna ini. Imam Bukhari sendiri menuliskan satu bab dalam kitab Shahih-nya, dengan nama bab al-‘ilmu qabla ‘amal. wallahu a’lam.
to Abu Hafizh
saya sedikit mengoreksi koment anda tgl April 8, 2011 pada 16:57 yg bunyinya :
“kepada akhuna wawan dan al-faqir
sepertinya anda kurang wawasan atau kurang membaca? jika yang anda maksudkan sultan shalahuddin al-ayyubi, maka anda sungguh keliru dan salah besar menuduh beliau sebagai peletak dasar maulid nabi atau ahli maulid nabi. orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi bukanlah beliau, tetapi ubaid al-qadah dari firqah fathimiyah, sekte syi’ah rafidhah. lihat lagi dalam kitab al-bidayah wa an-nihayah, XI/202, karya al-hafizh al-imam ibnu katsir. juga baca dan rujuk lagi dengan akal yang bersih dan hati yang jernih dalam al-bida’ al-hauliyah karya syaikh abdullah bin abdul aziz at-tuwaijry dan fatawa tata’allaq bil maulid an-nabawi.
semoga kita memiliki kecerdasan yang baik dalam memahami agama Allah yang sempurna ini. Imam Bukhari sendiri menuliskan satu bab dalam kitab Shahih-nya, dengan nama bab al-’ilmu qabla ‘amal. wallahu a’lam.”
koreksi saya :
saya menyebut “Sultan Saladin termasuk tokoh yang “menggalakkan” Maulid Nabi”..
saya tidak pernah menuduh Sultan Saladin sebagai “peletak dasar maulid nabi atau orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi”, seperti yg anda tuduhkan kok..
tolong hati2lah kalo mencuplik kata2 orang lain..
saya perhatikan anda ini banyak melakukan salah cuplik, suka memotong2 pendapat orang lain untuk diambil bagian yg anda sukai..
mas Imam sudah banyak membongkar ketidaktelitian anda, dari memotong2 pendapat para Imam sampai mencuplik pendapat palsu..
wawan berkata
Oktober 12, 2010 pada 12:25
To Sultan,
Seandainya anda tau sejarah bahwa Sultan Saladin termasuk tokoh yang “menggalakkan” Maulid Nabi dengan syair2 indah, mungkin anda ga akan memakai nama “Sultan Saladin”…
biasanya orang yang Maulidan itu kemungkinan besar juga pelaku Tahlilan, Ziarah Kubur, Tawassul dll…
gimana? masih idola ma “Sultan Saladin”??
maaf ya,hehehe
Balas
*
Abu Hafizh berkata
April 8, 2011 pada 16:57
kepada akhuna wawan dan al-faqir
sepertinya anda kurang wawasan atau kurang membaca? jika yang anda maksudkan sultan shalahuddin al-ayyubi, maka anda sungguh keliru dan salah besar menuduh beliau sebagai peletak dasar maulid nabi atau ahli maulid nabi. orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi bukanlah beliau, tetapi ubaid al-qadah dari firqah fathimiyah, sekte syi’ah rafidhah. lihat lagi dalam kitab al-bidayah wa an-nihayah, XI/202, karya al-hafizh al-imam ibnu katsir. juga baca dan rujuk lagi dengan akal yang bersih dan hati yang jernih dalam al-bida’ al-hauliyah karya syaikh abdullah bin abdul aziz at-tuwaijry dan fatawa tata’allaq bil maulid an-nabawi.
semoga kita memiliki kecerdasan yang baik dalam memahami agama Allah yang sempurna ini. Imam Bukhari sendiri menuliskan satu bab dalam kitab Shahih-nya, dengan nama bab al-’ilmu qabla ‘amal. wallahu a’lam.
tul..tul..tul..
To Sultan,
ya maaf sebelumnya. makanya sebelum bicara alangkah baiknya kita melihat diri kita sendiri,nama aja riwayatnya ahli Maulid nabi,jd nama antum itu asal comot ya
untuk saladin ga da dlam hadist mna pun juriyat rosul msuk neraka,,kl habaib pd pendusta ga mungkin ada wali songo,kl anda mao tw, wali songo tu merupakan juriyat rosul dan hb munjir ngikutin pa yg di lakukan wali songo
walah mas.. anda msh prcaya dgn wali songo..? itu smua dusta..! cb anda pikir.. klw mmang wali, mana mungkin ada yg brtapa slm 40 hr 40 mlm dgn hnya duduk sja.. kapan sholatnya? ada yg bssa brubah jd cacing, dst… contoh kt hanya Rasulullah mas bkn yg lain..
untuk yg comot nama sultan saladin, jg tampakan kedunguanmu, baru baca terjemah aja udah asal bicara maaf seperti angin dari bawah. asal keluar asal bunyi dg suara sumbang, periksa dirimu apakah anda pengikut tanduk syetan dari arah timur, ataukah kurang pengetahuan , ataukah telah minum racum wahabiyah.
Bagian mana, yg jelas ente blng kalo ini makruh, emang amalan ente dah cukup buat menutupi perbuatan makruh ente bib, apalagi kalo sampe diikuti oleh umat makin jauh ente dari sorga HABIB MUNZIR….sadar….jgn nafsu dgn ketenaran duniawi mas MUNZIR.
Assalamu Alaikum Wr.Wb
buat teman2 yg bertanya dan pertanyaannya sudah dijawab dengan jelas oleh Habib Munzir, Saya sangat setuju dengan semua yang dikatakan Habib Munzir dan menurut saya semuanya sudah sangat jelas, apa kalian lupa kita ini diciptakan Allah SWT untuk beribadah, dan beribadah bukan hanya sholat dan mengaji, setiap gerakan kehidupan kita ini harus kita niatkan ibadah kepada Allah SWT, berdzikir itu ibadah, sedekahpun ibadah, berkumpul memuji nama Allah dan Rosulnya itu juga ibadah, selama yg kita lakukan bertujuan beribadah dan ikhlas karna Allah kenapa kita harus menjadi BODOH dngn menghujat orang2 yang berniat tulus dan suci mengajak orang lain memperbanyak beribadah kepada Allah SWT.Kalau tidak ikut beribadah ya udah lebih baik DIAM daripada darpada banyak omong yang tidak bermanfaat. Wassalam
Sedikit diralat Maaf Maksud saya pada kalimat terakhir ” Kalau tidak mau ikut beribadah ya sudah lebih baik diam”…wassalam
Saya setuju mas Upin dan Ipin… Orng baca tahlil atau yasiin dirumah duka itu kan lebih bermanfaat dripada tinggal diam merenungi almarhum, justru akan menimbulkan perasaan kehilangan yg bisa berakhir jd ratapan… Dalil juga udah menjelaskan bahwa Al-Qur’an itu obat dan rahmat, jd minimal bisa mengobati rasa sedih org yg ditinggalkan dengan bacaan yasiin… Buat saudara yg ga mau hadiri, ya gak usah, saudara juga bisa rasakan sndiri nnti law saudara lagi berduka trus gak ada yg datang, gimana sedihnya… Intinya yg penting niat…
Assalamu A’laikum Wr.Wb
Al hamdullilah anna ada pecerahan. terima kasih ya Allah….
Semoga kita menjadi orang- orang perpikir dan bersyukur.
–> wa’alaikum salam wrwb. amien amien atas doanya.
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdulillah, ternyata pemikiran – pemikiran sekarng sudah sangat berkembang dengan pesat.
Di balik kebenaran, perbedaan pendapat adalah harga mahal yang harus di sykuri oleh umat islam, karena tidak mungkin semua perkataan yang telah dilontarkan oleh mereka semua mempunyai sumber masing – masing
Pendapat saya :
Kalau habib berkata bahwa itu adalah bid’ah, tentu bertolak belakang dengan artikel yang di tulis di sini http://orgawam.wordpress.com/2008/05/27/tak-semua-perkara-mubah-menjadi-bidah/
Karena itu semua adalah sebuah amal baik, yang menurut saya akan mendapat pahala….
Terima kasih……
( Maaf, saya hanya seorang yang sedang belajar, mohon bimbingannya )
–> wa’alaikum salam wrwb. Justru menurut saya artikel yang anda tunjuk itu selaras. Tak semua hal baru itu sesat (bid’ah), ketika perkara baru ini tak bertentangan dengan syariat atau melawan syariat. Perkara baru yang bid’ah sesat adalah yang bertentangan dengan syariat atau melawan syariat.
setuju… contohna aliran sesat ahmadiyah. yang harus dihancurkan
bukan dihancurkan mas, tapi diluruskan aqidahnya dan syariatnya, kalau dihancurkan berarti kita membiarkan mereka dalam akidah dan syariat yang salah dong, mari kita ajak mereka dengan cara yang cinta damai
Assalamu Alaikum Wr.Wb
Dan dalil Imam syafii adalah bahwa firman Allah : “dan tiadalah
bagi setiap manusia kecuali amal perbuatannya sendiri” dan sabda Nabi saw : “Bila wafat keturunan adam maka terputus seluruh amalnya kecuali tiga, shadaqah Jariyah, atau ilmu yg bermanfaat, atau anak shalih yg mendoakannya”. (Syarh Nawawi Ala Shahih Muslim Juz 1 hal 90)
Terus bagaimana caranya tentang sabda Nabi saw yang ini “anak shalih yg mendoakannya”.
apakah bukan caranya.. mendoakan dan bersodakoh.
Terima Kasih…
yang dimaksudkan itu adalah mendoakan,,, bukan membacakan yasin atau tahlil,,
–> dan membacakan Yasin atau tahlil itu juga termasuk mendoakan.
[…] Terjemah Maulid Al Barzanji ————————— Majelis Rasulullah Tentang Tahlilan Dan Yasinan […]
jadi kesimpulannya adalah(menurut saya)semua perbuatan yg dijelaskan diatas adalah bid’ah..mubah..makruh menurut pendapat masing2 berdasarkan dalil yg masing2 pakai. ini lebih menurut saya lg.. saya cenderung tidak mengikuti itu semua karena nabi Muhammad saw tidak mengajar hal tersebut, sehingga menjadi pertentangan di tengah2 ummatnya..sehingga sesuatu hal yg apabila dijadikan pertentangan cuma ada satu penyebabnya, yaitu semua itu keabsahannya “diragukan”. sesuatu yg diragukan alangkah lebih baik untuk kehati-hatiannya sebaikknya tidak dilakukan,knapa? kl benar itu dianjurkan biar kata kita ga dpt pahala tp kita tidak berdosa krn tidak melakukannya. kl itu salah brarti kita tidak mendapat dosa krn tidak melakukannya dan berpahala (tau dpt atau ga)krn tidak melakukan sesuatu hanya ikut2tan.., nah gt pikiran ane yg baru keluar dr mahzab miyabiah..semoga bermanfaat
–> kalau saya ada undangan tahlilan.. saya akan memenuhi-nya karena memenuhi undangan saudaranya adalah wajib, dan tak ada kemaksiatan di dalam majelis tahlilan. Dan kalau saya .. kalau bisa saya akan berusaha bertahlil setiap harinya, sambil berharap, semoga Allah meridloi. amien.
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perkara (tuntunan-pen) kami padanya maka tertolak.” (Riwayat Muslim (3/1343) no: 1718)) . >> amalannya menjadi sia2, mencari sesuatu yang bukan dalam beban2 syariat, amalannya mnjd bathil… tidak cukupkah Rasulullah menjadi teladan dalam mengambil hukum yang sudah pasti bersinambung dengan alQuran? . dari logika saja.. bila dibiarkan hal2 yang tidak ada tuntunannya tersebut, jelas akan menyesatkan muslim2 yang awam.. dan menganggapnya hal itu menjadi keharusan, apabila tidak ditahlilli maka si mayit akan kekurangan pahala.. maka keluarga almarhummah akan berusaha mati2an untuk mengadakan acara tersebut, demi amalan tmbahan untuk keluarganya yang meninggal, dgn berhutang, mengalahkan kebutuhan2 yang penting dalam menyambung hidupnya dan anak2nya yang masih panjang perjalanannya, dan itu masih berlangsung dihari2 tertentu, 3hr, 7hr, —100rh bahkan haulan… sedangkan Allah tidaklah menurunkan agama ini untuk menyusahkan hamba2Nya.. jelaslah hal2 yang menyusahkan hanya datang dari manusia.. Siapa yang membuat sesuatu bukan berdasarkan PetunjukNya.. berarti dia telah membuat syariat sendiri.. ‘tinggalkanlah hal2 yang meragukan’……. ‘sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam perkara kebaikan’.. wallahu a’lam.. wassalam.
setuju banget buat desi,,
sebenernya dalil2 tentang yasin, itu berasal dari agama hindu, dan d bacaannya d ganti dengan ayat alquran oleh muslim ahli bidah,,
kenapa d kota kelahiran Nabi Muhammad semua muslim tidak ada yang mengerjakan yang namanya yasin tahli,,
karena Nabi Muhammad tidak pernah mensyariatkan atau mengerjakan hal itu,,
kalo d indo kan budaya dijadikan agama,, padahal budaya yang d jadikan agma tersebut adalah budaya orang2 kafir,,,
sangat setuju, seandainya masalah tahlilan mayyit dianggap penting niscaya Rosululloh sudah melaksanakannya… apakah kita merasa kurang dengan tuntunan yang diajarkan oleh Rosululloh tentang ibadah? sehingga kita beranggapan perlu menciptakan peribadatan baru?… sungguh sangat menyesatkan perbuatan yang menyiratkan ajaran Rosululloh belum sempurna/ kurang lengkap..
Bismillah.
sebaiknya kembalikan pemahaman Islam itu kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan bimbingna ulama salaf terutama dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabiut’ tabi’in. bukan dengan pemahaman sufi yang rusak. Berkata ulama salaf “orang yang bermajelis dengan ahlul bid’ah itu lebih dasyaat bagi kami daripada ahlu bid’ah itu sendiri.
mas Abdullah,
kalo mau dibimbing langsung oleh sahabat+tabi’in,tabi’ut tabi’in silahkan bikin mesin waktu dan kembalilah ke tahun sekitar 1 – 200 Hijriyah..
monggo..
Assalamualaikum wrwb ,bismillah , sgala sesuatu yang baru dlm ajaran islam adalah bid’ah , dan setiap bid’ah itu sesat sesat itu setan setan tempatnya dineraka , tahlil,yasin , kirim fatihah ,maulid ,ngaji kubur, itu semua gak ad contohnya dari rasulullah saw, maupun 3 generasi setelahnya , khulafaur rasyidn ,tabi’in maupun tabi’ut tabiin , jd itu hanya sebuah tradisi orang2 setelah mereka , yang jahil akan ajaran murni ahlu sunnah wal jamaah ,saya setuju dengan anda yg mengatakan maulid bukan dr nabi atau 3 generasi setelahnya , salahudin al ayubi sendiri pun tidak melakukan maulid, orang yg melakukan maulid pertama kali adlah orang yg mengaku dirinya generasi ke3 bani fatimiyah , beritiba’lah kepada rasul , saya tidah membenci habaib atau ulama atau kalian yg bermazhab mazhab karna saya tidak bermazhab kepada 4 iman kepada 4 imam karna kita bersaudara semuslim saya hanya bermadzhab kepada rasul qur’an dan hadist2 yg telah datang derajat keshahihan,yg bermanhaj salaf , bersandar kepada rasul dan ke 3 generasi sesudahnya ,! nya ,bahkan 4 imam sendiri mengatakan , jika ada perkataan ku yg berlainan dengan hadist yg shahih maka itu mazhabku , artinya kita dilarang bermazhab kepada mereka , tetapi bermazhablah hanya kepada rasul saw , karna tidak ada satupun permasalahan atau tidak ada satupun pelajaran bekal didunia dan akhirat , yg belum disampaikan oleh beliau saw, bersikaplah tidak guluw dalam beragama jangan berlebihan , ringkas kata , maulid, yasin ,ngaji kubur, kirim fatihah, dan tahlilan itu akan tertolak , berdasarkan hadist nabi yg mulia , segala sesuatu amalan yg bukan asalnya dariku akan tertolak , dan segala sesuatu yang baru dlm islam bid’ah , bid’ah bid’ah itu sesat tempatnya dineraka ,,
bib…..maju terus pantang mundur
Assalamualaikum wr wb
Menurut saya kalau tidak ada tuntunan dari Rasulullah SAW mengapa harus dicari-cari pembenaran untuk sesuatu perbutan?? Umumnya orang pada acara 7 atau 40 hari selalu memotong kambing atau sapi. Syukur ayah saya berwasiat 6 tahun yang lalu, “apa bila saya meninggal kuburkan saya sebelum waktu zugur tiba (bila meninggak malam/sore), tapa baca Yasin dan tanpa peringatan hari k3-7, ke-40 dst.” Amanat ayah saya telah saya laksanakan.
–> wa’alaikum salam wrwb. Semua orang seharusnyalah punya alasan dalam perbuatannya. Justru di sini dihadirkan alasan terhadap amal perbuatan tahlil, yasin saat peringatan kematian. Bukan mencari-cari .. tapi kalau memang ada dalil yang sesuai syariat di sana, alangkah baiknya kalau ditampilkan. Biar yang mengamalkan makin mantap.
Anda tak membaca Yasin dan tanpa peringatan hari k3-7, ke-40 dst. Itu silakan saja. Orang Eropa juga tak pernah melakukan itu. Ingat .. perkara peringatan terhadap sesuatu itu adalah hal yang mubah. Tak ada larangan. Dan dzikirnya sendiri adalah sunnah. Jadi kenapa pula ada orang yg teriak-teriak ini sesat itu bid’ah, dst.
yasinan dan tahlilan adalah hal-hal baru dalam agama…itu termasuk bid’ah tidak dicontohkan oleh sahabat,tabiin,tabiut tabiin dan ulama salaf..
kalaulah bukan karena pemahaman mereka yang lurus yang menjaga agama ini tetap murni..sudah lama Dien ini hilang yang tinggal hanya namanya saja.. seperti orang nasara,dan yahudi yang sudah melenceng jauh.
Assalaamu’alaikum :
Duh Yatno, dangkal banget pengetahuan elo tentang bid’ah, ente tau nggak, Tuh Al-Qur’an yang ente baca yang ngebukuin siapa …. ? Ada gak perintahnya ….? Ada gak dalilnya …. ? Sampek-sampek Saat Abu Bakar menjadi Khalifah mengatakan “Bagaimana mungkin kami melakukan suatu perkara yang tidak ada perintahnya dari Nabi SAW (Yaitu mengumpulkan ayat al-qur’an jadi satu Kitab)” Hingga Sayyidina Umar menjelaskan bahwa didalamnya ada kebaikan. Dan akhirnya Alloh menjernihkan Abu Bakar, yang kesimpulannya dikumpulkannya Ayat Al-Qur’an menjadi Satu Kitab, hingga kita membacanya sampai sekarang. NAH kalo gak ada Bid’ah Hasanah yang satu ini, mungkin kita gak bisa baca Al-Qur’an sekarang ini. Pertanyaannya apakah Sayyidina Umar dan Abu Bakar menjadi Pelaku Bid’ah, karena berani mengumpulkan Al-Qur’an padahal tidak ada contoh, dan perintahnya dari Nabi SAW…..
Bahkan banyak lagi Hadits2 yang serupa dengan kejadian tersebut. Duh Yatno …..
@suyatno
emang yang nyebarin islam grupnya si wahab ya?, emag sebelum dia para sahabat, tabi’in dan tabi’ina ndak nyebarin islam, hebat sekali anda dan grup anda ngaku2 yang meluruskan dien? emg yang dlu2 seblum abdul wahab dan kawan2 serta bin baz dkk ndak bener semua ndak lurus??
Sampean kok pinter tenan tho….he hem.
yang mengatakan bid’ah pasti ada dasarnya begitupun yang tidak pastinya ada dasarnya pula, sepengetahuan saya apabila dalam Al-Quran maupun Hadist tidak dicontohkan/tidak dilarang maka dengan kesepakatan para ulama apabila itu mendatangkan kebaikan itu tidak berdosa. tapi setahu saya kalau ibadah itu harus ada dalilnya/contohnya.
karena perbuatan tersebut jelas tidak ada tuntunannya dari Rosululloh…
maaf bapak2 ulama, saya mau tanya neh:
1. Bila saya membaca Yasin, tasbih, tahmid, dan takbir, hal itu dosa atau pahala?
2. Bila saya mengundang karib kerabat, tetangga dan rekan2 sesama muslim untuk bersholawat, membaca Yasin, tasbih, tahmid, dan takbir, hal itu dosa atau pahala?
3. Bila orang2 yang datang tersebut saya jamu dengan makanan semampu saya, hal itu dosa atau pahala?
4. Bila mendapat pahala, dan pahala tersebut saya berikan kepada para pendahulu saya, hal itu diterima atau malah berdosa?
5. Anak yang sholih yang dimaksud,apa harus anak kandung?
terima kasih atas jawabannya..
sy jawab ya, klo ada syariahnya berarti itu boleh tapi klo tdk ada berarti tdk boleh krn bid’ah gampang kan!!!
klo sy liat, MR ini terlalu banyak bid’ah yang dilakukan, zikir akbar, adakah syariahnya??
bukankah segala hal yg dilakukan dlm ibadah tanpa syariah adalah bid’ah, dan bid’ah adl sesat dan sesat tempatnya neraka
–> maaf .. apa yang anda maksud dengan syariah? Berdzikir yang sesuai syariah itu yang bagaimanakah? Berdzikir di MR itu syariah manakah yg dilanggar?
banyak ibadah2 yg disebutkan dalam alQuran yang diawali dengan “Ya ayyuhalladzina amanu…”(hai orang-orang beriman), salah satunya adalah berzdikir…
pertanyaannya adalah :
kalimat “hai orang-orang..” tu maknanya satu orang atau banyak?
kalo dzikir bersama itu salah, seharusnya Quran cuma menyebut “hai seseorang..” dong, “hai seseorang yang beriman berdzikirlah kamu…”
ini menurut alQuran lho ya…
dimana salahnya dzikir berjamaah?
Sekiranya mengajak teman untuk yasinan itu juga bid’ah maka itu adalah bid’ah hasanah. namun jika Ily menganggap bahwa itu adlah Bid’ah yg tidak baik maka cara kamu menyampaikan pesan/info/berita/gagasan ke blog ini juga adalah Bid’ah karena Nabi sendiri tdk pernah Online seperti Anda.
untuk ily
kl pra ulama pd nglakuin bid’ah mna mungkin mreka pada jdi aulia ALLAH,orang2 ansor aja pd jaman nabi ngadain maulid,dengn menyambut rosul dngan bcaan tolaal badru alaina,sya hrap pikiran nt terbuka
Ily…
klo semua yg g ada syari’atnya disebut bid’ah dan sesat, berarti naek motor, SMS-an, n nulis di blog tu termasuk ya…?
ah, ada-ada aj… agama tu mudah, g usah dipersulit…
@Wahyu saudaraku pertanyaan anda mustinya ditujukan ke diri anda sendiri:
1.Mana yg Allah sukai, hamba yg memuji-NYA & membaca kalam-NYA atau yg enggan apalagi melarang?
2.Mana yg Allah sukai, hamba yg senang bershalawat seperti Allah & Malaikat-NYA bershalawat kpd Nabi SAW, atau hamba yg enggan bahkan melarang?
3.Mana yg Allah sukai, hamba yg mengundang kerabat dll utk kumpul membaca Al-Qur’an & berdzikir ramai2 seperti yg dilakukan para Malaikat di langit atau yg enggan bahkan melarangnya?…kalo gitu semua Malaikat paling bid’ah dong?
Faktanya yg terjadi dilingkungan sy, meski mayoritas Sunni yg senang tahlil.
1.Suatu kali ada tetangga yg melarang sy utk membaca Yasiin kpd Almarhum ayah sy yg ada disisi sy {blm dikubur} dia blg ayah sy gk suka, pdhl sy plg dkt dgn ayah sy & beliau wkt hidup suka sekali dzikir & tahlil & lucunya saat itu sy tdk meratap, tp tenang membaca, luar biasa, begitu beraninya melarang bahkan anak kandung org lain? dalil apa ini?
2.Ada lagi seorang Ibu {Wahabi lantaran anaknya lulusan US, pdhl tadinya sang anak tdk suka belajar agama, tau2 merasa pintar & melarang orang yg sedang menyebut nama Allah dikala ramadhan di Masjid dgn kata2 “KAMPUNGAN!”} hingga diusir kemudian oleh warga, lantaran org tersebut suka buat onar.
3.Herannya si Ibu yg Wahabi {yg jg getol ceramahin Ibu2 sambil bilang bid’ah ini dan itu} suatu kali bilang saat dia mau ke Makkah utk Ibadah ke ibu2 sambil berucap “do’ain saya ya?”…weleh2 katanya bid’ah tp kalo soal diri sendiri jd gk.
4.Coba deh baca buku yg keluaran Arab Saudi kalo perlu yg terjemahan, disitu biasanya ada kata pengantar dimana sang penulis memuji2 Raja Arab Saudi, aneh memuji2 Rasul SAW aja dibilang bid’ah masa giliran Raja doang jd gk?
5.Berapa banyak gedung bersejarah di Arab dimana dulunya tempat2 mulia yg dimiliki org mulia dimuka bumi ini {Rasulullah SAW} diratain jd WC dll? dgn alasan utk jgn bid’ah dll, giliran Istana sang Raja justru megah bgt coba aja google, wkwkw. {Wahabi penuh kontradiksi, senang melarang entah apa kelak jawaban mereka manakala Allah mempertanyakan kenapa melarang org utk memuji-KU? kenapa melarang org utk bershalawat kpd kekasih-KU?}
Yg enggan silahkan, toh keenganan kalian utk beribadah tdk menambah apa2, tp bagi yg ingin jgn dilarang, toh bkn hak kalian utk melarang org2 utk memuji-NYA & bershalawat kdp Nabi-NYA baik dlm kesendirian ataupun keramaian.
masalahnya, dimana, dan kapan dzikir, memuji Allah, sholawat dan lain sebagainya.. Allah tidak menyukai orang yang suka berlebih2an , mengada2kan…. melampaui batas.. semua ada aturannya.. bertahlil-lah setiap saat.. tiap hari, bukan saat ada kematian saja.. atau upacara2 tertentu saja.. aqidah jangan dipermain2kan.. acara tahlilan itu bukan ajaran Islam… diseluruh dunia, hanya diindonesia saja ada acara kematian.. yang notabenenya adalah turunan dari kepercayaan nusantara dulu… Rasulullah, melarang umat2nya bertasyabuh.. bila menyuruh2 umat Islam pada kebathilan.. tunggu saja adzab Allah.. Para sahabat sepeninggalnya Rasulullah, tidak pernah mengadakan baca2an berkumpul2 ditempat/rumah seseorang, seperti acara tahlilan.. padahal mereka itu /para shahabat Rasulullah adalah hamba2 yang lebih diutamakan Allah Subhanahu Wata’ala dari pada kita ataupun orang teralim atau ulama terngetop sekalipun dijaman sekarang… Rasulullah saja sudah diatur Allah Subhanahu Wata’ala untuk tidak ada satupun yang mengetahui kapan beliau dilahirkan.. karena menghindari dari peringatan hari kelahiran, apalagi kematian.. sadarlah wahai manusia yang suka berlebih2an.. ingat, Rasulullah, melarang melebih2kan sesuatu yang sudah ditetapkanNya.. seperti sholat terus menerus, berdzikir terus menerus hingga melupakan kewajiban dan haknya didunia.. semua sudah diatur seimbang2nya.. Rasusullah juga tidak menyukai pemujian pada beliau yang berlebih2an, karena bisa memfitnah beliau, beliau sangat membenci pengultussan atau mengarah pada pengultus-an, pelan2 kita akan tergiring pada kesyirikkan.. sebagaimana fitnah yang terjadi pada nabi Isa alaihissalam… dan bisa secara tak sadar kita telah melawan/menolak/menentang apa yang menjadi wasiat beliau.. Naudzubillah..
–> ada banyak dalil tentang bagusnya berkumpul dan berdzikir. Kapan saja di mana saja, dan ini tentu saja tidak kemudian terlarang hanya karena saat kematian keluarga/tetangga.
Tahlilan di Indonesia saja.. anda salah. Saya menyaksikan tahlilan ada di berbagai (banyak) negara (tidak hanya Indonesia) dengan cara/tradisinya masing-masing.
Kemudian kata anda,”seperti sholat terus menerus, berdzikir terus menerus hingga melupakan kewajiban dan haknya didunia.. “. Ketahuilah bahwa amal yang paling disukai Allah Ta’ala adalah,
Setuju bahwa jangan sampai melupakan kewajiban dan haknya didunia. Tapi menurut pengalaman.. tidak ada tuhh yang melupakan kewajiban dan haknya di dunia.. hanya gara-gara tahlilan.
Mohon maaf kl tak berkenan.
Kalau kita hanya mempermasalahkan masalah seputar diatas yang pasti setiap orang memiliki argumen yang berbeda-beda berkenaan itu maka saya berpendapat bahwa setiap yang kita lakukan pasti ada balasanya dan itu semua menjadi pembelajaran buat kita. dan rasul pun berkata kalau orang berijtihad dan betul dia akan mendapatkan 2 pahala,dan kalau orang berijtihad dan salah dia akan mendapatkan 1 pahala,jadi yang terpenting marilah kita jalin persaudaraan kita dan jangan memutuskan silaturahmi hanya dengan peremasalahan diatas.
yang sering ngomong anti bid’ah itu adalah orang-orang yang justru munafik. Gak sadar apa, dalil yang mereka punya itu diperoleh dari produk bid’ah. Apa ada pada dalil perintah untuk membukukan hadits? Apa ada dalil yang Rasulullah menuruh bikin kelompok salafushalih? gak ada itu, gak ada. Sudahlah gak usah usil dengan hal-hal yang oleh para ulama telah dikerjakan. Antum itu baca dalil aja dari buku terjemah pake ngaku bukan ahli bid’ah segala.
betul mas..
kalo memang betul anti bidah, seharusnya mereka kemana-mana pake onta atu kuda aja.. soalnya, mobil atau sepedamotor tu ga ada di zaman Nabi..Nabi ga pernah pake motor..ga ada contoh Nabinya
berarti pake motor bidah dong… HAYOOO..
Hebat – kalau jaman Rasuluah SAW dulu ada mobil, pesawat, yahoo, twitter etc pastialh tehnologi itu dipakai.
tapi dzikir2, ziarah kubur waktu itu kan bisa dijalankan, kalau Nabi SAW nggak ngejalanin ya gak usahlah, kayak kurang kegiatan yang udah jelas ibadahnya, kerjakan aja yang dah jelas, bukan yang masih ragu. ISLAM jangan di- ribet2 kan begitu
–> mas.. dugaan anda salah. Nabi saw itu menjalankan ziarah kubur, Nabi saw juga takziah, Nabi saw selalu berdzikir, dan mendoakan saudaranya yang meninggal. Semua kegiatan ini jelas dikerjakan oleh Rasulullah saw, bukan yang masih ragu lagi.
to kalimusodo,
kalo Rasulullah sepemahaman dengan anda, saya yakin Rasulullah ga akan mau memakai mobil, pesawat, yahoo, twitter etc..
padahal nyatanya Rasulullah itu seseorang yg berpandangan luas ke depan, tidak dangkal sebagaimana yg difikirkan oleh anda..
sekalian saja suruh tidur ditanah atau batu mas,,
pake motor urusan dunia bukan ibadah, ngak dilarang ngak dosa. Kalau ibadah harus ada tuntunannya/dalilnya.
ok bib…klo ente emang kekeh banget coba ane mau tau…hadits atu kisah mana yang nunjukin kalo Rasulullah Saw pernah ngelakuin tahlilan, peringatan orang mati, kenduri dll, zikir kenceng2, kirim2 doa buat si mayit…..
coba bib tunjukin kalo bisa… SAYA TUNGGU!!!!!!!!
kalo habib ga bisa nunjukin itu semua berati habib telah ngajak umat ini ke dalam kehancuran…negrusak aqidah dengan mencampuradukkan agama dengan tradisi dan agama dengan budaya, agama dengan kepentingan habib sendiri…biar jadi enterteinar tekenal…ente mau dakwah apa mau jadi artis???
padahal Rasulullah Saw telah bersabda “Barangsiapa yang membuat sesuatu yang baru dalam agama kami ini yang tidak ada darinya maka itu tertolak”
Dalal riwayat Muslim, lafalnya adalah “Siapa yang beramal dengan suatu perbuatan tanpa ada perintah dari kami, maka perbuatan itu tertolak”
Logika aja ya….sunnah Rasulullah itu banyak…ngapain si pake nambah-nambahin segala….emangnya ente siapa??? Nabi aja ga pernah ngelakuinnya kok???
benerin dlu donk tu pemahaman…jangan cuma bisa negeles doank….
Pokoknya saya tunggu buktinya!!!!!
Tunjukin yang bener jangan hanya bisa mentingin diri sendiri tapi mentingin umat juga…..
–> silakan kontak langsung ke sini.
anda tau contoh dari Nabi tu dari mana?
buku? kitab? atau apa?
sekedar info ya : banyak gerak+diam+pernyataan+dll dari Nabi yang tidak tercatat/terekam ma kitab & buku..
andai gerak gerik Beliau yang terekam oleh debu, udara, air, bumi, mata Nabi, kulit Nabi dll itu bisa kita putar ulang, saya kira lebih banyak dibanding dengan yang bisa direkam semua buku atau kitab hadis.
lebih banyak dari hapalan para ulama yang menghapal hadis..
coba anda catat semua kegiatan anda selama 24 jam dalam buku harian, sedetail-detailnya, mulai dari apa yang anda pikirkan, apa yang anda lakukan, apa yang anda bicarakan..
catat semuanya!
bisakah anda membayangkan setebal apa buku harian anda itu merekam anda selama setahun?
kemudian bayangkan 63 tahun kehidupan Nabi!
jangan terlalu gegabah menyebut sesuatu hal baik itu bukan sunnah hanya karena tidak tercantum di kitab Hadis!
anda tidak meyaksikan kehidupan Nabi, bagaimana mungkin anda menyebut “ini bukan sunnah, itu bidah” hanya karena tidak tercantum di kitab Hadis..
cukupkanlah diri kita yang terpisah jarak 1400an tahun dengan beliau ini dengan perkataan orang bijak :
“semua hal yang baik itu dicontohkan oleh Nabi”..
SEMUA HAL BAIK, wahai saudaraku..
baik belum tentu benar..tapi benar sudah pasti baik
tanggapan yg singkat,padat & berisi tapi ga menjawab satupun pertanyaan saya..
kepada wawan
jangan menafsirkan al-qur’an atau hadits dengan akal yang terbatas, tapi rujuklah pada penafsiran mufassirin dan muhadditsin, baik dalam kitab-kitab tafsir maupun kitab-kitab syarah hadits yang mu’tabar, jadi jangan sampai anda menjadi orang yang (istilah kami di aceh) lagee burong jampoek (burung yang ngakunya bisa terbang tapi tak pernah mau terbang-terbang).
to Abu Hafizh,
dengan segala kerendahan hati, saya akui akal saya terbatas, tapi saya masih mending dibanding anda,
saya merujuk kepada kitab asli, sedangkan anda merujuk pada kitab yg diragukan keasliannya, yg sudah berubah isinya..
ngomong2 tentang lagee burong jampoek, anda pun sama saja seperti burung itu,
sibuk membahas/mempelajari/mendebat hal2 semisal “tahlil” dan “Surat Yasin”, tapi anda pasti ga pernah membaca “tahlil” dan “Yasin” itu sendiri.. (koreksi saya jika salah)
pernahkah anda membaca “lailahailallah” atau surat “Yasin”?
kapan?
Mas Wawan saya ingin tambahkan sedikit,
Mas2 kitab diseluruh dunia ini banyak, Firman dlm Qur’an (Bacalah Qur’an mengenai isi dan maknanya Aku yang turunkan) ini adalah perintah Allah SWT. Mau bacanya sendiri, berdua beramai2, undang orang/tidak terserah.
Kebanyakan kita hanya memperhatikan Syareatnya saja, tetapi perlu kita ketahui bahwa Rasululloh SAW itu adalah manusia Spiritual (ROHANI). Beliau sangat mementingkan kebersihan hati dan tidak pernah menghujat siapapun. kenapa kita saling menghujat dan anehnya sesama manusia yg sama2 berdasarkan Kalimat Syahadat. Minta maafnya susah lo…… dan pasti siapa2 yg berbuat satu kesalahan pasti ada balasannya……
Menurut saya ga usah ribut soal bidah atau bukan,
Surat Asy Syura ayat 51.
Dan tidak mungkin bagi seorang manusiapun bahwa Allah berkata-kata dengan dia kecuali dengan perantaraan wahyu atau dibelakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizin-Nya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana.
Ayat ini menjadi alasan bahwa Rasululloh itu adalah manusia spiritual (ROHANI)……
Kalaupun pendapat anda benar, marilah kita buktikan sendiri kebenaran tadi, apakah diri kita semakin dekat dengan Allah atau tidak……. dan ingatlah (“Sesungguh engkau ku utus hanya untuk memberikan kabar saja dan bukan untuk memaksakan kehendak”)…….
wahabi pembodohan umat di akhir jaman >>>>>.
KEPADA WAWAN: Memang benar semua hal baik itu di contohkan oleh ROSULLULLOH SAW,tapi apakah semua hal yang kita anggap baik itu baik pula di sisi ALLAH DAN ROSULNYA?jangankan kita bahkan di kalangan sahabat saja banyak hal-hal yang mereka anggap baik tapi ROSULLULLOH SAW mengingkarinya.misalnya perbuatan sahabat muadz bin zabal yang ketika pulang dari safar kemudian menghadap ROSULLULLOH SAW dan bersujud kepada BELIAU SAW.kemudian BELIAU SAW mengingkarinya dan meluruskannya.bisa disimpulkan juga bahwa hal-hal yang di anggap baik oleh para sahabat ra tapi di ingkari oleh ROSULLULLOH SAW maka kitapun dilarang untuk mengamalkannya,sebaliknya hal-hal apapun yang di kerjakan oleh para sahabat dan direstui oleh ROSULLULLOH SAW,maka itulah sunnah takririyah dan sepatutnya kita amalkan.Tapi kalo kita berinisiatif membuat-buat ibadah sendiri atas dasar apa kita meyakini bahwa itu baik,dengan voting??
Bpk Porselin yang terhormat bisakah juga anda menunjukkan bahwa Rasulullah SAW itu dulunya pernah Online. Nulis pesan dan pendapat di beberapa Blog. Dengan senang hati saya tunggu hadits nya.Terimakasih.
pasti ga ada yang bisa meriwayatkan dakwah nabi secara on line, jelas saat itu belum ada situs, web dll yang berkaitan dengan mesin. ini saya juga lagi pengin tau hadits yang meriwayatkan berkaitan dengan amalan ibadah seputar kematian, selain fardlu ‘ain yg 4 itu. mohon bantuannya, barangkali ada yang menemukan hadits perihal tahlil, kirim pahala bacaan Al-Quran untuk si mayit yang pernah dilakukan Muhammad Sang Utusan Allah. Trim infonya
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Kepada Bapak Porselin yang terhormat… Adab anda terhadap Habib Munzir sungguh tidak mencerminkan Akhlak yang baik….. jangan jangan anda juga tidak beradab kepada Orang tua secara ta’zim. Terlalu sombong anda melakukan itu semua terhadap beliau…. Saya sarankan anda belajar Akhlak kepada para Ulama yang jelas sanadnya sampai kepada Rasululloh SAW dan Ambil salah satu Thoriqoh yang mu’tabaroh. Semoga anda mendapatkan petunjuk pada tingkat Haqqul yakin sehinga anda bisa menemukan Kebenaran tanpa NAFSU yang datangnya dari Sumber Ilmu yaitu ALLOH SWT.
Kepada Almukarom Al Habib Munzir Al Musawa (Mata’anallohu bituli hayatihi) saya mengucapkan terima kasih atas ilmunya yang disampaikan dan teruskan Dzikir Akbar Majelis Rosululloh SAW, semoga memberi manfaat bagi kita semua. Lillahi Billahi Wafillahi.
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi wabarokatuh
sebaiknya orang selalu mengingkari ulama seperti wahabi suruh mendalami al-Quran lihat qur’an surah at-Taubah bagaimana Allah mengangkat para Aulia nya karena ketakwaannya,semwntara wahabi sibuk mencari-cari kesalahan saudara dan merasa paling benar dalam amalan saya yakinmereka tidak punya silsilah mursyid yang sampai kepada nabi.
jangan jadikan pemahaman sebagai aqidah akan tetapi jadikan pemahaman sebagai penguat aqidah.
apakah kalian tahu bahwasannya WAHABI adlah buatan yahudi yang ingin merusak akidah islam menuju kedurhakaan. sebagaimana mereka merusak aqidah nasoroh, karena Wahabi adalah kelompok baru yg awalnya mereka melecengkan ilmu2 serta karya2 guru mereka seperti syech muhammad bin abdul wahab yg di palsukan.
setahu saya kalau ngak salah, wahabi itukan sebagian besar dianut oleh orang arab/arab saudi, tapi bisa ngak ya.. kalau orang arab mengikuti cara – cara ibadah kita? soalnya yang nyebarin pertama agama islam dari arab. Yang benar yang mana kita mengikuti mereka atau mereka mengikuti cara kita?
hihihi … parah.. pak Wawan.. tidak Yaqinkah anda kalau ALLAH yang menjamin akan terjaganya Ilmu untuk hamba2Nya? yaitu jaminan terjaganya AlQur’an dan alHikmah?! tidak perlulah dengan pemahaman manusia yang terbatas, mengatakan, ‘kita tidak mengetahui apa2 yang dilakukan Rasulullah yang tidak tercatat atau terekam.. ? itu sudah terdata dengan sendirinya dan secara ajaib oleh Kebesaran Allah.. akan segera diketahui bila ada yang melenceng2kan atau memalsu2kan hadist.. karena Allah Maha Genius.. ! tidak ada yang lewat dari teladan Rasulullah sebagai jalan keluar pemecah segala masalah/urusan manusia dari dulu sampai kiamat… karena Allah sudah mengaturnya sedemikian rupa.. ck ck ck.. astaghfirullah…
Astaghfirulllah al adzhim berarti anda merasa pemahaman anda adalah yang paling benar donk. merasa paling benar = merasa paling suci dan mulia = muncul sifat takabur =………………. (jabarin sendiri).
Assalamu’alaikum.wr.wb.
AL-HAMDULILLAH, banyak ilmu yang saya dapatkan dari Habib, semoga habib diberikan Umur panjang dalam memperjuangkan Agama Islam,diberikan kesehatan,dan kekuatan untuk membina ummat ke jalan yang bener.Amiin
ass wr wb
Doakan saya habib, selamat lahir batin, dunia-akhirat………..
Saya awam, dan di Bogor dulu cuma tukang sapu di pesantren, namun hati saya selalu berusaha mencintai ahlul sunnah wal jamaah yang punya sanad, khususon para habaib yang arif dan alim.
Menurut saya, wahabi mirib dengan khawarij, yang mengajak para pemuda yang mempelajari agama tanpa sanad, kemudian menghantamkannya kepada ahlinya. Maksudnya memperbaiki agama, tapi pada prakteknya akan menghancurkan agama.
Sudah jelas Al Qur’an menyatakan, andai samudera dijadikan tinta untuk menuliskan Kalimat Tuhan (tentang halal, haram, sunnah, makruh, wajib, mubah, dsb) pasti akan kering sebelum semuanya tertulis, walau ditambah satu samudera lagi.
Pengalaman saya di kampung yang gotong royongnya masih tinggi; pada saat ada kematian: sanak saudara, kerabat dan handai tolan, secara spontan datang ke rumah duka dengan membawa uang, bahan dan tenaga. Lalu saudara terdekat jadi koordinator, sehingga terbentuklah semacam “DAPUR UMUM”. Sehingga baik bahan maupun tenaga, bukan berasal dari tuan rumah yang tertimpa musibah.
Tugas kita untuk mengembalikan gotong royong dan keihklasan umat, bukan malah menuruni kemauan wahabi untuk membuyarkan tahlil.
Membuyarkan tahlil mungkin sepele, tapi dampak dari fatwa haram wahabi terhadap Islam dan sejarah Islam di Indonesia adalah penghancuran total.
Nabiku, Nabiyyil Ummiyyi, sehingga tidak sopan kalau hitam di atas putih, tulisan, dijadikan puncak kebenaran. Saya tidak mau tragedi terulang lagi, khawarij, yang hafal Qur’an tanpa sanad, mendebat Babul Ilmi, Sayyidina Ali. Di Indonesia, seorang Habib, ahlul ilmi, ahlus sanad dan ahlul bait, dicerca oleh pemuda Indonesia yang membaca tulisan-tulisan wahabi. Astaghfirullaahal adhiem…
Mas Yayok Haryanto yang dimuliakan Allah
Pernyataan anda telah membuat saya rindu dan merasa dekat dgn anda
jika Hati nurani berbicara disitulah kita melihat kebenaran, inilah namanya persaudaraan dan kebersamaan…………….. saya justru merasa khawatir jika masalah berkumpul/mengumpulkan orang saja sudah dilarang, pasti negara ini tdk akan mempunyai kekuatan persaudaraan…….
Kebanyakan hanya membahas soal syareat nabi dengan buku/kitab saja, padahal buku berceceran diseluruh dunia mungkin yg satu baca yg A yg lainnya baca B.hal ini tdk akan ada titik temu,
Cobalah kita mulai memahami dengan melakukan kebaikan2 yg Ikhlas. Dan mulailah dari merasa rendah, bodoh dan kecil dihadapan Allah SWT lakukanlah semuanya dgn Ikhlas. Insya Allah jika salah Dia akan menunjuki kita kebenaran dan jika benar Allah akan menambahkannya untuk kita..Kutipan AlQuran : (Bacalah Quran mengenai isi/maksud dan maknanya AKU yang turunkan). Amin
iya siih… berkumpul dan bersatunya ummah itu adalah hal yang sangat ditunggu2 dan selalu dirindukan… tapi dalam hal apa..?? bila yang terjadi seperti demikian, yang memberikan makanan dan minuman juga jamuan buat tamu itu dari tetangga2 sekeliling… ya memang itulah yang di suruh oleh Rasulullah.. tetangga2 yang menyediakan makanan, paling tidaknya 3 hari.. untuk menghibur, dan memudahkan kesusahan yang ditinggalkan,.. tapi kenyataannya, keluarga saya sendiri, yang belum bisa saya bukakan fikiran mereka.. mereka mengada2kan uang, dan sampai mengharuskan untuk urunan semua anggota anak2 sang almarhum untuk terus menyumbang dgn jumlah yang ditentukan, agar berlangsungnya acara tersebut… sedangkan masih ada anggota keluarga yang ditimpa kesusahan biaya hidup.. 🙁 untuk makanan, bingkisan ibu2 majlis tahlil, dan nyetak buku, dan terus dilakukan setiap hari2 yang ditentukan, sampai ribuan hari sekarang ini.. sampai menjadi suatu keharusan, bila sudah waktunya tiba haulan, menjadi hal yang besar, dan mengalahkan kebutuhan2 lain yang lebih penting buat kelangsungan hidup.. apakah yang membuat kita menjadi seperti ini?.. karena pemahaman yang salah, kalau tidak ditahlili akan membuat menderita sang ahli kubur.. dan malu sama ibu2 pengajia.. dan bila bingkisan kurang bagus,.. maka ibu2 pengajian agak malas… malah yang datang makin banyak karena bingkisan yang lalu lumayan bagus, lalu sang pengada acara menjadi terbebani dan mengeluh pada kita2, dikarenakan biaya menjadi bertambah karena bertambahnya peserta.. nah disitu sudah menjadi ajang aji mumpung, dan ke tidak tulusan.. bagi saya yang bukan datang dari Allah dan RasulNya, membawa lebih banyak mudhorot dari pada manfaatnya… karena banyak yang kefikiran bila tidak sanggup tahlillan… dari malam ke malam.. demi Allah itulah yang terjadi disini, sekitarnya dan kebanyakan..
Dasar dan landasan syariat adalah memberikan kemudahan dan menghilangkan kesusahan dari hamba-hamba. Dalilnya firman Allah subhanahu wa ta’ala :
“Allah tidak menghendaki membuat kesusahan kepada kalian.” (Qs. Al-Maidah: 6)
“Sesungguhnya Allah tidak butuh kepada penyiksaan orang ini terhadap dirinya.”(Riwayat Muslim (3/1263) no. 1642)
“Tidak benar mendekatkan diri (kepada Allah) dengan perkara-perkara yang menyusahkan. Karena seluruh pendekatan diri kepada Allah adalah pengagungan terhadap-Nya, sedangkan perkara-perkara yang menyusahkan itu bukanlah suatu pengagungan atau penghormatan.”(Qawa’idul Ahkam fii Mashalihul Anam (1/30))
–> saya setuju dengan anda dalam hal tidak menyusahkan keluarga. Namun keutamaan tahlilan secara umum sebagai mana di artikel, tidak terhapus hanya karena kasus seperti di keluarga anda.
Anda tak bisa mengharamkannya secara mutlak hanya karena kasus di rumah anda. Perbaiki dulu yg terjadi di keluarga anda, bukan mengharamkannya ke yg lain-lain.
Mengharamkan hal yg halal adalah bid’ah itu sendiri.
untuk Mr. Porselin, semoga antum masih diberikan penglihatan yang jelas. kan, di atas habib dah secara jelas mencantumkan haditsnya, bukan sekedar terjemahnya. Atau antum gak bisa baca arab, ya. Kalau gak bisa ko petantang-petenteng kaya gitu. Antum sendiri coba tulis dalil yang mengharamkan tahlilan, dzikir, atau seperti yang antum katakan haram itu. Mr. Porselin, antum baca Quran dan Terjemah dalam huruf latin, ya…antum tau, gak itu bid’ah? Kalau gak bisa baca tulis arab jangan sok ngomong2 bid’ah deh…nanti antum susah sendiri.
kata orang kafir=
kita pede klo di agama kita bebas mengubah2 agama, apa bedanya dengan islam umatnya juga buat yang aneh aneh,…
oke kita sama2 ….
kami punya dalil, wahabi pun (katanya) punya dalil;
kami punya sanad, (mudah2an) para wahabi pun punya sanad;
kalo kami mengerjakan sesuatu yang menurut ilmu kami adalah sunnah, PLIS DONG HORMATI kami, JANGAN MENGGRECOKI kami;
toh kami ga pernah mengganggu kerjaan kalian, ga pernah mem-“bid’ah/kafir”-kan kalian
saling hormat aja kok susah amat sih..
setelah kita mati nanti kan masih ada tahap “PEMBUKTIAN”, kok sepertinya kalian para wahabi itu ga mempercayai tahap ini..
masalah “nyampe ato ngga” kan nanti bisa dibuktikan kalo kita udah mati..
masalah siapa benar siapa salah kan masih bisa dibuktikan di “HARI PENGADILAN” kelak..
nanti kan ketauan juga..
mau pembuktian lebih akurat? silahkan mati aja! saya jamin para wahabi ini akan bisa membuktikan “sampe ato ngga” dan masalah lain2 yang mereka ribut kan.. SAYA JAMIN!
umur hidup yang sebentar ini kok diisi dengan mancaci maki orang?
kok diisi dengan me-bidah/kafir-kan saudaranya sendiri sih?
kok diisi dengan “memaksakan” pemahaman dan dalil2 kepada saudaranya yang sebenarnya juga punya pijakan yang kuat..
kok seperti anak kecil yang cuma bisa main kelereng (ga bisa main selain kelereng) tapi malah koar2 dan teriak2 “main layang2 jelek”, “main petak umpet jelek”, “main lari2an ga baik” dll..
kok ngabis2in tenaga buat ngisi hati dengan kebencian ma sodara sendiri sih?
Kok seperti komentator, sok sok an memvonis “pemain bola terkenal A seharusnya gini2 mainnya”,”si pemain hebat B itu kok nendangnya gitu”, padahal kalo dia sendiri di kasi bola pasti ga bisa nendang, coba anda perhatikan!
kok sombong sekali memvonis “salawat yang begituan salah”,
“zikir yang begituan salah”, “ngumpul2 begituan salah”.. wah wah wah… hebat sekali! saya jamin orang2 beginian tu ga pernah sekalipun baca salawat.. mau bukti?
pasangin aja di bajunya penyadap atau perekam digital, pasti terbukti…
mending tenaganya dipake buat da’wah ke pedalaman papua kek, ke pedalaman kalimantan kek, mending berpacu dengan misionaris biar ga kalah da’wah di pedalaman2 sana.. kan ada juga gunanya..
asal tau aja ya, di pedalaman kalimantan yang ga terjangkau ma jalan/motor/internet/sinyal HP itu sudah ada gereja megah berdiri.. ga percaya? cek aja sendiri! hayo berani ga?
orang kumpul2 di diskotik ko ga ribut?
tetangga sebelah ngumpul2 parti2 narkoba tenang2 aja?!
anak sendiri tawuran santai2 aja?!!
anak sendiri buka aurat masih bisa santai2???
oarng2 main judi di facebook ga di apa2in???!!!
tapi kalo orang kumpul2 baca salawat/tahlilan kok ributnya setengah mati????
ADA APAKAH GERANGAN???
INI SENTIMEN ATAU APA SIH??
KOK RESE BANGET MA KERJAAN ORANG??
hari ini kerjaan agama sodaranya sendiri yang dikomentrai/dikafirkan/dibid’ah kan, besok jangan2 bentuk muka/potongan rambut sodaranya yang disalah2kan…
jangan2 besok mungkin cara jalan sodaranya yang dikomentarin..
jangan2 besok2 tu sodaranya mau maem sayur apa harus konsultasi ma dia dulu…
KOK JADI KAYA “IBU2 YANG SENANG MENGGOSIP YA????
tiap hari ada aja yang dikomentari..
mau ngomentari saya? email aja ke email saya “pake_aza@yahoo.com”
SAlut Pak atas jawaban Anda.
Mudah-mudahan Allah senantiasa memberikan kita sifat tawadhu didalam lubuk hati kita masing-masing.
saya awam…. nahwu .. Shorof…. juga belum bener
Semoga Alloh memberikan umur yang panjang kepada Habib agar dapat meneruskan da’wah untuk umat dan saya mohon do’a dari Habib agar saya selalu diberi kekuatan dalam menjalani hidup, do’akan saya sukses agar saya dapat memberangkatkan kedua orang tua saya berangkat Haji dan membelanjakan harta saya untuk kepentingan agama Alloh. saya juga ingin sekali memiliki pesantren dan saat ini saya mengajar pada salah satu pesantren yang kenyataannya beda dengan saya mereka tidak yasinan, tidak tahlil, tidak qunut, terawih kami beda namun mereka tidak saling meyalahkan, semoga ini menjadi satu pelajaran agar umat islam di Indionesia dapat bersatu sehingga serangan2 dari luar islam dapat terkalahkan.
“Saudaraku Wahabi itu dimana2 selalu menyalahkan dan merasa paling benar” semua orang sudah tau ini. saudaraku wahabi monggo ibadah menurut keyakinan anda .. dan kami ibadah menurut keyakinan kami….. jangan menyalahkan kami karna kami punya dasar. Da’wah anda melalui blog sangat gencar dan selalu menyalahkan kami tapi sayang umat sudah tau kelakuan wahabi yang selalu menyalahkan sehingga umat tidak simpatik terhadap wahabi.
Mas Wawan :
Semoga anda selalu mendapat keberhanNYA,
Mari kawan2 kita sama2 bertaubat kepada Allah SWT semoga kita selalu ditunjuki jalan yg lurus…… Amin
oke mas wawan ga mungkinkan gara gara memperingati maulid,tahlilan,dan sholawatan, pake qunut dan ga pake, tarawih 11 atau 23 kita masuk neraka masak disamain dengan orang yang suka mabuk, judi, mencuri dan maksiat lainnya ya… kayaknya ga logis gitu loh….!!!!
Semoga dan Ridho Allah selalu tercurah kepada Habib Mundzir yg kita cintai. buat porselen sintetis cuma ini yg bisa ku katakan: salah itu manusiawi. orang yang mempertahankan kesalahan itu sama dengan dengan setan. sudah dikasih tau gak mau tau tau itulah orang yang buta mata hatinya. wahabi memamng penebar fitnah. bagaikan telur yang busuk diluarnya seakan-akan putih padahal didalamnya bangkai.
assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh waridhwanuh
tolong kepada yg mengaku “ahlu sunnah” atau siapapun yg masih merasa Islam. bertutur katalah yg manis terlebih kepada ahlul bait. sedih Beliau Rasulullah saw apabila melihat keluarganya dicaci. nau’dzubillah min dzalik.
wassalamu’alaikum warahmatullah wabarokatuh waridhwanuh
akrommakum inthellahi ath qokuum bukan keturunanya keturunan/nasab tidak berarti apa2 bila dia menyimpang habaib mayoritas pendusta
–> mulutmu harimaumu. klaim anda ini dusta. Jika anda tak mampu membuktikannya, alangkah sengsaranya besok anda di akhirat. Semua keturunan baginda Nabi saw dari zaman awal sampai menjelang kiamat nanti akan menuntut pertanggung jawaban atas kata-kata anda ini.
habaib mayoritas pendusta
Apakah ada bukti tentang hal ini ? dan apakah orang yang bukan habib tidak berarti banyak yang dusta juga …….
Apakah Anda sudah banyak bergaul dengan habaib dan kemudian mereka berdusta kepada Anda ? sehingga Anda mengatakan habaib mayoritas pendusta ? Subhanalloh……
ini diskusi agama atau majelis saling menghina dan caci maki ya
Assalaamu alikum
Mas bagaiman dengan Fatwa ulama jombang yang pernah saya baca di http://www.mail-archive.com/media-dakwah@yahoogroups.com/msg08590.html
–> ada di blog ini juga. Silakan cari..
Assalam wr wb
beda pendapat itu ga semestinya membuat kita bingung.
dalam agama kita begitu banyak pendapat2,
para ulama satu mazhab aja bisa berbeda pendapat, cendekiawan2 dalam sebuah organisasi kadang berbeda pendapat, sesama pemuka Muhammadiyah bisa berbeda pandangan, sesama kiayi NU pun sering berbeda pendapat, bahkan kiayi2 lulusan pesantren yang samapun kerap berbeda pendapat..
kita ga perlu bingung, apalagi sampe mencela/mengkafirkan/ membidahkan sodara kita yang berbeda pendapat dengan kita..
yang perlu diperhatikan adalah : “menjadi apapun kita atau mengikuti pendapat siapapun kita atau penganut ormas manapun kita”, sebaiknya kita mengetahui dasar/dalil apa yg kita anut, sebaiknya dasar/dalil itu mempunyai sanad ilmu+amal yang bersambung ke Nabi SAW..
dan yang tak kalah pentingnya adalah tetap membuka pikiran dan logika kita agar tidak terjebak pada pemikiran yang sempit/dangkal/texbook..
menurut hemat saya, seseorang yang udah punya dasar/dalil yang bisa dipertanggungjawabkan itu ga perlu dipaksa untuk ikut pendapat/dasar/dalil kita dong..
pengkafiran/pembid’ahan sebenarnya ga perlu terjadi kalo kita bisa sedikit aja menghormati pendapat sodara kita (tentunya yang punya dasar/dalil yang bsa dipertanggungjawabkan)
wassalam
ini pernah dibuktikan ternyata ada pemalsuan..
Aku lama mondok di Jombang,nama-nama ulama itu tidak ada,ini bentuk kebohongan publik dari para abdul wahab…..Nama-nama ulama itu semua fiktif…
–> sudah dibahas tuntas di blog ini juga mas. Itu fiktif dan fitnah. Pembuatnya ahli bid’ah yang sesungguhnya. Cari dari pojok kanan atas.
assalaamu ‘alaikum wr.wb seandainya terjadi perang antara ahlul bait.ra dengn para musuhnya(pencela,pemfitnah,pembid’ah,wahabi atau apapun bentuknya) ,maka saya akan membela para kasih sayang rasulullah itu sampai darah penghabisan.sholawat serta salaam baginda rosulullah s.a.w dan para keluarganya dan para sahabatnya.saya mohon doa nya wahai habibana.wassalaamu ‘alaikum..wr.wb
sikap anda terhadap sesama muslim menunjuk sikap anda seperti golongan khawarij,.. andapun seperti pemimpin anda lebih senang bermesraan dgn israel dan mendukungnya..
Ane ada di fihak BABAH CONG
Bagi siapa yang pernah mencermati biografi Syaikh Abdullah bin abdul wahhab cukuplah bukti bahwa beliau sangat mencintai ahlul bait,beliau menamakan enam dari tujuh anaknya dengan nama para Ahlul bait yang mulia
Ali,abdullah,husain,hasan,ibrahim,dan fatimah
Alhamdulillah itu benar…
ass.wr.wb.salam kenal untuk habib. ana minta doa dan ijazahnya dari habib. ana termasuk pemerhati temen2 yang berkecimpung di kalangan wahabi/salafy. dakwah mereka mengatasnamakan ahlisunnah wal jamaah. dengan modal kuliah di madinah bergelar Lc. (tidak semua Lc). dakwah mereka provokatif dan merasa yang paling nyunah dibanding dengan kelompok lainnya. mereka sngat membenci ulama-ulama di NU dan Habaib. karena dianggap sebagai penyeru bidah.padahal mereka (NU dan habaib) adalah orang-orang yang gigih berdakwah menumpas segala bidah di bumi indonesia ini. ini tentunya karena konsep bidah ala wahabi/salafy berbeda dengan konsep bidah ala ahlisunnah sesungguhnya. kita doakan semoga mereka mendapatkan hidayah untuk kembali kepada pemahaman ulama yang hanif dan memiliki sanad yang muttasil. amin.minta ijin copypaste artikelnya. wassalam.
amin..
Mudah mudahan saya keliru..
kami orang yang awam ini melihat realita…mereka mengaku ulama sunnah tapi realitanya jauh api dari panggang kebanyakan ulama ulama NU jarang ada yg menampakkan ciri-ciri keislammanya .. Contoh berjenggot tebal,celana di atas mata kaki,tidak merokok..dll mereka banyak yang mengatakan itu hanya kulit, yg penting ilmumnya.. seorang ulama haruslah menjadi contoh ummat, baik itu yg wajib maupun sunnah..
berikut ini ..Gus dur,hasyim muzadi,gus sholeh,…dan banyal lagi
maaf ini hanya sebagai perbandingan awam saja..
–> mas .. saya bukannya membela ulama yg anda remehkan. Namun anda harus dapat membedakan antara yang sunnah dan yang wajib. antara yang penting dan yang lebih penting. Kalau sekedar tampilan lahiriah saja yang dinilai .. anda pasti tertipu oleh orang-orang macam Snock Horgronje. Snock itu .. bahkan tampak lebih islami dari orang islam (dan ulama) manapun.
sampeyan ga perlu bingung, nanti buktikan saja hari kiamat, siapa yg jalannya bener siapa yg salah..
gampang kan..
ga perlu susah2 mencela orang lain yg berbeda pendapatnya
Mas Wawan,
Seorang panutan ummat haruslah memberi contoh mulai dari hal yang besar2 sampai yg kecil2/atau yg di anggap rermeh oleh orang awam.. bila panutan Ummat tidak meneladani Rasullullah siapa lagi yg akan membimbing kita,bila pemimpin ummat sudah tidak membela sunnah Nabinya apalagi yang akan kitya harapkan tentulah ummat ini akan lebih tersesat
Assalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh.
Kepada yang terhormat saudara Suyatno Kusno… Kalau saya perhatikan anda ini lebih banyak Buang Kapak nyari Jarum ya…
Wassalamu’alaikum Warohmatullohi Wabarokatuh
http://muslim.or.id/manhaj/mengenal-seluk-beluk-bidah-3.html
–> saya dulu pernah kasih komentar ke sana (web itu) .. kena sensor. Jadi .. maaf .. malas menanggapi.
betul mas admin,
kalo koment kita ga sealiran ama mereka, ga bakal ditayangkan
satu lagi bukti kecurangan WAHABI jika di blog mereka koment kita selalu tidak tampil dasar pengecut
ALLOHUMA SHOLI ALA MUHAMMAD,,,,,,,Cintailah Rosululloh SAW,Keluarganya SAhabat2nya dan PAra Alim ULAMA…
assalamualaikum habib munzir guruku…
saya saat ini sedang galau dalam hati dan pikiran mengenai hakikat,makrifat,dll,yang menjurus pada ketauhidan.
betulkah guruku,untuk meraih itu semua saya harus tahu sholat daim dulu?bagaimana tatacaranya?.
saya pernah memasuki satu tariqoh dan memperkenalkan sholat daim pada saya,namun akhirnya saya tinggalkan krn menurut femahaman sy yg masih dangkal tarriqoh tsb bertentangan dengan syariah.
entah sy jadi sangat bingung,yg saya tahu saat ini saya sangat merindukan sekali Allah,tapi sya bukan ahli ibadah..entah kadang sy sendiri merasa sya org yg kacau.tolong guruku saya sendiri
kadang tak tahu apa yg hendak saya sampaikan benar atau salahnya
apa yg sy terima sampai saat ini mengenai pemahaman tentang tauhid. terimaksh sebelumnya habib guruku atas keikhlasannya menjawab pertanyaanku yg kacau ini,wassalam
–> wa’alaikum salam wrwb. maaf .. saya bukan habib munzir. Dan saya belum mendengar ada shalat yang namanya shalat daim. Mungkin anda perlu shalat hajat, semoga anda dapat menemukan ulama/alim yang tepat untuk membimbing anda. Kami turut mendoakan. amien.
Assalamualaikum..
Saya sepakat pada ustad munzir bahwa pahala Mendoakan,mengirim bacaan Alquran,sedekah pahalanya sampai pada mayat,berdasarkan ijma para ulama cuma yang tidak saya sepakati adalah acara tahlilan & yasinan itu sendiri, telah lima tahun saya tinggal di jawa timur dan saya melihat hal2 semacam itu seperti sebuah kewajiban apabila ada warga yg meninggal dan apabila warga yg kaya maka seperti sebuah acara pesta dan apabila dari orang yg tidak mampu kebanyakan mereka memaksakan diri..pertanyaan nya kalaulah iya sunnah hasanah kenapa tidak ada contoh dari ulama ulama imam mahzab bahwa mereka mengerjakan tahlilan atau yasinan, paling tidak ini adalah hal2 yang diperselisihkan.. dan meninggalkannya adalah lebih selamat dari mengerjakannya Alhamdulilah dengan mantap hati saya sudah meninggalkannya
jazakallahu khair ustad manzir
kalo sudah jadi tradisi, kadang2 bisa saja terjadi “kelupaan” pada konsep awalnya..
kelupaan inilah yg perlu diingatkan kembali..
kelupaan ini yg bikin orang yg ngaku NU dkk ga tau dalil/dasar dari tahlilan,
begitu ditanya apa dasarnya, mereka ga bisa jawab..
salah satu dampaknya yaitu tadi, “mewajibkan” tahlilan, sampe2 berhutang supaya bisa tahlilan padahal ga ada biaya, malu ga ngadain tahlilan dll..
nah mengingatkan dalil/dasarnya inilah yg perlu dilakukan, supaya orang NU dkk tidak melakukan amalan tanpa tau dasar/dalil..
Apa yang difatwakan oleh Imam asy-Syafi’i dengan kejadian dilapangan tidak sinkron dan permasalahannya pun tidak tidak sesederhana yang kita bayangkan,misal banyak yang tahlilan dengan menyertakan (didalam acara tersebut)seperti,menyertakan Telur,kopi pahit,kopi manis,susu yang masing-masing setengah gelas kecil dengan alasan untuk membantu arwah supaya tidak keleleran-yang lebih amannya, hilangkan kebiasaan tahlilan yang diselewengkan pengertiann/praktekya,gunakan dana untuk tahlilan untuk menyantuni anak yatim-bangun acara tahilan dikeluarga dengan membaca/menghatamkan Al Qur’an dan niatkan GANJARAN nya untuk Orang Tua/Keluarga,atau untuk siapapun yang kita kehendaki,rasanya ini akan lebih afdhol ketimbang rame-rame tapi menimbulkan gerutuan dari tetangga karena cuma kebagian ceker ayam,terimakasih,wassalam.
–> saya belum pernah menjumpai yang seperti itu. Dan seandainya (sekali lagi seandainya) benar .. maka dzikir tahlil tidak menjadi haram hanya karena hal itu. Justru dengan dakwah melalui dzikir (tahlilan) ini hal-hal yg semacam itu dapat dicegah. Peran anda di sana dibutuhkan.
masa sih, cuma karena segelintir orang niatnya ga bener, tahlilannya jadi ikut2an digusur..
logika apa ini?
kalo logika seperti ini yg dipake,
mari kita mengobati sakit mata dengan mencabut matanya, marilah kita mengobati sakit dengan membunuh pasiennya, marilah kita menutup total jalan yg dipake ngebut2an..
apakah karena pelaku kriminalnya orang berjanggut, trus kita bisa mencap semua orang berjanggut adalah kriminal?
apakah karena segelintir orang bercelana cingkrang melakukan kejahatan, trus semua yg bercelana cingkrang harus ditangkapi?
apakah karena yg ngebom bali adalah beberapa orang Islam, trus semua orang Islam bisa dicap sebagai pengebom?
apakah karena ada segelintir pelaku tahlil yg niatnya jelek, trus kita bisa menvonis bahwa membaca “Lailahaillallah” itu salah?
hati2lah kalo kita ngeliat orang dari sisi jeleknya karena orang lain itu adalah cerminan dari diri kita sendiri, kalo kita meliat orang lain jahat/jelek melulu boleh jadi sebenarnya kita lah yg jahat/jelek itu..
hmmm.. maksud jahat/jelek di sini sifatnya lho ya..
trus.. saya menggunakan contoh2 di atas jg biar gampang menganaloginya saja, kebetulan contoh yg lewat di otak saya tadi ya itu tadi..
ini terpaksa saya jelaskan karena biasanya para pencela tahlilan ini punya kebiasaan menafsirkan sesuatu secara tekstual (apa adanya teks) dan literal dengan meniadakan arti majazi dan kiasan..
makanya, jangan heran kalo para pencela tahlil ini menganggap Allah punya kaki dan tangan seperti kita..
gara2 menafsirkan “tangan Allah di atas tangan kita..” secara tekstual dan literal dengan meniadakan arti majazi dan kiasan..
maaf kalo ada salah kata2.. maklum namanya juga manusia..
saya udah siap kok kalo dinasehati agar harus lebih banyak belajar tentang Islam lagi..
saya juga udah siap dinasehati : “kalo ilmu agamanya belum sedalam samudra dan setinggi langit ketujuh, mending diem aja deh”..
hehehe..
Kang WAWAN Yth’
gini lho ceritanya :kalo di daerah Bantarjati dan sekitarnya,(pada kebanyakan)kalo menghadiri Tahliln itu,ada aja Ustadz yang salah kaprah- Fatwanya blepotan “Ruh itu akan hadir kalo kita nyediain makanan kesukaannya-TERUS :RUH itu akan marah kalau kita kaga ngadain tahlilan nyampe 7 hari/40 hari/100 hari dst,-yang kasian itu yang punya hajat, sampai ada kasus di KALIBATA perumnas JUAL RUMAH demi arwah, ngutang demi arwah, dan yang diundang ya..ustadz itu lagi-malah nyewain GRUP buat I’TIKAF dikuburan selama kontrak disetujui-/USTADZ nya pengen tahu apa nggak….cari aja yang ada dibelakang toko material arab (jl.Pajajaran)kalau denger fatwanya jadi BINDENG (bingung denger)kalo ditanyain HADIS nya mana, dia jawab “ada” tapi nggak pernah diliatin,FATWA nya PABEULIT tapi banyak pengikutnya,makanya kalo kumpul sama tu orang,saya suka tukang nyeletuk “hati hati banyak RUH kelayapan di belakang pintu”.makasih-eh perlu diketahui”NA’UZUBILLAH ,aku bukan dari kelompok INGKAR SUNAH” apalagi dituduh jadi ANTEK ANTEK ISLAM WAHABI…amit amit deh,wassalam.
mas TheSalt Asin yg kren..
1. sepertinya ga ada yg menyebut anda INGKAR SUNAH ato ANTEK WAHABI tuh (koreksi kalo saya salah dengan bukti2 ya)
dan yg bikin saya bingung lagi adalah sepertinya anda termasuk orang yg “lain pertanyaan lain pula jawabannya”, “ditanya A dijawab B”,
susah mas kalo diskusi tu isinya muter2..
(mudah2an saya salah)
trus..
2. anda ga membaca koment saya, kata per kata ya?
terlepas benar atau tidaknya suatu tindakan, kerjaan segelintir orang tidak bisa mencerminkan kerjaan kelompoknya..
satu orang di kampung anda maling, apakah anda bisa terima dikata2in bahwa orang sekampung (termasuk anda) adalah maling..
ini contoh..
Dengan menyertakan hal hal diatas maka kopi pahit,kue apem,telur dll tergantung daerahnya.. dengan maksud dikirim untuk arwahnya…inilah yg terjadi dirumah orang tua saya.. (Alhamdulillah saat ini sudah tidak lagi) inilah realitanya yg terjadi sudah lebih mendekat kepada syirik
bukan kue apem ato kopi pahitnya yg dikirim mas, tapi pahala ngasih makan orang alias pahala sedekahnya, mas..
ih mas-mas ini gemesin banget..
kita mengamalkan konsep ngirim pahala bisa sampe, klo sampean ikut konsep yg ga sampe ya terserah sampeyan aja, kita ga sewot kok..
mengenai bentuk kiriman pahalanya macem2, mas..
ada yg ngasih pengemis nasi bungkus dgn niat pahalanya buat anggota keluarga yg udah wafat..
ada jg yg ngumpulin org dirumah, disuguhi maem, tanpa tahlil2an..ada jg..
ada jg yg bikin mesjid, niatnyapahalanya buat orang yg udah meninggal.. bisa jg..
sampeyan mau ngasihkan mobil sampeyan ke saya, niatnya pahalanya buat ortu sampeyan juga bisa..
kalo seandainya ada segelintir orang awam yg ga ngerti konsep ini terus mereka jadi seperti “orang syirik” menurut kacamata sampeyan, tentunya bukan konsepnya yg mesti disalahkan, betul ga?
Muhammad Taufik Akbar
24 oktober 2010 23:20
ssalamuailaikum wr.wb
ana cuma mau ijin copy paste atas jawaban habib.supaya menguatkan aqidah orang-orang yang belum teracuni pikiran2 bid’ah,,
thank you,,
walaikumsallam wr.wb
assalamualaikum wr.wb
ana pernah denger bahwa ada hadistnya yang mangatakan:pada waktu itu ada dua kota ana lupa namanya intinya menjelas kan bahwa ada 2 kota rasulullah mendoakan salah satu kota tersebut.masyarakat kota yang satunya(yang tidak di doakan)berkata:kenapa kota kami tidak di doakan ya rasulullah..???rasulullah menjawab:karna suatu saat dikota ini akan muncul dajjal.ciri-cirinya:aku inget cuma klo ga salah ciri-cirinya:dengan mudahnya mengatakan bid’ah,syirik,haram semudah melepas busur panah.demikian yang ana parnah dengar di majelis2 yang di muliakan Allah SWT.
wallahu a’lam
Wassalamualaikum wr.wb
assalamu’alaikum wr wb
biarlah yang mau tahlilan / yasinan
biarkanlah pula yang tidak mau tahllilan / yasinan
kita semua muslim
wassalamu’alaikum wr wn
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh… salam kenal untuk Habib dari Rahmat.. Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Allahumma sholli ‘alaa Sayyidinaa Muhammad
Wa ‘alaa aali sayyidinaa Muhammad
Shalawat dan Salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad saw beserta keluarganya.
Ya Allah, berikanlah taufiq serta hidayah-Mu kepada umat-Mu yang enggan mengikuti ajaran dan Sunnah Rasul-Mu. Bukakanlah semua pintu kebenaran pada umat-umat yang telah menyimpang dari ajaran Rasulullah saw.
Ya Allah, kuatkanlah iman kami, mantapkanlah hati kami pada jalan-Mu, jalan Ahlussunnah wal jama’ah.
Ya Allah, berkahilah bumi kami dengan semakin maraknya Majelis Dzikir, majelis-majelis yang banyak menyeru Nama-Mu dan Rasulullah.
Tak lupa juga hamba berdoa, semoga dakwah Majelis Rasulullah bersama Habib Munzir Almusawa semakin semarak dan banyak, sebagaimana cita-cita beliau yang ingin menjadikan bumi Jakarta menjadi Serambi Madinah, menjadikan pemuda-pemudi Jakarta mengidolakan Rasulullah saw.
assalamu’alaykum wr. wb.
mudah-mudahan kita bukan termasuk golongan yang sesat…
yang salah satu cirinya adalah suka menjelek2an golongan lainnya,,,
coba renungkan dan tanya pada nurani kita…
apakah kita termasuk dalam golongan tersebut,
wassalam…
Mas Gusti,
Mas kami sangat jauh menuduh golongan sesat kok mas, hanya ingin sharing atau nasehat bahwa tahlilan,yasinan itu tidak ada contohnya dari ulama2 terdahulu..ini adalah bagian dari nasehat agar supaya kita tidak melaksanakan suatu ritual agama dengan tidak dapat apa-apa, malah semangkin lama kita semangkin jauh.. padahal agama ini sudah sempurna, hendaklan tidak di tambah2 atau di kurangi..
–> Ada mas .. tahlil, yasin (tahlilan dan yasinan adalah majelis dzikir yang membaca tahlil dan/atau surah yasin) itu ada contohnya dari ulama-ulama terdahulu. Justru amal ini termasuk amal berdzikir yang dipraktekkan secara nyata oleh ulama2 terdahulu yang dicontoh/dipraktekkan oleh umat masa kini. Muara-nya juga dari baginda Nabi saw. Kami tak menambah agama ini. Justru yang melarang2 itu yg hendak menambah/mengurangi agama sekehndak pemahamannya saja.
Masak kalau tak ada contoh … tahu-tahu sekr ada.
Mas Yatno…, kiranya antum bisa baca artikel yang di tulis ma Habib Munzir mengenai Tahlil.
Pada hakikatnya majelis tahlil atau tahlilan adalah hanya nama atau sebutan untuk
sebuah acara di dalam berdzikir dan berdoa atau bermunajat bersama. Yaitu
berkumpulnya sejumlah orang untuk berdoa atau bermunajat kepada Allah SWT
dengan cara membaca kalimat-kalimat thayyibah seperti tahmid, takbir, tahlil, tasbih,
Asma’ul husna, shalawat dan lain-lain.
Maka sangat jelas bahwa majelis tahlil sama dengan majelis dzikir, hanya istilah atau
namanya saja yang berbeda namun hakikatnya sama. (Tahlil artinya adalah lafadh Laa
ilaaha illallah) Lalu bagaimana hukumnya mengadakan acara tahlilan atau dzikir dan
berdoa bersama yang berkaitan dengan acara kematian untuk mendoakan dan
memberikan hadiah pahala kepada orang yang telah meninggal dunia ? Dan apakah
hal itu bermanfaat atau tersampaikan bagi si mayyit ?
Menghadiahkan Fatihah, atau Yaasiin, atau dzikir, Tahlil, atau shadaqah, atau Qadha
puasanya dan lain lain, itu semua sampai kepada Mayyit, dengan Nash yang Jelas
dalam Shahih Muslim hadits no.1149, bahwa “seorang wanita bersedekah untuk
Ibunya yang telah wafat dan diperbolehkan oleh Rasul saw”, dan adapula riwayat
Shahihain Bukhari dan Muslim bahwa “seorang sahabat menghajikan untuk Ibunya
yang telah wafat”, dan Rasulullah SAW pun menghadiahkan Sembelihan Beliau SAW
saat Idul Adha untuk dirinya dan untuk ummatnya, “Wahai Allah terimalah sembelihan
ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad dan dari Ummat Muhammad” (Shahih
Muslim hadits no.1967).
Dan hal ini (pengiriman amal untuk mayyit itu sampai kepada mayyit) merupakan
Jumhur (kesepakatan) Ulama seluruh madzhab dan tak ada yang memungkirinya
apalagi mengharamkannya, dan perselisihan pendapat hanya terdapat pada madzhab
Imam Syafi’i, bila si pembaca tak mengucapkan lafadz : “Kuhadiahkan”, atau wahai
Allah kuhadiahkan sedekah ini, atau dzikir ini, atau ayat ini..”, bila hal ini tidak
disebutkan maka sebagian Ulama Syafi’iy mengatakan pahalanya tak sampai.
Jadi tak satupun ulama ikhtilaf dalam sampai atau tidaknya pengiriman amal untuk
mayiit, tapi berikhtilaf adalah pada Lafadznya. Demikian pula Ibn Taimiyyah yang
menyebutkan 21 hujjah (dua puluh satu dalil) tentang Intifa’ min ‘amalilghair (mendapat
manfaat dari amal selainnya). Mengenai ayat : “DAN TIADALAH BAGI SESEORANG
KECUALI APA YG DIPERBUATNYA, maka Ibn Abbas ra menyatakan bahwa ayat ini
telah mansukh dengan ayat “DAN ORANG ORANG YG BERIMAN YG DIIKUTI
KETURUNAN MEREKA DENGAN KEIMANAN”,
Mengenai hadits yang mengatakan bahwa bila wafat keturunan adam, maka
terputuslah amalnya terkecuali 3 (tiga), shadaqah Jariyah, Ilmu yang bermanfaat, dan
anaknya yang berdoa untuknya, maka orang orang lain yang mengirim amal, dzikir dll
untuknya ini jelas jelas bukanlah amal perbuatan si mayyit, karena Rasulullah SAW
menjelaskan terputusnya amal si mayyit, bukan amal orang lain yang dihadiahkan
untuk si mayyit, dan juga sebagai hujjah bahwa Allah memerintahkan di dalam Al
Qur’an untuk mendoakan orang yang telah wafat : “WAHAI TUHAN KAMI AMPUNILAH
DOSA-DOSA KAMI DAN BAGI SAUDARA-SAUDARA KAMI YG MENDAHULUI KAMI
DALAM KEIMANAN”, (QS Al Hasyr-10).
Mengenai rangkuman tahlilan itu, tak satupun Ulama dan Imam Imam yang
memungkirinya, siapa pula yang memungkiri muslimin berkumpul dan berdzikir?,
hanya syaitan yang tak suka dengan dzikir.
Didalam acara Tahlil itu terdapat ucapan Laa ilaah illallah, tasbih, shalawat, ayat
qur’an, dirangkai sedemikian rupa dalam satu paket dengan tujuan agar semua orang
awam bisa mengikutinya dengan mudah, ini sama saja dengan merangkum Al Qur’an
dalam disket atau CD, lalu ditambah pula bila ingin ayat Fulani, silahkan Klik awal ayat,
bila anda ingin ayat azab, klik a, ayat rahmat klik b, maka ini semua dibuat buat untuk
mempermudah muslimin terutama yang awam. Atau dikumpulkannya hadits Bukhari,
Muslim, dan Kutubussittah, Alqur’an dengan Tafsir Baghawi, Jalalain dan Ilmu
Musthalah, Nahwu dll, dalam sebuah CD atau disket, atau sekumpulan kitab, bila
mereka melarangnya maka mana dalilnya ?,
Munculkan satu dalil yang mengharamkan acara Tahlil?, (acara berkumpulnya
muslimin untuk mendoakan yang wafat) tidak di Al Qur’an, tidak pula di Hadits, tidak
pula di Qaul Sahabat, tidak pula di kalam Imamulmadzahib, hanya mereka saja yang
mengada ada dari kesempitan pemahamannya.
Mengenai 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1000 hari, atau bahkan tiap hari, tak ada dalil
yang melarangnya, itu adalah Bid’ah hasanah yang sudah diperbolehkan oleh
Rasulullah saw, justru kita perlu bertanya, ajaran muslimkah mereka yang melarang
orang mengucapkan Laa ilaaha illallah?, siapa yang alergi dengan suara Laa ilaaha
illallah kalau bukan syaitan dan pengikutnya ?, siapa yang membatasi orang
mengucapkan Laa ilaaha illallah?, muslimkah?, semoga Allah memberi hidayah pada
muslimin, tak ada larangan untuk menyebut Laa ilaaha illallah, tak pula ada larangan
untuk melarang yang berdzikir pada hari ke 40, hari ke 100 atau kapanpun, pelarangan
atas hal ini adalah kemungkaran yang nyata.
Bila hal ini dikatakan merupakan adat orang hindu, maka bagaimana dengan
computer, handphone, mikrofon, dan lainnya yang merupakan adat orang kafir, bahkan
mimbar yang ada di masjid masjid pun adalah adat istiadat gereja, namun selama hal
itu bermanfaat dan tak melanggar syariah maka boleh boleh saja mengikutinya,
sebagaimana Rasul saw meniru adat yahudi yang berpuasa pada hari 10 muharram,
bahwa Rasul saw menemukan orang yahudi puasa dihari 10 muharram karena mereka
tasyakkur atas selamatnya Musa as, dan Rasul saw bersabda : Kami lebih berhak dari
kalian atas Musa as, lalu beliau saw memerintahkan muslimin agar berpuasa pula” (HR
Shahih Bukhari hadits no.3726, 3727).
Sebagaimana pula diriwayatkan bahwa Imam Masjid Quba di zaman Nabi saw, selalu
membaca surat Al Ikhlas pada setiap kali membaca fatihah, maka setelah fatihah maka
ia membaca AL Ikhlas, lalu surat lainnya, dan ia tak mau meninggalkan surat al ikhlas
setiap rakaatnya, ia jadikan Al Ikhlas sama dengan Fatihah hingga selalu
berdampingan disetiap rakaat, maka orang mengadukannya pada Rasul saw, dan ia
ditanya oleh Rasul saw : Mengapa kau melakukan hal itu?, maka ia menjawab : Aku
mencintai surat Al Ikhlas. Maka Rasul saw bersabda : Cintamu pada surat Al ikhlas
akan membuatmu masuk sorga” (Shahih Bukhari).
Maka tentunya orang itu tak melakukan hal tsb dari ajaran Rasul saw, ia membuat
buatnya sendiri karena cintanya pada surat Al Ikhlas, maka Rasul saw tak
melarangnya bahkan memujinya.
Kita bisa melihat bagaimana para Huffadh (Huffadh adalah Jamak dari Al hafidh, yaitu
ahli hadits yang telah hafal 100.000 hadits (seratus ribu) hadits berikut sanad dan
hukum matannya) dan para Imam imam mengirim hadiah pada Rasul saw :
Berkata Imam Alhafidh Al Muhaddits Ali bin Almuwaffiq rahimahullah : “aku 60 kali
melaksanakan haji dengan berjalan kaki, dan kuhadiahkan pahala dari itu 30 haji
untuk Rasulullah saw”.
Berkata Al Imam Alhafidh Al Muhaddits Abul Abbas Muhammad bin Ishaq
Atssaqafiy Assiraaj : “aku mengikuti Ali bin Almuwaffiq, aku lakukan 7X haji yang
pahalanya untuk Rasulullah saw dan aku menyembelih Qurban 12.000 ekor untuk
Rasulullah saw, dan aku khatamkan 12.000 kali khatam Alqur’an untuk Rasulullah
saw, dan kujadikan seluruh amalku untuk Rasulullah saw”.
Ia adalah murid dari Imam Bukhari rahimahullah, dan ia menyimpan 70 ribu
masalah yang dijawab oleh Imam Malik, beliau lahir pada 218 H dan wafat pada
313H
Berkata Al Imam Al Hafidh Abu Ishaq Almuzakkiy, aku mengikuti Abul Abbas dan
aku haji pula 7X untuk rasulullah saw, dan aku mengkhatamkan Alqur’an 700 kali
khatam untuk Rasulullah saw. (Tarikh Baghdad Juz 12 hal 111).
Walillahittaufiq
untuk para komentator yang ada di blog ini, saya lampirkan satu tulisan hasil diskusi dengan ulama dan ustadz di langsa, aceh.
بسم الله الرحمن الرحيم
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah ‘Azza wa Jalla yang telah mengutus hamba-Nya yang mulia, Muhammad saw., sebagai pemberantas kesesatan dan aneka kepercayaan jahiliyah yang kental dengan ‘ashabiyah (fanatisme buta) dan membawa agama Islam sebagai jalan hidup seluruh manusia untuk mencapai kebahagiaan di dunia dan akhirat. Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan atas Rasul-Nya, Muhammad saw., keluarganya, para sahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in, dan para pengikutnya yang tetap setia dan teguh dalam menegakkan sunnahnya yang mulia ini sampai akhir zaman.
Ulasan “Tahlilan: Bid’ah atau Sunnah? (Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)”, yang ada ditangan Anda ini, adalah ulasan singkat mengenai fenomena tahlilan yang hingga hari ini selalu menjadi perselisihan dikalangan umat. Telah kita maklumi bersama, tahlilan merupakan upacara ritual memperingati hari kematian yang biasa dilakukan oleh umumnya masyarakat Muslim di negeri ini. Dari sekian materi bacaannya terdapat kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka acara tersebut biasa dikenal dengan istilah “tahlilan”.
Sebenarnya ulasan ini penulis hadirkan lebih didasari pada upaya untuk mendudukkan persoalan yang sesungguhnya mengenai tahlilan dalam mashadir al-ahkam (landasan hukum yang disepakati, yakni al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.) dan beberapa fatwa ulama mengenai fenomena tahlilan tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menampilkan dalil dan hujjah baik naqly maupun aqly yang argumentatif serta—Insya Allah, dapat dipertanggung-jawabkan, karena semua dalil tersebut penulis ambil dari dua warisan Nabi saw., yakni al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’ ulama mengenai tahlilan itu sendiri.
Adanya perselisihan dalam memandang tahlilan ini lebih diakibatkan oleh pemutarbalikan informasi sehingga masyarakat dengan yakin menganggap bahwa tahlilan merupakan bagian dari Sunnah Nabi saw. Padahal jika ditelusuri asal-usulnya secara seksama dan diteliti dalil yang melandasinya tidaklah demikian. Ini bukan berarti penulis sengaja membuka kemarahan, aib, atau menimbulkan kekacauan dikalangan umat. Sebab, mengungkapkan kebenaran informasi yang sesungguhnya mengenai tahlilan ini selama dalam bingkai amar ma’ruf nahi munkar, Insya Allah ada nilai ubudiyahnya.
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT dalam kitab-Nya (QS. al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata ‘sabar’ dalam bingkai nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw.
Itulah sebabnya, penulis sangat menyadari benar bahwa tidak semua nasehat bisa diterima dengan lapang dada, apalagi terhadap suatu kebiasaan yang telah mendarah daging dalam kehidupan seseorang atau masyarakat. Bisa jadi penolakan itu lebih dikarenakan ketidaktahuan, menutup mata, menutup hati, merasa paling benar dan besar, atau bahkan tidak mau tahu terhadap kebenaran mashadir al-ahkam dan ijma’ ulama, atau bisa jadi juga karena kesombongan.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: ألكبر بطرالحق وغمت الناس
Rasulullah saw., bersabda: “Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan orang lain”. (HR. Muslim dari Ibnu Mas’ud, lihat dalam Shahih Muslim, Kitab al-Iman Bab Tahrimi al-Kibr wa Bayanih, Nomor Hadits 91).
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Qur’an) dan Nabi saw., (as-Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari nomor 7145 dan Shahih Muslim nomor 1840).
Selanjutnya penulis akan sangat berterima kasih dan menerima dengan tangan terbuka sekiranya ada yang melakukan kritikan atas tulisan ini. Tentunya dengan cara yang arif dan dewasa. Bukan dengan cara-cara yang tidak simpatik atau teror yang tidak mendidik. Karena selain sama saja dengan menampakkan (maaf) kebodohan sendiri, juga menjadi bukti nyata dan pengakuan secara tidak langsung atas kebenaran tulisan ini. Dan alangkah tidak terpujinya jika penulis pun terjebak ikut melayani tindakan bodoh dengan cara yang bodoh pula. Sebab, Allah SWT telah mengingatkan:
“Dan menghindarlah kamu dari orang-orang yang bodoh”. (QS. al-A’raf: 199).
Dan juga sebagaimana sabda Nabi saw., yang perlu kita renungkan bersama: “Agama itu nasehat”. (HR. Muslim dari Abu Hurairah, juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Tsauban dan al-Bazzar dari Ibnu Umar. Lihat Jami’ al-Ulum wa al-Hikam yang ditahqiq oleh Wahbah al-Zuhaily). Dan penulis juga mengulas fenomena ini tidak lain sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Hud: 88, yakni:
“Yang aku inginkan hanyalah perbaikan sebatas kemampuanku. Dan tidak ada taufiq bagiku melainkan dengan (pertolongan) dari Allah. Kepada-Nya aku bertawakkal. Dan kepada-Nya jua aku kembali”.
Tingkat kedewasaan dan keterbukaan Anda, pembaca yang terhormat, membuat penulis yakin bahwa Anda bisa menerima tulisan ini dengan jiwa besar, lapang dada, apa adanya, dan mau merenunginya. Dan penulis optimis, Anda bisa menyimak tulisan ini lembar demi lembar dengan seksama, karena boleh jadi di antara Anda, adalah guru penulis, saudara dan sahabat penulis, dan orang-orang yang penulis kenal dengan baik.
Akhirnya, kepada Allah jua kita kembalikan kebenaran, karena Dia-lah Pemilik Kebenaran atas segala sesuatu. Selamat Membaca. Wallahu a’lam bish-shawwab.
TAHLILAN: BID’AH ATAU SUNNAH?
(Membedah Sikap Keberagamaan Umat Islam)
Muqaddimah
Kata tahlilan sebenarnya berasal dari kata tahlil, yang dalam bahasa Arab berarti mengucapkan kalimat Laa ilaaha illallah. Pada acara tahlilan, biasanya dibaca beberapa kalimat dzikir, seperti tasbih, tahmid, dan tahlil. Karena tahlil adalah dzikir yang paling utama, maka pertemuan itu disebut dengan istilah tahlilan.
Acara tahlilan, yakni acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/ruh, merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat Islam di negeri ini. Tentu tatacara dalam penyelenggaraan tahlilan ini berbeda-beda antara satu daerah dengan daerah lainnya, sebagaimana yang penulis amati dari Sabang sampai Jayapura.
Persoalannya, dapatkah orang mati menerima ganjaran pahala atau dosa karena amalan orang yang masih hidup? Dapatkah orang yang masih hidup mengirimkan pahala bacaan al-Qur’an kepada orang yang sudah meninggal (mayit)? Untuk menjawab dan membahas hal ini, penulis mengajak pembaca untuk memperhatikan dan memahami keterangan-keterangan yang penulis paparkan berikut ini.
1. al-Qur’an Surat an-Najm: 39, yakni:
“Dan sesungguhnya manusia tidak akan mendapatkan, melainkan (menurut) apa yang telah ia usahakan”.
2. al-Qur’an Surat an-Naba’: 41, yakni:
•
“Pada hari seseorang akan melihat apa yang telah diusahakan oleh kedua tangannya”.
Masih banyak lagi ayat-ayat yang semakna dengan kedua ayat tersebut, seperti dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah: 48, 185, dan 286; al-Ankabut: 6; al-Isra: 15; Faathiir: 18; ath-Thur: 21, dan lain-lain.
Rasulullah saw., juga bersabda dalam sebuah hadits, yang berbunyi:
إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
“Apabila seorang anak Adam meninggal, putuslah semua amalnya kecuali tiga hal, shadaqah jariyah, ilmunya yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya”. (HR. Muslim dalam Shahih-nya Hadits Nomor 3084; at-Tirmidzi dalam Sunan-nya Hadits Nomor 1298; an-Nasa’i dalam Sunan-nya Hadits Nomor 3591; Abu Daud dalam Sunan-nya Hadits Nomor 2494; dan Imam Ahmad dalam al-Musnad-nya Hadits Nomor 8489).
Dari beberapa ayat dan hadits tersebut, jelas bahwa setiap orang hanya bertanggung jawab atas hasil usahanya sendiri. Tetapi anehnya, banyak perilaku umat Islam yang jauh dari konteks kesucian al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw. Tidak sedikit dari kalangan masyarakat Islam yang tidak menyadari bahwa ada kebiasaan-kebiasaan yang telah menjamur dan melembaga ternyata sangat diragukan kebenarannya.
Salah satunya adalah tahlilan. Jika tahlilan dikatakan bid’ah atau haram, pasti banyak yang akan terkejut, tidak percaya, atau mungkin sampai pada tingkat marah-marah. Dan orang yang mengatakan atau menginformasikan hal tersebut tentu dianggap telah meresahkan masyarakat, atau dicap pembuat onar dalam tatanan masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin kebiasaan yang dilakukan oleh jutaan orang tiba-tiba dikatakan bahwa tahlilan itu bid’ah atau haram? Bagaimana mungkin dikatakan bid’ah atau haram sedangkan banyak ulama, teungku, ustadz, atau orang-orang yang memiliki pengetahuan agama malah mengerjakannya bahkan ikut melestarikannya?
Tapi tahukah Anda, Imam asy-Syafi’i –yang banyak diikuti madzhabnya di negeri ini, memvonis tahlilan itu sebagai perbuatan bid’ah atau haram? Tahukah kita, bahwa Imam an-Nawawi, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalany, al-Hafizh Imam Ibnu Katsir, Imam ar-Ramly, dan masih banyak lagi ulama-ulama Syafi’iyah (madzhab Syafi’i) juga memvonis atau menyatakan bahwa tahlilan itu perbuatan bid’ah atau haram?
Untuk menjelaskan hal ini, penulis mengutip fatwa-fatwa para Ulama tersebut secara apa adanya dari kitab mereka masing-masing.
1. Imam asy-Syafi’i dalam al-Umm, (juz 1/248; dan I/317-318):
وأكره المأتم وهي الجماعة وإن لم يكن لهم بكاء فإن ذ لك يجددالحزن
“Dan aku telah memakruhkan (mengharamkan) kumpul-kumpul, yaitu berkumpul di rumah (mayit) walaupun bukan untuk melakukan ratapan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbarui kesedihan”.
2. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Mughny al-Muhtaj, juz. 1 hal. 268:
وأما إصلاح أهل الميت طعاماوجمع الناس عليه فبدعة غير مستحبة
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpul beramai-ramai di rumah mayit dalam acara tersebut (tahlilan), maka itu adalah bid’ah dan bukan sunnah”.
3. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam I’anah ath-Thalibin sebagai syarah Fathul Mu’in, juz. 2 halaman 146:
وما اعتيدمن جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة مكرو هة كإجتما عهم لذالك لما صح عن جرير قال: كنا نعدا لإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan berupa menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang orang-orang berkumpul di rumah duka adalah bid’ah makruhah, karena terdapat hadits shahih (yang menerangkan hal itu) dari sahabat Jarir ibn Abdullah ra., beliau berkata: “Kami (para sahabat) menganggap bahwa berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga mayit dan menyiapkan makanan adalah (sama) dengan ratapan (niyahah)”. (HR. Ahmad dalam al-Musnad-nya, jilid II, halaman 204. Silahkan baca juga Kitab Tuhfatul Ahwadzi (IV: 67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim).
4. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi, juz. 1 hal. 90:
وأماقراءة القرآن فالمشهور من مذ هب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلىالميت…ودليل الشا فعي وموافقيه قول الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
“Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi…Sedang dalilnya Imam asy-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya, yaitu firman Allah (yang artinya): “Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri”, dan sabda Nabi saw., (yang artinya): “Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah semua amal usahanya kecuali tiga hal, yaitu shadaqah jariyah, ilmu yang dimanfaatkan, dan anak yang shalih (laki-laki/perempuan) yang berdoa untuknya (mayit)”.
5. Imam as-Subki dalam Takmilatul Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz. 10 hal. 426:
وأماقراءةالقرآن وجغل ثوابهاللميت والصلاة عنه ونحوها فذهب الشافعي والجمهورانهالاتلخق الميت وكررذالك في عدةمواضع في شرح مسلم
“Adapun bacaan al-Qur’an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit, dan sebagainya, menurut Imam asy-Syafi’i dan Jumhur Ulama adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi dan keterangan seperti ini telah diulang-ulang oleh Imam an-Nawawi dalam kitabnya Syarah Shahih Muslim”.
6. Imam al-Haitami dalam Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah, juz. 2 halaman 9:
ألميت لا يقرأ عليه مبني على ما أطلقه المتقدمون من أن القراءة لاتصله أي الميت لأن ثوابها للقاري والثواب المرتب على عملل لاينقل عن عا مل ذالك العمل قال الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى
“Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama Mutaqaddimin, bahwa bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak sampai kepadanya. Sebab, pahala bacaan itu adalah untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari yang mengamalkan perbuatan itu, berdasarkan firman Allah (yang artinya): “Dan manusia tidak memperoleh melainkan pahala dari hasil usahanya sendiri (QS. an-Najm: 39,–pen.)”.
7. Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarah al-Muhadzab, juz. 5 halaman 286:
وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيئ وهوبدعة غير مستحبة
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disunnahkan”.
8. Imam al-Qalyuby dalam Hasyiyah al-Qalyuby, juz. 1 halaman 353:
قال شيخناالرملي, ومن البدع المنكرة المكروه فعلها كما في الروضة مايفعله الناس ممايسمى الكفارة. ومن صنع طعاما للإجتماع عليه قبل الموت اوبعده ومن الذبح على القبور
“Guru kita, Imam ar-Ramly telah berkata sesuai dengan apa yang dinyatakan di dalam kitab ar-Raudhah (Imam an-Nawawi), sesuatu yang merupakan bagian dari perbuatan bid’ah munkarah yang tidak disukai mengerjakannya adalah yang biasa dilakukan oleh masyarakat berupa menghidangkan makanan untuk mengumpulkan tetangga, baik sebelum, maupun sesudah hari kematian”.
9. Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj, juz. 1 halaman 577:
ومااعتيد من جعل أهل الميت طعاما ليدعواالناس إليه بدعة منكرة مكروهة لما صح عن جرير بن عبد الله
“Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan daripada penghidangan makanan oleh keluarga mayit dengan tujuan untuk mengundang masyarakat, hukumnya adalah bid’ah munkarah yang makruhah berdasarkan keterangan shahih dari Jarir ibn Abdullah”.
10. Muhammad al-Khathib asy-Syarbiny dalam al-Iqna’ Li asy-Syarbiny, (I/210):
أمااسطناع أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فبدعة غيرمستحبة
“Adapun kebiasaan keluarga mayit menghidangkan makanan dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.
11. Dalam Kitab ar-Raudhah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 145:
وأما اصلاح أهل الميت طعاما وجمعهم الناس عليه فلم ينقل فيه شيئ قال وهوبدعة غير مستحبة
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan pengumpulan masyarakat terhadap acara tersebut tidak ada dalil naqli-nya, bahkan perbuatan tersebut hukumnya bid’ah yang tidak disunnahkan”.
12. Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, jilid IV hal. 335, ketika menafsirkan QS. an-Najm: 38-39, beliau berkata:
أي كما لا يحمل عليه وزرغيره, كذالك لا يحصل من الأجر إلا ما كسب هولنفسه. ومن هذه الأية الكريمة استنبط الشافعي رحمه الله ومن اتبعه.أن القراءة لايصل إهداءثوابها الى الموتى لأنه ليس من عملهم ولا كسبهم. ولهذا لم يندب إليه رسول الله صلى الله عليه وسلم أمته ولاحتهم عليه ولاارشدهم إليه بنص ولا إيماء ولم ينقل ذالك عن احد من الصحابة رضي الله عنهما, ولو كان خيرا لسبقونا إليه…ولا بتصرف فيه بانواع الاقيسة والاراء.
“Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri. Melalui ayat yang mulia ini, Imam asy-Syafi’i dan ulama-ulama yang mengikutinya mengambil hukum bahwa pahala bacaan (al-Qur’an) yang dihadiahkan kepada orang mati tidak dapat sampai kepadanya karena bukan dari amal usahanya sendiri. Oleh karena itu, Rasulullah saw., tidak pernah men-Sunnahkan umatnya dan menganjurkan mereka melakukan perbuatan tersebut, serta tidak pula merujuk kepadanya (menghadiahkan bacaan kepada orang mati) walaupun dengan satu nash (dalil) maupun dengan isyarat. Dan tidak ada seorang Sahabat Rasul pun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau memang perbuatan itu baik, tentu mereka (sahabat) lebih dahulu mengerjakannya. Padahal amalan mendekatkan diri kepada Allah hanya terbatas yang ada nashnya (dalam al-Qur’an dan as-Sunnah) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat”.
13. Imam al-Muzani dalam Hamisy al-Umm, juz. 7 halaman 269:
فأعلم رسول الله صلى الله عليه وسلم, كما اعلم الله من أن جناية…امري عليه كما أن عمله ولا لغيره ولا عليه
“Rasulullah saw., memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah SWT, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri dan bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain”.
14. Imam al-Khazin dalam Tafsir al-Jamal, juz. 4 halaman 236:
والمشهورمن مذهب الشافعي أن قراءة القرآن لايصل للميت ثوابها
“Dan yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, bahwa bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi”.
15. As-Sayyid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy (mengutip keterangan dari Kitab al-Bazzaziyah) dalam I’anah ath-Thalibin, juz. 2 halaman 146:
ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوع ونقل الطعام الىالقبور.
“Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu, dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (peringatan khaul)”.
Demikianlah keterangan ulama-ulama dari kalangan madzhab asy-Syafi’i, yang semuanya menyatakan pengharaman dan menganggap bahwa berkumpul di rumah mayit yang dikenal dengan istilah tahlilan adalah bid’ah munkarah yang makruhah.
Tentu, fatwa ulama-ulama yang dikagumi dan sangat berpengaruh dikalangan Syafi’iyah tersebut semuanya berlandaskan pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw., yakni sebagaimana termaktub dalam QS. an-Najm: 38-39 dan juga keterangan shahih dari Jarir bin Abdullah yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dalam al-Musnad-nya (II/204) dan Ibnu Majah (1/514, no. 1612) dari jalan Ismail bin Abi Khalid dari Qais bin Abi Hazim. Dapat juga diperiksa dalam Tuhfatul Ahwadzi (IV/67) yang ditulis oleh Muhammad Abdurrahman ibn Abdurrahim.
Islam, sebagaimana yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya, Muhammad saw., yang kemudian diteruskan kepada umatnya, adalah agama yang sudah dijamin kesempurnaannya. Hal ini jelas sekali termaktub dalam QS. al-Maidah ayat 3, dimana Allah SWT menyatakan bahwa:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan Aku ridha Islam menjadi agamamu”.
Karenanya, sebagai hamba Allah, tentu dalam beribadah kita tidak boleh mengerjakan sesuatu tanpa ada landasan, karena Islam yang telah Allah ridhai ini adalah Islam yang sempurna, tidak ada yang tertinggal sedikitpun. Bahkan dengan sangat tegas Nabi saw., menyatakan bahwa kita tidak akan tersesat selama-lamanya jika kita berpegang teguh kepada al-Qur’an dan as-Sunnah (HR. Malik dalam al-Muwaththa’, 3/93; juga dalam Tanwirul Hawalik Syarh al-Muwaththa’, oleh as-Suyuthi; dan dalam ar-Riyadhul Jannah, no. 31-33; asy-Syaikh al-Albani berkata: “Sanadnya hasan”.).
Islam adalah al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw., bukan persangkaan atau kira-kira atau menggunakan perasaan. Bagi seorang Muslim, tidak boleh ada perasaan atau ungkapan: Ah, ini kan baik…atau: Apa salahnya kita kerjakan…dan lain-lain ungkapan. Sebab, Allah dan Rasul-Nya telah menegaskan:
•
“Persangkaan itu sedikitpun tidak akan bermanfaat bagi kebenaran”. (al-Qur’an Surat an-Najm: 28).
إياكم والظن, فإن الظن أكذب الحديث
“Jauhilah olehmu sekalian persangkaan, karena persangkaan itu adalah perkataan yang paling dusta”. (HR. Bukhari dari Abdullah bin Yusuf, Imam Muslim dari Yahya bin Yahya, Abu Daud dari al-‘Atabi, juga Imam Malik dari Abu Hurairah, dan lafazh diatas adalah lafazh Imam Malik).
Oleh karena itu, cara yang paling baik dan selamat bagi kita dalam ber-Islam ini adalah dengan mengikuti petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Walaupun kebanyakan manusia berbuat sesuatu dalam ibadah, atau melakukan tatacara dalam ibadah yang tidak berdasar petunjuk Sunnah, kita tetap tidak boleh mengikuti yang demikian. Sebagaimana Allah nyatakan dalam QS. al-A’raf: 3, yakni:
•
“Ikutilah oleh kalian apa yang telah diturunkan kepada kalian dari Rabb kalian. Dan jangan kalian mengikuti pemimpin-pemimpin selain Dia. Sungguh sedikit sekali kamu ingat kepada-Nya”.
Juga sebagaimana sabda Nabi saw:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengerjakan suatu ibadah yang tidak ada dasar (tuntunannya) dari kami, maka ia tertolak”. (HR. Bukhari nomor hadits 2697 dan Muslim nomor hadits 1718, dari ‘Aisyah).
من أرضىالناس بسخط الله وكله الله إلى الناس
“Barangsiapa yang menginginkan keridhaan manusia dengan membuat murka Allah, maka Allah akan menjadikan dia bergantung pada manusia”. (HR. Tirmidzi, Qadha’i, Ibnu Bisyran, dan lain-lain, sebagaimana dishahihkan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani dalam ash-Shahihah Hadits Nomor 2311, juga termaktub dalam Kitab Takhrij al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah).
Lalu, bagaimana dengan madzhab lainnya, seperti Malikiyah, Hanafiyah atau Hanabilah? Apakah dalam ketiga madzhab itu ada tahlilan juga? Untuk menjawabnya, berikut penulis paparkan fatwa-fatwa ulama-ulama dari ketiga madzhab tersebut.
1. Hanafiyah (pendirinya: Imam Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit)
a. Muhammad Amin dalam Hasyiyah Radd al-Mukhtar ‘ala ad-Dar al-Mukhtar, juz. 2 halaman 240:
ويكره اتخاذالضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشروع. وهي بدعة مستقبحة, وروى الإمام أحمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة. وفي البزازية: ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعدا لأسبوع.
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, karena hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah (lihat dalam Sunan Ibnu Majah, juz. 1 hal. 514) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”. Dalam kitab al-Bazzaziyah dinyatakan bahwa makanan yang dihidangkan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya”.
b. Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah, juz. 1 halaman 409:
وتكره الضيا فة من أهل الميت, قال في البزازية ويكره اتخاذالطعام في اليوم الاول والثالث وبعد الاسبوعٍ
“Hidangan dari keluarga mayit hukumnya makruh, dikatakan dalam kitab Al-Bazzaziyah bahwa hidangan makanan yang disajikan pada hari pertama, ketiga, serta seminggu setelah kematian makruh hukumnya”.
c. Ibn Abdul Wahid al-Siewasy dalam Syarh Fath al-Qadir, juz. 2 halaman 142:
ويكره اتخاذالضيافة من الطعام من أهل الميت لأنه شرع في السرور لا في الشروع. وهي بدعة مستقبحة, وروى الإمام احمد وابن ماجه بإسناد صحيح عن جرير بن عبد الله قال: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Dimakruhkan hukumnya menghidangkan makanan oleh keluarga mayit karena hidangan hanya pantas disajikan dalam keadaan bahagia, bukan dalam keadaan musibah, hukumnya bid’ah yang buruk apabila hal tersebut dilaksanakan. Imam Ahmad dan Ibnu Majah (lihat Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514) meriwayatkan sebuah hadits dengan sanad yang shahih dari Jarir ibn Abdullah, beliau berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
2. Malikiyah (pendirinya: Imam Malik bin Anas)
Sebagaimana diterangkan oleh Abu Abdullah al-Maghraby dalam Mawahib Jalil li Syarh Mukhtashar Khalil, juz. 2 halaman 228:
أما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فقد كرهه جماعة وعدوه من البدع لأنه لم ينقل فيه شيئ وليس ذالك موضع الولائم…
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut dimakruhkan oleh mayoritas ulama. Bahkan mereka menganggap perbuatan tersebut sebagai bagian dari bid’ah karena tidak didapatkan keterangan naqly mengenai perbuatan tersebut dan keadaan tersebut tidak pantas untuk dijadikan walimah (pesta)…”.
3. Hanabilah (pendirinya: Imam Ahmad bin Hanbal)
a. Ibnu Qudamah al-Muqaddasy dalam al-Mughny, juz. 2 hal. 215 (cetakan baru yang ditahqiq Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin at-Turki, juz 3 hal. 496-497):
فأما صنع أهل الميت طعاما للناس فمكروه لأنه فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم الى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجاهلية ويروى ان جريرا وفد على عمر فقال: هل يناح على ميتكم؟ قال: لا. قال: وهل يجتمعون ثم أهل الميت ويجعلون الطعام؟ قال: نعم. قال: ذالك النوح وإندعت الحاخة.
“Adapun penghidangan makanan untuk orang-orang yang dilakukan oleh keluarga mayit hukumnya makruh. Karena telah menambah musibah baru kepada keluarga mayit, serta menambah beban, sekaligus telah menyerupai apa yang biasa dilakukan oleh orang-orang jahiliyah. Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, lalu Umar bertanya: “Apakah kalian suka meratapi mayit?” Jawab Jarir: “Tidak”. Umar bertanya: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 halaman 487).
b. Abu Abdullah ibn Muflah al-Muqaddasy dalam al-Furu’ wa Tash-hih al-Furu’, juz. 2 halaman 230-231:
إنما يستحب (صنع طعام) إذاقصدبه أهله. فأما لمن يجتمع عندهم فيكره للمسا عدة على المكروه. يكره صنيع أهل الميت الطعام.
“Sesungguhnya, disunnahkan mengirimkan makanan itu apabila tujuannya untuk keluarga mayit, tetapi apabila makanan tersebut ditujukan bagi orang-orang yang sedang berkumpul disana, maka makruh hukumnya. Karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh, demikian pulan makruh hukumnya apabila makanan tersebut dihidangkan oleh keluarga mayit”.
c. Abu Ishaq bin Maflah al-Hanbaly dalam al-Mabda’ fi Syarah al-Miqna’, juz. 2 halaman 283:
وصنعة الطعام بعد دفنه من النياحة. زاد في المغني والشرح: إلا لحاجة, وقيل يحرم. وإسناده ثقات.
“Menghidangkan makanan setelah proses penguburan merupakan bagian dari niyahah dan sebagian lain mengatakan (berpendapat) haram. Sanad hadits tentang masalah tersebut adalah tsiqat (terpercaya)”.
d. Manshur bin Idris al-Bahuty dalam ar-Raudhah al-Marbi’, juz. 1 halaman 355:
ويكره لهم أي لأهل الميت فعله اي فعل الطعام للناس لما روى أحمد عن جرير.
“Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit untuk menghidangkan makanan kepada para tamu, berdasarkan keterangan riwayat Imam Ahmad dari Jarir”.
e. Syaikhul Islam Imam Ahmad Taqiyuddin Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa Rasa’il wa Fatawa Ibnu Taimiyah fi al-Fiqh, juz. 24 halaman 316:
وأما صنعة أهل الميت طعاما يدعون الناس إليه فهذا غير مشروع وإنما هو بدعة بل قد قال جرير بن عبد الله: كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم اطعام من النياحة.
“Adapun penghidangan makanan yang dilakukan oleh keluarga mayit (dengan tujuan) mengundang manusia ke acara tersebut, maka sesungguhnya perbuatan itu bid’ah, berdasarkan perkataan Jarir ibn Abdullah: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”. (Note: fatwa senada juga dapat disimak dalam Fathurrabbani Tartib al-Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal, 8/95-96, oleh Syaikh Ahmad Abdurrahman al-Banna – pen.).
Berdasarkan beberapa fatwa ulama-ulama dari madzhab lainnya (Malikiyah, Hanafiyah, dan Hanabilah), terungkap dengan jelas adanya kesamaan fatwa mereka mengenai bid’ahnya tahlilan ini seperti halnya fatwa Imam asy-Syafi’i dan para pengikutnya. Para ulama mutaqaddimin tersebut mengeluarkan fatwa-fatwa mereka dengan berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah Rasulullah saw., sebagaimana yang termaktub dalam QS. al-Baqarah: 48, 185, 286; an-Najm: 38-39; an-Naba’: 41; al-Ankabut: 6; al-Israa’: 15 dan lain-lain, juga berlandaskan pada beberapa hadits berikut:
1. Imam Bukhari dalam Shahih-nya (juz. 1 hal. 23); Ibnu Hibban dalam Shahih-nya (juz. 2 hal. 63); Baihaqy dalam Sunan al-Kubra (juz. 3 hal. 18); dan Imam an-Nasa’i dalam al-Mujtaba (juz. 8 hal. 121-122) mengeluarkan hadits:
إن هذا الدين يسر…الخ
“Sesungguhnya agama ini (Islam) mudah”.
2. Yang diterima dari sahabat Jarir ibn Abdullah al-Bajaly, kemudian dikeluarkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad, juz. 2 halaman 204) dan Ibnu Majah (Sunan Ibnu Majah, juz. 1 halaman 514, no. 1612), yaitu:
كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
3. Yang diterima dari Thalhah, kemudian dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah, yaitu:
قدم جرير على عمر فقال: هل يناح قبلكم على الميت؟ قال: لا. قال: فهل تجتمع النساء عندكم على الميت ويطعم الطعام؟ قال: نعم. فقال: تلك النياحة.
Dan diriwayatkan bahwa Jarir mengunjungi Umar, kemudian Umar bertanya: “Apakah kalian suka meratapi mayit?” Jawab Jarir: “Tidak”. Umar bertanya: “Apakah kalian suka berkumpul bersama keluarga mayit yang kemudian menghidangkan makanan?” Jawab Jarir: “Ya”. Berkata Umar: “Hal tersebut termasuk meratapi mayit (niyahah)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
4. Yang diterima dari Sa’id bin Jabir dan dari Khaban (Abu Hilal) al-Bukhtary, kemudian dikeluarkan oleh Abdul al-Razaq. Hadits tersebut dengan lafazh berbeda dikeluarkan pula oleh Ibnu Abi Syaibah melalui perjalanan sanad: Fudhalah ibn Hashien dari Abdul al-Karim dari Sa’id ibn Jabir, yaitu:
من عمل الجاهلية النياحة والطعام على الميت وبيتوتة المراءة ثم اهل الميت ليس منهم.
“Merupakan perbuatan orang-orang jahiliyah: niyahah, hidangan dari keluarga mayit dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit”. (Abdul al-Razaq ash-Shan’ani dalam al-Mashhaf, juz. 3 hal. 550; Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, juz. 2 hal. 487).
Dengan lafazh yang berbeda tetapi maknanya sama, pada hal. 487, Ibnu Abi Syaibah al-Kufy dalam Mashnaf ibn Abi Syaibah, mengeluarkan dua hadits lain, yaitu: “Telah berbicara kepada kami, Waki’ bin al-Jarah dari Soufyan dari Hilal bin Khabab dari Khabab al-Bukhtary, beliau berkata: “Makanan yang dihidangkan keluarga mayit merupakan bagian dari perbuatan jahiliyah, dan niyahah (meratapi mayit) merupakan perbuatan jahiliyah”.
Dan juga hadits berikut: “Telah berbicara kepadaku Yan’aqid bin Isa dari Tsabit dari Qais, beliau berkata: “Saya melihat Umar bin Abdul Aziz melarang keluarga mayit mengadakan perkumpulan, kemudian berkata: “Kalian akan (mendapat) bencana dan akan merugi”.
Lalu, bagaimana dengan ulama-ulama kontemporer (mutaakhirin)? Apakah mereka juga ada membahas persoalan tahlilan ini? Untuk memuaskan keinginan dan dalam rangka menunjukkan kebid’ahan tahlilan, maka berikut ini penulis paparkan fatwa-fatwa ulama kontemporer tersebut dalam uraian berikut ini:
1. Ali Mahfuzh dalam al-Ibda’ fi Madlar al-Ibtida’, halaman 229:
ولايصلح الطعام لمن يجتمع عند أهل الميت بل يكره لأنه إعانة على المكروه وهوالإجتماع عندهم…وكذا يكره فعل أهل الميت ذالك الطعام للناس يجتمعون عندهم.
“Tidak diperbolehkan menghidangkan makanan bagi orang-orang yang sedang berkumpul di rumah keluarga mayit, bahkan hukumnya makruh karena berarti telah membantu terhadap perbuatan makruh, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit…demikian pula keluarga mayit dimakruhkan menghidangkan makanan tersebut kepada orang-orang yang sedang berkumpul tadi”.
2. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan dalam Kitab at-Tauhid, halaman 109-110 menyatakan bahwa kebiasaan berkumpul menunjukkan perasaan al-ma’tam (duka cita), berikut penghidangan makanan dari keluarga mayit merupakan kebiasaan orang kafir yang ditiru oleh umat Islam dan hal tersebut merupakan perbuatan bid’ah.
3. Syaikh Dr. Wahbah al-Zuhaily dalam al-Fiqh al-Islamy wa Adillatuhu, halaman 1578-1579 menulis:
فمكروه وبدعة لا أصل لها. لأن فيه زيادة على مصيبتهم وشغلا لهم إلى شغلهم وتشبها بصنع أهل الجا هلية وإكان في الورثة قاصردون البلوغ فيحرم أعداد الطعام وتقديمه قال:كنا نعد الإجتماع لأهل الميت صنعهم الطعام من النياحة.
“Adapun penghidangan makanan untuk masyarakat yang dilakukan oleh keluarga mayit adalah perbuatan bid’ah yang tidak ada asalnya dan yang dimakruhkan, karena hal tersebut mengandung arti menambah beban musibahnya serta menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyah, apabila biayanya berasal dari harta waris yang diantara ahli warisnya terdapat anak yang belum baligh, maka haram hukumnya melakukan penghidangan tersebut. Jarir bin Abdullah telah berkata: “Kami semua (para sahabat) menganggap kegiatan berkumpul di rumah keluarga mayit berikut penghidangan makanan oleh mereka, merupakan bagian dari perbuatan niyahah”.
4. An-Nawawy al-Bantany dalam Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi’in, hal. 281:
وتصدق عن الميت بوجه شرعي مطلوب ولا يتقيد بكونه في سبعة أيام أو أكثر أو أقل…وقدجرت عادة الناس بالتصدق عن الميت في ثالث من موته وفي سابع وفي تمام للعشرين وفي الأربعين وفي الماءة وبعد ذالك يفعل كل سنة حولا في يوم الموت كما فأده شيخنا يوسف السنبلاويني, أما الطعام الذي يجتمع عليه الناس ليلة دفن الميت المسمى بالوحشة فهو مكروه ما لم يكن من مال الأيتام وإلا فيحرم.
“Shadaqah untuk mayit, apabila sesuai dengan tuntunan syara’ adalah dianjurkan. Namun tidak boleh dikaitkan dengan hari ketujuh atau hari-hari lainnya. Sementara menurut Syaikh Yusuf, telah berjalan kebiasaan diantara orang-orang yang melakukan shadaqah untuk mayit dengan dikaitkan terhadap hari ketiga dari kematiannya, atau hari ketujuh atau keduapuluh atau keempatpuluh atau keseratus dan sesudahnya hingga dibiasakan tiap tahun dari kematiannya, padahal itu semua hukumnya makruh. Demikian pula makruh hukumnya menghidangkan makanan yang ditujukan bagi orang-orang yang berkumpul pada malam penguburan mayit (biasa disebut al-wahsyah), bahkan haram hukumnya apabila biayanya berasal dari harta anak yatim”.
Catatan: Syaikh Nuruddin ar-Raniry dalam Shirathal Mustaqim juz. 2 hal. 50 dan Muhammad Arsyad al-Banjary dalam Sabil al-Muhtadin juz. 2 hal. 87 menyatakan bahwa itu termasuk kategori bid’ah.
5. Kesepakatan fatwa Nahdlatul Ulama dalam al-Mawa’idz Edisi No. 13 halaman 200, dan Edisi No. 18 halaman 285-286, yang menyatakan sikap yang sebenarnya terhadap kedudukan hukum tahlilan sebagai perbuatan yang membebani keluarga mayit, bertolak belakang dengan hadits yang memerintahkan untuk mengirimkan makanan kepada keluarga mayit, bukan sebaliknya (lihat dalam Sunan Abu Daud 3/195; Sunan al-Kubra al-Baihaqy 4/61; Sunan ad-Daraquthny 2/78; Sunan at-Tirmidzi 3/323; al-Mustadrak al-Hakim 1/527; Sunan Ibnu Majah 1/514).
Berdasarkan keterangan as-Sayid al-Bakry Abu Bakr ad-Dimyathy dalam Kitab I’anah ath-Thalibin, ternyata para ulama dari keempat madzhab telah menyepakati bahwa kebiasaan keluarga mayit mengadakan perjamuan yang biasa disebut dengan istilah “nyusur tanah, tiluna, tujuhna, dan sebagainya” merupakan perbuatan bid’ah yang tidak disukai oleh agama.
Ini diketahui bahwa sebenarnya yang menghukumi tahlilan sebagai perbuatan bid’ah munkarah itu ternyata adalah ulama-ulama Ahlussunnah wal Jama’ah. Kesimpulannya, bahwa hukum tahlilan yaitu bid’ah yang dimakruhkan dengan makruh tahrim, bahkan dapat berubah menjadi haram li ghairihi (menjadi haram dikarenakan sebab lain) apabila biaya tahlilan berasal dari tirkah mayit (peninggalan mayit) yang diwariskan pada ahli waris yang belum baligh.
Sebelum penulis akhiri uraian ini, barangkali ada yang memprotes tentang tahlilan ini. Namun, jika kita bertanya kepada yang mendukung tahlilan mengenai alasan atau argumentasi mereka yang membolehkan tahlilan, maka yang kita temukan jawabnya hanya berdasarkan istihsan belaka, seperti ungkapan: “…lho, ’kan itu baik…kenapa tidak boleh, kan ada doanya…ini kan cuma silaturrahmi…ada nilai-nilai shadaqah melalui hidangan…teungku kami bilang boleh-boleh saja…” atau ungkapan lainnya. Sangat jarang sekali (kalau tidak ingin dikatakan tidak pernah ada) mereka berusaha memberikan dalil naqly yang shahih, atau dha’if bahkan maudhu’ sekalipun tentang tahlilan ini.
Penulis pernah diberitahu adanya dalil naqly tentang bolehnya tahlilan dan menghidangkan makanan bagi keluarga mayit yang penulis terima dari seorang jamaah yang sering mendengar ceramah penulis. Adapun dalil tersebut berdasarkan keterangan dari kitab Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah yang ditulis oleh Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy juz. 1 halaman 409, juga berlandaskan pada istihsan sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Fawakih ad-Diwani yang ditulis oleh Ahmad bin Ghunaim bin Salim an-Nafrawy al-Maliky.
Kedua kitab itu menukil hadits sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Baihaqy dan ad-Daraquthny. Hadits tersebut sebagaimana ditulis dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (ath-Thahthawy) adalah sebagai berikut:
عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال: خرجت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة, فلما رجع استقبله داعى إمرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه.
“Dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.
Namun, setelah hadits yang dijadikan argumen oleh ath-Thahthawy dan yang dijadikan pedoman oleh orang yang mendukung tahlilan tersebut diteliti dan dicermati lagi dengan seksama dan penuh kehati-hatian, ternyata ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan bunyi hadits aslinya. Berikut penulis paparkan hadits dari Abu Daud yang penulis rujuk langsung dalam as-Sunan-nya, juz. 3 halaman 244:
خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبريوصى الحا فرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلمارجع استقبله داعي إمرأة فجاءوجئ بالطعام فوضع يده…الخ
Perbedaannya dalam versi ath-Thahthawy dengan hadits aslinya sungguh teramat jauh, ada lafazh yang diberi dlamir mudzakar gha’ib (imra-atuhu) yang mengandung arti: “istrinya mayit”. Sedangkan dalam Kitab aslinya (Sunan Abu Daud, juz. 3 halaman 244) atau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqy (Sunan al-Kubra, juz 5 halaman 335), Imam ad-Daraquthny (Sunan ad-Daraquthny juz. 4 halaman 285), Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad juz 5 halaman 293 dan 408), dan Abu Ja’far ath-Thahawy (Syarh Ma’any al-Atsar juz 2 halaman 293) menyatakan bahwa lafazh tersebut adalah “imra-atun” (tanpa diberi dlamir mudzakar gha’ib), yang artinya mutlak “wanita”.
Bahkan didalam salah satu hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita yang menemui Rasulullah saw., tersebut adalah seorang wanita Quraisy yang menyampaikan pesan dari seorang wanita yang tidak diketahui statusnya, yang didalam matan haditsnya diberi identifikasi dengan klausul fulanah (lihat dalam al-Musnad juz 5 halaman 293).
Secara lafzhy, memang hadits tersebut ada hubungannya dengan masalah orang mati, tetapi inti pesan hukum yang termaktub dalam hadits tersebut justru tidak ada hubungannya dengan masalah orang mati. Karenanya, tidak ada satupun hukum dari ulama-ulama madzhab yang membolehkan tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit.
Jika anda masih kurang paham dan mengerti juga, maka kami persilahkan untuk memperhatikan dengan seksama dan benar-benar jujur terhadap hadits tersebut dari segi penempatan permasalahannya. Kitab Sunan al-Kubra Baihaqy menempatkannya dalam bab Muamalah, Sunan ad-Daraquthny menempatkannya dalam Bab Makanan, dalam Kitab Syarh Ma’any al-Atsar yang ditulis Abu Ja’far ath-Thahawy ditempatkan dalam Bab Makanan (4/208), dan dalam Kitab Nishb ar-Rayah juga ditempatkan dalam Bab Ghasab (4/168).
Bagaimana dengan alasan istihsan yang digunakan untuk menjustifikasi bolehnya tahlilan? Sebenarnya jika kita mau jujur, dalam wilayah ushul fiqh, eksistensi istihsan sendiri masih diperselisihkan. Jika ulama-ulama Hanafiyah membela habis-habisan tentang istihsan karena ide istihsan ini muncul dari Imam Abu Hanifah (terutama dari sahabat sekaligus muridnya, Abu Yusuf), maka ulama-ulama Syafi’iyah dan ulama-ulama Hanabilah (Hanbali) justru menentang dan menolaknya tanpa kompromi.
Dalam kitab Ushul Fiqh (sebagaimana dikutip al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami, juz 2 halaman 353) dikatakan bahwa istihsan yang diartikan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada ketentuan kultur (budaya/tradisi) adalah ditolak. Bahkan dengan sangat tegas Imam asy-Syafi’i menyatakan:
من استحسن فقد شرع
“Barangsiapa yang mengamalkan istihsan, maka berarti ia telah menciptakan hukum syara’ (baru)”. (lihat al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami juz. 2 halaman 353; lihat juga al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi ‘Ilmi al-Ushul halaman 171).
Demikian tegasnya Imam asy-Syafi’i tentang hal ini, sehingga sungguh tidak masuk akal—bahkan sangat aneh, apabila ada orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyah, tetapi masih saja suka tahlilan, yang artinya adalah menciptakan hukum syara’ baru tanpa mashadir al-ahkam (landasan hukum) yang telah disepakati, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah, Nabi saw., menyatakan bahwa membuat hukum syara’ baru dianggap bid’ah dan mutlak tertolak. Bahkan perbuatan ini jelas-jelas menuduh Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam, padahal tidak ada satupun yang tidak disampaikan oleh Rasulullah saw., kepada umatnya.
Abdullah bin Mas’ud ra., berkata: “Ikutilah Sunnah Nabi saw., dan jangan kalian melakukan bid’ah. Kalian telah memperoleh petunjuk yang cukup. Karenanya, ikutilah jalan salaf” (al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabari no. 8770). Abdullah bin Abbas ra., juga berkata: “Jangan kamu mengucapkan (sesuatu) yang menyalahi al-Kitab dan as-Sunnah” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/205). Sungguh telah diketahui secara dharury, bahwa hanya Allah SWT yang berhak menciptakan hukum syara’, sementara kita selaku manusia hanya sekedar meng-izhar-kan (menjelaskan saja) hukum tersebut.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat kita pahami bahwa Imam asy-Syafi’i dan pengikutnya menyatakan bahwa al-ma’tam, yakni berkumpulnya orang-orang di rumah keluarga mayit digolongkan dalam perbuatan niyahah, sedangkan Rasulullah saw., menegaskan bahwa orang yang berperilaku niyahah bukan termasuk umatnya karena dianggap menyerupai perilaku jahiliyah.
Kita juga tidak menerima satu pun keterangan mengenai diperbolehkannya tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit, apakah itu berbentuk hadits shahih dari Nabi saw., atau dari sahabat-sahabat beliau, atau dari Imam-imam madzhab dan juga imam-imam lainnya (ahli tafsir dan ahli hadits) sebagaimana dinyatakan dengan tegas oleh Ibnu Taimiyah dalam Kutub wa Rasa’il wa Fatawa Ibn Taimiyah fi al-Fiqh (juz. 25 halaman 299-300).
Tahlilan merupakan salah satu perbuatan bid’ah munkarah yang makruhah, maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk tidak mengerjakannya dan mencegah keluarganya dan muslim lainnya terhadap perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan fatwa Mufti Makkah al-Musyafarah, Syaikh Ahmad bin Zainy Dahlan (sebagaimana dikutip dalam I’anah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166), yaitu:
ولاشك ان منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء السنة وماته للبدعة وفتح الكثير من أبواب الخير وغلق لكثير من أبواب الشر
“Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut mengandung arti menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah sekaligus membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan”.
Khatimah
Berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit hukumnya adalah bid’ah dengan kesepakatan para sahabat dan seluruh imam dan ulama termasuk didalamnya Imam yang Empat. Akan semakin bertambah bid’ah tahlilan ini bila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta’ziyah, dan dilakukan pada hari pertama, kedua, ketiga, ketujuh, malam keempat puluh, dan khaul.
Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut Sunnah Rasulullah saw., adalah kaum kerabat/sanak famili dan atau tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang dapat mengenyangkan mereka sebagaimana hadits Nabi saw., ketika Ja’far bin Abi Thalib wafat (lihat hadits tersebut dalam al-Umm, 1/317; Abu Daud; at-Tirmidzi; Ibnu Majah; dan Imam Ahmad, 1/205).
Saling memberi nasehat dalam kebenaran dan kesabaran adalah pesan Allah SWT dalam kitab-Nya (QS. Al-Ashr: 3). Adapun kenapa ada kata ‘sabar’ dalam bingkai nasehat tentu ada maksud dibalik itu. Karena ternyata, tidak semua orang dapat bersabar dalam menerima nasehat. Oleh sebab itu, agar nasehat dapat diterima dengan baik, maka harus berada dalam koridor kebenaran dan al-khairu, yakni berlandaskan pada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Karenanya, sebagaimana pesan Nabi saw., agar kita diperintahkan untuk bergerak menuju ketaatan, yakni ketaatan pada Allah (al-Qur’an) dan Rasulullah saw., (as-Sunnah). Sebab, beliau menyatakan bahwa sesungguhnya ketaatan itu hanya dalam masalah kebaikan (Shahih Bukhari Nomor 7145 dan Shahih Muslim Nomor 1840).
• . • .
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihimu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran: 31-32).
• • • .
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali”. (QS. An-Nisaa’: 115).
• • .
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya Maka sungguhlah Dia telah sesat, sesat yang nyata”.
Dengan mengucapkan بسم الله الرحمن الرحيم penulis mengajak kepada siapapun yang ingin membersihkan akal dan hatinya agar kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih dengan pemahaman Salafush Shalihin, menegakkan Tashfiyah, yakni memurnikan ajaran Islam dari segala noda syirik, bid’ah, khurafat, takahyul, dan gerakan-gerakan serta pemikiran-pemikiran yang merusak kemurnian ajaran Islam, melakukan gerakan Tarbiyah kepada umat Islam berdasarkan ajaran Islam yang murni, menghidupkan pola pikir ilmiah berdasarkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman yang benar dan tidak menyimpang dari pemahaman Salafush Shalihin.
Demikianlah akhir dari tulisan ini, semoga Allah memberikan petunjuk dan hidayah-Nya kepada kita semua. Wallahu a’lam bish-shawwab.
Abu Hafidz :
Tulisan Saudara :
4. Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi, juz. 1 hal. 90:
وأماقراءة القرآن فالمشهور من مذ هب الشافعي أنه لا يصل ثوابها إلىالميت…ودليل الشا فعي وموافقيه قول الله تعالى: وأن ليس للإنسان إلا ما سعى. وقول النبي صلى الله عليه وسلم: إذا مات ابن آدم إنقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية , أوعلم ينتفع به , أوولدصالح يدعوله
“Adapun bacaan al-Qur’an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i, adalah tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi…
Tanggapan saya :
Kitab yang saya pegang adalah Syarh An-Nawawi ala muslim dalam bab : (Penjelasan Iman, Islam, ikhsan, dan iman terhadap qodar).
Saya bingung aja terhadap penamaan kitab An-Nawawi yang ditulis Saudara, tapi itu tidak jadi soal.
Karena Saudara memotong perkataan Imam An-Nawawi maka saya akan menjelaskannya pada bagian yang Saudara potong itu. ( pembahasan beberapa point yang lain sudah ada beberapa di komentar saya silakan dibaca ).
Redaksi lengkapnya sbb :
وَأَمَّا قِرَاءَةُ الْقُرْآنِ فَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ لَا يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ : يَصِلُ ثَوَابُهَا إِلَى الْمَيِّتِ .
Adapun pembacaan Al-qur`an, maka yang mashur (terkenal) dari Madzhab Syafi`i bahwa ia (pembacaan Al-Quran) tidak akan sampai pahalanya (yang dikirimkan) kepada mayit….. ( KENAPA SAUDARA POTONG SAMPAI DISINI ABU HAFIDZ ? ) padahal ada kelanjutannya , kelanjutannya adalah : dan berkata sebagian shahabat nya (pengikut madzhab Syafi`i) bahwa AKAN SAMPAI PAHALA (bacaan Al-quran yang dikirimkan) kepada mayit. kelanjutannya sbb:
وَذَهَبَ جَمَاعَاتٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ إِلَى أَنَّهُ يَصِلُ إِلَى الْمَيِّتِ ثَوَابُ جَمِيعِ الْعِبَادَاتِ مِنَ الصَّلَاةِ وَالصَّوْمِ وَالْقِرَاءَةِ وَغَيْرِ ذَلِكَ ، وَفِي صَحِيحِ الْبُخَارِيِّ فِي بَابِ مَنْ مَاتَ وَعَلَيْهِ نَذْرٌ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ أَمَرَ مَنْ مَاتَتْ أُمُّهَا وَعَلَيْهَا صَلَاةٌ أَنْ تُصَلِّيَ عَنْهَا . وَحَكَى صَاحِبُ الْحَاوِي عَنْ عَطَاءِ بْنِ أَبِي رَبَاحٍ وَإِسْحَاقَ بْنِ رَاهَوَيْهِ أَنَّهُمَا قَالَا بِجَوَازِ الصَّلَاةِ عَنِ الْمَيِّتِ . وَقَالَ الشَّيْخُ أَبُو سَعْدٍ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ هِبَةِ اللَّهِ بْنِ أَبِي عَصْرُونَ مِنْ أَصْحَابِنَا الْمُتَأَخِّرِينَ فِي كِتَابِهِ الِانْتِصَارُ إِلَى اخْتِيَارِ هَذَا ، وَقَالَ الْإِمَامُ أَبُو مُحَمَّدٍ الْبَغَوِيُّ مِنْ أَصْحَابِنَا فِي كِتَابِهِ التَّهْذِيبُ : لَا يَبْعُدُ أَنْ يُطْعَمَ عَنْ كُلِّ صَلَاةٍ مُدٌّ مِنْ طَعَامٍ وَكُلُّ هَذِهِ الْمَذَاهِبِ ضَعِيفَةٌ . وَدَلِيلُهُمُ الْقِيَاسُ عَلَى الدُّعَاءِ وَالصَّدَقَةِ وَالْحَجِّ فَإِنَّهَا تَصِلُ بِالْإِجْمَاعِ وَدَلِيلُ الشَّافِعِيِّ وَمُوَافِقِيهِ قَوْلُ اللَّهِ : تَعَالَى : وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى وَقَوْلُ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – : إِذَا مَاتَ ابْنُ آدَمَ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ وَاخْتَلَفَ أَصْحَابُ الشَّافِعِيِّ فِي رَكْعَتَيِ الطَّوَافِ فِي حَجِّ الْأَجِيرِ هَلْ تَقَعَانِ عَنِ الْأَجِيرِ أَمْ عَنِ الْمُسْتَأْجِرِ ؟ وَاللَّهُ أَعْلَمُ .
Dan banyak pendapat dari para ulama bahwa akan sampai kepada mayit (pengiriman) pahala dari berbagai ibadah berupa sholat,puasa, membaca Al-quran dll.
Dalam kitab Shoheh Bukhori dalam Bab 🙁 Barangsiapa mati dan atasnya nazar), bahwa Ibnu Umar memerintahkan kepada seseorang yang ditinggal mati ibunya sedangkan ia (ibunya) ada kewajiban sholat , supaya ia sholat untuk ibunya.
Menceritakan pengarang Al-Haawi dari Atho bin Abu Robah dan Ishak bin rahawaih, keduanya berkata tentang bolehnya sholat (yang pahalanya) untuk mayit ….dst (silakan lihat redaksi arabnya di atas ).
Kalau Saudara menginginkan kejujuran maka sebaiknya jangan menutupi pendapat yang lain dan memotongnya.
Saya juga akan membahasnya seperti apa yang ada di kitab Al-Adzkar ( kebetulan pas saya sedang membacanya ), nukilannya sebagai berikut : ( Dalam Bab : Ma yanfa`u al-mayyita min qouli gheorihi ) :
اجمع العلماء علي ان الدعاء للأموات ينفعهم ويصلهم ثوابه. واحتجوا : بقول الله تعالى : ( والذين جاءوا مب بعدهم يقولون ربنا اغفرلنا ولاخواننا الذين سبقونا بالايمان ) الحشر : 10 – وغير ذلك من الآيات المشهورة بمعناها.
وفي الأحاديث المشهورة :
466 – كقوله صلى الله عليه وسلم ( اللهم اغفر لأهل بقيع الغرقد )
467 – وكوله صلى الله عليه وسلم ( اللهم اغفر لحينا وميتنا )
وغير ذلك .
واختلف العلماء في وصول تواب قراءة القرآن فالمشهور من مذهب الشافعي وجماعة انه لا يصل
وذهب احمد بن حنبل وجماعة من العلماء وجماعة من اصحاب الشافعي الى انه يصل.
والاختيار ان يقول القارئ بعد فراغه : اللهم اوصل ثواب ما قرأته الى فلان , والله أعلم . ( بيت الأفكار الدولية – الأردن )
Telah sepakat para ulama bahwa doa untuk mayit adalah bermanfaat bagi mereka dan pahala doa akan sampai kepada mereka. Mereka ( para ulama beralasan dengan firman Alloh , yang artinya : (Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. ( Al-Hasyr : 10). Dll dari ayat2 masyhur dengan makna yang sama..
Dan dari Hadits yang masyhur :
466 – Seperti Sabda Rosululloh SAW ( Ya Alloh ampunilah penduduk (kubur) Baqi yang mati tenggelam ) ( shoheh Muslim : 974 )
467 – Seperti Sabdanya lagi ( Wahai Alloh ampunilah yang masih hidup diantara kami dan yang sudah meninggal diantara kami ) ( Shoheh Abu Daud : 3201, Tirmidzi : 1024, An-Nasai : 1986, Ibnu Majah : 1498, ) dll.
Berbeda pendapat para ulama pada sampainya (pengiriman) pahala bacaan Al-quran, mashur (terkenal) dalam pendapat Madzhab Syafi`i dan jama`ahnya bahwa ia (pengiriman bacaan Al-quran) adalah tidak sampai,
Berpendapat Imam Ahmad bin Hambal dan jama`ah para ulama dan jama`ah pengikut madzhab Syafi`i kepada SAMPAINYA KIRIMAN PAHALA bacaan Al-quran kepada mayit.
Dan yang pilihan ( untuk menengahi perbedaan itu ) : hendaklah pembaca Al-quran ketika telah selesai membacanya, berdoa : Wahai Alloh sampaikanlah pahala bacaan yang telah saya baca kepada sIfulan( mayit). Wallohu a`lam.( Cetakan baet al-afkar ad-dauliyah – al-Urdun/Yordania)
Nah pada saat pengiriman pahala dirangkum dalam sebuah doa maka disana sudah tidak ada lagi perbedaan pendapat, karena para ulama telah sepakat bermanfaatnya doa dan sampainya pahalanya kepada mayit .
Abu Hafidz :
Kalau Saudara menamai kitab karangan Imam Nawawi seperti itu maka mempunyai makna berbeda.
Anda sebut kitabnya : Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi yang maknanya :PENJELASAN KITAB SHOHEH MUSLIM TERHADAP AN-NAWAWI,
Padahal yang dimaksud adalah dan sesuai nama kitabnya : Syarah An-Nawawi ala muslim ( PENEJELASAN IMAM NAWAWI TERHADAP KITAB SHOHEH MUSLIM )terimakasih. mohon di cek lagi.
Abu Hafidz :
Komentar Anda :
Tahlilan merupakan salah satu perbuatan bid’ah munkarah yang makruhah, maka menjadi kewajiban bagi setiap Muslim untuk tidak mengerjakannya dan mencegah keluarganya dan muslim lainnya terhadap perbuatan tersebut. Hal ini berdasarkan fatwa Mufti Makkah al-Musyafarah, Syaikh Ahmad bin Zainy Dahlan (sebagaimana dikutip dalam I’anah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166), yaitu:
ولاشك ان منع الناس من هذه البدعة المنكرة فيه إحياء السنة وماته للبدعة وفتح الكثير من أبواب الخير وغلق لكثير من أبواب الشر
“Tidak diragukan lagi bahwa mencegah masyarakat dari perbuatan bid’ah munkarah tersebut mengandung arti menghidupkan Sunnah dan mematikan bid’ah sekaligus membuka banyak pintu kebaikan dan menutup banyak pintu keburukan
Dan perkataan Anda sebelumnya : Dalam tulisan ini, penulis berusaha untuk menampilkan dalil dan hujjah baik naqly maupun aqly yang argumentatif serta—Insya Allah, DAPAT DIPERTANGGUNGJAWABKAN, karena semua dalil tersebut penulis ambil dari dua warisan Nabi saw., yakni al-Qur’an dan al-Hadits serta ijma’ ulama mengenai tahlilan itu sendiri.
KOMENTAR SAYA :
Anda mengatakan tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan ( lihat yang berhuruf besar ):
1 Apakah dapat dipertanggungjawabkan penyebutan kesalahan nama Kitab Syarh An-Nawawi ala muslim ?
2. Apakah dapat dipertanggungjawabkan penukilan dari Syaikh Ahmad bin Zainy Dahlan (sebagaimana dikutip dalam I’anah ath-Thalibin juz. 2 halaman 166), padahal dalam kitab itu juz 2 halaman 166 bukan menjelaskan tentang pendapat beliau tapi tentang zakat?
3. Apakah dapat dipertanggungjawabkan kesimpulan Syeh Ahmad Zaeni seperti kesimpulan Anda ? padahal isi fatwa beliau sedang menjawab pertanyaan yang di ajukan kepada beliau ?
4. Apakah dapat dipertanggungjawabkan apa yang diambil dalilnya dari Al-quran, hadits dan ijma ulama sedangkan Anda memotong dan menutupi baik dengan sengaja atau tidak pendapat dari para ulama?
Anda menginginkan kita bersama berfikir melihat permasalahan tentang tahlilan, sudah selayaknya juga kita mengedepankan kejujuran dalam penukilan sehingga pembaca dapat memahaminya tidak sepotong2 sehingga salah mengambil keputusan.( Saya ada rasa curiga sedikit, Anda tidak mempunyai sebagian dari kitab2 yang Anda nukil tersebut, Anda menukilnya dari jalan lain ,maaf…)
Dalam hadis lain nabi pernah bersabda :
sesungguhnya Agama ini (islam) adalah mudah, dan siapapu yang mencoba untuk menyulitkannya, maka ia pasti dikalahkan.
Allah SWT berfirman :
Bagi setiap umat, kami turunkan aturan dan jalan yang terang.Sekiranya Allah menghendaki,niscaya Dia menjadikan seluruh manusia menjadi satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kalian dengan hal-hal yang yang telah diberikan kepadamu,maka berlomba-lombalah dalam melaksanakan kebaikan.Hanya kepada Allah lah kalian kembali, kemudian Dia akan memberitahumu tentang persoalan yang kalian perselisihan- QS, al-Maidah, 48.
Tidak pernah Nabi diberi dua pemilihan, kecuali beliau pilih yang paling mudah senyampang tidak mengandung dosa.(Ahmad bin Hambal).
biasanya kalau mau pamit pake wassalam………apa kaga yaw…..
makanya om “asin” jangan berfikir yang sulit2…
antum ngajinya jangan lewat buku aja…, bisa2 malahan bisa salah. kasihan umat yang udah antum bikin sesat….
Mulai hari ini, ane mundur dari Blog perdebatan yang aneh-aneh…..PIDORAKAEUN WUNGKUL……kecuali….kalo ada WAHABINYA , ane mau NYEWA TUKANG KETIK…biar ” olab…weureu.
Terima kasih atas pencerahannya Bib, Insya Allah banyak manfaat, izin copas. soal yang gak terima tahlilan, yasinan itu dah biasa sampai -sampai dalil TATO dipakai sb larangan tahlilan dan dalil Orang Bersin dipakai untuk larangan Bershalawat pada Nabi, perdebatan di suatu group yang lucu..
Tidak ada larangan tahlilan & yasinan, adapun ma’tam yang dilarang oleh Imam Syafi’i bukanlah tahlilan melainkan meratapi mayat, tidak tercantum 1 ayat pun yg mengatakan tahlilan ataupun yasinan dalam hadits yg dimaksud.
Ma’tam dalam kamus al-Munjid adalah sekumpulan orang untuk meratapi mayat, yg mana tradisi ini adalah tradisi kaum yahudi & Nasrani di dalamnya tidak ada dzikir & bacaan yasin atau al-qur’an sehingga Imam Syafi’i membencinya.
Dengan dibacakannya surat yasin, maka perkumpulan di rumah keluarga si mayat menjadi manfaat dan hidangan yang mubadzir menjadi manfaat karena diniatkan untuk sedekah yg pahalanya ditujukan untuk si mayat.
Dari Abdullah bin Abbas ra bahwa Saad bin Ubadah ibunya meninggal dunia ketika ia tidak ada ditempat, lalu ia datang kepada Nabi SAW unntuk bertanya: “Wahai Rasulullah SAW sesungguhnya ibuku telah meninggal sedang saya tidak ada di tempat, apakah jika saya bersedekah untuknya bermanfaat baginya? Rasul SAW menjawab: Ya, Saad berkata: saksikanlah bahwa kebunku yang banyak buahnya aku sedekahkan untuknya” (HR Bukhari).
Surat Yasin adalah jantung al-qur’an, tidaklah seseorang membacanya karena mengharapkan (keridha’an) Allah Tabaraka wa ta’ala dan negeri akhirat, melainkan Allah mengampuninya. Dan bacakanlah yasin kepada orang-orang yg meninggal dunia di antara kalian”. (HR. Ahmad).
assalamualaikum….
habib,ana mw tanya ente pasang baliho di perempatan jalan bayar pajaknya ga? yg ane tau bnyk tempat yg termasuk clear area ama yg namanya baliho atw media publikasi lainnya yg ente pasangin baliho…ente mw dakwah apa mw jd caleg pake masang foto segala? trus ente bayar pajak ga pasang umbul-umbul di pinggir pager jalan tol yg seharusnya ga boleh di pasangin apapun karena bisa membahayakan para pengguna jalan. bayangkan pemimpin nya aja ky gitu gmna pengikutnya…
kita di suruh memegang teguh al-quran,sunnah dan tiga generasi terbaik setelah rosululloh,yaitu sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in yg sudah jelas di akui alloh dan rasul-Nya.Jd kita jngn mentaqlid kpd salah satu mazhab apalagi habib yg cuma memperkaya diri dan punya kepentingan pribadi…
waoullohualam…
–> Wangalaikum salam wrwb. mbak / mas .. kalau ingin informasi sahih, datanglah ke kantor yg berwenang. Atau tanya ke habib atau ke panitia pengajiannya. Tanya di sana.
Dari pada menduga-duga yang belum tentu benar. Ntar malah jadi prasangka buruk kan. Dan lagi .. di sini bukan blognya habib mbak .. anda salah alamat.
Assalamu’alaikum. Wr. Wb.
to : Anya
Seandainya anda suka kpd seseorang, mungkin anda senang memujinya, walaupun dimata orang ia jelas2 salah/ jelek, dan sebaliknya kalo anda sdh trlanjur benci trhadap seseorang, sebaik, seindah dan seelok apapun ia dimata orang lain, di mata anda dia tetaplah buruk di mata anda, bahkan anda senang mencari2 kesalahannya, dan menghinakannya. ( mungkin itulah sifat anda yang sebenarnya), “Semut di seberang lautan jelas kelihatan, sedangkan gajah di hadapan tidak kelihatan”. Padahal Rasulullah. SAW. tidak menganjurkan hal yang demikian, justru sebaliknya beliau menyuruh, ber AKHLAQULKARIMAH, SOPAN dan ,dalam berbicara, saling MENGASIHI (sesama Muslim), bukan saling MEMUSUHI, (mencari2 kesalahan orang lain, padahal anda belum tentu 100% bebas/bersih dr kesalahan) ” Al insan makaanul khata Wannisyaan “. Sungguh riskan, anda mengatakn berpegang teguh dgn Al-qur’an, sunnah dan tiga generasi terbaik setelah Rosululloh,yaitu sahabat,tabi’in,tabi’ut tabi’in yg sudah jelas di akui Allah dan rasul-Nya. Tapi seakan perbuatan anda berpaling dr semuanya, yaitu sifat SU UZZON (buruk sangka).
Wassalaamu ‘alaikum. Wr.Wb.
Kasihan para habib dan kiay kalau maulidan, tahlilan dan yasinan ditiadakan. Ekonomi mereka akan terancam. Tidak ada lagi ‘amplop’ dan ‘besekan’.
Yasinan, Bid’ah Yang Dianggap Sunnah
Penulis: Ikrar Abu Yamin (Alumni Ma’had Ilmi)
“Ayo pak kita yasinan di rumahnya pak RT!”. Kegiatan yang sudah menjadi tradisi di masyarakat kita ini biasanya diisi dengan membaca surat Yasin secara bersama-sama. Mereka bermaksud mengirim pahala bacaan tersebut kepada si mayit untuk meringankan penderitaannya. Timbang-timbang, daripada berkumpul untuk bermain catur, kartu apalagi berjudi kan lebih baik untuk membaca Al Quran (khususnya surat Yasin). Memang sepintas jika dipertimbangkan menurut akal pernyataan itu benar namun kalau dicermati lagi ternyata ini merupakan kekeliruan.
Al Quran Untuk Orang Hidup
Al Quran diturunkan Alloh Ta’ala kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai petunjuk, rahmat, cahaya, kabar gembira dan peringatan. Maka kewajiban orang-orang yang beriman untuk membacanya, merenungkannya, memahaminya, mengimaninya, mengamalkan dan berhukum dengannya. Hikmah ini tidak akan diperoleh seseorang yang sudah mati. Bahkan mendengar saja mereka tidak mampu.
إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى
“Sesungguhnya kamu tidak dapat menjadikan orang-orang mati itu mendengar” (QS An-Nahl: 80)
Alloh Ta’ala juga berfirman di dalam surat Yasin tentang hikmah tersebut,
إِنْ هُوَ إِلَّا ذِكْرٌ وَقُرْآنٌ مُّبِينٌ لِيُنذِرَ مَن كَانَ حَيّاً
“Al Quran itu tidak lain hanyalah pelajaran dan kitab yang memberi penerangan supaya dia memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup.” (QS Yasin: 69-70)
Alloh berfirman,
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“Sesungguhnya seseorang itu tidak akan menanggung dosa seseorang yang lain dan bahwasanya manusia tidak akan memperolehi ganjaran melainkan apa yang telah ia kerjakan.” (QS An-Najm: 38-39)
Berkata Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rohimahulloh: ”Melalui ayat yang mulia ini, Imam Syafi’i rohimahulloh dan para pengikutnya menetapkan bahwa pahala bacaan (Al Quran) dan hadiah pahala tidak sampai kepada orang yang mati, karena bacaan tersebut bukan dari amal mereka dan bukan usaha mereka. Oleh karena itu Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umatnya, mendesak mereka untuk melakukan perkara tersebut dan tidak pula menunjuk hal tersebut (menghadiahkan bacaan kepada orang yang mati) walaupun hanya dengan sebuah dalil pun.”
Adapun dalil-dalil yang menunjukkan keutamaan surat Yasin jika dibaca secara khusus tidak dapat dijadikan hujjah. Membaca surat Yasin pada malam tertentu, saat menjelang atau sesudah kematian seseorang tidak pernah dituntunkan oleh syariat Islam. Bahkan seluruh hadits yang menyebutkan tentang keutamaan membaca Yasin tidak ada yang sahih sebagaimana ditegaskan oleh Al Imam Ad Daruquthni.
Islam telah menunjukkan hal yang dapat dilakukan oleh mereka yang telah ditinggal mati oleh teman, kerabat atau keluarganya yaitu dengan mendoakannya agar segala dosa mereka diampuni dan ditempatkan di surga Alloh subhanahu wa ta’ala. Sedangkan jika yang meninggal adalah orang tua, maka termasuk amal yang tidak terputus dari orang tua adalah doa anak yang saleh karena anak termasuk hasil usaha seseorang semasa di dunia.
Biar Sederhana Yang Penting Ada Tuntunannya
Jadi, tidak perlu repot-repot mengadakan kenduri, yasinan dan perbuatan lainnya yang tidak ada tuntunannya dari Rosululloh sholallahu ‘alaihi wassalam. Bahkan apabila dikaitkan dengan waktu malam Jumat, maka ada larangan khusus dari Rosululloh sholallahu ‘alaihi wa sallam yakni seperti yang termaktub dalam sabdanya,
“Dari Abu Hurairah, dari Nabi sholallahu ‘alaihi wa sallam: Janganlah kamu khususkan malam Jumat untuk melakukan ibadah yang tidak dilakukan pada malam-malam yang lain.” (HR. Muslim)
Bukankah lebih baik beribadah sedikit namun ada dalilnya dan istiqomah mengerjakannya dibanding banyak beribadah tapi sia-sia?
Rosululloh bersabda,
“Barang siapa yang beramal yang tidak ada tuntunannya dari kami, maka ia tertolak.” (HR. Muslim)
Semoga Alloh subhanahu wa ta’ala melindungi kita semua dari hal-hal yang menjerumuskan kita ke dalam kebinasaan. Wallohu a’lam bishshowab. [Sumber: Buletin At Tauhid]
–> Justru para kyai (dan panitia) itu kalau ngadain yasinan/maulid/dsb malah nombok mas.. pasti anda belum pernah datang yaach. Ketahuan.
Anyway .. justru artikel kami di atas itu membantah copy paste anda itu.
kedangkalan atas pemahaman kpd sesuatu dlm agama…
hmm…sama aja kalo begitu ama ane…yg miskin dan cetek ilmu nya…he..he…
Setuju …… tapi penjelasan ente ini hanya sepihak, dan tidak mengeluarkan dalil dalil yang lain. Itu juga karena kedangkalan ente dalam beragama. Jika ada ayat al-qur’an yang menyangkal seperti beberapa ayat yang ente kutip, kita gak bisa melihat ayat itu secara tekstual saja. Harus melihat sebab turunya ayat dan berkaitan dengan apa ayat itu diturunkan. Itu yang gak ente ngerti.
Coba ente baca keterangan ini, dan beberapa hadits yang mendukung adanya perbuatan baru tapi baik (bid’ah Hasanah) :
Tentang dalil umum, Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat:
احتج الجمهور بأن كل عام يحتمل التخصيص حتى إنه شاع بين العلماء ((ما من عام إلا وقد خص منه البعض)). فالتخصيص شائع كثير في العام، بمعنى أنه لا يخلو عنه إلا قليلا، وذلك بقرينة. (أصول الفقه الإسلامي، وهبة الزحيلي، دار الفكر، دمشق، ج. 1، ص. 245).
Jumhur berhujjah bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan takhsish (pengkhususan), sehingga telah tersebar (motto) di kalangan ulama: “Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya”. Maka takhsish (pengkhususan) banyak tersebar pada yang umum. Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu dalil umum) daripadanya (takhsish) melainkan sedikit, itupun dengan qarinah (kata/kalimat penjelas makna yang mengiringi dalil yang umum). (Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Dar el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245).
اتفق أهل العلم سلفا وخلفا على أن التخصيص للعمومات جائز ولم يخالف في ذلك أحد ممن يعتد به وهو معلوم من هذه الشريعة المطهرة لا يخفى على من له أدنى تمسك بها حتى قيل إنه لا عام إلا وهو مخصوص إلا قوله تعالى والله بكل شيء عليم (إرشاد الفحول، محمد بن علي الشوكاني، دار الفكر، بيروت، ص. 246).
Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish (pengkhususan) bagi keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja’iz), dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dianggap (keilmuannya) yang menentangnya, dan hal itu sudah diketahui termasuk dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi (bahkan) bagi orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at tersebut, sehingga dikatakan, “Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang umum melainkan dia sudah dikhususkan”, kecuali firman Allah ta’ala, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Lihat Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246).
Hadits sahih lainnya :
Ketika Nabi Saw. mengimami shalat, pada saat bangkit dari ruku’, di belakang beliau ada Sahabat yang membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ (segala puji bagi-Mu ya Allah, pujian yang banyak, yang bagus, lagi diberkati di dalamnya) dan bacaan ini tidak pernah diajarkan Nabi Saw. kepadanya. Setelah usai shalat, Nabi Saw. bertanya kepada para ma’mum, “Siapa yang membaca demikian itu tadi?” Seorang Sahabat mengaku, “Saya.” Nabi Saw. berkata, “(ketika engkau baca itu) aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba ingin mencatatnya lebih cepat.” (HR. Bukhari)
Seorang laki-laki dari golongan Anshar suatu saat mengimami shalat. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, ia membaca surat Qul Huwallaahu ahad (al-Ikhlash), setelah itu ia tambah lagi membaca surat yang lain, dan itu ia lakukan di setiap raka’at. Ketika selesai, para Sahabat menegurnya, “Apakah engkau tidak merasa cukup? Bacalah al-Ikhlash saja dan tinggalkan yang lain, atau bacalah yang lain dan tinggalkan al-Ikhlash.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kalian suka, aku akan imami kalian, kalau tidak kalian boleh tinggalkan.” Ketika ia dihadapkan kepada Rasulullah Saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak mau melakukan saran mereka untuk mencukupkan pada al-Ikhlash saja atau pada yang lainnya saja?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintainya (surat al-Ikhlash).” Maka Nabi Saw. bersabda,”Cintamu kepadanya (al-Ikhlash) akan memasukkan kamu ke dalam Surga.” (HR. Bukhari)
Ketika melihat “kekacauan” para Sahabat dalam melakukan shalat tarawih di masjid, karena mereka shalat berpencar-pencar dengan bacaan masing-masing, maka Umar bin Khattab Ra. berinisiatif untuk mengumpulkan mereka di dalam satu jama’ah (tarawih berjama’ah) dengan satu imam. Setelah dilakukan, tarawih berjama’ah itu ternyata indah dan rapi, sehingga terucap dari lidah Umar bin Khattab Ra.,” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).” (HR. Malik).
Setelah Rasulullah Saw. wafat, dipilihlah Shahabat setia beliau yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagai pemimpin kaum muslimin atau pemimpin orang-orang beriman (amiirul-mu’miniin). Di awal masa kekhalifahan beliau inilah terjadi perang Yamamah, yaitu perang terhadap orang-orang murtad dan orang yang mengaku menjadi nabi, alias nabi palsu yang bernama Musailamah al-Kadzdzaab. Pada peperangan tersebut, dikatakan telah wafat sekitar 700 orang shahabat bahkan mungkin lebih, di mana di antara mereka terdapat para penghafal al-Qur’an.
Maka Umar bin Khattab Ra. datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menyampaikan usul agar beliau sebagai khalifah dapat melakukan upaya pengumpulan al-Qur’an secara tertulis dalam satu mushaf karena khawatir akan hilangnya sebagian banyak daripada al-Qur’an bersama wafatnya para shahabat di medan perang. Mendengar usul ini, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menolak dengan alasan, “Bagaimana kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?”
Mendengar tanggapan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. itu, Umar bin Khattab Ra. menegaskan, “Demi Allah, (mengumpulkan al-Qur’an) ini adalah baik!” Dan Umar bin Khattab Ra. terus menerus meyakinkan Abu Bakar Ra. sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima usul tersebut. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit Ra. dan menyampaikan rencana mereka kepadanya. Zaid menjawab, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Keduanya menjawab, “Demi Allah, ini adalah baik!” Keduanya terus meyakinkan Zaid sehingga Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar (HR. Bukhari). Lalu dilaksanakanlah pengumpulan al-Qur’an itu oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit Ra. berdasarkan penunjukkan dari khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
Hasilnya, mushaf al-Qur’an yang dikumpulkan berdasarkan usul Umar bin Khattab Ra. dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu kemudian disalin ulang dan dikembangkan serta disebarluaskan, hingga kini dapat kita jumpai dan kita baca dengan mudah. Bayangkan, tanpa bid’ah yang satu ini, barangkali kita tidak akan mengenal al-Qur’an dan tidak dapat membacanya!
Jadi masalah Tahlillan, yasinan, atau maulidan perkara baru lainnya, hanya ulama belakangan yang menyebutnya sebagai bid’ah dolalah, sementara 4 Mahzab besar saja tidak berkata demikian.
Bila Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. bisa menerima usul Sayidina Umar bin Khattab Ra. dalam hal “penulisan dan pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf” hanya dengan alasan “Demi Allah, ini adalah baik” hal mana ia tahu Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, dan Abu Bakar Ra. menyatakan bahwa penerimaannya terhadap usul itu adalah sebagai wujud “Allah melapangkan dadaku untuk menerima usul itu”, maka betapa masih sempitnya dada kaum Salafi & Wahabi yang tidak bisa menerima adanya kategori bid’ah hasanah/mahmudah dan kebaikan-kebaikannya bagi umat di masa belakangan padahal mayoritas ulama sudah membahasnya di dalam kitab-kitab mereka lebih dari sekedar ungkapan “Demi Allah, ini adalah baik”. Harusnya mereka menangis sambil berusaha mencari tahu, “Mengapa, dengan puluhan jilid kitab para ulama, Allah belum melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Abu Bakar Shiddiq Ra. hanya dengan satu kalimat ‘Demi Allah, ini adalah baik’?” Jawabnya adalah, karena di hati mereka masih ada kesombongan; merasa lebih utama dan benar sendiri, dan menganggap selain mereka salah dan tidak sesuai sunnah.
KEUMUMAN LAFAZ HADIS TENTANG BID’AH TELAH “DIKHUSUSKAN”,
BUKAN “DIRINCIKAN”
Dari uraian di atas, kita sudah mengetahui bahwa perkara baru di dalam agama yang disebut sebagai muhdatsat atau bid’ah di dalam hadis-hadis yang dijadikan dasar oleh kaum Salafi & Wahabi itu seluruhnya bersifat “umum” atau “global”, sehingga tidak bisa digunakan untuk menghukumi perkara-perkara “khusus” seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., peringatan Isra’ & Mi’raj, acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama’ah, do’a berjama’ah, zikir berjama’ah, membaca al-Qur’an di pekuburan, dan lain sebagainya, kecuali bila ada hadis yang menyebutkan keharamannya secara terperinci.
Tentang dalil umum, Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat:
احتج الجمهور بأن كل عام يحتمل التخصيص حتى إنه شاع بين العلماء ((ما من عام إلا وقد خص منه البعض)). فالتخصيص شائع كثير في العام، بمعنى أنه لا يخلو عنه إلا قليلا، وذلك بقرينة. (أصول الفقه الإسلامي، وهبة الزحيلي، دار الفكر، دمشق، ج. 1، ص. 245).
Jumhur berhujjah bahwa setiap yang umum memiliki kecenderungan takhsish (pengkhususan), sehingga telah tersebar (motto) di kalangan ulama: “Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumuman)nya”. Maka takhsish (pengkhususan) banyak tersebar pada yang umum. Artinya, bahwa tidak ada yang bebas (suatu dalil umum) daripadanya (takhsish) melainkan sedikit, itupun dengan qarinah (kata/kalimat penjelas makna yang mengiringi dalil yang umum). (Lihat Ushul al-Fiqh al-Islami, Dr. Wahbah az-Zuhaili, Dar el-Fikr, Damaskus, juz 1, hal 245).
اتفق أهل العلم سلفا وخلفا على أن التخصيص للعمومات جائز ولم يخالف في ذلك أحد ممن يعتد به وهو معلوم من هذه الشريعة المطهرة لا يخفى على من له أدنى تمسك بها حتى قيل إنه لا عام إلا وهو مخصوص إلا قوله تعالى والله بكل شيء عليم (إرشاد الفحول، محمد بن علي الشوكاني، دار الفكر، بيروت، ص. 246).
Telah sepakat ahli ilmu baik salaf maupun khalaf bahwa takhsish (pengkhususan) bagi keumuman-keumuman itu adalah boleh (ja’iz), dan tidak ada seorangpun dari orang-orang yang dianggap (keilmuannya) yang menentangnya, dan hal itu sudah diketahui termasuk dari syari’at yang suci ini, tidak tersembunyi (bahkan) bagi orang yang memiliki komitmen yang rendah terhadap syari’at tersebut, sehingga dikatakan, “Sesungguhnya tidak ada (dalil) yang umum melainkan dia sudah dikhususkan”, kecuali firman Allah ta’ala, “Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (Lihat Irsyadul-Fuhuul, Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Dar El-Fikr, Beirut, hal. 246).
Pendapat jumhur (mayoritas) ulama seperti di atas merupakan hasil penelitian yang seksama terhadap seluruh dalil umum yang terdapat di dalam al-Qur’an dan hadis. Kesimpulan jumhur ulama bahwa “Tidak ada (dalil) yang umum kecuali telah dikhususkan sebagian dari (keumumannya)” boleh dianggap sebagai kesimpulan final, di mana agama telah sempurna dan wahyu atau hadis tidak turun lagi atau tidak dikeluarkan lagi, maka tidak mungkin Allah atau Rasulullah Saw. meninggalkan “PR” (pekerjaan rumah) bagi umat untuk mencari-cari maksud sesungguhnya dari suatu ayat atau hadis yang bersifat umum, sehingga akan memunculkan perbedaan pengertian yang bisa berakibat fatal. Jika seandainya masih ada tersisa dalil umum yang belum ditakhsish (dikhususkan), maka pastilah akan menimbulkan tanda tanya tentang maksud keumumannya yang mengandung ketidakjelasan.
Pada kasus dalil tentang muhdatsat dan bid’ah misalnya, ketika disebutkan ” setiap bid’ah (perkara baru) adalah kesesatan”, maka secara harfiyah atau lughawiyah (bahasa) akan mencakup “semua perkara baru” yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. baik yang berhubungan dengan agama, adat istiadat, maupun perkara kebutuhan hidup duniawi, seperti: Pekerjaan, pakaian, kendaraan, makanan, minuman, peralatan, bangunan, dan lain-lainnya. Tentu pengertian umum seperti ini akan menimbulkan syubhat (ketidakjelasan), bahwa di satu sisi memang lafaz “setiap bid’ah adalah kesesatan” adalah lafaz umum, di sisi lain cakupan keumuman lafaz itu kepada setiap hal yang baru akan mempersulit kehidupan manusia yang tidak sama dengan kehidupan Rasulullah Saw., entah menyangkut masa hidupnya, makanannya, kebiasaannya, iklimnya, wilayahnya, bahasanya, budayanya, ataupun yang lainnya.
Kaum Salafi & Wahabi sepertinya ngotot bahwa hadis tentang bid’ah itu harus diberlakukan keumumannya seperti apa adanya dan tidak boleh dikhususkan pada sebagian “perkara baru” saja, sehingga dengan begitu kata bid’ah tidak boleh dimengertikan sebagiannya sebagai kesesatan dan sebagian yang lain tidak. Itu artinya mereka bersikukuh menolak takhsish (pengkhususan) pada hadis tersebut, karena jelas-jelas lafaznya bersifat umum. Tapi kemudian setelah ternyata memang tidak mungkin memberlakukan keumumannya pada “setiap perkara baru” sampai kepada urusan kebutuhan hiduap duniawi seperti pakaian, kendaraan, atau lainnya, maka kemudian mereka menyatakan bahwa maksudnya adalah “setiap perkara baru di dalam agama” berdasarkan hadis lain yang mengisyaratkannya. Sampai di sini, mereka masih tidak sadar bahwa pembatasan “setiap perkara baru” dengan ungkapan “di dalam agama” yang mereka nyatakan berdasarkan dalil lain itu adalah takhsish (pengkhususan) namanya. Jadi, mereka mengaku menolak takhsish pada hadis tersebut, padahal mereka dengan tidak sengaja dan terpaksa telah menggunakannya.
Takhsish sebatas ini pun masih belum cukup jelas alias masih mengandung syubhat (ketidakjelasan), karena urusan “di dalam agama” itu sangat banyak kategorinya, mencakup: Perintah & larangan, wajib & sunnah, pokok (ushul) & cabang (furu’), murni (mahdhah) & tidak murni (ghairu mahdhah), halal & haram, dan lain sebagainya. Maka, “setiap perkara baru (bid’ah) di dalam agama” pada kategori yang manakah yang dianggap sebagai “kesesatan”? Apakah mencakup keseluruhan kategori tersebut atau hanya sebagiannya?
Tampaknya, Kaum Salafi & Wahabi sudah mencukupkan diri dengan takhsish (pengkhususan) sebatas ini, di mana “setiap (bid’ah) perkara baru” yang dianggap kesesatan dikhususkan menjadi “perkara baru di dalam agama”, dan itu mencakup keseluruhan kategori di dalam urusan agama. Dari pengertian inilah akhirnya mereka terjebak pada definisi yang tidak jelas, sehingga “perkara baru di dalam agama” yang tanpa batasan kategori atau kriteria itu berubah menjadi “perkara baru berbau agama dan berbau ibadah”. Akibatnya, mereka jadi paranoid terhadap segala macam perkara baru; apa saja yang dikerjakan orang yang mengandung “unsur” berbau agama, baik berupa ucapan maupun perbuatan yang mereka anggap tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabatnya, langsung dituduh sebagai menambah-nambahi agama dengan “perkara baru atau ibadah baru”. Padahal, yang mengucapkan atau melakukannya tidak pernah bermaksud begitu.
Pantas saja, bahkan urusan lumrah seperti mengucap alhamdulillah ketika bersendawa dianggap tidak layak dilakukan hanya karena –menurut mereka— tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. (lihat Ensiklopedia Bid’ah halaman 365), padahal merasa mendapat nikmat karena sendawa atau karena apa saja, dan banyak memuji Allah adalah merupakan sikap yang bukan saja tidak dilarang, bahkan terpuji dan disukai di dalam agama. Dan banyak lagi amalan-amalan yang lumrah dan dimaklumi kebaikannya bahkan oleh akal seorang awam sekalipun yang dianggap bid’ah oleh kaum Salafi & Wahabi hanya karena “berbau agama dan berbau ibadah”, seperti: Berwudhu sebelum menyembelih hewan, bershalawat setelah adzan, peresmian masjid dengan acara perayaan, naik ke Jabal Nur untuk melihat gua Hira, membaca do’a dari buku panduan ibadah haji, membaca surat al-Fatihah setelah berdo’a, membaca al-Qur’an dan do’a sebelum adzan Shubuh, membaca al-Fatihah saat akad nikah, membaca shadaqallahul-‘azhim (Maha Benar Allah yang Maha Agung) setelah membaca al-Qur’an, membaca al-Asma’ al-Husna setelah shalat, dan lain sebagainya yang sesungguhnya tidak ada larangannya di dalam agama.
Jika mereka mengharamkan hal-hal itu dan menuduhnya sebagai bid’ah hanya karena alasan Rasulullah Saw. tidak melakukannya padahal beliau juga tidak pernah melarangnya, maka seharusnya mereka menyadari bahwa sikap mudah memvonis bid’ah terhadap amalan-amalan yang tidak jelas dalil larangannya dan bahkan membenci pelakunya, adalah juga sikap yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.!!!
Menurut para ulama, keumuman lafaz muhdatsat (perkara baru) dan bid’ah pada hadis-hadis itu sudah dikhususkan oleh hadis-hadis yang lain yang mengisyaratkan bahwa tidak setiap perkara baru itu bisa dikategorikan sebagai bid’ah kesesatan, dan mereka menyebut dalil tentang bid’ah itu sebagai dalil ‘aam makhshuush (dalil umum yang dikhususkan). Dalil yang mengkhususkannya di antaranya adalah pernyataan sayidina Umar bin Khattab Ra. tentang shalat tarawih berjama’ah yang beliau adakan, dengan ungkapan “Sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”. Dari sini dan juga dari dalil-dalil lain yang mengisyaratkannya maka diketahui dengan pasti prinsip-prinsip dasar atau batasan yang menyebabkan suatu perkara baru dianggap sesat atau tidak (lihat Tahdziibul-Asmaa’ wal-Lughaat, Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, Syarh az-Zarqani, Syarh Sunan Ibnu Majah, ad-Diibaaj lis-Suyuthi, Faidl al-Qadir lil-Minawi, Syarh as-Suyuthi, dan Subul as-Salam lish-Shan’ani). Prinsip dasar dan batasan itulah yang dapat diberlakukan untuk menetapkan hukum sesat atau tidak sesat terhadap perkara-perkara baru di setiap masa sampai hari kiamat.
Baiknya kita sebut di antara dalil-dalil yang mengandung isyarat adanya pengkhususan terhadap hadis tentang bid’ah, di antaranya:
1. Ketika Nabi Saw. mengimami shalat, pada saat bangkit dari ruku’, di belakang beliau ada Sahabat yang membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ (segala puji bagi-Mu ya Allah, pujian yang banyak, yang bagus, lagi diberkati di dalamnya) dan bacaan ini tidak pernah diajarkan Nabi Saw. kepadanya. Setelah usai shalat, Nabi Saw. bertanya kepada para ma’mum, “Siapa yang membaca demikian itu tadi?” Seorang Sahabat mengaku, “Saya.” Nabi Saw. berkata, “(ketika engkau baca itu) aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba ingin mencatatnya lebih cepat.” (HR. Bukhari)
2. Seorang laki-laki dari golongan Anshar suatu saat mengimami shalat. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, ia membaca surat Qul Huwallaahu ahad (al-Ikhlash), setelah itu ia tambah lagi membaca surat yang lain, dan itu ia lakukan di setiap raka’at. Ketika selesai, para Sahabat menegurnya, “Apakah engkau tidak merasa cukup? Bacalah al-Ikhlash saja dan tinggalkan yang lain, atau bacalah yang lain dan tinggalkan al-Ikhlash.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kalian suka, aku akan imami kalian, kalau tidak kalian boleh tinggalkan.” Ketika ia dihadapkan kepada Rasulullah Saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak mau melakukan saran mereka untuk mencukupkan pada al-Ikhlash saja atau pada yang lainnya saja?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintainya (surat al-Ikhlash).” Maka Nabi Saw. bersabda,”Cintamu kepadanya (al-Ikhlash) akan memasukkan kamu ke dalam Surga.” (HR. Bukhari)
3. Ketika melihat “kekacauan” para Sahabat dalam melakukan shalat tarawih di masjid, karena mereka shalat berpencar-pencar dengan bacaan masing-masing, maka Umar bin Khattab Ra. berinisiatif untuk mengumpulkan mereka di dalam satu jama’ah (tarawih berjama’ah) dengan satu imam. Setelah dilakukan, tarawih berjama’ah itu ternyata indah dan rapi, sehingga terucap dari lidah Umar bin Khattab Ra.,” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).” (HR. Malik).
4. Setelah Rasulullah Saw. wafat, dipilihlah Shahabat setia beliau yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagai pemimpin kaum muslimin atau pemimpin orang-orang beriman (amiirul-mu’miniin). Di awal masa kekhalifahan beliau inilah terjadi perang Yamamah, yaitu perang terhadap orang-orang murtad dan orang yang mengaku menjadi nabi, alias nabi palsu yang bernama Musailamah al-Kadzdzaab. Pada peperangan tersebut, dikatakan telah wafat sekitar 700 orang shahabat bahkan mungkin lebih, di mana di antara mereka terdapat para penghafal al-Qur’an.
Maka Umar bin Khattab Ra. datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menyampaikan usul agar beliau sebagai khalifah dapat melakukan upaya pengumpulan al-Qur’an secara tertulis dalam satu mushaf karena khawatir akan hilangnya sebagian banyak daripada al-Qur’an bersama wafatnya para shahabat di medan perang. Mendengar usul ini, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menolak dengan alasan, “Bagaimana kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?”
Mendengar tanggapan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. itu, Umar bin Khattab Ra. menegaskan, “Demi Allah, (mengumpulkan al-Qur’an) ini adalah baik!” Dan Umar bin Khattab Ra. terus menerus meyakinkan Abu Bakar Ra. sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima usul tersebut. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit Ra. dan menyampaikan rencana mereka kepadanya. Zaid menjawab, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Keduanya menjawab, “Demi Allah, ini adalah baik!” Keduanya terus meyakinkan Zaid sehingga Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar (HR. Bukhari). Lalu dilaksanakanlah pengumpulan al-Qur’an itu oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit Ra. berdasarkan penunjukkan dari khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
Hasilnya, mushaf al-Qur’an yang dikumpulkan berdasarkan usul Umar bin Khattab Ra. dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu kemudian disalin ulang dan dikembangkan serta disebarluaskan, hingga kini dapat kita jumpai dan kita baca dengan mudah. Bayangkan, tanpa bid’ah yang satu ini, barangkali kita tidak akan mengenal al-Qur’an dan tidak dapat membacanya!
Dan banyak lagi contoh-contoh riwayat yang lain yang menjelaskan adanya bid’ah yang dilakukan di masa Rasulullah Saw. atau di masa para Shahabat beliau yang tidak dianggap sebagai suatu kesesatan, bahkan dijelaskan keutamaannya. Itu berarti, keumuman hadis tentang larangan bid’ah dikhususkan/dikecualikan oleh kasus-kasus seperti riwayat-riwayat shahih yang tersebut di atas. Kasus-kasus seperti itu kemudian dipelajari dan diambil benang merahnya, kemudian benang merah itulah yang menjadi dasar membolehkan perkara baru (bid’ah) yang baik (hasanah).
Bid’ah hasanah adalah sesuatu yang baru (yang bentuk/formatnya tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw.) yang diada-adakan oleh orang-orang setelahnya tetapi tidak bertentangan dengan prinsip agama Islam dan mengandung kebaikan atau maslahat. Dan yang menyetujui adanya pembagian bid’ah menjadi dua, yaitu sayyi’ah/madzmumah (buruk/tercela) dan hasanah/mahmudah (baik/terpuji), adalah mayoritas ulama yang diakui keilmuannya, mereka adalah: Imam Syafi’I, Ibnu Abdil-Barr, Ibnu al-‘Arabi, Ibnu al-Atsir, ‘Izzuddin bin Abdussalam, Imam an-Nawawi, Ibnu Hajar al-‘Asqallani, Badruddin Mahmud al-‘Aini, ash-Shan’ani, asy-Syaukani, dan lain-lainnya.
Yang dimaksud para ulama dengan prinsip dasar atau batasan dalam urusan bid’ah ini adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Syafi’I yaitu, “Bid’ah itu ada dua: Terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Apa yang sesuai/sejalan dengan sunnah adalah terpuji, dan apa yang bertentangan dengan sunnah adalah tercela” (lihat Fathul-Bari, Ibnu Hajar al-Asqallani, Daarul Ma’rifah, juz 13, hal 253).
Apa yang dilakukan oleh para ulama dalam rangka memahami dalil bid’ah tersebut sangatlah proporsional, di mana dalil “yang umum” pengertiannya “dikhususkan” oleh adanya dalil-dalil lain. Dan ketika ternyata dalil-dalil itu memang tidak menyebutkan perincian jenis perkara-perkara baru berbau agama, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi di masa datang, maka mereka pun tidak merincikannya, melainkan hanya menetapkan prinsip dasar dan batasannya yang sangat berguna untuk dapat menggolongkan apakah suatu perkara baru di masa depan termasuk yang dilarang (tercela/sesat) atau dibolehkan (terpuji/hasanah).
Sementara yang dilakukan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah keteledoran, di mana “dalil umum” tentang bid’ah mereka gunakan untuk menghukumi perkara-perkara khusus, bahkan segala perkara baru berbau agama tanpa terkecuali, padahal dalil-dalil itu tidak menyebutkan rinciannya. Ini terjadi akibat mereka tidak menggunakan metodologi para ulama dalam memahami dalil umum, khususnya tentang muhdatsat dan bid’ah, karena mereka hanya mengandalkan makna lahir (harfiyah) dari dalil tersebut sehingga mereka tidak peduli terhadap dalil-dalil lain yang jelas-jelas mengisyaratkan adanya pengkhususan atau pengecualian.
Singkatnya, tentang hadis muhdatsat dan bid’ah tersebut, para ulama memberlakukan takhsish (pengkhususan) yaitu metode pembahasan dalil umum yang sudah disepakati oleh seluruh ulama ushul. Sedangkan Kaum Salafi & Wahabi memberlakukan tafshil (perincian) dengan menyebutkan jenis atau macam-macam amalan yang mereka tuduh sebagai bid’ah, dan metode ini tidak pernah digunakan oleh para ulama ushul dalam membahas sebuah dalil umum.
Maka saat mereka mengatakan, “Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., zikir berjama’ah, dan lain sebagainya adalah bid’ah sesat yang dilarang oleh Rasulullah Saw.”, berarti mereka benar-benar telah melakukan penipuan terhadap umat dan telah berbohong atas nama Rasulullah Saw. Mengapa demikian??! Karena Rasulullah Saw. tidak pernah menyebutkan hal itu.
Dalam rangka menambah kesan sangat buruk pada tertuduh pelaku bid’ah, mereka juga mengajukan dalil-dalil lain tentang ancaman bagi pelaku bid’ah seperti hadis-hadis Rasulullah Saw. berikut ini:
أَبَى اللهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ (رواه ابن ماجه)
“Allah enggan menerima amal pelaku bid’ah sampai ia meninggalkan bid’ahnya”
(HR. Ibnu Majah dengan sanad yang dha’if, karena terdapat 2 perawi yang majhul atau tidak diketahui).
لاَ يَقْبَلُ اللهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلاَ صَلاَةً وَلاَ صَدَقَةً وَلاَ حَجًّا وَلاَ عُمْرَةً وَلاَ جِهَادًا وَلاَ صَرْفًا وَلاَ عَدْلاً يَخْرُجُ مِنْ اْلإِسْلاَمِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ (رواه ابن ماجه)
“Allah tidak menerima dari pelaku bid’ah amal puasanya, shalatnya, shadaqahnya, hajinya, umrahnya, jihadnya, taubatnya, dan fidyahnya. Ia keluar dari Islam seperti keluarnya rambut dari dalam tepung” (HR. Ibnu Majah dengan sanad yang dha’if, karena terdapat perawi yang dianggap pendusta bahkan dikenal sebagai pemalsu hadis).
Kedua hadis ancaman terhadap pelaku bid’ah di atas, sebenarnya tidak dapat dijadikan hujjah karena tingkat kelemahan (dha’if) yang cukup berat. Namun begitu, seandainya pun mau diberlakukan juga maknanya, tentu kita dapat melihat jelas bahwa kata bid’ah yang dikandungnya juga bersifat umum seperti dalil-dalil sebelumnya, sehingga tidak bisa dituduhkan kepada setiap perkara baru berbau agama seperti maulid atau tahlilan kecuali bila ada dalil yang menyebutkannya.
Demikian pula dengan dalil-dalil dari para shahabat atau para ulama salaf yang mereka lansir sebagai sikap kebencian para ulama tersebut terhadap bid’ah dan para pelakunya, pun bersifat umum. Mari kita lihat seperti yang tersebut di dalam mukaddimah buku Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, sebagai berikut:
Kata Ibnu Mas’ud, “Ikutilah dan janganlah melakukan bid’ah karena agama sudah dicukupkan untuk kalian.”
Kata Ibnu Abbas, “Hendaknya engkau senantiasa bertakwa kepada Allah dan beristiqamah, ikutilah dan jangan melakukan bid’ah.”
Menurut Ibnu Umar, “Setiap bid’ah adalah kesesatan meskipun orang lain menganggapnya bagus.”
Kata Umar bin Abdul Aziz, “Aku nasihatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah dengan istiqamah, mengikuti sunnah Rasul-Nya dan meninggalkan bid’ah yang dilakukan oleh ahli bid’ah sesudahnya.”
Abu Hanifah berkata, “Hendaknya kalian berpegang teguh dengan atsar, mengikuti langkah salaf, dan menghindarkan dirimu dari hal-hal yang baru, karena itu merupakan perbuatan bid’ah.”
Imam Malik berkata, “Barangsiapa melakukan bid’ah dalam Islam dan menganggapnya baik, berarti dia telah meyakini bahwa Muhammad Saw. telah berkhianat dalam menyampaikan risalah, karena Allah telah berfirman, ‘Pada hari ini telah kusempurnakan untuk kalian agama kalian (al-Maidah:3). Apa saja yang saat itu tidak dikategorikan sebagai agama, maka sekarang pun tidak menjadi bagian darinya.”
Ahmad bin Hanbal berkata, “Bagi kami, dasar-dasar sunnah adalah berpegang teguh kepada apa yang dilakukan oleh para shahabat Rasulullah, mengikuti mereka, dan meninggalkan bid’ah. Dan setiap bid’ah adalah kesesatan.”
Dan banyak lagi dalil-dalil dari para shahabat dan para ulama salaf yang mereka kemukakan, dan itu semua bersifat umum, tidak merincikan jenis-jenis bid’ah yang dimaksud. Berarti, saat mereka menyebut bid’ah dengan nada ungkapan kebencian seperti di atas, maksudnya adalah bid’ah yang bertentangan dengan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah Saw. alias bid’ah sayyi’ah/madzmumah atau dhalalah sebagaimana telah diuraikan sebelum ini, bukan seluruh bid’ah tanpa terkecuali. Pengertian tersebut juga dapat diambil dari hadis Rasulullah Saw.:
إِنَّهُ مَنْ أَحْيَا سُنَّةً مِنْ سُنَّتِيْ قَدْ أُمِيْتَتْ بَعْدِيْ فَإِنَّ لَهُ مِنَ اْلأَجْرِ مِثْْلَ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ أََنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنِ ابْتَدَعَ بِدْعَةَ ضَلاَلَةٍ لاَ تُرْضِي اللهَ وَرَسُوْلَهُ كَانَ عَلَيْهِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ عَمِلَ بِهَا لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أَوْزَارِ النَّاسِ شَيْئًا (رواه الترمذي)
“Sesungguhnya barang siapa yang menghidupkan suatu sunnah dari sunnahku yang telah dimatikan (ditinggalkan) setelah aku (wafat), maka sesungguhnya bagi dia daripada pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengada-adakan (melakukan) bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah atasnya (baginya) seperti dosa-dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dari dosa-dosa manusia (yang melakukannya) sedikitpun” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini juga secara tidak langsung mengindikasikan bahwa bid’ah dhalalah (bid’ah kesesatan) itu adalah bukan sunnah Rasulullah Saw. atau tidak sejalan dengan sunnah beliau. Di samping itu, penyebutan kata bid’ah dhalalah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya juga mengindikasikan makna tersirat bahwa di sana ada bid’ah hasanah (bid’ah kebaikan) yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang dalam bahasa lain adalah sunnah hasanah, yaitu yang termasuk dalam sunnah Rasulullah Saw. atau yang sejalan dengan sunnah beliau. Ini adalah penjelasan yang sejalan dengan pendapat mayoritas ulama yang setuju dengan adanya takhsish pada hadis bid’ah.
Kaum Salafi & Wahabi juga telah mencari-cari alasan untuk menolak zhahirnya ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. ketika beliau mengatakan “Sebaik-baik bid’ah adalah ini!” Mereka berkata, bahwa sesungguhnya shalat tarawih berjama’ah yang dilakukan Umar bin Khattab Ra. itu bukanlah bid’ah karena pernah dilaksanakan oleh Rasulullah Saw. selama tiga malam, jadi hal itu sebenarnya adalah sunnah, bukan bid’ah. Berarti, kata mereka, Umar bin Khattab Ra. tidak melakukan perkara baru, tetapi menghidupkan sunnah Rasulullah Saw. yang pernah dilakukan lalu ditinggalkan.
Pada ungkapan mereka ini jelas sekali ada alasan yang dipaksakan. Pertama, sayidina Umar jelas-jelas menyebutnya sebagai bid’ah, mereka malah menta’wilnya sebagai sunnah. Biasanya mereka paling anti terhadap ta’wil, sebab kebiasaan mereka adalah memahami dalil secara harfiyah apa adanya. Pada kasus ini, mereka melanggar prinsip mereka sendiri dengan melakukan ta’wil, tentunya karena ada kepentingan membela keyakinan mereka yang keliru. Kedua, bila cuma sunnah Rasulullah Saw. yang dihidupkan kembali, kenapa sayidina Umar bin Khattab Ra. menggagas shalat tarawih berjama’ah itu di awal malam (ba’da Isya) bukan tengah malam, dan bukan cuma tiga malam seperti yang pernah dilakukan Rasulullah Saw., tetapi sebulan Ramadhan penuh, serta dengan jumlah 20 raka’at yang mana tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. Apakah benar-benar tidak ada perkara baru dalam hal itu?!!
Tidak berhenti sampai di sini, kaum Salafi & Wahabi kemudian juga mengatakan, bahwa orang yang mengatakan ada bid’ah hasanah dengan dalil ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. “Sebaik-baik bid’ah adalah ini” berarti telah membenturkan hadis Rasulullah Saw. yang berbunyi “Setiap bid’ah adalah kesesatan” dengan perkataan Umar bin Khattab Ra. Bagaimana mungkin hal itu dapat dibenarkan –kata mereka–, sedangkan Umar bin Khattab Ra. hanyalah seorang shahabat yang tidak boleh lebih diunggulkan dari pada Rasulullah Saw. Bahkan mereka mengajukan dalil dari ungkapan Ibnu Abbas Ra., “Hampir saja kalian dilempar dengan batu dari atas langit. Sebab aku katakan, ‘Rasulullah Saw. bersabda’, tetapi kalian menentangnya dengan ucapan Abu Bakar dan Umar.”(lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 27).
Alasan ini pun tidak bisa diterima. Pertama, di samping pernyataan Ibnu Abbas tersebut perlu diteliti lagi keabsahannya karena tidak jelas sumbernya, penempatannya pada kasus ini pun sangat tidak berhubungan, terkesan dipaksakan. Kedua, para ulama yang mendasari adanya bid’ah hasanah dengan dalil dari ucapan sayidina Umar bin Khattab Ra. itu, bukan berarti mengkonfrontir atau membenturkan sabda Rasulullah Saw. dengan perkataan Umar bin Khattab Ra., tetapi mereka justeru sedang menjelaskan pemahaman bid’ah yang disebutkan Rasulullah Saw. itu dengan isyarat yang ada di dalam perkataan sayidina Umar. Sebab, mustahil sayidina Umar tidak pernah mendengar sabda Rasulullah Saw. “setiap bid’ah adalah kesesatan”, dan mustahil pula sayidina Umar tidak mengerti maksud hadis itu sehingga ia berani meledeknya dengan ucapan “sebaik-baik bid’ah adalah ini”. Justeru keberanian sayidina Umar bin Khattab Ra. mengucapkan ungkapan tersebut adalah karena beliau paham betul maksud dari hadis Rasulullah Saw. tentang bid’ah itu, lagi pula tidak seorang pun dari shahabat Rasulullah Saw. yang lain yang membantahnya ketika ia mengucapkannya. Ini menunjukkan bahwa sayidina Umar bin Khattab Ra. dan para shahabat yang lainnya sangat mengerti, bahwa hadis “setiap bid’ah adalah kesesatan” maksudnya adalah yang bertentangan dengan prinsip al-Qur’an dan sunnah Rasulullah Saw., bukan sembarang perkara baru.
Analoginya, jika di suatu kampung ada seseorang bernama “Udin” yang dikenal sangat buruk perangainya, maka saat seseorang berkata kepada anaknya, “Jangan kau bergaul sama Udin” atau “Aku tidak sudi berhubungan dengan Udin”, tentu itu artinya bukan sembarang Udin karena di kampung itu banyak orang yang memiliki nama panggilan “Udin”. Saat nama “Udin” diucapkan dengan nada atau ungkapan kebencian, maka maksudnya adalah “Udin yang terkenal keburukan perangainya.” Seperti itulah pengertian yang dapat kita ambil dari ungkapan-ungkapan Rasulullah Saw., para shahabat, dan para ulama salaf ketika mereka menyebut kata bid’ah.
Saat Rasulullah Saw. menyatakan, “Setiap bid’ah adalah kesesatan”, maka maksudnya sudah jelas, yaitu perkara-perkara baru yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kebaikan yang disebutkan di dalam al-Qur’an dan Sunnah. Analoginya, ada orang berkata tentang si “Udin” yang terkenal keburukannya itu, “Setiap perbuatan Udin adalah keburukan”, tentu maksudnya adalah perbuatannya yang bertentangan dengan norma agama atau norma masyarakat, bukan semua perbuatannya. Bagaimana mungkin perbuatan si “Udin” seperti: Makan saat ia lapar, tidur saat ia mengantuk, diam saat ia tidak melakukan apa-apa, juga dianggap sebagai keburukan??! Sungguh keji orang yang memukul rata seluruh perbuatan itu sebagai keburukan, sebagaimana kejinya orang yang memukul rata seluruh perkara baru berbau agama seperti maulid, tahlilan, zikir berjama’ah, do’a berjama’ah, ziarah kubur, dan lain sebagainya sebagai kesesatan!
Sungguh, orang yang tidak bisa melihat kebaikan, manfaat, dan maslahat yang ada di dalam acara Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. atau yang lainnya yang dikategorikan oleh para ulama sebagai bid’ah hasanah (perkara baru yang baik) dengan alasan Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, adalah orang yang belum dilapangkan dadanya untuk leluasa melihat kebaikan di dalam agama, padahal para ulama sudah banyak menulis kitab-kitab yang menjelaskan dalil-dalil dan keutamaan-keutamaannya.
Bila Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. bisa menerima usul Sayidina Umar bin Khattab Ra. dalam hal “penulisan dan pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf” hanya dengan alasan “Demi Allah, ini adalah baik” hal mana ia tahu Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, dan Abu Bakar Ra. menyatakan bahwa penerimaannya terhadap usul itu adalah sebagai wujud “Allah melapangkan dadaku untuk menerima usul itu”, maka betapa masih sempitnya dada kaum Salafi & Wahabi yang tidak bisa menerima adanya kategori bid’ah hasanah/mahmudah dan kebaikan-kebaikannya bagi umat di masa belakangan padahal mayoritas ulama sudah membahasnya di dalam kitab-kitab mereka lebih dari sekedar ungkapan “Demi Allah, ini adalah baik”. Harusnya mereka menangis sambil berusaha mencari tahu, “Mengapa, dengan puluhan jilid kitab para ulama, Allah belum melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Abu Bakar Shiddiq Ra. hanya dengan satu kalimat ‘Demi Allah, ini adalah baik’?” Jawabnya adalah, karena di hati mereka masih ada kesombongan; merasa lebih utama dan benar sendiri, dan menganggap selain mereka salah dan tidak sesuai sunnah.
2. DALIL PERINTAH & LARANGAN
Bagi kaum Salafi & Wahabi, segala urusan di dalam agama hanya ada di antara dua kategori, yaitu:
1. Yang diperintah atau dicontohkan, yaitu setiap amalan yang jelas ada perintahnya, baik dari Allah Swt. di dalam al-Qur’an maupun dari Rasulullah Saw., atau setiap amalan yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau.
2. Yang dilarang, yaitu setiap amalan yang jelas ada larangannya dari Allah maupun dari Rasulullah Saw.
Dalil yang mereka kemukakan di antaranya adalah:
” … Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Hasyr: 7)
Sebenarnya, ayat di atas secara keseluruhan sedang berbicara tentang fai’ (harta rampasan yang diperoleh dari musuh tanpa pertempuran), sehingga tafsiran asalnya adalah “apa yang diberikan Rasul (dari harta fai’) kepadamu maka terimalah dia” (lihat Tafsir Jalalain). Tetapi para mufassir seperti Ibnu Katsir dan al-Qurthubi juga menafsirkan ungkapan “apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia” dengan makna “apa yang diperintahkan Rasul …” berhubung setelahnya ada perintah untuk meninggalkan apa yang dilarang oleh Rasul, di samping itu juga karena adanya riwayat-riwayat hadis yang mendukung makna tersebut.
Yang harus diperhatikan adalah bahwa ayat tersebut bersifat umum, artinya berbicara mengenai perintah dan larangan yang sangat global, sehingga untuk mengetahui apa saja yang diperintah atau yang dilarang secara pasti membutuhkan perincian melalui dalil-dalil lain yang bersifat khusus.
Dalil lain yang mereka ajukan adalah:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ دَعُونِي مَا تَرَكْتُكُمْ إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بِسُؤَالِهِمْ وَاخْتِلاَفِهِمْ عَلَى أَنْبِيَائِهِمْ فَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَيْءٍ فَاجْتَنِبُوهُ وَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ (رواه البخاري)
Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari).
Dalil hadis ini pun bersifat umum, dan masih memerlukan dalil-dalil lain yang lebih khusus untuk mengetahui perincian apa saja yang dilarang atau yang diperintahkan secara pasti.
Kaum Salafi & Wahabi seringkali membawa konotasi perintah & larangan pada ayat dan hadis di atas ke dalam konteks perintah mengikuti sunnah & larangan melakukan bid’ah. Pengarahan konteks tersebut sebenarnya tidak tepat dan terkesan dipaksakan, karena selain bahwa pengertian tentang sunnah Rasulullah Saw. yang wajib diikuti masih sangat umum dan butuh perincian dari dalil-dalil lain yang lebih khusus, begitu pula –terutama mengenai larangan— di dalam agama ada hal lain yang juga dilarang selain bid’ah seperti: Berbuat zalim, melakukan maksiat, atau mengkonsumsi makanan & minuman yang diharamkan.
Kategori Ketiga
Di antara dua kategori tersebut (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu “yang tidak diperintah juga tidak dilarang” sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian”. Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah “Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu.”
Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah”, ada seorang yang bertanya, “apakah setiap tahun ya Rasulullah?”. Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Bila aku jawab ‘ ya’ maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu”. Kemudian beliau bersabda ,”Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian”.
Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada “yang diperintah” atau kepada “yang dilarang” tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.
Tetapi sayangnya, kategori ini mereka masukkan dengan paksa ke dalam kategori kedua, yaitu “yang dilarang”. Menurut kaum Salafi & Wahabi, melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan adalah dilarang karena menyalahi perintah, dengan dalil:
“… maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An-Nuur: 63)
Lagi-lagi mereka lupa, bahwa kalimat “menyalahi” atau menyelisihi perintah Rasul pada ayat di atas itu pun bersifat umum, tidak dirincikan di dalamnya bahwa maksudnya adalah “melakukan apa yang tidak diperintahkan”.
Bila melakukan “yang tidak diperintahkan” adalah terlarang semata-mata karena tidak ada perintahnya dari Rasulullah Saw., maka kita –termasuk juga mereka yang berpaham Salafi & Wahabi—sudah melakukan pelanggaran yang sangat banyak dan terancam dengan azab yang pedih seperti disebut ayat tadi, karena telah membangun asrama, yayasan, mencetak mushaf, membuat karpet masjid, menerbitkan buku-buku agama, mendirikan stasiun Radio, dan lain sebagainya yang nota bene tidak pernah diperintahkan secara khusus oleh Rasulullah Saw.
Kemudian mereka juga berdalil dengan hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ (رواه البخاري)
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada perintah kami atasnya maka amalan itu tertolak” (HR. Bukhari).
Terjemah hadis ini kami tulis menurut versi pemahaman kaum Salafi & Wahabi, dan pemaknaan seperti itu sungguh keliru. Mengapa? Karena kami tidak mendapati seorang pun ulama hadis yang memaknai “laysa ‘alaihi amrunaa” dengan arti “yang tidak ada perintah kami atasnya”. Kata “amr” memiliki banyak arti, dan ia diambil dari kata “amara – ya’muru” yang berarti “memerintahkan”. Tetapi bila ia mendapat iringan atau imbuhan berupa huruf “‘alaa” (atas), maka artinya adalah “menguasai”. Jadi, bila kalimat “amara ‘alaa” berarti “menguasai”, maka kalimat “amarnaa ‘alaihi” berarti “kami menguasainya”, maka kalimat “amrunaa ‘alaihi” atau “‘alaihi amrunaa” amat janggal bila diartikan “perintah kami atasnya”. Karena untuk arti “perintah”, kata “amara” lebih tepat diiringi huruf “bi” (dengan), seperti firman Allah ta’ala: “Innallaaha ya’muru bil-‘adli” (sesungguhnya Allah memerintahkan untuk berbuat adil).
Untuk sekedar diketahui, amalan yang mereka anggap tertolak dan terlarang karena tidak ada perintahnya atau menyalahi perintah Rasulullah Saw. adalah segala hal berbau agama yang mereka vonis sebagai bid’ah, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw., acara tahlilan, bersalaman setelah shalat berjama’ah, do’a berjama’ah, zikir berjama’ah, membaca al-Qur’an di pekuburan, dan lain sebagainya. Padahal, untuk amalan-amalan tersebut, meski tidak didapati perintah langsungnya, namun juga tidak didapati larangannya atau ketertolakannya.
Kata amr pada “amrunaa” di dalam hadis tersebut menurut para ulama maksudnya adalah “urusan (agama) kami”. Jadi terjemah hadis itu bunyinya adalah sebagai berikut, “Barangsiapa yang melakukan amalan yang bukan atasnya urusan agama kami (tidak sesuai dengan ajaran agama kami), maka amalan itu tertolak”. Seandainya pun kata “amrunaa” diartikan sebagai “perintah kami” dengan susunan kalimat seperti yang kami kemukakan tadi, maka pengertiannya juga sama, yaitu “amalan yang tidak sesuai dengan perintah kami”, bukan ” yang tidak ada perintah kami atasnya “. Makna ini tergambar di dalam hadis lain yang berbunyi:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim).
“Tidak sesuai perintah” mengandung pengertian adanya perintah, hanya saja pelaksanaannya tidak seperti yang diperintahkan, contohnya melakukan shalat tanpa wudhu dalam keadaan tidak ada uzur padahal shalat itu harus dengan wudhu sebagaimana diperintahkan. Ketidaksesuaian pelaksanaan suatu amal dengan perintah yang diberikan sebagaimana yang dimaksud hadis itu pun tidak dapat dipastikan sedikit-banyaknya, entah dari segi prinsipnya saja maupun dari segi bentuk atau formatnya secara keseluruhan. Sedangkan “tidak tidak ada perintah kami atasnya ” mengandung pengertian tidak ada perintah sama sekali, dan pemahaman seperti inilah yang membuat mereka berpandangan bahwa “melakukan apa yang tidak diperintahkan agama adalah sia-sia dan tidak mendapat pahala”. Yang seharusnya mereka teliti lagi, benarkah amalan-amalan yang mereka tuduh bid’ah itu tidak pernah diperintahkan, baik secara implisit atau eksplisit?
Terlepas dari itu semua, lagi-lagi lafaz hadis tersebut mengenai “amalan yang tidak sesuai dengan ajaran agama kami” juga bersifat umum, tidak menjelaskan rinciannya secara pasti. Maka tidak sah mengarahkannya kepada amalan-amalan tertentu seperti Maulid, ziarah, atau tahlilan, tanpa dalil yang menyebutkannya secara khusus.
Kita tidak mungkin mengingkari adanya kategori ketiga (yaitu kategori perkara “yang tidak diperintah tapi juga tidak dilarang), sedangkan isyarat hadis Rasulullah Saw. “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian” sangat jelas menunjukkannya. Bahkan yang seperti itu disebut sebagai “rahmat” dari Allah sebagaimana sabda Rasulullah Saw.:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى فَرَضَ فَرَائِضَ فَلاَ تُضَيِّعُوْهَا، وَحَدَّ حُدُوْدًا فَلاَ تَعْتَدُوْهَا، وَحَرَّمَ أَشْيَاءَ فَلاَ تَنْتَهِكُوْهَا، وَسَكَتَ عَنْ أَشْيَاءَ رَحْمَةً لَكُمْ غَيْرَ نِسْيَانٍ فَلاَ تَبْحَثُوْا عَنْهَا (حديث حسن رواه الدارقطني وغيره)
“Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan “Ia telah mendiamkan beberapa hal” tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang “mewajibkan”, “menetapkan batasan”, dan “mengharamkan”. Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta’ala ”mendiamkan beberapa hal” maka itu artinya “Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan”. Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.
Bagaimana mungkin kaum Salafi & Wahabi dapat menyatakan bahwa melakukan perkara yang tidak ada perintahnya adalah tertolak dan dilarang, sedangkan Allah Swt. melalui lisan Rasulullah Saw. malah menyebutnya sebagai “rahmat”??!
Imam Nawawi menjelaskan, bahwa larangan pada ungkapan “maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” adalah larangan yang khusus pada masa Rasulullah Saw di saat ajaran Islam masih dalam proses pensyari’atan, karena dikhawatirkan akan mempersulit diri dalam mengamalkan agama, seperti kisah Bani Israil yang disuruh menyembelih seekor sapi betina. Ketika Rasulullah Saw. sudah wafat, dan seluruh ajaran Islam sudah beliau sampaikan semuanya sehingga tidak akan ada tambahan lagi, maka larangan itu pun tidak berlaku lagi. Artinya, mengkaji apakah suatu perkara yang tidak ditetapkan hukumnya oleh Allah & Rasul-Nya (terutama perkara yang tidak pernah ada di masa hidup beliau seiring perubahan zaman) adalah merupakan suatu kebutuhan bahkan keharusan, mengingat tidak seluruh perkara baru itu bisa dibilang “rahmat” sebagaimana tidak pula seluruhnya itu bisa dibilang sebaliknya. Sehingga dengan begitu dapatlah diketahui hukum “boleh” atau “tidak”nya suatu perkara berdasarkan prinsip-prinsip dasar agama yang sudah disampaikan oleh Rasulullah Saw. tersebut.
Di sinilah peranan ulama dibutuhkan, dan telah nyata bahwa mereka benar-benar mengabdikan diri dengan ikhlas demi kemaslahatan umat Islam sepanjang hidup mereka. Merekalah para pewaris Rasulullah Saw., yang dengan kesungguhan dan dedikasi yang tinggi alhamdulillah mereka telah berhasil meletakkan rumusan dasar dan metodologi yang dapat dipergunakan oleh umat Islam sepanjang zaman untuk dapat membedakan dengan jelas, mana perkara baru (entah yang berbau agama atau tidak) yang dibolehkan dan mana perkara baru yang dilarang. Dan hasilnya, apa yang aslinya “rahmat” akan tetap dianggap “rahmat” sampai kapanpun, bagaimanapun macam dan bentuknya. Dari sini pulalah terlihat jelas perbedaan antara “perkara baru di dalam ajaran agama” dan “perkara baru yang berbau agama”.
Ketika kaum Salafi & Wahabi tidak dapat memahami kondisi ini, maka akibatnya adalah mereka menganggap sama “perkara baru di dalam ajaran agama” dengan “perkara baru yang berbau agama”, dan untuk keseluruhannya mereka menyatakan bid’ah sesat dan terlarang. Itulah mengapa mereka tidak dapat melihat “rahmat” yang ada pada acara peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. ketika umat yang awam berkumpul bersama para ulama dan shalihin di suatu tempat untuk mengingat Allah Swt., mengenang dan memuliakan Rasulullah Saw., bersholawat kepada beliau, serta memupuk kecintaan kepada beliau, sebagaimana “rahmat” yang ada pada saat berkumpulnya para Shahabat bersama Rasulullah Saw. dengan penuh cinta dan pemuliaan terhadap beliau.
Kaum Salafi & Wahabi seperti buta terhadap “rahmat” yang Allah berikan kepada umat Islam pada perkara-perkara yang tidak Ia sebutkan hukumnya. Dan yang lebih parah, mereka juga seperti buta terhadap begitu banyak dalil dan isyarat-isyaratnya yang menyebut tentang adanya perkara tawassul kepada orang shaleh baik hidup maupun sudah meninggal, tentang ziarah kubur, tentang membacakan al-Qur’an kepada orang yang meninggal dunia, tentang tabarruk, tentang berzikir atau berdo’a berjama’ah, tentang do’a qunut pada shalat shubuh, dan lain sebagainya, sehingga mereka berani berkata “tidak ada dalilnya” atau “tidak pernah dikerjakan oleh Rasulullah Saw. atau para shahabatnya”.
Kaum Salafi & Wahabi, mengenai amalan yang tidak diperintahkan atau tidak dicontohkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau, juga berdalil dengan perkataan shahabat Hudzaifah ibnul-Yaman Ra. sebagai berikut:
كُلُّ عِبَادَةٍ لمَ ْيَفْعَلُوْهَا أَصْحَابُ رَسُوْلِ اللهِ فَلاَ تَفْعَلُوْهَا
“Setiap ibadah yang tidak dilakukan para Shahabat Rasulullah Saw. maka janganlah kalian lakukan” (Prof. TM Hasbi Ash-Shiddieqy menyebutkan riwayat ini di dalam karyanya “Kriteria Antara Sunnah dan Bid’ah”, dan ia menyebutkannya sebagai riwayat Abu Dawud. Tetapi kami belum mendapatinya di dalam riwayat Abu Dawud atau yang lainnya. Riwayat ini juga disebut di dalam buku Ensiklopedia Bid’ah karya Hammud bin Abdullah al-Mathar).
Meskipun seandainya riwayat itu benar adanya, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa pernyataan itupun bersifat umum, yaitu menyangkut urusan ibadah yang tidak bisa dipahami secara rinci kecuali setelah kita memahami pengertian “ibadah” tersebut melalui penjelasan yang tersurat atau tersirat dalam riwayat-riwayat yang lain. Mereka juga berdalih dengan suatu qaidah ushul yang mengatakan:
اْلأَصْلُ فِي الْعِبَادَةِ التَّوْقِيْفُ
“Asalnya ibadah adalah ketetapan (dari Rasulullah Saw.)”
atau dalam kaidah lain, “Asal hukum ibadah adalah haram, kecuali bila ada
dalil yang menyuruhnya.”
Kaidah itu pun bersifat umum, dan harus dijelaskan pengertian dan macam ibadah yang yang dimaksud (meskipun sebenarnya para ulama yang membuat kaidah tersebut sudah membahasnya dengan gamblang, namun bagi kaum Salafi & Wahabi, kaidah itu dipahami berbeda). Bagaimana mungkin kita samakan ibadah yang punya ketentuan dalam hal Cara, jumlah, waktu, atau tempat seperti: Sholat, puasa, zakat, dan haji (yang dikategorikan sebagai ibadah mahdhoh/murni), dengan ibadah yang tidak terikat oleh hal-hal tersebut seperti: Do’a, zikir, shalawat, sedekah, husnuzh-zhann (sangka baik) kepada Allah, atau istighfar (yang dikategorikan sebagai ibadah ghairu mahdhoh) yang boleh dilakukan kapan saja, di mana saja dan berapa saja, bahkan dalam keadaan junub sekalipun. Jangankan itu, menyamakan ibadah yang hukumnya wajib dengan ibadah yang hukumnya sunnah.saja tidak mungkin.
Bila semuanya dianggap sama, yaitu harus seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para shahabat sebagaimana disebutkan di dalam riwayat hadis tanpa membedakan hukum wajib dan sunnah, mahdhoh dan ghairu mahdhoh, maka yang terjadi adalah: Berzikir harus dalam keadaan tertentu dan dengan zikir tertentu yang disebutkan hadis saja; berdo’a harus dengan kalimat yang ada di dalam hadis dan tidak boleh menambah permintaan yang lain; dan khutbah jum’at harus dengan bahasa Arab dengan isi khutbah seperti yang ada di dalam hadis; dan shalat harus sama dengan yang disebutkan di dalam hadis dalam hal panjang bacaannya, lama pelaksanaannya, dan banyak rakaatnya. Sungguh, dengan begitu agama ini akan menjadi sangat berat dan susah bagi umat Islam yang belakangan seperti kita. Bahkan kita perlu bertanya, apakah mungkin Islam dengan pemahaman kaku seperti itu bisa diterima manusia sementara keadaan zaman makin ke belakang makin buruk, apalagi keadaan manusianya?
Adalah sangat mungkin, seandainya Wali Songo dan para pembawa Islam di Indonesia pada masa dahulu berdakwah dengan pemahaman Islam seperti kaum Salafi & Wahabi, maka dakwah mereka pasti akan ditolak dan sulit berkembang, sebab segala sarana yang mereka gunakan untuk berdakwah saat itu seperti: Gending, gamelan, tembang, wayang, dan syair-syair jawa, bagi Kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Bukan tidak mungkin bila seluruh ulama menganut paham Salafi & Wahabi, maka Islam akan ditinggalkan orang bahkan ditinggalkan oleh umat Islam sendiri (dalam arti tidak ditaati ajarannya) alias tidak laku! Bagaimana tidak, saat dunia dan perhiasannya sudah dikemas sedemikian rupa sehingga menjadi semakin menarik, maka dakwah yang tidak kreatif akibat terbatasi oleh larangan bid’ah yang tidak jelas akan menjadi sangat membosankan.
Itulah mengapa para ulama yang kreatif mencoba mengemasnya dalam bentuk acara-acara adat yang disesuaikan dengan Islam, seperti: Peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw. dan Isra’ & Mi’raj, tahlilan, zikir berjama’ah, rombongan ziarah, haul, pembacaan qashidah atau sya’ir Islami, dan lain sebagainya. Itu semua mereka lakukan karena mereka memahami betul keadaan umat manusia di masa belakangan yang kualitas keimanan dan ketaatannya tidak mungkin bisa disamakan dengan para Shahabat Rasulullah Saw. atau para tabi’in.
Hasilnya, syi’ar Islam jadi semarak, dan umat Islam terpelihara keimanannya dengan banyaknya kegiatan keislaman di setiap waktu dan tempat di mana mereka dapat sering bertemu dengan para ulama dan orang-orang shaleh yang lama-kelamaan menjadi figur dan idola di hati mereka.
3. DALIL SESATNYA SETIAP BID’AH
Menyangkut bid’ah yang sering dituduhkan oleh kaum Salafi & Wahabi terhadap amalan kaum muslimin di berbagai belahan dunia, ada hadis Rasulullah Saw. yang sering mereka kemukakan, yaitu:
أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرُ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه مسلم)
“Adapun sesudahnya: Maka sesungguhnya sebaik-baik perkataan ialah Kitab Allah (al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap bid’ah itu kesesatan” (HR. Muslim).
مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ وَشَرُّ اْلأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ (رواه النسائي)
“Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka tidak ada yang dapat menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Sesungguhnya sebenar-benar perkataan adalah Kitab Allah (al-Qur’an), dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw., dan seburuk-buruk perkara adalah muhdatsat (perkara baru yang diada-adakan), dan setiap yang baru diada-adakan adalah bid’ah, setiap bid’ah itu kesesatan, dan setiap kesesatan itu (tempatnya) di dalam neraka” (HR. Nasa’i).
Pada hadis di atas, ada dua hal yang disebut sebagai perkara yang paling buruk, yaitu: 1. Muhdatsat 2. Bid’ah.
Muhdatsah secara bahasa adalah perkara baru yang diada-adakan. Sedangkan bid’ah adalah perkara baru yang diadakan dan belum pernah ada sebelumnya. Ulama mendefinisikan bid’ah dengan ungkapan:
كُلُّ شَيْءٍ عُمِلَ عَلَى غَيْرِ مِثَالٍ سَابِقٍ
“Apa yang dilakukan tanpa contoh sebelumnya”.
Dari pengertian tersebut, berarti seluruh perkara baru yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. dianggap sesat dan terlarang, entah perkara yang berbau agama maupun yang tidak. Sampai di sini, sepertinya tidak ada sedikitpun pengecualian, karena keumuman lafaz muhdatsat atau bid’ah secara bahasa mencakup segala hal yang baru, termasuk urusan duniawi seperti: Resleting, sendok, mobil, motor, dan lain-lain. Maka pengertiannya kemudian dikhususkan hanya pada perkara baru dalam urusan agama saja, dengan dasar hadis Rasulullah Saw.:
مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ (رواه مسلم)
“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru di dalam urusan (agama) kami ini yang bukan (bagian) daripadanya, maka hal itu tertolak” (HR. Muslim).
Kaum Salafi & Wahabi menganggap hadis tentang muhdatsah dan bid’ah di atas sebagai dalil yang mencakup semua hal “berbau agama” atau “berbau ibadah” yang tidak pernah ada formatnya di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. Seolah-olah hadis itu adalah hadis terakhir yang diucapkan oleh Rasulullah Saw. setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan dan contohkan sebagai rentetan aturan yang baku. Akibatnya, tidak ada toleransi sedikitpun bagi setiap muslim dalam menjalani kehidupan beragama melainkan harus persis sama dengan Rasulullah Saw. dan para shahabat beliau, baik sama secara format maupun prinsipnya. Artinya, bagi mereka tidak boleh berbeda dari apa yang disebutkan secara harfiyah di dalam hadis atau sunnah; berbeda berarti perkara baru, dan itu berarti bid’ah. Analoginya, selama ini dipahami bahwa kue donat itu bolong tengahnya, kalau tidak bolong bukan kue donat namanya. Berarti, saat Dunkin’ Donut membuat donat yang tidak bolong tengahnya, bahkan diberi isi dengan berbagai rasa, maka ia telah melakukan bid’ah. Yang demikian karena mereka mendefinisikan bid’ah dengan pengertian: ”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal” (lihat Ensiklopedia Bid’ah, hal. 71). Padahal, definisi ini pun sebentuk bid’ah, karena tidak pernah disebutkan oleh Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau.
Agaknya pemahaman seperti itulah yang membuat mereka jadi paranoid terhadap amalan berbau agama. Dalam benak mereka seolah-olah ada pengertian bahwa ketika menyebutkan “setiap bid’ah adalah kesesatan”, Rasulullah Saw. telah mengetahui segala sesuatu berbau agama yang akan diada-adakan orang setelah beliau wafat nanti sampai hari kiamat dan beliau tidak peduli meski ada maslahatnya sekalipun sehingga beliau memvonis seluruhnya adalah kesesatan yang diancam masuk neraka. Sebab kebaikan hanya ada pada apa yang beliau ajarkan atau contohkan sepanjang hidup beliau, dan seandainya apa yang diada-adakan orang setelahnya itu baik, pastilah beliau sudah melakukannya. Benarkah begitu?
Mari kita teliti pemahaman kaum Salafi & Wahabi tersebut. Ada beberapa hal yang perlu kita cermati, yaitu:
1. Hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut bersifat umum, artinya tidak merincikan amalan-amalan tertentu yang termasuk ke dalamnya. Karenanya tidak bisa diberlakukan pada setiap perkara baru yang berbau agama yang diada-adakan orang setelah Rasulullah Saw. wafat, karena banyak perkara baru “berbau agama” yang tidak mungkin dianggap sesat seperti: Mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf lalu mencetak dan memperbanyak mushaf, mendirikan baitul maal, menetapkan gaji atau upah bagi khalifah, menulis kitab ilmu agama, mendirikan pesantren atau yayasan, dan lain sebagainya.
Bila Rasulullah Saw. tahu semua perkara baru itu sesat, maka pertanyaannya, apa yang membuat beliau enggan menyebutkannya dan membiarkan umat setelah beliau banyak yang terperosok ke dalamnya? Apakah mereka menganggap Rasulullah Saw. sebagai orang kolot yang tidak mengerti perubahan dan perkembangan zaman, sehingga beliau hanya berpegang teguh kepada apa yang formatnya beliau contohkan di masa hidupnya lalu menyatakan, “inilah agama. Apa saja dan bagaimana saja orang melakukan sesuatu berbau agama dalam bentuk apapun yang tidak sama dengan yang aku & Shahabatku lakukan maka ia tertolak”. Bagaimana mungkin Rasulullah Saw. yang sangat cerdas itu jadi terkesan bodoh karena seolah-olah menganggap kehidupan manusia di setiap zaman sama saja, sehingga sepertinya beliau tega mengukur tingkat keimanan dan ketaatan orang-orang di masa belakangan dengan diri beliau dan para Shahabat? Bukankah beliau sangat menyadari perbedaan itu semua seperti yang disebut dalam sabdanya:
… لاَ يَأْتِي عَلَيْكُمْ زَمَانٌ إِلاَّ الَّذِي بَعْدَهُ شَرٌّ مِنْهُ حَتَّى تَلْقَوْا رَبَّكُمْ …(رواه البخاري)
“Tidaklah datang suatu zaman kepada kalian melainkan yang setelahnya lebih buruk (dari sebelumnya), sampai kalian menjumpai Tuhan kalian …”(HR. Bukhari)
2. Hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut bukanlah hadis Rasulullah yang terakhir setelah seluruh ajaran Islam beliau sampaikan, melainkan hanya salah satu dari hadis atau khutbah Rasulullah Saw. di hadapan para shahabat beliau. Tidak bisa dipastikan kapan diucapkannya, berarti masih mungkin setelah itu ada hadis-hadis lain yang dapat memberikan isyarat atau pemahaman tentang maksud “sesatnya” muhdatsat dan bid’ah yang sesungguhnya.
Contohnya seperti riwayat tentang seorang shahabat yang membaca do’a I’tidal dengan bacaan yang dibuatnya sendiri; atau riwayat tentang Bilal bin Rabah yang melakukan shalat sunnah setelah wudhu atau setelah adzan; atau riwayat tentang cara membaca al-Qur’an di dalam shalat yang berbeda-beda (Abu Bakar dengan suara lirih, Umar dengan suara keras, dan ‘Ammar dengan mencampur ayat pada satu surat dengan ayat di surat lain); atau tentang cara shalat masbuq yang dilakukan oleh Mu’adz bin Jabal; yang masing-masing shahabat itu melakukannya dengan inisiatif/ijtihad sendiri tetapi Rasulullah Saw. malah membenarkannya, menganggapnya baik, bahkan menyebutkan keutamaannya. Yang lebih gamblang lagi adalah riwayat tentang saran Umar bin Khattab Ra. kepada Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. untuk menghimpun al-Qur’an dalam satu mushaf, juga riwayat tentang pelaksanaan bid’ah shalat tarawih di masa Umar bin Khattab Ra., dan riwayat-riwayat lain yang kesemuanya mengisyaratkan adanya pengecualian terhadap perkara-perkara baru berbau agama.
Kaum Salafi & Wahabi seperti menganggap setelah hadis tentang muhdatsat dan bid’ah tersebut, tidak ada lagi hadis-hadis yang Rasulullah Saw. ucapkan yang dapat memberi pemahaman tentang maksud sebenarnya dari bid’ah yang sesat, sehingga mereka memukul rata seluruh bid’ah sebagai kesesatan tanpa kecuali.
Mereka menolak pendapat para ulama yang membagi bid’ah menjadi dua, bid’ah dhalalah/sayyi’ah (bid’ah yang sesat/buruk) dan bid’ah hasanah/mahmudah (bid’ah yang baik/terpuji), dan menolak pendapat para ulama yang mengkategorikan bid’ah secara hukum menjadi lima (wajibah, mandubah, makruhah, mubahah, muharramah).
Tetapi anehnya, mereka sendiri lalu membagi bid’ah menjadi dua, yaitu: bid’ah diniyyah/syar’iyyah (bid’ah agama/syari’at) dan bid’ah duniawiyah (bid’ah duniawi). Mereka juga bahkan membagi bid’ah diniyyah menjadi bermacam-macam pembagian. Ada yang membaginya menjadi dua: yaitu bid’ah I’tiqadiyah (bid’ah aqidah) dan bid’ah ‘amaliyah (bid’ah amalan), ada juga yang membaginya lagi menjadi dua, yaitu: Bid’ah mukaffirah (bid’ah yang menyebabkan kafir) dan bid’ah ghairu mukaffirah (bid’ah yang tidak menyebabkan kafir). Bahkan ada yang membaginya menjadi empat, yaitu: Bid’ah mukaffirah, bid’ah muharramah, bid’ah makruhah tahrim, dan bid’ah makruhah tanzih (lihat Ensiklopedia Bid’ah, Hammud Abdullah al-Mathar, Darul Haq, hal. 42-46 dan Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, Syaikh Muhammad Abdussalam, Qisthi Press, hal. 4).
3. Perkara baru yang ada setelah Rasulullah Saw. wafat tidak pernah dirincikan penyebutannya oleh beliau, termasuk yang dianggap kebaikan sekalipun. Ini menunjukkan bahwa Rasulullah Saw. memang tidak diarahkan oleh Allah untuk merincikannya, karena prinsip dasar untuk menilai baik dan buruknya segala sesuatu sudah disampaikan secara jelas. Tentang kebaikan misalnya, beliau sudah mengajarkan prinsip-prinsip dasar kebaikan itu yang bisa berlaku sampai hari kiamat, bukan sebatas formatnya saja (kecuali format ibadah mahdhoh). Sebab format kebaikan itu dapat berkembang berdasarkan kebutuhan dan perkembangan hidup manusia pada masing-masing tempat dan zaman. Buktinya, Rasulullah Saw. tidak mendirikan pesantren, rumah sakit, atau yayasan penampungan anak yatim, padahal itu baik.
Syaikh al-Ghamary di dalam kitab Itqan ash-Shun’ah fii tahqiq ma’na al-Bid’ah hal. 5, menyebutkan bahwa Imam Syafi’I berkata:
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف، لأن تركهم للعمل به قد يكون لعذر قام لهم في الوقت أو لما هو أفضل منه أو لعله لم يبلغ جميعهم علم به
“Setiap sesuatu yang mempunyai dasar dari dalil-dalil syara’ maka bukan termasuk bid’ah, meskipun belum pernah dilakukan oleh salaf. Karena sikap mereka meninggalkan hal tersebut terkadang karena ada uzur yang terjadi saat itu (belum dibutuhkan –red) atau karena ada amaliah lain yang lebih utama, dan atau hal itu barangkali belum diketahui oleh mereka (belum dikenal formatnya-red) ” (lihat buku Membongkar Kebohongan Buku “Mantan Kiai NU Menggugat Shalawat & Dzikir Syirik” (H. Mahrus Ali), Tim Bahtsul Masail PCNU Jember, hal. 71).
4. Definisi bid’ah yang dikemukakan oleh kaum Salafi & Wahabi adalah bid’ah. Sebab, Rasulullah Saw. atau para Shahabat beliau tidak pernah memberikan definisi tentang bid’ah seperti yang mereka buat, yaitu: “”Sesuatu yang diada-adakan di dalam masalah agama yang menyelisihi apa yang ditempuh Nabi Saw. dan para Sahabatnya, baik berupa akidah ataupun amal”. Dalam pengertian lain definisi itu berbunyi, “Perkara baru di dalam agama yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah dan para Shahabat beliau.” Mereka juga mengklasifikasi bid’ah itu menjadi beberapa bagian dengan pembagian yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau (lihat poin no. 2 di atas). Jadi, mereka menolak bid’ah, tapi mereka sendiri melakukan bid’ah. Aneh, kan?!
Sebagian kalangan dari kaum Salafi & Wahabi ada yang tidak mau menerima pendapat tentang pengklasifikasian bid’ah (syar’iyyah & duniawiyyah) yang disebut oleh sebagian ulama mereka, mungkin entah karena ingin konsisten berpegang pada hadis “Setiap bid’ah adalah kesesatan”, atau entah karena tidak ingin dikatakan plin-plan karena di satu sisi menolak pembagian bid’ah kepada hasanah & sayyi’ah tetapi disisi lain malah membaginya menjadi syar’iyyah & duniawiyyah. Kemudian ketika diajukan kepada mereka contoh-contoh kasus yang tidak pernah ada di masa Rasulullah Saw. yang secara bahasa tentu juga dianggap bid’ah, seperti: Membangun madrasah, pesantren, penulisan mushaf al-Qur’an, dan lain-lain, serta merta mereka mengatakan bahwa perkara-perkara tersebut bukanlah dianggap bid’a
nah kalo yg ini dan di artikel baru mantab..jelas kali…
thanks ustadz…
Jazakumulloh khoir..
Alkhamdulillahi Robbilalamin……saya minta izin meng-copy.InsyaAllah akan saya sebarluaskan untuk kemaslahatan umat…semoga menjadi ilmu yang bermanfaat amin.dan InsyaAllah akan saya sampaikan pada Tahlilan, Yasinan, Mujahadah dan acara Pengajian di desa saya.biar mereka terlebih dulu dapat penjelasan ttg tsb sebelum kata-kata bid’ah, sesat,haram berdesing di telinga mereka….mohon do’anya gih….La khaula wal Quata illaBillah amin.
@ Abi Tauhid = komentar yang luar biasa panjangnya dan pegel bacanya ….biasanya jawaban yang sepanjang ini dirapel buat sebulan .wassalam.
ambil ilmu nya bukan lainnya,oke kang…thanks
Semoga ada manfaatnya buat antum, maaf kalo ternyata kepanjangan, hanya saja masalah bid’ah ini kita tidak boleh gegabah, dan harus dengan pemahaman ilmu yang benar
untuk abi tauhid, ini ada tulisan yang bisa jadi bahan renungan anda juga lainnya:
Ibadah adalah hal terpokok dalam kehidupan seorang Muslim. Bahkan pada hakikatnya, hidup seorang Muslim adalah ibadah. Namun, tidak semua ibadah yang dikerjakan oleh seorang Muslim diterima disisi Allah. Karena dalam beribadah, ada syarat utama yang harus dipenuhi, yakni keikhlasan dalam beribadah dan ittiba’ (mencontoh) Rasulullah saw. Setiap ibadah yang tidak berlandaskan keikhlasan, maka akan berujung pada kemusyrikan. Sementara, ibadah yang tidak ada contohnya dari Rasulullah saw., akan berujung pada bid’ah, dan bid’ah juga akan berujung pada kemusyrikan yang tiada tandingnya karena orang yang melakukan perbuatan bid’ah telah secara terang-terangan menantang syariat Allah dan Rasul-Nya.
Nuansa gelap pemahaman tentang bid’ah masih saja menggelayut dalam pemikiran dan amalan kebanyakan kaum Muslimin sekarang ini. Bahkan tidak sedikit yang justru mengetahui tentang bid’ah tetapi mereka berpura-pura tidak mengetahuinya dan menutupinya sehingga lahirlah kebodohan yang merajalela dikalangan kaum Muslimin yang awam terhadap agamanya.
Dari Abu Hurairah ra., ia mengatakan bahwa Rasulullah saw., bersabda:
من سئل عن علم علمه فكتمه, ألـجم يوم القيامـة بلجام من نار
“Barangsiapa yang ditanya tentang satu ilmu yang dia ketahui, lalu ia menyembunyikannya, maka ia akan diikat pada Hari Kiamat nanti dengan tali kekang dari api neraka”. (HR. Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Karenanya, orang yang mengetahui tentang bid’ah, atau dia melakukan perbuatan bid’ah atau membiarkan orang lain melakukan perbuatan bid’ah, maka hatinya menjadi mati dan gelap. Allah telah menjadikan kematian dan kegelapan sebagai sifat bagi orang yang keluar dari keimanan. Dan sungguh, perbuatan bid’ah itu akan mematikan keimanan dan melahirkan sifat-sifat pembangkangan dan pengingkaran terhadap manhaj Allah SWT dan Sunnah Rasul-Nya, Muhammad saw.
Ibnu Abbas ra., menjelaskan bahwa Ahlus Sunnah adalah orang yang putih wajahnya dan mereka bersatu dalam sunnah. Sementara orang-orang yang melakukan perbuatan bid’ah menjadi hitam wajahnya dan mereka suka melakukan perpecahan dengan bid’ahnya. (lihat Ijtima’ al-Juyusy al-Islamiyah ‘ala Ghazwil Mu’aththilah wa al-Jahmiyah, Ibnul Qayim al-Jauziyah, II/39).
Bid’ah: Pengertian dan Kegelapan Pelakunya
Bid’ah secara bahasa adalah hal yang baru dalam agama setelah agama itu sempurna. Bid’ah juga berarti sesuatu yang dibuat-buat setelah wafatnya Nabi saw., berupa keinginan nafsu dan amal perbuatan (al-Qamus al-Muhith, bab huruf ‘Ain, pasal huruf Dal, hal. 906; Lisan al-Arab, VI/8, Ibnul Mandzur). Asal kata bid’ah berarti menciptakan sesuatu tanpa contoh sebelumnya (al-Mu’jam al-Maqayis fi al-Lughah, Ibnu Faris, hal. 119; al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, I/49; Mufradat Alfazhil Qur’an, ar-Raghib al-Ashfahani, materi kata bada’a, hal. 111).
Imam asy-Syathibi rahimahullah menjelaskan bahwa bid’ah itu adalah satu cara dalam agama ini yang dibuat-buat, bentuk menyerupai ajaran syariat yang ada, tujuan dilaksanakannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam ibadah kepada Allah (al-I’tisham, I/49 dan VIII/346, juga dalam XXXIV/414).
Rasulullah saw., bersabda:
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس مـنه فهو رد
“Barangsiapa yang membuat-buat ibadah yang bukan merupakan bagian dari perintah kami, maka ibadah itu tertolak”. (HR. Bukhari no. 2697; Muslim no. 1718).
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak didasari oleh perintah kami, maka amalannya tertolak”. (HR. Muslim, kitab al-Aqdhiyah, III/1344).
Imam an-Nawawi (semoga Allah merahmatinya) pernah membicarakan hadits dari Aisyah ra., ini dengan satu penjelasan yang berharga. Beliau mengungkapkan bahwa kedua hadits tersebut memiliki beberapa penjelasan, sebagai berikut:
“Dijelaskan oleh pakar bahasa Arab, kata radd (penolakan) memiliki arti mardud (tertolak). Artinya, amalan itu bathil dan tidak masuk hitungan amalan. Hadits ini merupakan kaidah Islam yang agung, termasuk di antara sabda beliau yang simpel dan padat. Hadits itu secara tegas menolak semua bid’ah dan segala ibadah yang dibikin-bikin (yakni dalam hal yang berkaitan dengan agama).
Dalam riwayat kedua terdapat tambahan, karena sebagian pembangkang ketika melakukan bid’ah beralasan bahwa perbuatan itu sudah pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya. Bila dibantah dengan riwayat pertama, pembangkang itu akan menukas: Aku tidak pernah membuat kebid’ahan ini. Maka perlu dibantah dengan riwayat kedua yang menegaskan bahwa segala bentuk bid’ah itu adalah tertolak, baik yang dilakukan oleh orang tersebut, atau telah pernah dilakukan oleh orang lain sebelumnya”. (lihat Syarah Shahih Muslim ‘ala an-Nawawi, XIV/257; al-Mufhim Lima Asykala min Talkhishi Kitab Muslim, Imam al-Qurthubi, VI/171).
Tercelanya Bid’ah dalam Islam
Allah SWT, Rasul-Nya, para sahabat, dan para tabi’in yang mengikuti mereka dengan baik, telah memberikan petunjuk kepada kaum Muslimin agar berhati-hati dengan bid’ah. Sebab, perbuatan bid’ah adalah perbuatan yang paling tercela. Bahkan Iblis dan para sekutunya lebih mencintai perbuatan bid’ah daripada maksiat. Sebab, orang yang melakukan kemaksiatan masih memiliki peluang untuk bertaubat, sedangkan orang yang melakukan bid’ah tidak ada peluang bagi mereka untuk bertaubat karena mereka menganggap baik terhadap kebid’ahannya (pernyataan ini sebagaimana diungkapkan oleh al-Imam Soufyan ats-Tsauri).
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di memaparkan tentang bid’ah, yakni “Bid’ah adalah perkara yang diada-adakan dalam agama. Sesungguhnya agama itu adalah apa yang datang dari Nabi saw., sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Dengan demikian, apa yang ditunjukkan oleh al-Qur’an dan as-Sunnah itulah agama, dan apa yang menyelisihinya berarti perkara itu adalah bid’ah. Bid’ah sendiri terbagi dua, yakni bid’ah i’tiqad (bid’ah yang bersangkutan dengan keyakinan) yang juga disebut bid’ah qauliyah (bid’ah dalam hal pendapat); dan bid’ah ‘amaliyah (bid’ah yang berkaitan dengan amalan ibadah) yang juga dikenal dengan bid’ah dalam menetapkan satu ibadah dalam agama Islam yang sudah sempurna ini”. (al-Fatawa as-Sa’diyah, hal. 63-64, dengan ringkas).
Berikut kami paparkan dalil-dalil dari Kitabullah, Sunnah Rasul-Nya dan fatwa para sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in serta ulama lainnya.
1. Dalil-dalil dari al-Qur’an al-Karim
“Dan bahwa (yang Kami perintahkan ini) adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah agar kamu bertaqwa”.(QS. al-An’am: 153).
“Sesungguhnya orang-orang yang memecah-belah agamanya dan mereka (terpecah) menjadi beberapa golongan, tidak ada sedikitpun tanggung jawabmu kepada mereka. Sesungguhnya urusan mereka hanyalah terserah kepada Allah, kemudian Allah akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka perbuat”.(QS. al-An’am: 159).
“Dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertaqwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, (yaitu) orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS. ar-Rum: 31-32).
“Jikalau Rabbmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat, kecuali orang-orang yang diberi rahmat oleh Rabbmu. Dan untuk itulah Allah menciptakan mereka. Kalimat Rabbmu (keputusan-Nya) telah ditetapkan: Sesungguhnya Aku akan memenuhi neraka Jahannam dengan jin dan manusia (yang durhaka) semuanya”. (QS. Hud: 118-119).
2. Dalil-dalil Sunnah Rasulullah saw.
من أحدث في أمرنا هذا ما ليس مـنه فهو رد
“Barangsiapa yang membuat-buat ibadah yang bukan merupakan bagian dari perintah kami, maka ibadah itu tertolak”. (HR. Bukhari no. 2697; Muslim no. 1718, dari isteri beliau Aisyah ra).
من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak didasari oleh perintah kami, maka amalannya tertolak”. (HR. Muslim, kitab al-Aqdhiyah, III/1344, dari Aisyah ra).
إياكم ومحدثات الأمور فإن شر الأمور محدثاتها وإن كل محدثةٍ بدعة وإن كل بدعةٍ ضلالةٌ
“Berhati-hatilah kalian dari perkara-perkara baru, karena sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan, dan setiap perkara yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah kesesatan”. (HR. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam as-Sunnah no. 25. Asy-Syaikh Albani menshahihkan hadits ini).
فإن خير الحديث كتاب الله وخيرالهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم. وشر الأمور محدثاتـها وكل محدثـة بدعـة وكل بدعـة ضلالـة وكل ضلالـة في النـار
“Sesungguhnya sebaik-baik ucapan adalah Kitabullah dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Seburuk-buruk perbuatan adalah mengada-ada dalam urusan agama, dan setiap yang mengada-ada itu adalah bid’ah, setiap bid’ah adalah sesat, dan setiap kesesatan masuk neraka”. (HR. Muslim dalam kitab al-Jumu’ah, I/592, no. 867; an-Nasaa’i dalam kitab Shalat al-‘Idain, III/188, no. 1578; dari Jabir bin Abdillah).
عن العرباض بن سارية قال: وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظةً وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون, فقلنا: يارسول الله كأنها موعظة مودعٍ فأو صنا. قال: أوصيكم بتقوى الله, والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد. وإنـه من يعش منكم بعدي فسيرى اختلا فا كثيرا, فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهدين. عضوا عليها بالنواجذ. وإياكم ومحدثات الأمور, فإن كل بدعـة ضلالة.
Diriwayatkan dari sahabat yang mulia al-‘Irbadh bin Sariyah ra., bahwa ia berkata: Rasulullah saw., menasihatkan kepada kami dengan satu nasihat yang menggetarkan hati-hati kami dan air mata pun berlinang karenanya. Maka ketika itu kami mengatakan, “Duhai Rasulullah, nasihat ini seperti nasihat orang yang mau mengucapkan selamat tinggal, karena itu berilah wasiat kepada kami”. Rasulullah saw., pun bersabda: “Aku wasiatkan kepada kalian untuk bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kepada pemimpin kalian walaupun yang memerintah kalian itu seorang budak. Dan barangsiapa diantara kalian yang masih hidup sepeninggalku nanti, niscaya dia akan melihat perselisihan yang banyak. Karena itu wajib atas kalian berpegang teguh dengan Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa’ ar-Rasyidin yang mendapatkan petunjuk. Pegang erat-erat Sunnah itu dengan gigi geraham kalian. Dan hati-hati kalian dari perkara-perkara baru, karena setiap perkara baru (bid’ah) itu sesat”. (HR. Abu Daud dalam kitab as-Sunnah, IV/201 no. 3991 dan 4707; at-Tirmidzi dalam kitab al’Ilm, V/44 no. 2676, beliau berkata: Hadits ini hasan shahih; Ibnu Majah dalam Muqaddimah, I/15-16 no. 42, 43, 44; dan Imam Ahmad dalam al-Musnad, IV/46-47).
“Dari Abu Idris al-Khaulaniy, dia berkata: Saya mendengar Hudzaifah al-Yaman berkata: “Biasanya orang banyak bertanya kepada Rasulullah saw., tentang kebajikan. Tetapi aku bertanya kepada beliau saw., tentang kejahatan karena aku takut kejahatan itu menimpaku. Lalu aku bertanya: “Ya Rasulullah, kami dahulu dalam kejahilan dan kejahatan. Karena itu Allah SWT menurunkan kebaikan (agama) ini kepada kami. Mungkinkah sesudah ini timbul kejahatan?”
Beliau menjawab: “Tentu”. Aku bertanya lagi: “Sesudah itu apakah mungkin datang lagi kebaikan?” Jawab beliau: “Ya, tetapi sudah cacat”. Tanyaku: “Apa cacatnya?” Jawab beliau: “Suatu bangsa membuat peraturan di luar sunnahku dan memimpin tanpa hidayahku. Engkau mengerti tentang peraturan mereka dan kebijaksanaan mereka, tetapi engkau tidak menyukainya”. Aku bertanya lagi: “Ya Rasulullah, apakah setelah kebaikan (yang cacat) itu akan datang keburukan lain lagi?” Jawab beliau: “Ya, adanya para da’i yang mengajak ke pintu-pintu neraka Jahanam. Barangsiapa yang menjawab ajakan mereka, pasti tercampakkan ke dalam Jahanam tersebut”. Tanyaku: “Wahai Rasulullah, tunjukkan kepada kami ciri-ciri mereka”. Jawab beliau: “Baiklah, yaitu orang-orang yang kulitnya sama dengan kulit kita (sama-sama beragama Islam) dan mereka berbicara memakai lisan (dalil-dalil) kami”.
Tanyaku: “Bagaimana saran anda apabila aku menemui hal yang seperti itu?” Jawab beliau: “Tetaplah engkau bersama jama’ah kaum muslimin dan pemimpin mereka”. Tanyaku: “Jika tidak ada jama’ah dan pemimpin kaum Muslimin?” Jawab beliau: “Tinggalkan firqah-firqah itu semuanya, sekalipun engkau akan makan akar-akar kayu dan mati karenanya, namun tetaplah pada pendirianmu itu”. (HR. Bukhari, VIII/119 no. 3338 dan no. 7084; dan Muslim, no. 3434).
وأنا تارك فيكم ثقلين: أولهما كتاب الله, فيه الهدى والنور, (هو حبل الله من اتبعه كان على الهدى, ومن تركه كان على ضلالة) فخذوا بكتاب الله واستمسكوابـه
“Aku meninggalkan bagi kalian dua peninggalan yang berat: yang pertama adalah Kitabullah yang mengandung petunjuk dan cahaya (yakni tali Allah yang kuat, barangsiapa mengikutinya, berarti berada dalam petunjuk, dan barangsiapa yang meninggalkannya, berarti dia berada di atas segala kesesatan). Ambillah ajaran Kitabullah dan peganglah dengan teguh”. (HR. Muslim dalam kitab Fadha’il ash-Shahabah, IV/1873, no. 2408, dari Zaid bin Arqam).
يكون في آخرالزمان دجالون كذابون يأتونكم من الأحاديث بـمالم تسمعوا أنـتم ولا آباؤكم فإياكم وإياهم لا يضلونكم ولا يفتـنونكم
“Di akhir zaman nanti akan muncul para dajjal pendusta. Mereka akan melontarkan hadits-hadits yang belum pernah kalian dengar, demikian juga nenek moyang kalian. Jagalah diri kalian untuk tidak mendekatkan diri dengan mereka, sehingga mereka tidak menyesatkan kalian dan tidak membawa kalian kepada bencana”. (HR. Muslim dalam kitab Muqaddimah, I/12, no. 6 dan 7; Ibnu Wadhdhah, al-Bida’ Wannahyu ‘anha, hal. 67, no. 65, dari Abu Hurairah).
Dari Sahal bin Sa’ad diriwayatkan dari Nabi saw., bahwa beliau bersabda:
أنافرطكم على الحوض من ورد شرب ومن شرب لم يظمأ أبدا. وليردن علي أقوام أعرفهم ويعرفوني. ثم يحال بيني وبينهم. أقول: إنـهم مني. فيقال: إنك لاتدري ما أحدثوا بعدك. فأقول: سحقا سحقا لمن غير بعدي.
“Aku adalah pendahulu kalian menuju telaga Haudh. Siapa saja yang melewatinya, pasti akan meminumnya, dan barangsiapa yang meminumnya, niscaya tidak akan dahaga selamanya. Nanti akan lewat beberapa orang yang melewati diriku. Aku mengenali mereka dan mereka juga mengenaliku, namun mereka terhalang menemui diriku. Aku berkata: “(Ya Rabbi) mereka termasuk golonganku”. Namun muncul jawaban (dari sisi Allah ‘Azza wa Jalla): “Engkau tidak mengetahui bid’ah yang mereka ciptakan sepeninggalmu”. Akupun berkata: “Sungguh bodoh! Sungguh bodoh orang yang berbuat bid’ah sepeninggalku”. (HR. Bukhari dalam kitab ar-Riqaq, VII/264, no. 6583; Muslim dalam kitab al-Fadhail, IV/1793, 1796 no. 2290 dan 2297).
3. Atsar Sahabat tentang Keburukan Bid’ah
a. Ibnu Sa’ad menyebutkan dengan sanadnya sendiri dari Abu Bakar ash-Shiddiq, bahwa beliau pernah berkata, “Wahai kaum Muslimin! Aku hanyalah orang yang mengikuti jejak Rasulullah saw., bukan orang yang membuat bid’ah. Kalau aku berbuat baik, tolonglah diriku. Dan kalau aku menyimpang, maka luruskanlah diriku”. (lihat ath-Thabaqat al-Kubra, III/136).
b. Dari Umar ibn Khaththab, beliau berkata, “Berhati-hatilah terhadap kaum Rasionalis, karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak mampu menghafal hadits-hadits, maka mereka pun menggunakan akal sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan”. (lihat Syarah Ushul as-Sunnah wa al-Jama’ah, oleh al-Lalika’i, I/139, no. 201; as-Sunan, I/47 no. 121, oleh ad-Darimi; al-Jami’ al-‘Ilmi wa Fadhlihi, II/1040 no. 2001, 2003, 2005, oleh Ibnu Abdil Barr).
c. Abdullah bin Mas’ud berkata, “Ikutilah ajaran Sunnah dan janganlah kalian berbuat bid’ah, kalian telah dicukupkan dengan itu, karena setiap bid’ah itu adalah sesat”. (Fi Ma Ja’a Fil Bida’, hal. 43 no. 12, 14, oleh Ibnu Wadhdhah; al-Mu’jam al-Kabir, IX/154 no. 8770, oleh ath-Thabrani. Al-Haitsami menyebutkan dalam Majma’ az-Zawa’id, I/181: “Para perawinya adalah perawi ash-Shahih”. Dikeluarkan juga oleh al-Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, I/96 no. 102).
4. Ucapan Tabi’in dan Orang-orang yang Mengikuti Jalan Mereka dengan Baik.
a. Surat-surat Umar bin Abdul Aziz kepada seorang laki-laki. Beliau menulis, “Amma ba’du. Aku wasiatkan kepada Anda agar bertaqwa kepada Allah, bersikap sederhana dalam segala urusan, mengikuti ajaran Rasulullah saw., dan meninggalkan segala bid’ah yang diciptakan oleh kalangan ahli bid’ah, setelah melaksanakan sunnah Nabi yang selayaknya”. (Sunan Abu Daud dalam kitab as-Sunnah, IV/203, no. 4612; Shahih Sunan Abu Daud, Syaikh Albani, III/873).
b. Al-Hasan al-Bashri mengungkapkan, “Ucapan hanya dibenarkan bila diamalkan. Ucapan dan amal itu sendiri hanya sah apabila disertai dengan niat, sedangkan ucapan, amal, dan niat itu hanya sah bila disertai dengan sunnah”. (dikeluarkan oleh al-Lalika’i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlussunnah wal Jama’ah, I/63, no. 18).
c. Imam asy-Syafi’i menegaskan, “Keputusan kami terhadap ahli Kalam adalah agar mereka dipukul dengan pelepah, digotong di atas unta lalu diarak keliling kampung dan suku-suku. Lalu dikatakan kepada mereka: “Inilah ganjaran bagi orang yang meninggalkan Kitabullah dan Sunnah Rasul lalu mengambil ilmu Kalam sebagai landasan”. (lihat al-Hilyah, IX/116, Abu Nu’aim).
d. Imam Malik bin Anas mengatakan, “Barangsiapa yang melakukan perbuatan bid’ah dalam Islam lalu ia menganggap bid’ah itu sebagai kebaikan, berarti ia telah beranggapan bahwa Nabi Muhammad saw., itu telah mengkhianati kerasulannya. Ketahuilah, apa yang bukan merupakan agama pada masa beliau saw., hidup, maka pada hari ini juga bukan merupakan agama”. (al-I’tisham, Imam asy-Syathibi, I/65).
e. Imam Ahmad bin Hanbal menyatakan, “Pondasi ahlus Sunnah menurut kami adalah berpegang pada jalan hidup para sahabat Rasulullah saw., mengikuti ajaran Rasulullah saw., dan meninggalkan bid’ah karena setiap bi’ah adalah sesat, meninggalkan pertikaian dan jangan belajar bersama ahli bid’ah dan tidak melakukan perdebatan dan adu argumentasi yang hanya merusak agama”. (Syarah Ushul I’tiqad Ahli as-Sunnah wa al-Jama’ah, al-Lalika’i, I/176).
Abu Hafidz.
Ini redaksi aslinya dari ucapan Imam Nawawi dari kitab Syarah An-NAwawi `ala Muslim yang telah dipotong oleh Anda : ( Silakan Pembaca terjemahkan sendiri ) : dalam Bab :
بَاب نَقْضِ الْأَحْكَامِ الْبَاطِلَةِ وَرَدِّ مُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ
1718 حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَوْنٍ الْهِلَالِيُّ جَمِيعًا عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ قَالَ ابْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ سَعْدِ بْنِ إِبْرَاهِيمَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ الْقَاسِمِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ
قَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ وَفِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ : مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ قَالَ أَهْلُ الْعَرَبِيَّةِ : ( الرَّدُّ ) هُنَا بِمَعْنَى الْمَرْدُودِ ، وَمَعْنَاهُ : فَهُوَ بَاطِلٌ غَيْرُمُعْتَدٍّ بِهِ .
وَهَذَا الْحَدِيثُ قَاعِدَةٌ عَظِيمَةٌ مِنْ قَوَاعِدِ الْإِسْلَامِ ، وَهُوَ مِنْ جَوَامِعِ كَلِمِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّهُ صَرِيحٌ فِي رَدِّ كُلِّ الْبِدَعِ وَالْمُخْتَرَعَاتِ .
وَفِي الرِّوَايَةِ الثَّانِيَةِ زِيَادَةٌ وَهِيَ أَنَّهُ قَدْ يُعَانِدُ بَعْضُ الْفَاعِلِينَ فِي بِدْعَةٍ سَبَقَ إِلَيْهَا ، فَإِذَا احْتُجَّ عَلَيْهِ بِالرِّوَايَةِ الْأُولَى يَقُولُ : أَنَا مَا أَحْدَثْتُ شَيْئًا فَيُحْتَجُّ عَلَيْهِ بِالثَّانِيَةِ الَّتِي فِيهَا التَّصْرِيحُ بِرَدِّ كُلِّ الْمُحْدَثَاتِ ، سَوَاءٌ أَحْدَثَهَا الْفَاعِلُ ، أَوْ سُبِقَ بِإِحْدَاثِهَا .
وَفِي هَذَا الْحَدِيثِ دَلِيلٌ لِمَنْ يَقُولُ مِنَ الْأُصُولِيِّينَ : إِنَّ النَّهْيَ يَقْتَضِي الْفَسَادَ . وَمَنْ قَالَ لَا يَقْتَضِي الْفَسَادَ يَقُولُ هَذَا خَبَرُ وَاحِدٍ ، وَلَا يَكْفِي فِي إِثْبَاتِ هَذِهِ الْقَاعِدَةِ الْمُهِمَّةِ ، وَهَذَا جَوَابٌ فَاسِدٌ .
وَهَذَا الْحَدِيثُ مِمَّا يَنْبَغِي حِفْظُهُ وَاسْتِعْمَالُهُ فِي إِبْطَالِ الْمُنْكَرَاتِ ، وَإِشَاعَةِ الِاسْتِدْلَالِ بِهِ
Khususnya pada kalimat terakhir itu .
Katanya mau mundur dari Blog ini mas…. dipikir2 kngen y? wkwkwk
aduh duh duh….wong dikasih penjelasan malah ngomentari jelek…pye tho mas mas…itu tu ilmu.mbok ya …yang baik tho.
Makasih pak ustd atas ilmunya, kita saling mendoakan aja ya, semoga kebiasaan yasinan yang banyak dilakukakan, dapat membawa para pelakunya beserta keluarganya ke dalam kebahagiaan dunia dan akhirat. Sudah sangat jelas perintah agar membaca al-qur’an walau satu ayat saja, dan banyak perintah agar berdzikir.. Perintah siapa yang lebih kuat?? Ga usah goyah atau emosi. Bila ada kekurang tahuan, (misalnya kenapa surat yasin, kenapa tahlilnya seperti itu dst) itu karena diri kita yang kurang ilmu, bukan bacaannya.
Kalo ga ngadain juga ga apa, tapi lain halnya dengan mengharamkannya…
–> amien .. semoga demikian juga dengan kita dan anda. amien.
Abu Hafizh, Anda ini tidak membaca tulisan Abu Tauhid atau gimana? Yang Anda tulis itu udah diluruskan semua pengertiannya sama Abu Tauhid. Jangan memaksakan diri kenapa ya? Capek banget ngeliat nya.
kamu sholat kan ? dia sholat ? mereka sholat ? kita sholat ? itu artinya kita semua kaum muslimin….. KITA BERSAUDARA berbeda keyakinan atau pemahaman…biasa orang indonesia…bola aja berantem terus…apa dalam semua hal kita musti “berantem” yang penting beramal sholih aja buat bekal diakherat nanti…ikutin aja yang mau kita ikutin, lagian RASULULLAH SHOLALLAHU ALAIHI WASALLAM (udah mengajarkan semua risalahNYA ngga ada yang disembunyiin) tapi INGAT !!! SEMUA ADA GANJARANNYA !!! TERIMA SAJA NANTI !!! nda usah “BEGO-BEGOAN” atau “PINTER-PINTERAN” wong kita ini seperti ini bukan karena siapa-siapa, tapi karena Hidayah-Nya…Hendaknya kita JANGAN UJUB/SOMBONG itu sifat syaiton….ALLOH SUBHANA WA TA’ALLA tau lho pada saat kita ngetik comment aja, Dia tahu apa yang ada didalam hati kita….Niatnya Apa??? Ngapain??? Hati-Hati !!!
Assalaamu’alakum…
Ikut diskusi ah heheh. Semoga ada kemanfaatan walau hanya sekecil atom.
-Masalah tradisi di Indonesia ya?-
Klo saya melihat tradisi-tradisi yang banyak dibicarakan adalah sebuah wasilah.
Isinya itulah yang menentukan sebuah hukum apakah haram, mubah, sunnah dll
Misal dalam acara-acara tiga, tujuh, empat puluh harian seperti masalah di atas
Jika isinya dirancang untuk acara duka cita (meratap), maka acara ini dilarang dalam agama.
Jika isinya sesuai syari’at, maka itu tidak terlarang.
————————————————
Acara-acara yang merupakan ‘wasilah’ jika dianggap syari’at maka inilah bid’ah dlolaalah
Jika tidak meyakini bahwa itu sebuah syari’at melainkan hanya wasilah untuk beribadah, maka bukan termasuk bid’ah dholaalah.
Masalah pengkhususan waktu tidak ada hubungannya dengan bid’ah selama pelakunya tidak meyakini bahwa penetapan waktu itu sesuatu yang di syari’atkan.
Satu lagi saya nukilkan dari situs dar alifta.com-Oleh Mufti Agung Syaikh Aliy Jum’ah Muhammad rahimahullah-
Adapun membaca Alqur’an dan menghadiahkan pahalanya untuk orang yang meninggal, maka itu adalah perbuatan yang dibolehkan, bahkan dianjurkan. Syaikh al-Utsmani menukil ijmak ulama (konsensus) mengenai masalah ini dalam kitabnya Rahmatul Ummah Fikhtilafil Aimmah. Beliau mengatakan, “Para ulama berijmak bahwa istighfar, do’a, sedekah, ibadah haji dan memerdekakan budak yang dihadiahkan untuk orang yang telah meninggal, dapat bermanfaat bagi orang yang meninggal tersebut. Pahala semua amalan ini akan sampai kepadanya. Dan membaca Alqur’an di atas kubur adalah hal yang dianjurkan.”
Membolehkan hal yang dilarang dalam agama tindakan yang tercela, begitupula sebaliknya melarang hal yang dibolehkan dalam agama adalah tindakan yang tercela menurut syari’at.
Jadi berbicara hukum Allah tidak boleh ngawur. Apalagi kita jauh dari tingkatan mujtahid-Uushiinii nafsii wa iyyaakum-
—————————-
Jika ada yang salah dari peryataan saya, mohon dibenarkan. WaAllahua’lam
–> wangalaikum salam wrwb. Saya kira apa yang dijelaskan oleh habib Munzir telah jelas.
Hanya pernyataan anda .. saya tak tahu maksud tentang “anggapan”. Dan janganlah kita menghukumi sesuatu berdasarkan dengan “anggapan”. Karena anggapan bisa salah. Jika kita berprasangka (beranggapan) .. maka berprasangka yang baik-baik sajalah.
Maksud anggapan disitu adalah ‘jika diyakini’-meyakini bahwa hal itu syari’at. Ya, Pada intinya saya sependapat dengan habib.WaAllahua’lam.
Izin copas komentarnya Abi Tauhid, Jazaakumullah
Silahkan, semoga ada kebaikan yang banyak didalamnya…. jernih berfikir, berpersangka yang baik, dan kita adalah manusia yang do’if ……
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
“Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)
فَلاَ تُزَكُّوا أنْفُسَكُم هُوَ أعْلَمُ بِمَن اثَّـقَى
“….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:
كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim
–> terima kasih mas abu .. dalil anda sangat menggugah kami.
mas Abu matur suwun gih….Semoga Allah menambah berkah dan manfaat pada kita amin.kita disini masih tetap Tahlilan Yasinan Kendurenan, selametan juga Sholawatan….tanpa meninggalkan ibadah yang mahdhoh.
aku pengen netral aja ,suatu ketika duafa keluarga nya meninggal dan adat sekitar biasa adakan tahlilan , repot nya uang nya terbatas ,karena keterbatasan utang pun jadi ,ada perasaan takut keluar dari kebiasaan ,karena adat dan omongan tetangga ,yah akhir nya pasrah menanggung utang kashan siduafa terjebak di tengh adat
–> justru itu mas .. segala sesuatu itu seharusnya sesuai kemampuan. Dan marilah kita membantu tetangga yang kekurangan. Sudah seharusnya anda (dan kita) yang lebih mampu dan tahu, bergerak untuk membantu dan berdakwah secara lembut kepada mereka.
to mas Abi Tauhid,
argumen anda tersusun sistematis dan argumentatif. saya minta izin mengopy ya.. terima kasih..
btw, dalil2 yang anda gunakan memang DALIL YANG ITU-ITU juga dan udah sering dipake oleh temen2 yg lain untuk menangkis Wahabi Salafi, tapi susunan kalimat per kalimat anda sangat mengagumkan..
mudah2an bisa mengobati temen2 kita yg telanjur nyasar ke Wahabi Salafy..
temen2 Wahabi, cobalah anda baca komen mas Abu Tauhid di atas dengan pikiran jernih dan hilangkan fanatik Wahabi anda untuk sesaat.. hilangkan pula kemalasan anda membaca tulisan yg panjang..
mudah2an Wahabi Salafy bisa sadar..
Copy dan sebarkan, berfikir positif terhadap Saudara kita, banyaklah menuntut ilmu, dan jangan menghukumi sesuatu yang tidak dihukumi Alloh dan Rosulnya.
Simaklah Firman Alloh SWT berikut :
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
“Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)
(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa“ (An-Najm : 32)
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:
كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)
“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:
وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ,
فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)
“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah”.
Bismillah….saya dukung dan dedongo.
to Wawan Hermawan,
komen anda yg :
“assalaa mu alaikum, maaf saya koment dikit. kalau do,a orang hidup bisa sampai pada yang mati ( bkn anak yang saleh) ,ber arti di surga banyak keturunan orang kaya.karna dia orang berduit bisa kumpulkan orang banyak utk mendo,a kan yang mati.wah enak bener ya .kalau begitu dosa org korupsi yang sdh mati bisa di tutup dg uangyna .panggil saja orang banyak2 buat tahlillan”
komen saya :
komen tersebut menurut saya terlalu ngawur..
1. spertinya ga ada satu dalilpun yg menyebutkan adanya korelasi “banyak duit untuk ngadain tahlilan” dengan “masuk surga”..
apa Allah terlalu bodoh untuk bisa ditipu dengan harta?
2. klo logika berpikirnya seperti itu, maka orang2 yg bercelana cingkrang adalah teroris, karena pelaku bom bali itu bercelana cingkrang..
apa anda menerima logika berpikir seperti itu? tentu tidak kan?
aduuuuuh kamu pake bawa-bawa celana cingkrang…….celanaku cingkrang nih…( tapi ngga papa deh dari pada nutupin mata kaki…)…..tapi aku bukan teroris, terorisnya aja yang ngikutin aku pake celana cingkrang, mungkin dia mau buat imej buruk terhadap orang-orang yang mengikuti Sunnah Nabi Yang Mulia Muhammad Sholallohu alaihi wa sallam, celanamu gimana apa belum cingkrang ??? Takut dibilang teroris yaaaa???
–> aku kl ke kebun/sawah juga pakai celana cingkrang kok mas.. toss dulu.
celanaku cingkrang sampai pangkal paha, bahtan kadang tanpa celana
(pakai sarung)
LARANGAN MERASA PALING BENAR / PALING LURUS / PALING SUCI
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
“Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)
(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa“ (An-Najm : 32)
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:
كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)
“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:
وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ,
فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)
“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah”.
Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;
عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا
الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ (رواه أيو داود)
“Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”.
(HR.Abu Daud).
Binatang yang dapat mengingatkan manusia untuk sholat shubuh yaitu berkokoknya ayam jago pada waktu fajar telah tiba itu tidak boleh kita maki/cela, bagaimana dengan orang yang suka mencela, mensesatkan saudaranya yang mengadakan majlis dzikir (peringatan maulidin nabi, pembacaan Istighotsah dan sebagainya) yang disana selalu didengungkan kalimat-kalimat ilahi, sholawat pada Nabi saw.. serta pujian-pujian pada Allah swt. dan Rasul-Nya yang semuanya ini tidak lain bertujuan untuk mengingatkan serta mendekatkan diri pada Allah swt. agar menjadi hamba yang mencintai dan dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya? Pikirkanlah !
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Hurairah ra telah mendengar Rasulallah saw. bersabda :
وَعَنْ أبِيْ هُرَيْرَةَ (ر) أنَّهُ سَمِعَ النَّبِيَّ.صَ. يَقُوْلُ: أِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيْهَا يَزِلُّ بِهَا أِلَى النَّارِ اَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ المَشْرِقِ وَالمَغْرِبِ (رواه البخاري ومسلم)
Sungguh a ”dakalanya seorang hamba berbicara sepatah kata yang tidak diperhatikan, tiba-tiba ia tergelincir ke dalam neraka oleh kalimat itu lebih jauh dari jarak antara timur dengan barat”.
Memahami hadits ini kita disuruh hati-hati untuk berbicara, karena sepatah kata yang tidak kita perhatikan bisa menjerumuskan kedalam api neraka. Nah kita tanyakan lagi, bagaimana halnya dengan seseorang yang sering mensesatkan golongan muslimin yang selalu mengadakan majlis dzikir, peringatan-peringatan agama yang didalam majlis-majlis tersebut selalu dikumandangkan tasbih, tahmid, sholawat pada Nabi saw. dan lain sebagainya ?
Allah berfirman dalam surat An-Nahl ayat 125 : ”Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Rasulallah saw. bersabda: “Lan yadkhula ahadan minkum ‘amaluhul jannata qooluu wa laa anta yang Rasulallah, qoola wa laa anaa illaa an yataghom- madaniyallahu bi fadhlin minhu wa rohmatin”
Artinya: “Tidak ada seorangpun diantara kamu yang akan masuk surga lantaran amal ibadahnya. Para sahabat bertanya: ‘Engkau juga tidak wahai Rasulallah?’ Nabi menjawab: ‘Saya juga tidak, kecuali kalau Allah melimpahkan kepadaku karunia dan rahmat kasih sayang-Nya’ ”. (HR. Muslim)
Al-Qur’an dalam surat Al-Hujurat ayat 11 yang artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah satu kelompok mengolok olok kelompok yang lain karena bisa jadi mereka yang diolok-olok itu justru lebih baik dari mereka yang mengolok-olok. Janganlah pula sekelompok wanita mengolok-olok kelompok wanita yang lain karena bisa jadi kelompok wanita yang diolok-olok justru lebih baik dari kelompok wanita yang mengolok-olok. Janganlah kalian mencela sesamamu dan janganlah pula kalian saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Sejelek-jelek sebutan sesudah beriman adalah sebutan ‘fasiq’. Karenanya siapa yang tidak bertobat (dari semua itu), maka merekalah orang-orang yang dzalim”.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori :
“Man syahida an Laa ilaha illallahu was taqbala giblatanaa wa shollaa sholaatana wa akala dzabiihatanaa fa hua al muslimu lahu lil muslimi ‘alaihi maa ‘alal muslimi”
“Barangsiapa bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, menganut kiblat kita (ka’bah), shalat sebagaimana shalat kita, dan memakan daging sembelihan sebagaimana sembelihan kita, maka dialah orang Islam. Ia mempunyai hak sebagaimana orang-orang Islam lainnya. Dan ia mempunyai kewajiban sebagaimana orang Islam lainnya”.
Nabi saw. menyuruh agar kita harus berhati-hati dan tidak sembarangan untuk berbicara, yang mana ucapan itu bisa mengantarkan kita keneraka. perintah Allah swt. (dalam surat Toha ayat 43-44) kepada Nabi Musa dan Harun -‘alaihimassalam- agar mereka pergi keraja Fir’aun yang sudah jelas kafir dan melampaui batas untuk mengucapkan kata-kata yang lunak/halus terhadapnya, barangkali dia (Fir’aun) bisa sadar/ingat kembali dan takut pada Allah swt. Untuk orang kafir (Fir’aun) saja harus berkata halus apalagi sesama muslim. Wallahu a’lam.
Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas;
maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut”.
Walloohu ‘alam
Setuju 100%. Orang yang suka men cap saudara nya yang sesama Muslim dengan cap Bid’ah, sesat, ahlunnar mereka harus instrospeksi diri. Apa merasa yang paling bener dalam agamanya sementara orang lain salah dan sesat?
yaaaa ngga gitu-gitu juga kaleee….ngga boleh sembarangan mencap bid’ah sebelum menyampaikan hujjah tentang masalahnya, amalannya aja yang perlu dicross check apa ada tuntunannya apa nggak….???
TAPI DAHULU PARA SAHABAT PADA TAHLILAN NGGAK YA???
KALAU ADA YANG MENINGGAL DIBACAKAN YASSIN NGGAK YAA???
–> anda lihat terus tanya sahabat po mas? Dari mana anda tahu kl sahabat tak baca dzikir tahlil? kl para sahabat Nabi ra tak baca yasin? Ketemunya kapan mas? Padahal sahabat Nabi itu generasi terbaik. Bacaan dzikir dan al Qur’an adalah amalannya sehari-hari.
[…] Hadits Tentang Menuntut IlmuSejarah Maulid NabiTerjemah Maulid Al BarzanjiTerjemah Maulid Diba'Majelis Rasulullah tentang Tahlilan dan YasinanIjma dan Qiyas Adalah Juga Sumber Hukum Islam5 Jurus Sederhana main RUBIK […]
Assalamu’alaikum.warohmatullah wabarokatuh..
Saudaraku seiman, kita jangan terlalu gampang mengatakan ini bid’ah itu bid’ah jika Ilmu yang kita miliki masih seujung kuku. Dan jangan terlalu taqlid kepada pendapat ulama, habib, imam dan lainnya. Taqlidnya hanya kepada Allah dan RasulNya.
Ane dulu sering sekali mengikuti tahlilan di acara kematian seseorang dari hari pertama sampai hari ke tujuh. Sambil disuguhi besek, makanan, kopi dan ROKOK pula. Sampai keluarga mayit hutang sana sini tuk ngadain perjamuan. Bertahun tahun ane sering mengikuti itu, namun tak ada rasa keimanan hati yang semakin kokoh. Hanya ritual – ritual seperti itu yg berulang-ulang.
Ane bukan seorang muslim yg sudah paham dan hapal banyak surat. Ane masih sangat awam, masih harus banyak belajar akan ilmu Islam yang benar yg sesuai tuntunan Nabi Muhammad SAW. Kerjakan perintahnya, dan tinggalkan larangannya.
Jangan mengaku kita cinta terhadap Rasulullah, namun tidak taat terhadap perintah dan larangannya. Ustadz Ustadz yg ada disini pasti sudah pada tahu perintah dan larangan Rasul. Mengaku cinta rasul, tapi mencibir melihat sudaranya memakai celananya ngatung, atau berjenggot, atau pake cadar, sepertinya alergi.
Islam itu sudah sempurna, itu jelas ada di Al-Qur’an. Tak perlu di tambah – tambah lagi dengan ritual atau ibadah-ibadah lainnya dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Mayoritas saudara-saudara kita, berbangga diri dengan ibadah-ibadah baru, tapi alergi dengan Ibadah yg wajib. Atau utk yg akhwat, mencibir jilbab panjang yg menjulur sampai dibawah dada, tapi berbangga dengan jilbab gaul. Atau untuk yg ikhwan, mencibir jenggot, tapi berbangga dengan rokok.
Alhamdulillah, baru beberapa bulan ini ana sering mengikuti kajian salaf. Baru mengerti dan terbuka akan kewajiban bertauhid yang benar yang sesuai dengan manhaj salaf orng orng terdahulu di jaman sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in.
Hasilnya..? Merokok berhenti, musik berhenti, tv berhenti/selektif hanya utk berita/pengetahuan, Sholat berjama’ah di masjid, Ke orang tua lebih hormat dan sayang, ke tetangga lebih menghormati, lebih menjaga pandangan, ngobrol ngalor-ngidul dibatasi, dan lain lain. Subhanallah, Alhamdulillahirobbil’alamiin.
Wassalamu’alaikum.wr.wb.
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.
Kalau boleh saya menyimpulkan, kegiatan tahlilan yang membudaya di tengah masyarakat ini terbagi menjadi dua pendapat :
1. Haram
2. Makruh (adiknya haram)
Untuk lebih berhati-hati sebaiknya kita tinggalkan perbuatan yang makruh, lebih-lebih yang haram. Kan masih banyak perbuatan yang wajib, yang sunnah muakkaddah, yang sunnah yang banyak kita tinggalkan.
Selanjutnya, saya berpesan kepada siapapun juga, jangan terlalu gampang membodoh-bodohkan orang lain, hanya karena tidak sependapat.
Ahirnya, saya mohon ampun kepada Allah jika pendapat saya keliru. Dan mohon diberi limpahan berkah dan rahmatNya, jika pendapat saya ini benar.
–> wangalaikum salam wrwb. tidak ada yg mengatakan tahlilan itu makruh ataupun haram. Dua kategori yang anda maksud di atas itu adalah untuk perbuatan meratap. Sedangkan tahlilan itu bukan meratap. Ini adalah dzikir, dan berdzikir itu sunnah. Kemudian di akhir mendoakan si mayat. Ini lah hiburan terbaik bagi keluarga yg ditinggal. Jauh panggang dari api.
Mari Kita Galakkan GERAKAN ANTI MAULID DI SELURUH DUNIA,
BIAR HABIB MUNZIR BIN apa tau dan Habub HASAN JA’FAR ASSEGAF GA Kebagian JOB sholawatan.
wwkwk kebakaran jenggot ente ya…
kok gitu,apa gakada komenyar yang lebih kotor lagi,apa begini tipe2 orang wahabi,salafiy….makanya belajar lagi bung…jangan cari kesalahan orang lain…..
banyak ngaji dulu mas……….dah hafal alquran belum, klu belum jangan keminter.
eeeee kok jadi orasi tho kayak kampanye aje….malu aku…..mulu sampean akan dimintai pertanggung jawaban atas kalimat tersebut diatas.
Tentunya Sholawatan yang ga ada asal usulnya kecuali Majhul dan Bahlullllll
Rizky Al Hannan Lanatullah, Sungguh dirimu keterlaluan,
mas Rizky,
jangan lupa mencela Perayaan Maulid Muhammad ibn Abdul Wahhab di Riyadh tanggal 8 – 14 Maret 1980, Arab Saudi, dihadiri antar lain Syeikh Ibn Baz,
juga ya..
biar adil..
mari kita mencela segala bentuk peringatan ulang tahun..
termasuk ultah anak kita, orang tua kita, ulama idola kita,
terutama banget ultah Nabi kita..
Tidak perlu lagi, mas, karena mereka sudah melakukannya. Alasan mereka mencela peringatan ulang tahun adalah karena hal itu dianggap perbuatan yang meniru-niru orang kafir.
pantas klo begitu,lha wong bumi mengelilingi matahari di bilang matahari mengelilingi bumi…takut di anggap perbuatan meniru2 orang kafir ya? wkwkwk
bicara yang sopan.lebih baik diam kalo ilmu kita masih cetek,jangan menghujat orang lain
mas Rizky hati-hati bicaranya.mulut mu harimau mu.apa yang kau katakan akan berbalik pada dirimu sendiri
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
“Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)
فَلاَ تُزَكُّوا أنْفُسَكُم هُوَ أعْلَمُ بِمَن اثَّـقَى
“….janganlah kamu merasa sudah bersih, Dia (Allah) lebih mengetahui siapa yang bertaqwa.” (An-Najm : 32)
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:
كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)
“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.
Hadits riwayat Bukhori dan Muslim dari Itban bin Malik ra berkata:
وَعَنْ عِتْبَانَ ابْنِ مَالِكٍ (ر) فِي حَدِيْثِهِ الطَّوِيْلِ الْمَشْهُوْرِ الَّذِي تَقَدََّّمِ فِي بَابِ الرََََََََّجََاءِ قَالَ :
قَامَ النَّبِيّ .صَ. يُصَلِّّي فَقَالَ: اَيْنَ مَالِكُُ بْنُ الدُّخْشُمِ؟ فَقَالَ رَجُلٌ: ذَالِكَ مُنَافِقٌ, لاَ يُحِبُّ اللهَ وَلاَ رَسُولَهُ,
فَقَالَ النَّبِيُّ .صَ. : لاَتَقُلْ ذَالِكَ, أَلاَ تَرَاهُ قَدْ قَالَ: لاَ اِلَهَ اِلاَّ الله ُ
يُرِيْدُ بِذَالِكَ وَجْهَ اللهِ وَاِنَّ اللهَ قدْ حَرَّمَ عَلَي النَّاِر مَنْ قَالَ :
لاَ اِلَهَ اِلاَّ اللهُ يَبْتَغِي بِذَالِكَ وَجْهَ الله (رواه البخاري و مسلم)
“Ketika Nabi saw. berdiri sholat dan bertanya: Dimanakah Malik bin Adduch-syum? Lalu dijawab oleh seorang: Itu munafiq, tidak suka kepada Allah dan Rasul-Nya. Maka Nabi saw. bersabda: Jangan berkata demikian, tidakkah kau tahu bahwa ia telah mengucapkan ‘Lailahailallah’ dengan ikhlas karena Allah. Dan Allah telah mengharamkan api neraka atas orang yang mengucapkan Laa ilaaha illallah dengan ikhlas karena Allah”.
Dari Zaid bin Cholid Aljuhany ra berkata: Rasulallah saw. bersabda;
عَنْ زَيْدِ أبْنِ خَالِدٍ اَلْجُهَنِيَّّ(ر) قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ .صَ . لاَ تَسُبُّوْا
الدِّيْكَ فَأِنَّهُ يُوْقِظُ لِلصَّلاَةِ (رواه أيو داود)
“Jangan kamu memaki ayam jantan karena ia membangunkan untuk sembahyang”.
Assalamu’alaikum warahmatullah ustadz Munzir,
Saya sering membaca komentar Ustadz Munzir yg sering membenci org2 yg tdk setuju dgn kenduri, tahlilan, perayaan Maulid, dan sejenisnya.Dan ustadz suka memberi gelar wahabi, atau mengatakan kurang ngerti bhs Arab dlsb. Saran saya ustadz jangan emosi. Dan tdk terburu2 menafsirkan hadits sendiri-tanpa rujukan. Kalau memang belum tahu, katakan saja tdk tahu. Sebaik2 contoh adalah contoh dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat.
Mengenai tahlilan, adakah Rasulullah pernah mengundang shabat2 atau tetangga2 beliau ketika istri Beliau Siti Khadijah atau anak laki2 Beliau meninggal? Adakah riwayat ttg sahabat Rasulullah juga mengadakan acara yg sama ketika ada anggota keluarga yg meninggal? Berikanlah penjelasan apa adanya, tanpa membuat tafsir sendiri.
–> wangalaikum salam wrwb. maaf .. saya bukan ustadz Munzir. Dan anda salah sangka ketika mengatakan bahwa kami membenci org2 yg tdk setuju dgn kenduri, tahlilan, perayaan Maulid, dan sejenisnya. Kami hanya mempertahankan dan memperlihatkan hujah-hujah kami. Tidak ada kaitannya dengan benci membenci. Apakah mempertahankan hujah itu identik dengan kebencian… sungguh aneh.
Sedangkan julukan wahaby itu memang sudah dari sananya .. julukan itu akan punya arti positif jika yang punya julukan mempunyai prestasi positif. Julukan punya arti negatif jika si empunya julukan memang suka berbuat negatif. Maaf.. makna julukan mengikut pada si empunya julukan, bukan pada yang menjuluki. Sebagai catatan, syaikh albani justru bangga disebut wahaby.
Tentang tahlilan .. sudah mahfum bahwa ucapan dzikir itu ke semuanya ada dalilnya. Bacaan surah al ikhlas, dzikir dll semuanya ada dalilnya. Dan telah diketahui bahwa hadiah pahala adalah sampai. Jika anda mau meluangkan waktu membaca artikel, saya kira sudah jelas. Maka sungguh aneh ketika amalan dzikir (tahlilan) dihukumi haram karena ada undangan.
Apakah suatu amal menjadi haram hanya karena undangan? Atau .. mengundang untuk berdzikir itu haram? Kaidah yang aneh.
Assalaamu’alikum
Antum yang gak paham, tentang Tahlilan dan lainnya, yang dipermasalahkan oleh orang-orang yang mengaku Salafy. Coba Baca komentar saya tentan Bid’ah Hasanah, sesuatu yang tidak dilakukan Nabi SAW, tapi berani dilakukan oleh sahabat lainnya (Padahal Abu Bakar pernah berkata “Bagaimana mungkin kami melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW …..” Bacalah dan pahamilah, yang akan tulis sedikit dalil-dalil tersebut :
DALIL-DALIL SOHEH YANG MENGISYARATKAN
BAHWA BID’AH HASANAH TELAH ADA DARI ZAMAN NABI DAN SAHABAT
1. Ketika Nabi Saw. mengimami shalat, pada saat bangkit dari ruku’, di belakang beliau ada Sahabat yang membaca رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّباً مُبَارَكًا فِيْهِ (segala puji bagi-Mu ya Allah, pujian yang banyak, yang bagus, lagi diberkati di dalamnya) dan bacaan ini tidak pernah diajarkan Nabi Saw. kepadanya. Setelah usai shalat, Nabi Saw. bertanya kepada para ma’mum, “Siapa yang membaca demikian itu tadi?” Seorang Sahabat mengaku, “Saya.” Nabi Saw. berkata, “(ketika engkau baca itu) aku melihat lebih dari 30 malaikat berlomba-lomba ingin mencatatnya lebih cepat.” (HR. Bukhari)
2. Seorang laki-laki dari golongan Anshar suatu saat mengimami shalat. Setiap kali selesai membaca surat al-Fatihah, ia membaca surat Qul Huwallaahu ahad (al-Ikhlash), setelah itu ia tambah lagi membaca surat yang lain, dan itu ia lakukan di setiap raka’at. Ketika selesai, para Sahabat menegurnya, “Apakah engkau tidak merasa cukup? Bacalah al-Ikhlash saja dan tinggalkan yang lain, atau bacalah yang lain dan tinggalkan al-Ikhlash.” Ia menjawab, “Aku tidak akan meninggalkannya. Kalau kalian suka, aku akan imami kalian, kalau tidak kalian boleh tinggalkan.” Ketika ia dihadapkan kepada Rasulullah Saw., beliau bertanya kepadanya, “Apa yang membuatmu tidak mau melakukan saran mereka untuk mencukupkan pada al-Ikhlash saja atau pada yang lainnya saja?” Ia menjawab,”Sesungguhnya aku mencintainya (surat al-Ikhlash).” Maka Nabi Saw. bersabda,”Cintamu kepadanya (al-Ikhlash) akan memasukkan kamu ke dalam Surga.” (HR. Bukhari)
3. Ketika melihat “kekacauan” para Sahabat dalam melakukan shalat tarawih di masjid, karena mereka shalat berpencar-pencar dengan bacaan masing-masing, maka Umar bin Khattab Ra. berinisiatif untuk mengumpulkan mereka di dalam satu jama’ah (tarawih berjama’ah) dengan satu imam. Setelah dilakukan, tarawih berjama’ah itu ternyata indah dan rapi, sehingga terucap dari lidah Umar bin Khattab Ra.,” نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ (Sebaik-baik bid’ah adalah ini).” (HR. Malik).
4. Setelah Rasulullah Saw. wafat, dipilihlah Shahabat setia beliau yaitu Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. sebagai pemimpin kaum muslimin atau pemimpin orang-orang beriman (amiirul-mu’miniin). Di awal masa kekhalifahan beliau inilah terjadi perang Yamamah, yaitu perang terhadap orang-orang murtad dan orang yang mengaku menjadi nabi, alias nabi palsu yang bernama Musailamah al-Kadzdzaab. Pada peperangan tersebut, dikatakan telah wafat sekitar 700 orang shahabat bahkan mungkin lebih, di mana di antara mereka terdapat para penghafal al-Qur’an.
Maka Umar bin Khattab Ra. datang kepada Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menyampaikan usul agar beliau sebagai khalifah dapat melakukan upaya pengumpulan al-Qur’an secara tertulis dalam satu mushaf karena khawatir akan hilangnya sebagian banyak daripada al-Qur’an bersama wafatnya para shahabat di medan perang. Mendengar usul ini, Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. menolak dengan alasan, “Bagaimana kami akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.?”
Mendengar tanggapan Abu Bakar ash-Shiddiq Ra. itu, Umar bin Khattab Ra. menegaskan, “Demi Allah, (mengumpulkan al-Qur’an) ini adalah baik!” Dan Umar bin Khattab Ra. terus menerus meyakinkan Abu Bakar Ra. sampai akhirnya Allah melapangkan dadanya untuk menerima usul tersebut. Kemudian keduanya menemui Zaid bin Tsabit Ra. dan menyampaikan rencana mereka kepadanya. Zaid menjawab, “Bagaimana kalian akan melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.? Keduanya menjawab, “Demi Allah, ini adalah baik!” Keduanya terus meyakinkan Zaid sehingga Allah melapangkan dada Zaid sebagaimana telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar (HR. Bukhari). Lalu dilaksanakanlah pengumpulan al-Qur’an itu oleh panitia yang diketuai oleh Zaid bin Tsabit Ra. berdasarkan penunjukkan dari khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq Ra.
Hasilnya, mushaf al-Qur’an yang dikumpulkan berdasarkan usul Umar bin Khattab Ra. dan tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw. itu kemudian disalin ulang dan dikembangkan serta disebarluaskan, hingga kini dapat kita jumpai dan kita baca dengan mudah. Bayangkan, tanpa bid’ah yang satu ini, barangkali kita tidak akan mengenal al-Qur’an dan tidak dapat membacanya!
Bila Khalifah Abu Bakar Shiddiq Ra. bisa menerima usul Sayidina Umar bin Khattab Ra. dalam hal “penulisan dan pengumpulan al-Qur’an dalam satu mushaf” hanya dengan alasan “Demi Allah, ini adalah baik” hal mana ia tahu Rasulullah Saw. tidak pernah melakukannya, dan Abu Bakar Ra. menyatakan bahwa penerimaannya terhadap usul itu adalah sebagai wujud “Allah melapangkan dadaku untuk menerima usul itu”, maka betapa masih sempitnya dada kaum Salafi & Wahabi yang tidak bisa menerima adanya kategori bid’ah hasanah/mahmudah dan kebaikan-kebaikannya bagi umat di masa belakangan padahal mayoritas ulama sudah membahasnya di dalam kitab-kitab mereka lebih dari sekedar ungkapan “Demi Allah, ini adalah baik”. Harusnya mereka menangis sambil berusaha mencari tahu, “Mengapa, dengan puluhan jilid kitab para ulama, Allah belum melapangkan dadaku sebagaimana Ia melapangkan dada Abu Bakar Shiddiq Ra. hanya dengan satu kalimat ‘Demi Allah, ini adalah baik’?” Jawabnya adalah, karena di hati mereka masih ada kesombongan; merasa lebih utama dan benar sendiri, dan menganggap selain mereka salah dan tidak sesuai sunnah.
5. “Sesungguhnya barang siapa yang menghidupkan suatu sunnah dari sunnahku yang telah dimatikan (ditinggalkan) setelah aku (wafat), maka sesungguhnya bagi dia daripada pahala seperti pahala orang yang mengerjakannya tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barang siapa yang mengada-adakan (melakukan) bid’ah dhalalah yang tidak diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya, adalah atasnya (baginya) seperti dosa-dosa orang yang melakukannya tanpa mengurangi dari dosa-dosa manusia (yang melakukannya) sedikitpun” (HR. Tirmidzi).
Hadis ini juga secara tidak langsung mengindikasikan bahwa bid’ah dhalalah (bid’ah kesesatan) itu adalah bukan sunnah Rasulullah Saw. atau tidak sejalan dengan sunnah beliau. Di samping itu, penyebutan kata bid’ah dhalalah yang tidak diridhai Allah dan Rasul-Nya juga mengindikasikan makna tersirat bahwa di sana ada bid’ah hasanah (bid’ah kebaikan) yang diridhai Allah dan Rasul-Nya, yang dalam bahasa lain adalah sunnah hasanah, yaitu yang termasuk dalam sunnah Rasulullah Saw. atau yang sejalan dengan sunnah beliau. Ini adalah penjelasan yang sejalan dengan pendapat mayoritas ulama yang setuju dengan adanya takhsish pada hadis bid’ah.
6 Dari Abu Hurairah Ra. dari Nabi Saw., beliau bersabda, “Tinggalkan/biarkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian, sesungguhnya telah binasa orang-orang sebelum kalian dengan sebab pertanyaan dan perselisihan mereka terhadap para Nabi mereka. Maka bila aku melarang kalian dari sesuatu hindarilah, dan bila aku perintahkan kalian dengan suatu perintah maka datangilah/laksanakanlah semampu kalian” (HR. Bukhari).
Di antara dua kategori (yaitu kategori amalan yang diperintah & kategori yang dilarang), sebenarnya ada satu kategori yang luput dari perhatian kaum Salafi & Wahabi, yaitu “yang tidak diperintah juga tidak dilarang” sebagaimana diisyaratkan di dalam hadis di atas dengan ungkapan “Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan bagi kalian”. Imam Ibnu Hajar al-Asqollani menjelaskan di dalam kitab Fathul-Bari, bahwa maksudnya adalah “Biarkan/tinggalkanlah aku (jangan paksa aku untuk menjelaskan –red) selama aku tinggalkan kalian tanpa menyebut perintah melakukan sesuatu atau larangan melakukan sesuatu.”
Al-Imam Ibnu Hajar menafsirkan demikian karena Imam Muslim menyebutkan latar belakang hadis tersebut di mana ketika Rasulullah Saw. menyampaikan perintah melaksanakan haji dengan sabdanya, “Wahai sekalian manusia, sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada kalian untuk berhaji maka berhajilah”, ada seorang yang bertanya, “apakah setiap tahun ya Rasulullah?”. Maka Rasulullah Saw. terdiam, sampai orang itu mengulanginya tiga kali. Rasulullah Saw. kemudian bersabda, “Bila aku jawab ‘ ya’ maka jadi wajiblah hal itu, dan sungguh kalian tak akan mampu”. Kemudian beliau bersabda ,”Biarkan/tinggalkanlah aku tentang apa yang aku tinggalkan untuk kalian”.
Penjelasan tersebut secara nyata mengisyaratkan tentang adanya kategori ketiga, yaitu perkara yang tidak dijelaskan perintahnya juga tidak disebutkan larangannya. Berarti ini wilayah yang tidak boleh ditarik kepada “yang diperintah” atau kepada “yang dilarang” tanpa dalil yang jelas penunjukkannya. Gambarannya, tidak boleh kita mengatakan bahwa suatu perkara itu wajib dikerjakan tanpa dalil yang mewajibkannya, sebagaimana tidak dibenarkan kita mengatakan bahwa suatu perkara itu haram atau dilarang sampai ada dalil yang jelas-jelas mengharamkan atau melarangnya.
7. “Sesungguhnya Allah ta’ala telah mewajibkan beberapa kewajiban maka janganlah kalian lalaikan, dan Ia telah menetapkan batasan-batasan maka jangan kalian lampaui, dan Ia telah mengharamkan beberapa hal maka jangan kalian langgar, dan Ia telah mendiamkan beberapa hal (tanpa ketentuan hukum –red) sebagai rahmat bagi kalian bukan karena lupa maka jangan kalian mencari-cari tentang (hukum)nya” (Hadis hasan diriwayatkan oleh ad-Daaruquthni dan yang lainnya).
Hadis ini disebutkan oleh an-Nawawi di dalam kitab al-Arba’in an-Nawawiyyah pada urutan hadis yang ke-30. Ungkapan “Ia telah mendiamkan beberapa hal” tentunya sangat berhubungan dengan kalimat-kalimat sebelumnya tentang “mewajibkan”, “menetapkan batasan”, dan “mengharamkan”. Maksudnya, saat Rasulullah Saw. menyebutkan di akhir kalimatnya bahwa Allah ta’ala ”mendiamkan beberapa hal” maka itu artinya “Allah tidak memasukkan beberapa hal tersebut entah ke dalam kelompok yang Ia wajibkan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia berikan batasan, atau entah ke dalam kelompok yang Ia haramkan”. Paling tidak, itu artinya Allah tidak mengharamkannya atau melarangnya, lebih jelasnya lagi, tidak menentukan hukumnya.
8. Bila segala sesuatu mengenai agama harus dirujuk langsung hanya kepada al-Qur’an dan hadis Rasulullah Saw. serta riwayat dari para Shahabat beliau saja, untuk apa beliau menyebutkan akan diutusnya mujaddid (pembaharu) yang mengajarkan umat tentang agama pada setiap qurun seratus tahun? Lihatlah sabda Rasulullah Saw. berikut ini:
إِنَّ اللهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ اْلأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا (رواه أبو داود والحاكم والبيهقي والطبراني)
“Sesungguhnya Allah akan mengutus untuk umat ini setiap akhir masa seratus tahun, orang yang akan memperbaharui agama mereka” (HR. Abu Dawud, al-Hakim, al-Baihaqi, dan ath-Thabrani).
Disebutkan di dalam ‘Aunul-Ma’bud, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkan hadis yang senada dengan redaksi yang berbeda, yaitu:
إِنَّ اللهَ تَعَالَى يُقَيِّضْ فِيْ رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ
“Sesungguhnya Allah ta’ala menetapkan pada akhir setiap masa seratus tahun, orang yang mengajarkan manusia tentang agama mereka.”
Hadis ini menandakan adanya legitimasi dan legalitas bagi umat untuk mendapatkan penjelasan tentang agama dari para ulama pewaris Rasulullah Saw. Artinya, memahami al-Qur’an dan hadis/sunnah secara langsung tanpa melalui penjelasan mereka adalah tindakan yang bukan saja tidak bijaksana, tetapi juga merupakan sebuah keteledoran yang dapat berakibat terjerumus kepada kesesatan. Itulah kenapa Rasulullah Saw. bersabda demikian, karena beliau menyadari betul keadaan umatnya di masa belakangan yang sangat jauh jaraknya dari masa hidup beliau. Dan lagi, hadis itu pasti dilatarbelakangi oleh adanya wahyu dari Allah tentang salah satu rencana-Nya bagi kelestarian Islam di masa depan.
9. Berargumen dengan dalil adalah merupakan suatu keharusan dalam menetapkan suatu kesimpulan hukum di dalam agama, terlebih lagi yang menyangkut urusan ibadah. Menurut kesepakatan para ulama, dalil yang dapat dijadikan dasar pelaksanaan suatu amalan di dalam agama ada empat (4) sumbernya, yaitu (secara kronologis): 1. al-Qur’an 2. Sunnah 3. Ijma’ 4.Qiyas. Artinya, bila suatu perkara tidak ditemukan penunjukkan langsungnya di dalam al-Qur’an, maka dirujuklah kepada Hadis atau Sunnah Rasulullah Saw., dan bila juga tidak ditemukan, maka dirujuklah ijma’ (kesepatakan) para ulama mujtahid berdasarkan isyarat-isyarat al-Qur’an dan Hadis, dan bila juga tidak ditemukan maka digunakanlah ijtihad lain yang disebut qiyas yaitu perbandingan/persamaan suatu perkara dengan perkara-perkara yang disebut di dalam al-Qur’an atau yang pernah terjadi di masa Rasulullah Saw. dan para Shahabat beliau. (Lihat Kaidah-kaidah Hukum Islam, DR. Abdul Wahhab Khallaf, Penerbit Risalah, Bandung, 1985, hal. 18-21).
10. “Barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah hasanah (ketetapan/kebiasaan baik) maka bagi dia pahalanya dan pahala orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun, dan barang siapa yang mensunnahkan (membuat/menetapkan) di dalam Islam suatu sunnah sayyi’ah (ketetapan/kebiasaan buruk) maka atas dia dosanya dan dosa orang yang mengamalkannya setelah dia tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun” (HR. Muslim)
LETAK PERMASALAHAN YANG ADA ADALAH, MEREKA TIDAK MENYETUJUI ADANYA BID’AH HASANAH, KARENA MEREKA MEMBACA HADITS TENTANG BID’AH SESUAI TEKSTUAL SAJA, TANPA PEMAHAMAN ULAMA-ULAMA TERDAHULU, LANTAS BAGAIMANA DENGAN 10 HADITS DI ATAS. JADI BAIK TAHLILAN ATAUPUN MAULID DAN PERKARA LAINNYA YANG DIHUKUMI BID’AH OLEH MEREKA ADALAH HASANAH, BAIK DAN SEJALAN DENGAN SUNNAH NABI SAW. YANG BERSELISIH ADALAH KETIKA MERASA DIRI PALING BENAR, PALING BERILMU,
BACA DAN PAHAMILAH SEMOGA ALLOH MELAPANGKAN HATI KALIAN WAHAI KAUM YANG MENGAKU PENGIKUT NABI SAW.
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih dan Penyayang.
قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُم اَعْلَمُ بِمَنْ هُوَاَهْدَى سَبِيْلاً
“Katakanlah (hai Muhammad) : Biarlah setiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing, karena Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih lurus (jalan yang ditempuhnya).” (Al-Isra’ : 84)
(Yaitu) orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan keji yang selain dari kesalahan-kesalahan kecil. Sesungguhnya Tuhanmu Maha Luas ampunan-Nya. Dan Dia lebih mengetahui (tentang keadaan) mu ketika Dia menjadikan kamu dari tanah dan ketika kamu masih janin dalam perut ibumu; maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa“ (An-Najm : 32)
Hadits riwayat At-Thabrani dalam Al-Kabir ada sebuah hadits dari Abdullah bin Umar dengan isnad yang baik bahwa Rasulallah saw.pernah memerintahkan:
كُفُّوْا عَنْ أهْلِ (لاَ إِِلَهَ إِلاَّ اللهُ) لاَ تُكَفِّرُوهُمْ بِذَنْبٍ وَفِى رِوَايَةٍ وَلاَ تُخْرِجُوْهُمْ مِنَ الإِسْلاَمِ بِعَمَلٍ.
“Tahanlah diri kalian (jangan menyerang) orang ahli ‘Laa ilaaha illallah’ (yakni orang Muslim). Janganlah kalian mengkafirkan mereka karena suatu dosa”. Dalam riwayat lain dikatakan : “Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari Islam karena suatu amal ( perbuatan)”.
Hadits riwayat Bukhori, Muslim dari Abu Dzarr ra. telah mendengar Rasulallah saw. bersabda:
وَعَنْ أبِي ذَرٍّ (ر) اَنَّهُ سَمِعَ رَسُوْلَ اللهِ .صَ. يَقُوْلُ : مَنْ دَعَا رَجُلاً بِالْكُفْرِ أوْ قَالَ: عَـدُوُّ اللهِ وَلَيْسَ كَذَلِكَ أِلاَّ حَارَ عَلَيْهِ(رواه البخاري و مسلم)
“Siapa yang memanggil seorang dengan kalimat ‘Hai Kafir’, atau ‘musuh Allah’, padahal yang dikatakan itu tidak demikian, maka akan kembali pada dirinya sendiri”.
mas Aba Ditto,
pertama,
pemilik blog ini bukan ustadz Munzir, kalo ga percaya, coba baca seluruh artikel blog ini..
kedua,
setau saya, acara tahlilan berbentuk sperti sekarang memang tidak ada di zaman Nabi..
sekarang saya balik nanya?
salahkan membaca bacaan semisal “Lailahailallah” atau shalawat?
sekedar info buat anda, isi acara tahlilan sekarang ini ya bacaan semisal lailahailallah, subhanallah, shalawat dll..
yg pahalanya buat si mayit..
hadis tentang sampainya pahala amalan orang hidup ke mayitnya ada kok.. coba cari sendiri, saya malas mncarikannya buat anda..
1. Ustadz Wawan
2. Ustadz Abi Tauhid
2. Siapa saja yg mengomentari tulisan saya
Assalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh,
Sebenarnya tulisan saya di atas dimaksudkan untuk mengomentari penjelasan Ustadz Mundzir paling atas yg berjudul “KENDURI, ARWAH, TAHLILAN, dan YASINAN menurut Ulama Syafii”
Untuk Ustadz Wawan yg saya sayangi:
1. Membaca tahlil, shalawat dan wirid2 lainnya yg dicontohkan
Rasulullah pasti baik.
2. Mengirim amalan utk orgtua yg tlh meninggal insya Allah sampai
sesuai hadits Imam Muslim No. 1004 seperti yg disampaikan
Ustadz Abu Al-Jauzaa di atas dlm menanggapi komentar Ustadz
Mundzir.
3. Yang saya tdk setuju adalah cara tahlilan yg dilakukan oleh
saudara kita di zaman sekarang dimana mereka mengadakannya
saat salah satu anggota keluarga meninggal dunia. Pada hari
ke-1, 3, 7, 40, 100, dst. Mereka mengundang tetangga utk
tahlilan, yasinan, kemudian sholat maghrib berjamaah di rumah
yg berduka – walaupun rumah yg bersangkutan berada di sebelah
masjid. Jamaah di masjid menjadi sepi. Semakin sering diadakan
acara tsb.,semakin sering pula masjid sepi dari jamaah.
Padahal tdk ada riwayat dari Rasulullah bhw beliau shallallahu
‘alaihi wassallam sering sholat fardhu berjamaah di rumah.
4. Saya berpendapat demikian krn seperti ustadz katakan di atas
“memang tdk ada di zaman nabi”. Melakukan sesuatu ibadah yg
tdk dicontohkan Rasulullah seperti mengingkari kesempurnaan
syariat yg tlh disampaikan oleh beliau shallallahu ‘alaihi
wassallam.
Khusus utk Ustadz Abi Tauhid (Maaf jika salah, sepertinya ustadz juga mengomentari saya):
Memang betul bhw sesuatu yg tdk dikerjakan oleh Rasulullah tetapi dikerjakan oleh para sahabat maka itu boleh. Itu juga termasuk sunnah sesuai hadits berikut:
“(Ikutilah) sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin yang diberi petunjuk sesudahku. Peganglah (kuat-kuat) dengannya, gigitlah sunnahnya itu dengan gigi gerahammu. Dan jauhilah perkara-perkara yang diadakan-adakan adalah bid’ah dan setiap bid’ah itu sesat”. (HR. Tirmidzi dan dia berkata : Hadits ini hasan shahih).
Contoh perkara yg tdk ada di zaman nabi tetapi ada di zaman sahabat:
1. Penulisan mushaf Quran
2. Adzan 2 kali hari Jumat (sebelum masuk waktu dan saat khatib
naik di atas mimbar). Sedangkan zaman sekarang di tempat kita:
setelah masuk waktu dan saat khatib naik mimbar.
Sedangkan sholat tarawih berjamaah di masjid bukan perkara baru yg pertama kali dilakukan pada zaman sahabat. Zaman nabi itu sdh pernah dilakukan hanya selama 3 malam. Nabi tdk meneruskan sampai malam2 berikutnya krn Beliau khawatir memberatkan umat. Jadi Umar bin Khattab tdk melakukan bid’ah.
Mengenai komentar ustadz Abi Tauhid no. 1 dan 2 di atas mengenai bacaan makmum setelah bangkit dari ruku (kebetulan saya pun sering mengamalkan bacaan tsb.)dan imam yg membaca surah Al-Ikhlas sblm membaca surah lain adalah perkara yg baik karena langsung dibenarkan oleh Rasulullah – orang yg ma’sum. Yg jadi masalah adalah jika amalan ibadah seperti itu dilakukan sekarang ini, bagaimana kita tahu bhw itu perkara yg baik karena yg menjawab nanti bukan lagi org yg ma’sum tetapi org yg mungkin benar mungkin salah. Sedangkan Rasulullah memerintahkan kita utk meninggalkan yg meragukan dan mengerjakan hal yg sudah pasti.
Untuk diskusi yg lebih mendalam, saya berpendapat Ustadz Abu Al-Jauzaa sangat layak untuk ditanya (setelah saya membaca debat beliau dgn ustadz mundzir di atas). Saya mohon maaf yg sebesar-besarnya jika ada kata2 yg kurang berkenan.
Semoga Allah subhanahu Wa Ta’la melimpahkan rahmatnya kepada kita semua. Jazakumullahu khairan katsiira
Antum belum menanggapi perkataan Abu Bakar dalam penulisan Musaf Al-qur’an “Bagaimana mungkin kami melakukan seustu yang tidak pernah dilakukan Nabi SAW …..
Saudara Aba Ditto,
Komentar Saudara sebagai berikut :
Contoh perkara yg tdk ada di zaman nabi tetapi ada di zaman sahabat:
1. Penulisan mushaf Quran
2. Adzan 2 kali hari Jumat (sebelum masuk waktu dan saat khatib
naik di atas mimbar). Sedangkan zaman sekarang di tempat kita:
setelah masuk waktu dan saat khatib naik mimbar.
Untuk point ke 2.( Adzan 2 kali hari Jumat (sebelum masuk waktu dan saat khatib
naik di atas mimbar). Sedangkan zaman sekarang di tempat kita:
setelah masuk waktu dan saat khatib naik mimbar ).
Adakah hadits yang menjelaskan adzan Jum`at sebelum masuk waktu sholat ?
Sebab yang saya tahu Ibnu Hajar Al-Asqolani dalam kitab Fathul Bari : 2/394 :
والذي يظهر ان الناس اخذوا بفعل عثمان في جميع البلاد اذ ذاك, لكونه خليفة مطاع الأمر الي ان قال : وكل مالا يكن في زمنه صلي الله عليه وآله وسلم يسمى بدعة, لكن منها مايكون حسنا, ومنها مايكون بخلاف ذلك. وتين بما مضى ان عثمان أحدثه لاعلام الناس بدخول وقت الصلاة قياسا علي بقية الصلات , فألحق الجمعة بها , وأبقي خصوصيتها بلاذان بين يدي الخطيب, وفيه استنباط معني من الأصل لا يبطله.
Maka tampak ketika itu Manusia mengambil pendapat Sahabat Utsman di seluruh wilayah islam, karena beliau adalah kholifah yang ditaati. Hingga Ibnu hajar mengatakan : Segala sesuatu yang tidak ada di zaman Rosulallah SAW disebut bid`ah tetapi ada bid`ah hasanah dan bid`ah sebaliknya. Dari kisah yang telah lewat dalam atsar bahwa Shohabat Utsman melakukan sesuatu yang baru (bid`ah) ( berupa adzan tambahan ) untuk memberitahukan manusia tentang MASUKNYA WAKTU SHOLAT ……
Lihat terjemahan saya yang berhuruf kapital.
Berbeda dengan adzan subuh, karena ada hadits yang menjelaskan tentang adzan subuh sebelum masuk waktunya.
mas Aba Ditto,
wa’alaikum salam warahmatullahi wabarokatuh..
pertama,
Adakah hadis tentang marahnya Nabi ketika mesjid sepi karena umat mengadakan acara tertentu?
kalo orang2 lg ga pengen shalat ke mesjid, apakah konsep “tahlilan” itu yg harus disalahkan? apakah NU dan sejenisnya yg bertanggung jawab atas sepinya mesjid?
misalkan jika ada segelintir orang berziarah dengan cara/niat yg salah, apakah kita berhak mengorbankan peziarah berniat benar dengan menghancurkan makam yg diziarahi tersebut? dan mengharamkan konsep ziarah secara total?
setengah mati anda memaksa orang2 agar ke mesjid, pasti mesjid akan tetap sepi kalau orang2 tsb lg ga pengen ke mesjid.. begitu pula sebaliknya,
percuma anda memaksa orang2 agar mampir ke rumah anda, kalau mereka lagi pengen ke mesjid..
poin yg ingin saya munculkan adalah bahwa ada keutamaan berjamaah di mesjid, ada pula keutamaan memenuhi undangan orang Islam.
sangat terlalu ceroboh jika kita menyalahkan orang yg memilih atau memprioritaskan salah satu dari keduanya dan meninggalkan yg lain.. dengan berbaiksangka kepada orang Islam tentu kita bisa maklum bahwa mereka punya pertimbangan sendiri ketika memprioritaskan sesuatu..
kedua,
mengenai 1-3-7-40-100, saya kira tidak masalah..
kalo seandainya orang2 mencoba merutinkan suatu kegiatan dengan sistem 1-3-7-4-0-100 adalah salah, maka konsekuensinya tentu orang2 yg merutinkan tiap hari atau tiap minggu atau tiap bulan atau tiap tahun juga patut dicap SALAH..
yang tidak merutinkannya alias jadwal semau gue pun juga akan salah..
kalo mau konsekuen lagi,
memberi uang jajan untuk anak TIAP pagi (HARIAN) adalah SALAH,
memberi sejumlah uang untuk membantu orang tua SETIAP gajian (BULANAN) adalah SALAH ,
merutinkan menziarahi makam anggota keluarga TIAP hari tertentu (MINGGUAN) agar ingat dan bisa teratur adalah SALAH,
menafkahi keluarga dengan menyusun dan menyerahkan anggaran rumah tangga di awal bulan (BULANAN) tiap tanggal tertentu adalah SALAH,
mendisiplinkan diri agar teratur, shalat Dhuha tiap hari jam 10.00 (HARIAN) adalah SALAH,
disiplin baca Quran sesudah shalat Isya (HARIAN) karena siang tidak memungkinkan karena sibuk kerja adalah SALAH,
masya Allah, pola pemikiran “maksa” dan “kaku” seperti ini hanya akan memancing keributan dan kerusuhan saja..
saya punya cerita tentang seseorang yg mengeluh :
“kenapa hadis itu tidak ditulis detail sih? kalo detail kan ga akan ada perbedaan pendapat terutama dengan Wahabi/Salafy,pusing,hanya karena urut2an bacaannya salah saja sudah dicap bid’ah oleh wahabi, tidak seperti tuntunan Nabi katanya wahabi”
dia memisalkan bagaimana seharusnya redaksi suatu hadis itu :
“ketika seorang muslim wafat, maka pengumuman kewafatannya harus diumumkan di mesjid, mayit harus dimandikan&dikafani di mesjid, lalu dishalatkan di rumah,
jarak rumah dan pekuburan tidak boleh lebih dari 100 m,
jenazah tidak boleh diantar dengan mobil, harus dengan jalan kaki, panjang antrian pengantar tidak boleh lebih dari 30 m,
lubang kubur harus berukuran 2m x 30 cm dengan kedalaman 1,2 m,
selama prosesi sejak dimandikan sampai dikuburkan hanya boleh dibacakan “lailahailallah” selain itu tidak boleh,
pengiriman pahala untuk mayit dibolehkan tapi harus berupa bacaan ini dan itu, dan tidak boleh mengundang orang2, harus datang dengan sendirinya, tidak boleh ada hidangan suguhan”
bagaimana pendapat anda ?
1. Hadits ttg perintah sholat berjamaah di masjid:. Al-Imam Muslim telah meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata: Seorang laki-laki buta mendatangi Nabi lalu berkata: “Ya Rasulullah, sesungguhnya saya tidak mempunyai seorang penuntun yang mengantarkanku ke masjid”. Lalu ia meminta Rasulullah untuk memberi keringanan baginya untuk shalat di rumahnya maka Rasulullah memberikannya keringanan. Ketika Ibnu Ummi Maktum hendak kembali, Rasulullah memanggilnya lalu berkata: “Apakah Engkau mendengar panggilan (adzan) untuk shalat?” ia menjawab “benar”, maka Rasulullah bersabda: “Penuhilah panggilan tersebut.”
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu menceritakan, “Barangsiapa yang senang untuk berjumpa dengan Allah di hari esok [hari akhirat] sebagai seorang muslim maka jagalah shalat lima waktu dengan berjama’ah yang mana diserukan panggilan adzan untuknya. Karena Allah telah mensyariatkan jalan-jalan petunjuk untuk Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan sesungguhnya shalat berjama’ah itu termasuk jalan petunjuk. Kalau lah kalian sengaja mengerjakan shalat di rumah-rumah kalian sebagaimana halnya perbuatan orang yang sengaja meninggalkan shalat jama’ah ini [dan mengerjakan shalat] di rumah niscaya kalian telah meninggalkan ajaran Nabi kalian. Dan kalau kalian sudah berani meninggalkan ajaran Nabi kalian, maka kalian pasti akan sesat. Sungguh aku teringat, bahwa dahulu tidak ada yang meninggalkan shalat berjama’ah itu melainkan orang munafiq yang tampak sekali kemunafikannya. Sampai-sampai dahulu ada [di antara para sahabat itu] yang memaksakan diri untuk datang [shalat berjama’ah] dengan dipapah di antara dua orang lelaki untuk diberdirikan di dalam barisan/shaf.” (HR. Muslim [654]).
Rasulullah juga pernah mengancam utk membakar rumah org yg tdk mau menghadiri sholat berjamaah di masjid tanpa udzur. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya. Sungguh, aku pernah bertekad untuk menyuruh orang membawa kayu bakar dan menyalakannya, kemudian aku akan perintahkan orang untuk mengumandangkan adzan untuk shalat [berjama’ah] kemudian akan aku suruh salah seorang untuk mengimami orang-orang [jama’ah] yang ada lalu aku akan berangkat mencari para lelaki yang tidak ikut shalat berjama’ah itu supaya aku bisa membakar rumah-rumah mereka.” (HR. Bukhari [644] dan Muslim [651]).
2. Peringatan kematian walaupun hanya sehari (apalagi sampai 100)memang tdk ada cotoh dari Rasulullah atau sahabat. Anda sendiri sudah mengakuinya.
“Kami (para shahabat) menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) merupakan bagian dari niyahah (meratapi mayit)” (HR. Ahmad nomor 6905 dan Ibnu Majah nomor 1612).
Dari Thalhah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
Jarir mendatangi ‘Umar, kemudian ‘Umar berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”. Jarir menjawab : “Tidak”. ‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan memakan hidangannya ?”. Jarir menjawab : “Ya”. ‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487).
Dari Sa’id bin Jubair radliyallaahu ‘anhu, ia berkata :
“Merupakan perkara Jahiliyyah : An-Niyahah, hidangan keluarga mayit, dan menginapnya para wanita di rumah keluarga mayit” (HR. Abdurrazzaq 3/550 dan Ibnu Abi Syaibah dengan lafadh yang berbeda). Ketiga riwayat tersebut saling menguatkan.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan meratapi mayit (an-niyahah)”. (HR. Muslim nomor 67).
Nah itulah alasan yg syar’i. Suka atau tdk suka begitulah yg dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Kalau anda ingin berpendapat atau mengikuti pendapat seorang ulama sementara petunjuk dari Rasulullah dan sahabat sudah jelas, silakan saja. Tidak ada yg bisa memaksa anda. Jika semua orang merujuk kpd sunnah Rasulullah, maka tdk akan ada pertentangan. Di hadits shahih yang diriwayatkan para penulis Sunan dari Al-Irbadh bin Sariyah, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Siapa saja di antara kalian yang diberi umur panjang, ia akan melihat banyak sekali pertentangan. Karena itu, hendaklah kalian berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnah khulafaur rasyidin yang mendapatkan petunjuk sepeninggalku. Pegang Sunnah tersebut kuat-kuat. Tinggalkan hal-hal baru yang diada-adakan, karena bid’ah itu sesat.”
Semoga Allah mengembalikan kemuliaan dan persatuan umat Islam di atas Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wal hamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Hadits yang di sampaikan Saudara secara dzohir bertentangan dengan hadits shoheh yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Daud dari dari Asim bin Kulaib dari bapaknya dari seorang laki2 ansor,ia berkata :
خرجنا مع رسول الله صلي الله عليه وسلم في جنازة فلما رجع استقبله داعي امرأته فجاء وجئ باالطعام فوضع يده ووضع القوم فأكلوا ورسول الله صلي الله عليه وآله وسلم يلوك اللقمة في فيه ….الحديث
Suatu ketika kami mengantar janazah bersama Rosullulloh SAW, ketika kami pulang, kami diundang oleh seorang suruhan istri orang yang meninggal,beliaupun mendatanginya lalu dihidangkan makanan. Beliaupun lalu meletakkan tangannya di makanan itu dan orang2pun ikut melakukannya,mereka kemudian makan bersama. Beliau mengunyah makanan di mulutnya.
Hadits itu menunjukkan kebolehan keluarga mayit membuat makanan dan mengundang orang lain untuk menikmatinya.
ذكر في البزازية من كتاب الاستحسان : وان اتخذ طعاما للفقراء كان حسنا اهـ وفي استحسان الخانية : وان اتخذ ولي الميت طعاما للفقراء كان حسنا الا ان يكون في الوارثة صغير فلا يتخذ ذلك من التركة اهـ
Disebutkan dalam kitab Al-Bazzaziyah dalam bab al- istikhsan : Jika membuat makanan untuk orang2 miskin maka itu adalah hal yang baik….sedagkan dalam bab al-istikhsan dalam kitab Al-Khaniyyah : Jika kelaurga mayit membuat makanan untuk orang2 miskin maka itu baik, kecuali jika salah satu ahli warisnya adalah anak kecil maka tidak boleh membuat makanan itu dari harta warisan.
Saya menggunakan perkataan saudara tapi ditujukan untuk saudara seperti dibawah ini :
Nah itulah alasan yg syar’i. Suka atau tdk suka begitulah yg dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.
Lalu bagaimana komentar Anda terhadap hadits2 yang ta`arud itu ? tafaddol….
1. Hadits yg antum katakan bertentangan, silakan baca ulang dialog anatar istadz munzir dan ustadz abu aljauzaa di atas. Kesimpulannya: ada perdebatan siapa yg dimaksud dgn wanita dlm hadits tsb. Setelah antum membaca ulang dialog tsb. silakan antum tentukan sikap:jika masih tetap dgn pendirian antum sekarang, silakan.
2. Masih ttg hadits di atas, (seandainya yg mengudang adalah keluarga mayit-tetapi ini masih diperdebatkan)adakah itu menunjukkan bhw keluarga mayit membuat makan dan mengundang org utk makan yg dilakukan secara berulang2 (hari ke-1, 2, 3, 7, 100, 1000, dst?)
Atau mungkin antum masih memiliki hadits lain yg menyebutkan adanya acara kenduri tsb?
3. Kenyataan yg menyebabkan adanya orang2 yg tdk mengadakan acara peringatan kematian adalah TDK ADA RIWAYAT bhw Rasulullah dan para sahabat melaksanakan acara tsb.ketika anggota keluarga atau kerabat mereka meninggal. Mengapa harus terpaku kpd satu riwayat di atas yg masih diperdebatkan? Juga TIDAK ADA RIWAYAT imam 4 mazhab melaksanakan acara tsb.
Nah itulah alasan yg syar’i. Suka atau tdk suka begitulah yg dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabat.Dan jangan lupa JANGAN FANATIK KPD KELOMPOK atau TRADISI.
untuk akhi imam, perlu saya luruskan tentang yang anda sebutkan mengenai hadits tersebut
saya juga pernah diberitahu adanya dalil naqly tentang bolehnya tahlilan dan menghidangkan makanan bagi keluarga mayit yang saya terima dari seorang jamaah yang sering mendengar ceramah saya. Adapun dalil tersebut berdasarkan keterangan dari kitab Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah yang ditulis oleh Ahmad ibn Ismail ath-Thahthawy juz. 1 halaman 409, juga berlandaskan pada istihsan sebagaimana yang tertulis dalam kitab al-Fawakih ad-Diwani yang ditulis oleh Ahmad bin Ghunaim bin Salim an-Nafrawy al-Maliky.
Kedua kitab itu menukil hadits sebagaimana yang dikeluarkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Abu Daud, Baihaqy dan ad-Daraquthny. Hadits tersebut sebagaimana ditulis dalam Hasyiyah ‘ala Muraqy al-Falah (ath-Thahthawy) adalah sebagai berikut:
عن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال: خرجت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة, فلما رجع استقبله داعى إمرأته فجاء وجيء بالطعام فوضع القوم فأكلوا ورسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك اللقمة في فيه.
“Dari ‘Ashim bin Kulaib dari bapaknya dari laki-laki Anshar, ia berkata: “Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.
Namun, setelah hadits yang dijadikan argumen oleh ath-Thahthawy dan yang dijadikan pedoman oleh orang yang mendukung tahlilan tersebut (seperti anda dan yang lainnya) saya teliti dan cermati lagi dengan seksama dan penuh kehati-hatian, ternyata ditemukan adanya perbedaan yang sangat signifikan dengan bunyi hadits aslinya. Berikut saya paparkan hadits dari Abu Daud yang saya rujuk langsung dalam as-Sunan-nya, juz. 3 halaman 244:
خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبريوصى الحا فرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه فلمارجع استقبله داعي إمرأة فجاءوجئ بالطعام فوضع يده…الخ
Perbedaannya dalam versi ath-Thahthawy dengan hadits aslinya sungguh teramat jauh, ada lafazh yang diberi dlamir mudzakar gha’ib (imra-atuhu) yang mengandung arti: “istrinya mayit”. Sedangkan dalam Kitab aslinya (Sunan Abu Daud, juz. 3 halaman 244) atau sebagaimana yang diriwayatkan oleh Baihaqy (Sunan al-Kubra, juz 5 halaman 335), Imam ad-Daraquthny (Sunan ad-Daraquthny juz. 4 halaman 285), Imam Ahmad ibn Hanbal (al-Musnad juz 5 halaman 293 dan 408), dan Abu Ja’far ath-Thahawy (Syarh Ma’any al-Atsar juz 2 halaman 293) menyatakan bahwa lafazh tersebut adalah “imra-atun” (tanpa diberi dlamir mudzakar gha’ib), yang artinya mutlak “wanita”.
Bahkan di dalam salah satu hadits yang ditakhrijkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dinyatakan dengan jelas bahwa wanita yang menemui Rasulullah saw., tersebut adalah seorang wanita Quraisy yang menyampaikan pesan dari seorang wanita yang tidak diketahui statusnya, yang di dalam matan haditsnya diberi identifikasi dengan klausul fulanah (lihat dalam al-Musnad juz 5 halaman 293).
Secara lafzhy, memang hadits tersebut ada hubungannya dengan masalah orang mati, tetapi inti pesan hukum yang termaktub dalam hadits tersebut justru tidak ada hubungannya dengan masalah orang mati. Karenanya, tidak ada satupun hukum dari ulama-ulama madzhab yang membolehkan tahlilan dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit.
Jika anda masih kurang paham dan mengerti juga, maka kami persilahkan untuk memperhatikan dengan seksama dan benar-benar jujur terhadap hadits tersebut dari segi penempatan permasalahannya. Kitab Sunan al-Kubra Baihaqy menempatkannya dalam bab Muamalah, Sunan ad-Daraquthny menempatkannya dalam Bab Makanan, dalam Kitab Syarh Ma’any al-Atsar yang ditulis Abu Ja’far ath-Thahawy ditempatkan dalam Bab Makanan (4/208), dan dalam Kitab Nishb ar-Rayah juga ditempatkan dalam Bab Ghasab (4/168).
Bagaimana dengan alasan istihsan yang digunakan untuk menjustifikasi bolehnya tahlilan? Sebenarnya jika kita mau jujur, dalam wilayah ushul fiqh, eksistensi istihsan sendiri masih diperselisihkan. Jika ulama-ulama Hanafiyah membela habis-habisan tentang istihsan karena ide istihsan ini muncul dari Imam Abu Hanifah (terutama dari sahabat sekaligus muridnya, Abu Yusuf), maka ulama-ulama Syafi’iyah dan ulama-ulama Hanabilah (Hanbali) justru menentang dan menolaknya tanpa kompromi.
Dalam kitab Ushul Fiqh (sebagaimana dikutip al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami, juz 2 halaman 353) dikatakan bahwa istihsan yang diartikan berpindahnya hukum dari ketentuan dalil (al-Qur’an dan as-Sunnah) kepada ketentuan kultur (budaya/tradisi) adalah ditolak. Bahkan dengan sangat tegas Imam asy-Syafi’i menyatakan:
من استحسن فقد شرع
“Barangsiapa yang mengamalkan istihsan, maka berarti ia telah menciptakan hukum syara’ (baru)”. (lihat al-Banany dalam Hasyiyah al-Banany ‘ala Matn Jami’ al-Jawami juz. 2 halaman 353; lihat juga al-Ghazali dalam al-Mustashfa fi ‘Ilmi al-Ushul halaman 171).
Demikian tegasnya Imam asy-Syafi’i tentang hal ini, sehingga sungguh tidak masuk akal—bahkan sangat aneh, apabila ada orang yang mengaku bermadzhab Syafi’iyah, tetapi masih saja suka tahlilan, yang artinya adalah menciptakan hukum syara’ baru tanpa mashadir al-ahkam (landasan hukum) yang telah disepakati, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah.
Bahkan dalam hadits riwayat Bukhari, Muslim, dan lain-lain dari ‘Aisyah dan Abu Hurairah, Nabi saw., menyatakan bahwa membuat hukum syara’ baru dianggap bid’ah dan mutlak tertolak. Bahkan perbuatan ini jelas-jelas menuduh Rasulullah saw., menyembunyikan agama Islam, padahal tidak ada satupun yang tidak disampaikan oleh Rasulullah saw., kepada umatnya.
Abdullah bin Mas’ud ra., berkata: “Ikutilah Sunnah Nabi saw., dan jangan kalian melakukan bid’ah. Kalian telah memperoleh petunjuk yang cukup. Karenanya, ikutilah jalan salaf” (al-Mu’jam al-Kabir, ath-Thabari no. 8770). Abdullah bin Abbas ra., juga berkata: “Jangan kamu mengucapkan (sesuatu) yang menyalahi al-Kitab dan as-Sunnah” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/205). Sungguh telah diketahui secara dharury, bahwa hanya Allah SWT yang berhak menciptakan hukum syara’, sementara kita selaku manusia hanya sekedar meng-izhar-kan (menjelaskan saja) hukum tersebut.
demikian, semoga menjadi pencerahan. wallahu a’lam bish-shawwab.
Untuk Abu Hafidz dan para pendukungnya,
Apakah Anda juga sudah membaca kitab yang telah ditahqiq oleh ulama besar Anda sendiri , Syeh Albani? dan apakah Anda juga akan menolak beliau ? silakan lihat kitab Misykatul mashobih karangan Muhammad Abdulloh dengan tahqiq : Muhamad Nasrudin Al-Bani cetakan Baerut.
semoga kalau Anda sudah membacanya maka Anda tidak menyalahkan kepada orang yang berkumpul di keluarga mayit dan memakan makanannya ( pada bagian inipun ada beberapa hukum yang mengikutinya – hai ini kalau tidak salah sudah ada dalam tulisan saya – ).
Demikian redaksinya :
خرجنا مع رسول الله – صلى الله عليه وسلم – في جنازة ؛ فرأيت رسول الله – صلى الله عليه وسلم – وهو على القبر يوصي الحافر ؛ يقول : أوسع من قبل رجليه ، أوسع من قبل رأسه ، فلما رجع استقبله داعي امرأته ، فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده
Artinya : ( Saya ambil dari terjemahan Anda ) :
Kami bersama Rasulullah saw., keluar menuju pemakaman jenazah, sewaktu hendak pulang muncullah istri mayit mengundang untuk singgah kemudian ia menghidangkan makanan. Rasulullah saw., pun mengambil makanan tersebut dan mencicipinya, kemudian para sahabat turut mencicipi pula”.
Dalam hadits ini disebutkan kata daa`i imroatih ( داعى امرأته ) ( pengundang dari istri mayit ) bukan dengan kata داعى امرأة .
Hadits ini menurut Al-Bani adalah Shoheh ( داعى امرأته ) Lihat di kitab yang telah saya sebutkan diatas, demikian juga beliau menshohehkan hadits dengan redaksi yang tanpa tambahan ( داعى امرأة ) Silakan Anda lihat di kitab Irwa Al-Gholil 196/3,
Sedangkan Imam Abu Dawud sendiri mendiamkan hadits ini ( سكت عنه ), dengan redaksi tanpa tambahan : داعى امرأة
Dalam kitab Dalail An-Nubuwwah Imam Abu Dawud dan Imam Baehaki meriwayatkannya juga dengan tambahan yaitu داعى امرأته dan hadits itu dishohehkan oleh Albani .
Dalam kitab Tuhfatul Ahwaazi karangan Muhammmad Abdurrahman Bn Abdurrokhim Almubarokfuri meriwayatkan hadits ini dengan tambahan : داعى امرأته dengan derajat hadits ini shoheh.
Jadi hendaknya bagi Anda, janganlah memaksakan keinginan Anda agar kami mengikuti pendapat Anda yang melarang makan dirumah ahli mayit – walaupun kita juga harus memperhatikan hukum dari hal ini pula – ( ini sudah ada di kometar saya). Semoga menjadi pencerahan. Terimakasih.
mas Aba Ditto,
pertama,
bagaimana praktek shalat berjamaah di mesjid anda?
apakah shalat wajib anda dilakukan berjamaah di mesjid?
adakah fakta sejarah yg menyebutkan bahwa Nabi dan sahabat telah membakar rumah orang yg tidak berjamaah di mesjid??
kedua,
mengenai hadis2 tentang peringatan kematian yg anda kutip tersebut, saya kira jawabannya sudah ada tercantum di tempat anda “copy paste”..
sudah dijawab oleh Hb. Munzir pada jawaban beliau yg kedua di artikel blog ini juga. apa perlu saya copy pastekan?
anda “copypaste” kan?
kenapa jawaban/komentar atas hadis2 itu tidak ikut anda copy paste juga?
but its oke,ga apa2,
sebelumnya saya minta izin pinjem kacamata “tekstual literal alias ngeyel ngotot apa adanya teks” trademarknya Wahabi/Salafy..
begini mas,
hadis itu cuma menyebut “kumpul2” dan “makan2”,
mana bagian teks yg menyebut/menyindir/menyinggung2 tentang membaca Quran+tahlil+tahmid+takbir+shalawat+doa yg pahalanya untuk si mayit??
kalo misalnya anda/kelompok anda menafsirkan bahwa kumpul2 itu adalah SALAH, berarti anda juga akan mengharamkan takziah, karena datang ketempat itupun sudah pasti kita akan “kumpul2” dengan orang2..
kalo ada yg meninggal ya ga usah didatangi, biarin aja keluarganya sendiri yg ngurus..
eh ralat,
keluarganya “ngumpul2” mengurus mayit juga SALAH, karena mereka pasti akan “kumpul2″ juga.
apa penafsiran hadis yg seperti ini yg diharapkan agama ini??
kemudian bagaimana dengan hadis :
“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar, berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan itu lalu kesemuanyapun makan”
???
Nabi SAW pun makan ditempat keluarga si mayit, apa anda berani menyebut Nabi SAW adalah seorang peratap juga??
atau hadis itu akan masuk daftar hadis yg tergolong palsu versi wahabi juga??
ataukah hadis2 itu saling bertentangan satu sama lain??
disini menyebut boleh, tapi disisi lain menyebut haram..
coba anda perhatikan!
ketiga,
petunjuk dari Rasulullah dan sahabat sudah jelas, namun pernahkah kita bertemu Nabi SAW dan para sahabat??
anda sendiri saja tahu hadis dari buku hadis, betul ga?
bisakah kita hidup beragama hanya bermodalkan alQuran dan Hadis yg telah dibukukan, TANPA MEMAKAI INSTRUMEN LAIN UNTUK MENAFSIRKAN KEDUA PUSAKA TERSEBUT ?
bisakah?
apakah anda tau, kelompok Wahabi/Salafy yg sering berkoar2 dan bersloganria “kembalilah kepada Quran Hadis” pun masih menggunakan penafsiran ulama..
mereka masih menggunakan kitab2/pendapat Ibnu Taimiyah dan kawan2..
mereka pun menggunakan kitab2/pendapat imam2 di luar mazhab mereka, semisal mazhab Syafii..
kitab2 yg memuat hadis pun merupakan produk ulama, kalo ga dihapalkan/ditulis ulama, ga bakal ada tuh kitab2 hadis, wong Nabi SAW sendiri melarang sahabat membukukan hadis kok..
JADI, silahkan saja anda yg hidup di zaman ini merujuk langsung kepada Nabi SAW dan sahabat, silahkan tanya Nabi SAW langsung sebelum ngapa2in, “Ya, Nabi SAW, saya mau ke kantor jam segini, bid’ah apa ngga?”… tapi saya titip pesan :
1. buanglah kitab2 yg membukukan AlQuran & hadis Nabi SAW, karena itu produk ulama..
2. kalo terpaksa juga merujuk ke kitab itu juga (berarti anda tidak konsisten) silahkan mencuplik ayat2 atau hadis2 tsb (saya kasian juga anda ga punya apa2), tapi tinggalkan penafsiran ulama.. entah penafsiran/pendapat Ibnu Taimiyah, Syeikh bin Baz, Syeikh Albani maupun penafsiran Imam Syafii, Imam Nawawi dll..
jadi yg ke 3. anda harus membuang kitab2 karangan ulama, semisal Bulughul Mahram, Adzkar imam Nawawi dll.
silahkan tafsirkan sendiri, insya Allah anda akan mati berdiri, karena menemukan banyaknya ayat2 atau hadis2 yg saling sepertinya bertentangan (padahal sebenarnya tidak)..
ga usah yg rumit2, ada hadis yg bunyinya “mewajibkan berjamaah di mesjid” dengan hadis yg bunyinya “mewajibkan untuk memenuhi undangan” saja anda sudah bingung membabibuta menyalahkan orang tahlilan..
(kalo kami tidak bingung mas, penafsiran ulama2 kami menyebutnya sebagai fardhu kifayah, bukan fardhu a’in)
ada hadis yg bunyinya “melarang kumpul2 & makan2 di rumah keluarga mayit” dan hadis “keutamaan bacaan Quran, tasbih, tahlil, tahmid, shalawat, baik itu untuk mayit atau tidak” dan hadis “keutamaan menghormati tamu, menyuguhi tamu” dan hadis “keutamaan bersedekah” saja anda sudah bingung..
bagaimana jika anda berhadapan dengan ayat “Allah duduk”, “Allah menggenggam”, “wajah Allah”, dan ayat “tidak ada sesuatu apapun yg serupa dengan Allah”, dengan ayat “laisa kamitslihi syai” tanpa TAFSIR ULAMA pasti anda akan setengah mati bingungnya..
jika anda ingin pergi ke Singapura tapi anda mengesampingkan mobil+kapal laut+pesawat+dll, saya jamin anda tidak akan sampai kemana2..
jika anda ingin menuju Allah dan RasulNya, tapi anda melupakan ulama, saya yakin anda tidak akan sampai kemana2, kecuali anda adalah makhluk yg diistimewakan Allah, yg diberi ilmu agama tanpa belajar..
terakhir,
kemuliaan dan persatuan Islam yang anda sebut itu tidak akan bisa diusahakan dengan pemikiran dangkal dan menyalah2kan/memaksakan pendapat orang lain..
ketika orang lain punya dalil hadisnya begini2 dan tafsirnya begini2, maka anda tidak bisa memaksakan pendapat dari hadis begitu2 tanpa tafsir..
hadisnya memang yg itu2 juga, tapi kenapa dipahami dan ditafsirkan berbeda, itulah rahasia Allah, boleh jadi situasi dan kondisi yg berbeda yg membuat imam A membolehkan, sementara Imam B memakruhkan..
lihatlah setelah puluhan ribu tahun, para imam mazhab tidak ada yg menyalahkan pendapat imam mazhab yg lain selama mengikuti kaidah “mengekstrak” Quran+Hadis yg benar..
1. Walaupun hanya ancaman, kita hrs takut dgn ancaman Rasulullah, bukan menyepelekannya karena ucapan dan perbuatan Rasulullah adalah atas ridho Allah.
2. Rasulullah, sahabat, tabi’in, imam 4 mazab (walaupun satu diantara mereka ada yg mengatakan hukum sholat fardhu di masjid sunnat muakkad)lebih senang mengerjakan sholat fardhu berjamaah di masjid kecuali ada udzur yg syar’i.
3. Yg saya copy paste adalah hadist bukan pendapat. Saya tdk mengcopy paste pendapat ustadz munzil krn ia tlh salah (mungkin tdk sengaja) menyebutkan lafaz asli HR Abu Dawud no.3332 di atas (coba baca lagi dan buka musnad Abu Dawud).
4. Mengambil pendapat ulama boleh saja tdk ada yg melarang selama ulama yg menjadi rujukan adalah ulama2 yg tsiqah – bukan ulama yg kurang hati2 menyebut lafaz hadits, misalnya.
5. Saya bkn kelompok salafi, muhammadiyah, NU, atau apapun namanya. Pendapat siapapun dari mereka selama mendukung sunnah, maka harus didukung. JANGAN FANATIK DGN KELOMPOK.
6. Ta’ziah memiliki hadits tersendiri. Kita diperintahkan mendoakan almarhum dan menghibur keluarga yg berduka.Silakan cari haditsnya. Jika ada tetangga muslim yg meninggal, maka sudah sepatutnya kita mendoakannya tanpa hrs diiming-imingi dgn sepiring nasi. Iming2 dari Allah sudah lebih dari cukup. Jika ada tetangga yg sakit, sdh sepatutnya kita menjenguk, membantunya, mendoakannya.
7. Innovasi (sesuatu yg baru) dalam agama yg dilarang adalah masalah ibadah – bukan masalah kemaslahatan di dunia. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassallam “Barangsiapa yg melakukan suatu amalan tanpa perintah kami, maka amalan itu tertolak”.
Silakan pergi haji naik onta atau terbang dgn pesawat berkecepatan 1000 km/jam.
8. Silakan Anda bertahan dgn pendapat Anda.Hayakallah.
–> 1 2 4 8 setuju
3. jika anda simak, habib Munzir (bukan munzil) telah menjelaskannya di bagian bawah artikel. Mungkin anda terlewatkan membacanya.
6. setuju. Hiburan terbaik bagi keluarga adalah berdzikir dan mendoakan si mayit dan keluarganya. Dan kalau disuguh nasi kan yaa dimakan tohh mas, karena jika tidak mau makan justru menambah kesedihan keluarga. Dan juga itu bukan haram. Kalau mengharamkannya itu justru bid’ah sesat, karena mengubah status hukum makanan tanpa dalil syar’i.
7. Inilah pembagian bid’ah yang aneh. Katanya semua sesat .. kini ada bid’ah dunia yang boleh, di samping bid’ah ibadah. Tak konsisten kan.
Pasangan klasifikasinya juga salah. Kalau yang satu dunia, lawannya akhirat. Kalau yang satu ibadah, lawannya non ibadah. Kalau yang satu agama, lawannya non agama. Kalau yang satu dlalalah, lawannya hasanah. Itu baru pasangan klasifikasi yang pass.
Mempasangkan dunia dengan agama atau ibadah sangat tidak pas. Manusia diciptakan hidup di dunia ini untuk beribadah mas. Bukan untuk yang lain-lain. Adakah urusan kemaslahatan dunia ini yang bukan urusan akhirat? Adakah urusan dunia yang tidak bisa dijadikan ibadah? TIDAK ADA.
Anda juga tak konsisten dengan contoh anda. Contoh anda ibadah haji. Berhaji dengan pesawat itu kan juga ibadah kan mas, bukan kemashlatan dunia. Seharusnya anda melarangnya, tetapi kok anda mempersilahkannya .. binung aku. Tak konsisten.
Yang jelas bid’ah (yang terlarang) itu … masih dalam ibadah haji .. berhaji dengan tawaf muter pasar (dulu ada pasar seng). Atau wukuf di luar batas arafah. Atau Sa’i di luar batas yang ditentukan baginda Nabi saw, walaupun sedikit. Karena semua contoh tersebut jelas-jelas melanggar syariat yg telah ditentukan.
wallahu a’lam.
Untuk saudaraku yg tdk puya nama
3. Saya sdh baca ulang, tdk ada pembelaan dari ustadz munzir atas tuduhan salah menyebutkan lafaz hadits.
6. “Makan di cara kematian adalah perkara yg baik” itu pendapat saudara, silakan diamalkan utk diri sendiri atau org2 yg patuh sama saudara.
7. Saudara salah mengartikan konsisten. Rasulullah pernah mengimami dgn surah yg panjang, pernah pula dgn surah yg pendek. Apakah beliau shallallahu ‘alaihi wasallam tdk konsisten?
Pergi haji itu ibadah. Pesawat, kapal, adalah sarana. Pilihlah sarana yg memberikan kemudahan (kemaslahatan) bagi Saudara.
Para sahabat ketika berada di majelis Rasulullah seolah-olah dapat melihat surga dan neraka di depan mata. tetapi ketika para sahabat kembali ke rumah berkumpul bersama keluarga, mereka bercanda dan tertawa. Mereka melaporkan ini ke Rasulullah dan Rasulullah menjawab “ya sekali-kali tdk mengapa”.Semoga saudara mengerti maksud saya.
–> 3. Saya kutib kembali penjelasan habib munzir yang dimaksud. Dan itu dari syarah Imam Ibn Majah, bukan pendapat habib munzir sendiri. Lihat yang saya bold.
6. “Makan di cara kematian adalah perkara yg haram” itu pendapat saudara, silakan diamalkan utk diri sendiri atau org2 yg patuh sama saudara. Inilah bid’ah sesat itu sendiri, mengharamkan perkara halal tanpa dalil.
7. Anda harus konsisten dalam .. semua perkara baru itu sesat. Menjadi tidak konsisten ketika anda mengatakan, perkara baru urusan dunia tidak sesat.
Pergi haji itu ibadah. Tahlil itu berdzikir, dan itu juga merupakan ibadah.
Haji itu ibadah wajib bagi yang mampu sekali seumur hidup.
Tahlil itu ibadah sunnah, kapan saja boleh dan jika diamalkan berpahala (bukan sesat dan masuk neraka)
Ini baru konsisten, sesuai dalil.
Saudara pemilik blog yg mengomentari Aba Ditto di atas sepertinya pakar betul ttg urusan ibadah. Coba jawab pertanyaan ane berikut:
Pernyataan Imam Syafi’i: “Tidak ada qiyas dalam ibadah”.
“Ibadah bersifat tauqifiyah”.
Coba jelaskan maksudnya dan berikan contohnya.
–> yang bertanya lebih tahu dari yang ditanya. Maaf .. setahu saya, qiyas juga dipakai dalam madzab syafii sebagai hujjah penetapan hukum
Mas Pemilik Blog,
Anda bilang di dunia ini semuanya ibadah. Dan anda bilang madzab syafii (atau maksud anda Imam Syafi’i?)menggunakan qiyas dlm menetapkan hukum.
Sedangkan pernyataan Imam Syafi’i “tidak ada qiyas dalam ibadah dan ibadah bersifat tauqifiyah”.
Berarti anda mengatakan bahwa Imam Syafi’i tdk konsisten? Imam Syafi’i tdk mengerti makna ibadah? Atau maksud anda madzab syafi’i tdk perlu mengikuti imamnya (Imam Syafi’i)?
Wah ternyata anda lebih faqih dari Imam Syafi’i.
–> Lhaa memang manusia diciptakan itu untuk beribadah kepada Allah. Ada di al Qur’an mas. Memangnya ada perkara dunia ini yang tidak bisa dijadikan/diniatkan ibadah?
Siapakah yang lebih tahu ajaran imam syafii. Itulah anak cucu muridnya. Itulah para ulama yang bermadzab syafi’i. Ilmu saya belum seberapa mas .. jangan nge-test yang susah-susah. Yang jelas .. Qiyas itu termasuk salah satu metode pengambilan hukum setelah Ijma’ di dalam madzab syafi’i, ketika di Al Qur’an dan al hadits tidak ada.
Jika tidak ada di al Qur’an dan hadits baginda Nabi saw, terus anda menentukan hukumnya (halal-haramnya) sebuah perkara baru dengan apa mas?
Ngomong-ngomong.. kalimat anda itu dikutib dari manakah? Jangan-jangan itu kalimat gunting tambal, yang hanya dicomot sebahagiannya saja.
Afwan mau tanya buat akhi2 semua.
Apakah sekiranya pantas kalau orang yg harusnya kita sedekahi namun dia “terpaksa” bersedekah (seandainya niat mengadakan tahlilan adalah sedekah)??Apakah bagi yg hadir pada saat tahlil semuanya bersedekah kepada keluarga si mati..??pengalaman saya saat menghadiri tahlilan biasanya tak ada satupun yg bersedekah namun kebanyakan senang sekali saat dijamu makan..bahkan ustadz yg memimpin do’a pun menerima “upah”..sedangkan orang yg mengadakan tahlilan itu adalah fakir miskin tapi mereka tetap memaksa mengadakan tahlilan karena takut di labeli “wahabi” seandainya mereka tidak mengadakan tahlilan.
Mohon dijawab dengan arif..
–> Apakah orang bersedekah harus bilang-bilang. Kl anda tak bersedekah, bukan berarti yang lain tak bersedekah juga. Justru di sini arena untuk bersedekah. JIka keluarga yang meninggal termasuk orang mampu, maka ada kesempatan membagi sedekah dan makanan untuk tetangga yg miskin. Jika keluarga jenazah termasuk miskin, justru kita yang mampu berkesempatan bersedekah kepadanya.
Assalaamu’alaikum warahmatullaah Mas Abi,
Jangan takut digelar wahabi, muhammadiyah, atau apa saja. Pelajari sunnah. Memang ada org2 yg takut jika melanggar tradisi terkait masalah kematian. Seharusnya yg memberi makan adalah tetangga keluarga yg berduka. Kalau anggota keluarga ingin bersedekah dgn niat utk kebaikan orangtua yg meninggal, anggota keluarga tsb dpt lakukan dgn cara berinfak kpd fakir miskin, yatim piatu, masjid, sekolah2 Islam, atau lembaga sosial/dakwah lainnya. Perhatikan hadits berikut:
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi shallallahu’alaihi wassallam seraya berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Dari hadits di atas tdk disebutkan bhw syarat bersedekah utk keluarga yg meninggal adalah dgn mengundang org utk tahlilan di rumah org yg berduka.Sikap tetanga org yg berduka adalah mendoakannya – tanpa diminta (tanpa hrs diundang) oleh keluarga yg berduka.
Semoga bermanfaat.
–> (pemilik) blog ini dijuluki pengikut syafiiy. Kami tahu dari blog orang lain. Kami tak merasa terlecehkan. Imam syafii menorehkan prestasi yang bagus, dan dikenang sepanjang zaman. Namun mengapa ketika ada orang dijuluki wahaby merasa terlecehkan. Prestasi apa yang ditorehkan oleh syaikh ini? Inilah pertanyaan yang antara lain memicu lahirnya blog ini. Ternyata .. sejarah sepak terjang yang penuh tuduhan pengkafiran dan darah. Benar kata anda.. Jangan takut digelar apapun. Namun yang penting, torehkan prestasi yang bagus. Semoga ridlo ilahi menyertai kita.. amien.
Dan hadits tersebut tak mensyaratkan sedekah .. benar. Namun ini menjadi dalil tentang sampainya amal sedekah kepada si mayit. Berinfak kpd fakir miskin, yatim piatu, masjid, sekolah2 Islam, dll sebagaimana anda sebutkan benar adanya .. namun itu bukan berarti melarang hal-hal lain yang di luar nalar anda. Jadi apa salahnya pihak keluarga mengundang org/tetangga untuk berdzikir dan mendoakan si mayit, kemudian bersedekah kepada mereka. Semua amal itu akan sampai kepada si mayit. Dalilnya telah anda sebut.
Aba Ditto,
Penafsiran Saudara dalam menafsirkan sebuah hadits menurut saya adalah kacau.
Hadits yang Saudara tulis berbunyi : ( saya kutip dari tulisan Saudara ) ;
Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim hadits no.1004).
Dengan hadits ini Anda menuduh kepada orang yang ahli tahlilan mensyaratkan sedekah adalah acara tahlilan, padahal tidak ada seorangpun yang mensyaratkan seperti itu kecuali hanya dalam angan2 Saudara.
Kedua, hadits itu hanya menjelaskan kebolehan bersedekah untuk orang yang sudah meninggal tidak menyebutkan CARA BERSEDEKAH,dengan berinfak untuk fakir miskin ….dst seperti kata saudara.
Ketiga, pemberian makanan untuk keluarga mayit dari tetangga adalah perkara sunah bukan merupakan keharusan tidak seperti kata saudara dengan menyebut SEHARUSNYA ….dst..
Keempat, Anda setuju sedekah untuk fakir miskin dll….lalu kenapa Anda tidak setuju kalau ahli mayit mengadakan tahlilan dengan mengundang orang2 miskin ( mayoritas) dengan disuguhkan makanan semampunya dan seikhlasnya dengan maksud bersedekah dan menjamu tamu agar juga bermanfaat bagi mayit?
Sebenarnya tahlilam adalah sarana saja untuk bersedekah dan membaca ayat2 quran dan sholawat dll yang diniatkan dan diatasnamakan si mayit seperti bunyi hadits yang saudara kutip itu.
terakhir saya kutip :
من معاصي اللسانِ التي هي منَ الكبائر أنْ يُفتِيَ الشَّخصُ بفَتْوى بغَيرِ عِلْم قال الله تعالى ﴿ولا تَقفُ ما ليسَ لكَ به عِلْمٌ إنَّ السَّمعَ والبصرَ والفؤادَ كُلُّ أولئكَ كانَ عنه مسؤولاً﴾ سورة الإسراء36. أي لا تقُلْ قولاً بغير عِلم، وصحَّ وثبَتَ عن رسولِ الله صلى الله عليه وسلم أنه سُئلَ عن بعضِ الأشياءِ فقال ((لا أدري)) ثم سألَ جبريلَ فقال ((لا أدري أسألُ ربَّ العزة))
Merupakan maksiat lisan yang masuk dosa besar adalah seseorang berfatwa dengan tanpa ilmu, Alloh berfirman : ( Janganlah kamu mengikuti apa yang tidak kamu mempunyai pengetahuan dengannya,sesungguhnya pendengaran,penglihatan dan hati semua itu akan diminta pertanggungjawabannya ) ( Al-Isro : 36), yaitu jangan berkata suatu perkataan tanpa ilmu, Rosullulloh pernah ditanya sesuatu hal maka beliau menjawab ( saya tidak tahu ) kemudian beliau bertanya kepada jibril ( jibrilpun menjawab : saya tidak tahu, kemudian Jibrilpun bertanya kepada Tuhannya
وروى الحافظ ابن عساكر في تاريخِه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: ((مَن أَفتى بغَيرِ عِلمٍ لَعَنَتْهُ مَلائكةُ السّماءِ والأرض)
Al-Hafidz Ibnu ~asakir dalam tarihnya, bahwa rosulalloh Saw bersabda : Barangsiapa berfatwa dengan tanpa ilmu maka para malaikat di langit dan di bumi melaknatnya.
Syukrol lakum.
ana setuju klo yg seharusnya memberi makan adalah tetangga dari keluarga yg berduka…tapi yg terjadi di keseharian kita kan tidak demikian..tanggapan antum bagaimana terhadap orang2 yg sudah saya sebut terdahulu??
–> memberi contoh .. berikan sumbangan yang besar ketika ada tetangga miskin terkena musibah. Jika anda orang mampu dan terkena musibah, berikan sedekah/bungkusan kepada tetangga miskin lebih banyak. Itu dakwah dengan lembut. Bukan dengan mensesat-sesatkan amalan tetangga, bukan pula dengan memberi julukan yg buruk.
Mas Imam,
Org2 yg membuat acara tahlilan diperingatan kematian/kenduri hari ke-1,ke-3, ke-7, dst. sering ditanya mengapa mereka melakukan itu, apakah Rasulullah juga melakukan seperti itu? Mereka menjawab: memang perkara tsb tdk dilakukan di zaman Rasulullah dan sahabat, tetapi kalau berniat bersedekah kan boleh. Merekapun mengutip salahsatu hadits tsb.
“Pemberian makan dari tetangga kepada keluarga mayit adalah perkara sunnah”, nah- mengapa sunnah ini tidak dilanggengkan???
Kebiasaan org2 di acara peringatan kematian adalah mengundang tetangga kanan-kiri tanpa melihat apakah ia kaya atau miskin. Dan keluarga yg berduka, tdk peduli apakah ia kaya atau miskin, tetap mengundang tetangga kanan kiri pada hari peringatan kematian.
Jadi saudara betul, kalau ada org yg mengatakan perkara tsb. di atas adalah perkara yg baik, maka ia telah berfatwa TANPA ilmu.
–> Dulu yang diributkan dzikir (tahlil)nya … kini sedekahnya.
kenapa anda ribut dengan undangan dan sedekah orang lain? Perkara sedekah itu yaa sedekah .. bagaimanapun bentuk dan metodenya. Anda pernah mentraktir teman-teman (termasuk yang miskin) ketika lulus ujian. Anda pernah makan nasi kuning bersama anak-anak tetangga (termasuk yg miskin) ketika ananda ulang tahun. Nahh .. itu termasuk sedekah. Jika itu boleh .. maka anda pun tak perlu ribut ketika ada tetangga bersedekah diperingatan kematian/kenduri.
Saudara Aba Ditto,
Mufti agung Masr (Mesir) Syeh Prof. Dr. Ali Jum`ah Muhammad berfatwa ketika ditanya tentang berkumpul di keluarga mayit untuk bedzikir,berdoa dan makan makanannya ( الاجتماع عند اهلي الميت علي الذكر والدعاء والطعام ) .
Beliau menjawab :
لامانع من مثل هذا الاجتماع شرعا , بشرط ان لايكون في ذلك تجيد للأحزان وان لا يكون ذلك من مال القصر فان كان ذلك مما يشق علي اهلي ميت او يجدد أحزانهم فهو مكروم وان كان من مال القصر فهو حرام
Perkara seperti itu ( berkumpul di keluarga mayit untuk berdoa dan makan makanannya ) TIDAK ADA LARANGAN dalam syareat, dengan SYARAT perbuatan itu tidak mendatangkan kesedihan kembali, dan biayanya bukan dari harta keluarga mayit yang tidak mampu. Jika perbuatan / acara itu membuat susah keluarga mayit atau membuat tambah bersedih kembali maka hukumnya adalah MAKRUH. Apabila biayanya diambil dari harta keluarga yang tidak mampu maka hukumnya HARAM.
ومع ان جماعة من متأخرين الحنفية يذهبون الي القول بالكراهة الا ان العلامة الطحطاوي الحنافي حقق ان ذلك جائز ولا شيئ فيه ونقل ذلك عن محققي الحنفية.
Sejumlah ulama Mutaakhirin Hanafiyah berpendapat melakukan acara seperti itu hukumnya MAKRUH kecuali pendapat Al-Allamah Ath-Thahawi Al-Hanafi,dalam kajiannya yang mendalam beliau menyimpulkan kebolehan mengadakan acara itu dan tidak mengapa . Ini sebagaimana dinukil oleh sejumlah ulama peneliti Madzhab Hanafi.
–> setuju … 100
Buat Mas Aba Ditto, yang kayaknya ilmu sangat tinggi, dan telah dijamin Alloh masuk surga, karena amalan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-harinya terbebas dari bid’ah dan kesesatan. Salut buat antum.
Ane mau kasih tau sama ente, Ente tau nggak KENAPA IBLIS MASUK NERAKA ……? Karena Iblis merasa dirinya lebih baik dari Adam, ketika Alloh SWT memerintahkan Iblis untuk sujud kepada Adam, mereka berkata….. bahwa mereka terbuat dari api dan Adam dari tanah, mereka merasa tidak layak menyembah Adam.
Kayaknya sih SIFAT IBLIS Merasa paling baik an benar ini ada di Antum. SELAMAT YA ……
Sekarang saya 100 % yakin ini Majelis NU. Bye.
Wah Anda merasa lebih baik dan lebih benar dari Ulama-Ulama NU dong. Kayaknya bener yang dibilang Abi Tauhid, sifat IBLIS menempel di jiwa Anda. Selamat juga deh…
to Aba Ditto,
pertama,
anda ini lucu.. mengamati sesuatu secara kok secara parsial..
tahlilan bukan cuma amalan orang NU mas,
muslim di luar indonesia juga ada yg mengamalkan tahlil, apakah mereka NU? tidak mas..
tanyakan pada para pentahlil di malaysia, berunai, Thailand, pakistan, yaman, mesir dll, NU kah mereka?? tidak mas..
mazhab2 di luar Syafii juga ada yg mengamalkan tahlilan, mungkin dengan bentuk atau nama yg berbeda..
JADI, tahlil itu bukan punya NU mas..
kedua,
awalnya anda ngotot bahwa sholat pardu jamaah dimesjid itu wajib,
sekarang kok malah jadi longgar dengan menyebut “lebih senang mengerjakan sholat fardhu berjamaah di masjid kecuali ada udzur yg syar’i”???
anda itu mengikuti pendapat ulama yg sesuai sunnah kah atau malah memilih yg sesuai dengan keinginan anda??
ketiga,
anda tidak menjawab pertanyaan saya, apakah anda selalu shalat pardu berjamaah di mesjid?
keempat,
ga usah mikir yg rumit2, saya cuma mau nanya bahwa hadis itu menyebutkan “kumpul2 dan makan2” adalah meratap, bagian mana yg menyebut membaca dzikir dan sholawat juga disebut meratap??
kelima,
fenomena di masyarakat kita yg terlalu “memaksakan” ngadain tahlilan (misalnya sampe menyengsarakan si ahli waris, sampe berhutang kesana kemari), ga perlu pake hadis2 dan pendapat ulama untuk menyalahkannya, mas..
itu terlalu jauh..
terlalu jauh pula sampe menyalahkan dzikir dan sholawat dengan hadis yg ga nyambung..
hadis “kumpul2 dan makan2 adalah meratap” kok ditujukan untuk orang2 yg baca dzikir sholawat???
akan lebih bijak jika anda menyalahkan “terlalu maksa ngadain tahlilan” dibanding jika
anda menyalahkan “dzikir sholawat dan sedekah” dengan hadis “keutamaan berjamaah dimesjid” maupun “kumpul2 dan makan2 adalah meratap” yg justru akan membuat anda terlihat konyol dan ga nyambung.
keenam,
saya sudah biasa diskusi dengan orang yg “kalah diskusi terus kabur”..
saya jadi semakin yakin bahwa pemikiran wahabi itu dangkal dan tidak bisa diterima akal sehat..
hahahahaha..
–> ohh iyaa..jadi ingat.
pertama,
matsurat-an nya PKS itu juga tahlilan lhoo…
istighasah-an orang NU juga tahlilan
dzikrul ghafilin-nya gus miek
dll
assalammulaikum,
bagi saya sih yg penting dalam beribadah harus ini,
syarat diterimamnya ibadah:
1.niat yg ikhlas
2.sesuai syariat(ada contoh dari Rosulullah dan sahabat)
titik,
wassalam
mas anwar,
secara teori apa yg anda katakan itu benar saja, tapi dengan bermodalkan pemahaman yg sempit dijamin akan kesulitan jika sudah memasuki wilayah praktek..
singkat saja,
kita telah sepakat membaca tahlil (lailahailallah) adalah suruhan Allah dan Nabi SAW, yg saya tanyakan adalah :
bagaimana praktek anda mengucap kalimat tersebut??
tolong dijawab?
untuk semua yang membaca blog ini, saya menurunkan satu tulisan. mudah-mudahan ini dapat menjadi pencerahan bagi kita semua.
TA’ZIYAH MENURUT BAHASA ARAB
DAN HADITS NABI SAW
Dalam bahasa Arab, menurut ilmu sharaf, ta’ziyah berasal dari kata عزا mengikuti wazan فعل – يفعل, fi’il naqis wawiy yang asalnya adalah عزوا menjadi عزا. Fi’il naqis wawiy adalah kata kerja mu’tal yang memiliki huruf illat pada lam fi’il-nya. Adapun tashrif lengkapnya adalah sebagai berikut:
عزا – يعزو – عزوًا – ومعزًى – فهوعاز – وذاك معزوٌّ – أعز – ليعز – لاتعز – لايعز – معزًى – مِعزًى
Dalam hal ini, العزا memiliki arti السلوى (hiburan) dan الصبر (kesabaran). Disamping berasal dari عزا, ta’ziyah juga berasal dari kata عزى mengikuti wazan فعل – يفعِل dan disebut fi’il naqis ya’i. adapun tashrif lengkapnya adalah sebagai berikut:
عزى – يعزى – عزيًا – ومعزى – فهوعاز وذاك معزّيٌ – إعز – ليعز – لا تعز – لايعز – معزًى – مِعزًى
Dalam hal ini, العزى memiliki arti عزى وتعزى , yaitu terhibur atau sabar atas apa yang menimpanya. العزى dapat juga berarti عزاه atau سلاه (menghibur/menyabarkan). Sedangkan العزاء والتعزية merupakan fi’lu al-ta’diyah, yang memiliki arti pernyataan menghibur atau pernyataan yang bersifat menyabarkan, turut berduka cita atas musibah yang terjadi.
(Catatan: penjelasan istilah ta’ziyah tersebut dapat dilihat dalam Kamus Bahasa Arab Lisaanul Arab li al-Imam al-‘Allamah Ibn al-Manzhur, jilid 6 halaman 239, terbitan Darul Hadits, Kairo-Mesir; juga dalam Kamus al-Munjid fi al-Lughah wa al-‘Alam, halaman 504, terbitan al-Maktabah al-Syarqiyah, Beirut-Lebanon).
Sedangkan istilah ta’ziyah yang digunakan oleh Nabi Muhammad saw., adalah sebagai beikut:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مامن مؤمن يعزى أخاه بمصيبة إلا كساه الله عز وجل من حلل الكرامة يوم القيامة
“Rasulullah saw., bersabda, Tidaklah orang yang beriman berta’ziyah ke tempat saudaranya yang tertimpa musibah kecuali Allah ‘Azza wa Jalla akan memberikan pakaian kemuliaan kepadanya di hari Kiamat”. (HR. Ibnu Majah, dari Abdullah bin Muhammad bin Amir bin Hazm).
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من عزى مصابًا فله مثل أجره
“Rasulullah saw., bersabda, Siapa yang berta’ziyah ke tempat musibah, maka baginya pahala seperti pahala orang yang tertimpa musibah”. (HR. At-Tirmidzi, dari al-Aswad bin Abdillah).
Dalam melaksanakan ta’ziyah, Rasulullah saw., melakukannya dalam tiga pelaksanaan, yakni:
1. Ta’ziyah bil Lisan, yaitu Rasulullah saw., hadir ke rumah duka dan menasehati ahlu musibah agar ahlu musibah sabar dan tabah dalam menerima musibah yang terjadi. Ini sebagaimana hadits beliau saw:
إن لله ما أخذ وله ما أعطى ولكل شيئٍ عنده بأ جل مسمى فالتصبر والتحتصب
“Segala sesuatu adalah milik Allah, baik yang Allah ambil maupun yang Allah berikan. Segala sesuatu disisi Allah mempunyai batas waktu yang telah ditentukan. Karenanya bersabarlah dan tabahlah”. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, an-Nasa’i, dari Usamah bin Zaid, Said bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Ubay bin Ka’ab, dan Zaid bin Tsabit).
Menurut hadits riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak ‘ala Shahihain, jilid I, halaman 492, yang bersumber dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya Buraidah, pada saat Nabi saw., berta’ziyah ke rumah salah seorang wanita anshar yang anak tunggalnya meninggal dunia, Rasulullah saw., memerintahkan agar ahlu musibah bertaqwa dan bersabar:
فأمرهابتقوى الله وبالصبر
Dalam at-Ta’liqah al-Jiyaad, Nabi saw., ketika tidak sempat hadir ke rumah Mu’adz bin Jabal yang tertimpa musibah karena meninggal putrinya, beliau memerintahkan kepada Abdullah bin Amru bin al-‘Ash untuk menulis surat yang isinya adalah sebagai berikut:
رحمت إليهم ميتهم وعزيتهم
“Aku mengasihi mayit mereka dan akupun berta’ziyah kepada mereka”.
2. Ta’ziyah bil Maal, yaitu Rasulullah saw., memerintahkan kepada sahabat untuk membantu ahlu musibah dengan harta dan makanan yang dapat meringankan beban duka cita bagi ahlu musibah sebagaimana perintah Rasulullah saw:
عن عبد الله بن جعفر قال: لما نعي جعفر قال النبي صلى الله عليه وسلم: إصنعوا لأل جعفر طعامًا فقد أتاهم أمر يشغلهم
“Dari Abdullah bin Ja’far, ia berkata pada saat gugurnya Ja’far bin Abi Thalib, Nabi saw., bersabda, Antarkan makanan ke rumah Ja’far, sungguh telah datang duka cita yang menyibukkan keluarga Ja’far”. (HR. Al-Hakim dalam al-Mustadrak, halaman 482).
Di dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan, bahwa Aisyah diperintahkan oleh Rasulullah saw., untuk mengantarkan bubur Talbinah ke rumah sahabat yang sakit atau meninggal dunia, karena bubur Talbinah membuat senang hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan orang yang sedih karena tertimpa musibah.
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم التلبينة مجمة لفؤاد المريض تذهب ببعض الحزن
“Rasulullah saw., bersabda, Bubur Talbinah menyenangkan hati orang yang sakit dan menghilangkan sebagian kesedihan hati orang yang tertimpa musibah”. (HR. Bukhari dan Muslim, dari Aisyah).
3. Ta’ziyah bil Hal, yakni ta’ziyah dengan cara membantu ahlu musibah terhadap keadaan apa yang sedang mereka butuhkan, seperti yang menyangkut fasilitas fardhu kifayah, ataupun yang menyangkut kebutuhan ahlu musibah seperti air, tikar, mobil ambulance, lampu penerangan, dan lainnya yang sifatnya meringankan beban duka cita yang sedang diderita ahlu musibah.
Adapun ucapan belasungkawa kepada ahlu musibah, sebagaimana menurut hadits riwayat Ibnu Syaibah yang berasal dari Ibnu Abbas, Rasulullah saw., jika datang berta’ziyah, beliau mengucapkan kalimat berikut ini:
رحمك الله و أجرك
“Semoga Allah mengasihimu dan memberikan ganjaran pahala kepadamu (karena kesabaranmu)”.
Pandangan Imam asy-Syafi’i tentang ta’iyah adalah sebagaimana termaktub dalam kitab al-Umm, dan Mukhtashar al-Muzani, jilid I, halaman 317, terbitan Darul Fikri, Beirut, yaitu:
وليس في التعزية مؤقت يقال لايعدى إلى غيره أخبرنا الربيع قال أخبرنا الشافعى قال أخبرنا القاسم بن عبدالله بن عمر عن جعفر ابن محمد عن أبيه عن جده قال لما توفى رسول الله صلى الله عليه وسلم وجائت التعزية سميعوا قائلاً يقول: إن فى الله عزاء من كل هالك ودركًا من كل مافات فبيالله فتقوا وأياه فأرجوا فإن المصاب من حرم التواب قال الشافعى قدعزى قوم من الصالحين بتعزية مختلفة فأحب أن يقول قائل هذا القول ويترحم على الميت ويدعو لمن خلفه
“Tidak ada pada ta’ziyah suatu ketetapan waktu yang dikatakan tidak dilampaui waktu yang lain. Dikabarkan kepada kami oleh ar-Rabi’ yang mengatakan dikabarkan kepada kami oleh al-Qasim bin Abdullah bin Umar dari Ja’far bin Muhammad dari ayahnya, ketika Rasulullah saw., wafat, datanglah orang-orang berta’ziyah, mereka mendengar ada yang mengataan, “Bahwa pada Allah ta’ziyah dari setiap musibah, ganti dari setiap yang binasa, dan memperoleh kembali dari setiap yang hilang, maka demi Allah percayalah kepada-Nya! Maka berharaplah bahwa orang yang tertimpa musibah diharamkan dari balasan siksa. Orang-orang yang shalih melakukan ta’ziyah dengan cara yang beragam (lisan, bil maal, bil hal). Saya (Imam asy-Syafi’i) lebih menyukai bahwa diucapkan ucapan tadi (ucapan yang diucapkan sahabat waktu Rasulullah saw., wafat), meminta rahmat untuk mayit, dan berdoa untuk orang yang ditinggalkan mayit”.
Adapun bacaan bagi orang yang tertimpa musibah adalah mengucapkan kalimat istirja’ (QS. Al-Baqarah: 156), kemudian mengucapkan doa sebagaimana yang diajarkan Rasulullah saw., yakni:
إنالله وإنا إليه راجعون, أللهم أجرني في مصيبتي وأخلف لي خيرا منها
“Sesungguhnya segala sesuatu milik Allah dan sesungguhnya kepada-Nya semua akan kembali. Ya Allah, berilah aku pahala atas musibah yang menimpaku dan gantikanlah kepadaku kebaikan daripadanya”. (HR. Muslim, dari Ummu Salamah).
Do’a tersebut diucapkan sebagai bentuk pelajaran kesabaran dan ketabahan bagi orang yang tertimpa musibah. Hadits tersebut mengajarkan kepada kita agar selalu siap dalam menerima musibah, tetap bersabar dan berharap mendapatkan ganjaran pahala dan kebaikan dari Allah SWT. Do’a tersebut bukan untuk menjadi permainan, seolah-olah berharap mendapatkan suami/istri baru sebagai pengganti, tetapi itu adalah do’a yang diajarkan oleh Rasulullah saw., agar kita tidak terlalu bersedih.
Ada sebagian orang yang melecehkan hadits ini dengan mengatakan yang tidak benar dan menghina pengajaran doa Rasulullah saw., atas Ummu Salamah. Berhati-hatilah, jangan sekali-kali mempermainkan apalagi mengejek ajaran Rasulullah saw., karena kafirlah orang yang berani mengejek atau membawa ajaran Rasulullah saw., dalam bahan cemoohan. Camkan QS. At-Taubah” 65-66, juga banyak hadits-hadits dan fatwa sahabat tentang orang-orang yang berani mengejek ajaran Rasulullah saw.
Bacaan bagi orang yang datang melayat jenazah sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim dari Ummu Salamah, adalah:
أللهم اغفرلي وله واعقبني منه عقبة حسنة
“Ya Allah, ampunilah aku dan ampunilah dia (mayit) dan gantilah ia bagi kami daripadanya pengganti yang lebih baik”.
Khatimah
Berdasarkan kajian dengan menggunakan pendekatan semantik terhadap ta’ziyah, dapat dikemukakan sebagai beriktu:
1. Ta’ziyah adalah istilah bahasa Arab yang dapat dibuktikan bahwa istilah tersebut benar terdapat dalam kamus bahasa Arab. Ta’ziyah artinya memberikan hiburan nasehat kesabaran kepada keluarga mayit yang ditinggalkan.
2. Syariat Islam melalui Nabi Muhammad saw., mengajarkan ta’ziyah kepada ahlu musibah berdasarkan hadits riwayat Ibnu Majah dan at-Tirmidzi. Dengan demikian, istilah ta’ziyah di dalam Islam adalah istilah yang dipakai oleh Nabi Muhammad saw.
3. Imam asy-Syafi’i di dalam al-Umm juga menggunakan istilah ta’ziyah untuk memberikan ucapan kesabaran kepada ahlu musibah yang ditinggalkan mayit.
4. Tidak ditemukan di dalam kamus bahasa Arab, juga dalam hadits-hadits Nabi Muhammad saw., juga dalam al-Umm Imam asy-Syafi’i istilah shamadiyah atau tahliliyah (tahlilan) terhadp keluarga mayit atau ahlu musibah.
Pemikiran yang cerdas – brilliant. Mas Anwar, anda pendukung sunnah. Semoga istiqomah. Amin ya Robbal alamin.
Ini penjawab yang mewakili Habib kok orang Bodoh. Tapi Kok Habib memilihnya untuk mewakilinya. Hal ini menunjukkan bahwa penunjuk lebih bodoh daripada orang yg ditunjuk. kesimpulannya kedua2nya sama2 bodoh.
–> ilmu saya memang belum seberapa. Lebih baik anda tunjukkan kesalahan ada di mana, biar kami dapat belajar. Tetapi anda salah kalau menyebut saya sebagai mewakili Habib.
Pondok Nurani,
Setuju 1000 persen…
to anti tahlilan,
kita ga usah lah terlalu gampang menyebut orang lain goblok, bodoh atau yg sejenisnya.. (atau begitukah orangtua dan guru kalian mendidik kalian?)
yg penting itu, jawablah pertanyaan yg ditanyakan, bukan dengan lari2 kesana kemari, lain yg ditanya lain pula jawabnya..
saya akan mngulang pertanyaan saya yg hampir tidak pernah kalian jawab..
BAGAIMANA praktek membaca lailahailallah yg benar menurut sunnah menurut kalian???
mohon jawab, supaya kata bodoh itu ga kembali ke anda..
sdrku,…
yg tdk baik, jgn dibalas dgn lebih tdk baik!
blm tentu ‘langitmu’ lbh tinggi…buktinya km msh bertanya tuh…
Wasslm
mas Soeloeng,
anda bertanya ke saya atau siapa?
kalo “km” yg dimaksud dalam kalimat “buktinya km msh bertanya tuh…” itu adalah saya, ya ga papa sih..
saya ga merasa “tinggi” atau merasa paling pinter…
saya itu cuma penasaran,
ketika ada hadis tentang turunnya rahmat Allah ketika mmbaca suatu bacaan, kemudian ada seorang muslim yg mengamalkannya setiap akan melakukan sesuatu, kok dituduh bid’ah, Nabi ga pernah begitu,,
ketika Nabi menyuruh membaca sholawat (tanpa menetapkannya kapan dan dimana), kemudian ada muslim yg membacanya setiap akan naik motor, setiap akan tidur, lho kok dituduh bid’ah, Nabi ga pernah begitu, Nabi ga pernah baca sholawat ketika akan naik motor..
demikian pula dengan kalimat “lailahailallah”, banyak keterangan yg menyebut keutamaannya, tapi ketika seorang muslim membacanya dikuburan maupun dirumah keluarga mayit, lho kok disalah2kan..
makanya, saya mau nanya ke orang2 yg membid’ahkan tahlilan itu, BAGAIMANA TEKNIS MEMBACANYA YG SESUAI SUNNAH dan GA BID’AH?
sampai sekarang tidak ada yg bisa jawab, termasuk anda mungkin..
Assalamu a’laikum,
sdr ku, takutlah kpd Allah Swt. khawatir… mana tau telah terjadi KESOMBONGAN diantara Ilmu yang sedikit! soal khilafiyah sudah ditengahi oleh para IMAM yang 4 itu, mrk telah bertanggung jwb atas segala konsekuensi ilmu hingga akhir zaman! Imam Syafi’i adalah Guru terbesar pada Mashabnya (termasuk imam yg lain sepeninggal Rasulullah), bila kamu tak ‘Patuh’ maka kamu telah Ingkar /durhaka kpd Guru, jika demikian maka kamu termasuk org2 yg Sombong dan ingkar kepada Allah….
Apakah orang yg tak berMashab itu akan menjadi lebih baik????? artinya = tak memiliki Guru.
Lebih baik kita memperbanyak Amal & Ibadah kita! ketimbang berlomba menguranginya, mensedikitkannya, apalagi mentiadakannya…. inilah Bid’ah yg sesungguhnya!!!
Wallahu a’alam, Mohon ma’af yg sebesar-besarnya.
Wassalamu a’alaikum.
Saya Akan mencoba menanggapi isi dari artikel di atas tentang perdebatan Abu Jauzaa dan Habib Munzir ( Kalau itu disebut perdebatan…maaf )
PERTAMA,
Perkataan Abu Jauzaa terhadap Habib Munzir,
Abu Al-Jauzaa: Ini namanya pembodohan umat. Bagaimana bisa perkataan Ghairu mustahabbah hawuwa bid’ah bisa dimaknakan kepada mubah ? Aneh. Sepertinya Pak Habib ini kurang mengerti bahasa Arab. Berikut lafadh aslinya :
وإما إصلاح أهل الميت طعاما ويجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء غير مستحبة وهو بدعة.
“Adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit berikut berkumpulnya masyarakat dalam acara tersebut tidak ada dalil naqlinya, dan hal tersebut merupakan perbuatan yang tidak disukai. (Jelasnya) perbuatan tersebut termasuk bid’ah” (Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab 5/186 Daarul-Fikr, Beirut, 1417).
Komentar saya :
Itulah perkataan Abu Al-Jauzaa dengan menuduh Habib Munzir disebut melakukan pembodohan umat ( A`udzubillah ).
Lihatlah tulisan arab berhuruf besar dan terjemahannya berhuruf tebal.( غير مستحبة وهو بدعة )
Setelah saya cek dalam kitab aslinya ternyata disana ada penipuan terhadap umat yang dilakukan oleh Abu Jauzaa.
Demikian bunyi dalam kitab aslinya : kitab Al-Majmu` Syarhul Muhadzdzab juz 5 :
قال صاحب الشامل وغيره : وأما إصلاح أهل الميت طعاما وجمع الناس عليه فلم ينقل فيه شيء ، وهو بدعة غير مستحبة . هذا كلام صاحب الشامل . ويستدل لهذا بحديث جرير بن عبد الله رضي الله عنه قال : ” كنا نعد الاجتماع إلى أهل الميت وصنيعة الطعام بعد دفنه من النياحة
” Berkata Shohibusy Syaamil dan selainnya : ” Dan adapun penghidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya manusia atas mayit, maka TIDAK ADA RIWAYAT PADANYA, DAN PERBUATAN ITU MERUPAKAN BID`AH SELAIN SUNAH. Inilah ucapan Shohibul syaamil. Beliau menyimpulkan hal ini berdasarkan hadits (Atsar) Jarir bin Abdullah ra, Berkata : Kami menganggap berkumpul dirumah ahli mayit dan penghidangan makanan setelah penguburannya termasuk bagian dari meratap. ( tertulis وهو بدعة غير مستحبة ) bandingkan redaksi yang ditulis Abu Jauzaa !
Hal ini diperkuat lagi oleh pengarang kitab yang sama yaitu Imam Nawawi dalam kitab Roudlotuth Tholibin wa Umdatul Muftiin Bab Ta`ziyah berbunyi persis seperti nukilan saya diatas tersebut bukan seperti nukilan Abu Jauzaa.
Dengan demikian saya menilai pebuatan yang dilakukan oleh Abu Jauzaa tidaklah pantas, dengan memutarbalikkan makna dari pendapat Imam Syafi`I dan pengikutnya.
Kalau melihat redaksi aslinya itu maka mempunyai makna perbuatan itu (Berkumpul dan makan makanan dirumah mayit ) adalah tidak ada riwayatnya, karena tidak ada riwayatnya maka perbuatan itu disebut bid`ah yang itupun masih dalam kategori ghoeru mustahabbah ( Bid`ah selain sunah) …. ( harap diingat dalam Madzhab Syafi`I dikenal ada pembagian 2 bid`ah dan ada juga pembagian bid`ah disesuaikan dengan hukum taklifi ( bidah wajib,bidah sunah,bid`ah makruh dll).
Untuk pembuktian kemakruhannya, kita buktikan seperti apa yang tersebut dalam kitab I`anatuth Tholibin hal : 146 (Baris kalimat pertama ) :
Redaksi aslinya sebagai berikut :
وما اعيد من جعل اهل الميت طعاما ليدعوا الناس اليه بدعة مكروهة كاجابتهم لذلك لما صح عن جرير رضي الله عنه كنا نعد الاجتماع الي اهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة ووجه عده من النياحة مافيه من شدة الاهتمام بأمر الحزن
” Dan sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yaitu membuat makanan oleh keluarga mayit untuk tujuan mengundang manusia (masyarakat) kepadanya, adalah perbuatan BID`AH YANG MAKRUH, ini adalah seperti jawaban mereka ( para mufti kota Haram ) karena ada atsar shoheh dari Jarir ra. : Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan penghidangan makanan oleh mereka sesudah (acara) penguburannya termasuk bagian dari niyahah ( meratap).
Nah disini ada penjelasannya yaitu ALASAN PERBUATAN ITU DIANGGAP SEBAGAI BAGIAN DARI NIYAHAH (MERATAP) YAITU ADANYA KESANGAT-KHAWATIRANNYA TERHADAP MASALAH YANG DAPAT MENYEDIHKAN (KELUARGA MAYIT) .
Lihat tulisan dalam bahasa arabnya dan bahasa Indonesianya yang saya tulis dengan huruf besar.
Untuk membuktikan lagi saya tuliskan, masih dalam kitab yang sama pada kalimat sebelumnya sebagai berikut :
ويحرم تهيئته للنائحات لانه اعانة علي معصية
” Dan hukumnya HARAM mempersiapkan makanan untuk tujuan meratap ( mayit) karena perbuatan itu MEMBANTU KEPADA KEMAKSIATAN.
Jadi hukumnya berubah dari bid`ah yang MAKRUH menjadi HARAM tergantung ILLATNYA / PENYEBABNYA.
Disana juga disebutkan antara kata haram dan kata makruh ( jadi kata MAKRUH dalam hal ini bukan bermakna HARAM , seperti tuduhan kaum Salafiyiin-Wahabiyyin.
KEDUA,
Perkataan Abu Jauzaa :
Yang menjadi point Ibnu Hajar Al-Haitami tersebut di atas adalah menghidangkankan makanan dan mengundang masyarakat untuk hadir makan makanan tersebut. Dan kalimat bid’atun munkaratun makruhatun (Bid’ah yang diingkari lagi dibenci) di sini dalam Ushul Fiqh merupakan kalimat yang keras dalam peringkat makruh. Makruh di sini maknanya Makna Tahrim (bermakna Haram).
Kita lihat tulisan Habib yang diambil dari perkataan Ibnu Hajar :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram) ( LIHAT TULISAN HURUF BESAR ).
Tanggapan Saya :
Mari kita lihat dalam kitab yang masih sama ( I`anathut tholibin hal : 146 sebagai penjelas dari perkataan Ibnu Hajar ) apakah pendapat Abu Jauzaa itu benar atau tidak yang memaknai HARAM pada kata makruh di tanggapan Habib Munzir ini.
Saya nukilkan aslinya sebagai berikut :
وفي حاشية العلامة الجمل علي شرح المنهج ومن البدع المنكرة المكروه فعلها ما يفعله الناس من الوحشة والجمع والأربعين بل كل ذلك حرام ان كان من مال محجور او من ميت عليه دين او يترتب عليه ضرر او نحو ذلك
Dalam kitab Hasiyah Al –Allamah Al-Jaml ala Sarhil Minhaj : Dan TERMASUK BAGIAN DARI BID`AH MUNGKAR YANG MAKRUH MENGERJAKANNYA yaitu sesuatu yang diperbuat manusia berupa kesedihan/kemurungan, berkumpul dan (acara) 40 hari, BAHKAN ITU SEMUA DAPAT MENJADI HARAM HUKUMNYA JIKA acara tersebut diambil dari harta haram atau dari harta (biaya) mayit yang mempunyai hutang atau dari harta ( biaya ) yang dapat membahayakannya atau selain itu semuanya.
Coba Pembaca perhatikan yang berhuruf besar itu, perbuatan itu yang tadinya berhukum BID`AH MUNGKAR YANG MAKRUH MENGERJAKANNYA berubah hukumnya menjadi HARAM JIKA …..dst seperti di atas.
Disana juga mempertegas bahwa pendapat Abu Jauzaa adalah SALAH mengenai makruh bimakna harom ( makruh bermakna haram ) dan yang benar adalah pendapat Habib Munzir.
Insya Alloh bersambung….masih banyak lagi ulasan mengenai artikel di atas, yang banyak kejanggalan dari pendapat Abu Jauzaa ( dan saya tidak tahu siapa nama dia sebenarnya) dan jam`ahnya. Trimakasih.
to : Abu Jauzaa
Sayang sekali nich orang, ilmu masih cetek sok tinggi ilmunya, berani menjatuhkan ilmu guru ana Habib MUNZIR AL MUSAWA……laknatallah nt abu jauzaa, cepat bertobat dan meminta ampun kepada Allah, dan kembali ke jalan yang benar.
Lanjutan 1 :
Sekarang saya bahas pernyataan ( yang katanya dalil dari salafi untuk berhujjah ) dapat kita baca pada awal artikel di atas :
Saya kutip pernyataan mereka sebagai berikut :
Mengadakan majlis kenduri iaitu dengan berkumpul beramai-ramai terutamanya untuk berzikir, tahlilan, membaca surah Yasin atau kenduri arwah sebagaimana yang dilakukan oleh masyarakat Nusantara di rumah si Mati atau memperingati kematian, maka semuanya itu benar-benar dihukum BID`AH YANG MUNGKAR oleh Imam Syafie rahimahullah sebagaimana fatwa-fatwa beliau dan para ulama yang bermazhab Syafie yang selanjutnya:
وَاَمَّا اِصْلاَحُ اَهْلُ الْمَيِّتِ طَعَامًا وَجَمْعُ النَّاسَ عَلَيْهِ فَبِدْعَةٌ غَيْرُ مُسْتَحَبَّةٍ.
“Adapun menyediakan makanan oleh keluarga si Mati dan berkumpul beramai-ramai di rumah (si Mati) tersebut maka itu adalah bid’ah bukan sunnah”.2 [1]
Di dalam kitab (اعانة الطالبين) juz. 2 hlm. 146 ada disebut pengharaman kenduri arwah, iaitu:
وَمَا اعْتِيْدَ مِنْ جَعْلِ اَهْلَ الْمَيِّتِ طَعَامًا لِيَدْعُوْ النَّاسَ اِلَيْهِ بِدْعَةٌ مَكْرُوْهَةٌ كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ لِمَا صَحَّ عَنْ جَرِيْرِ قَالَ : عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِاللهِ قَالَ : كُنَّا نَعُدُّ اْلاِجْتِمَاعَ لاَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعُهُمْ الطَّعَامَ مِنَ النِّيَاحَةِ. (رواه الامام احمد وابن ماجه باسناد صحيح).
“Dan apa yang telah menjadi kebiasaan manusia tentang menjemput orang dan menyediakan hidangan makanan oleh keluarga si Mati adalah bid’ah yang dibenci, termasuklah dalam hal ini berkumpul beramai-ramai di rumah keluarga si Mati kerana terdapat hadis sahih dari Jarir bin Abdullah berkata: Kami menganggap berkumpul beramai-ramai (berkenduri arwah) di rumah si Mati dan menyiapkan makanan sebagai ratapan”.3 [1] (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibn majah dengan sanad yang sahih
TANGGAPAN SAYA :
SUNGGUH PERNYATAAN YANG MENYESATKAN dengan menyandarkan fatwa Imam Syafi`I dan para ulama yang bermadzhab Syafi`I mangatakan bahwa majlis kenduri atau tahlil adalah BID`AH YANG MUNGKAROH . A`udzubillah ……
Apakah Saudara tidak takut dosa dengan berbohong seperti itu?
Didepan Saudara tertulis jelas (yang juga ditulis oleh Saudara ) kata BID`ATUN GHOERU MUSTAHABBAH
بدعة غير مستحة
Yang maknanya bid`ah selain sunah ( bukan seperti perkataan Saudara disebut bid`ah munkaroh )…..lihat penjelasan saya yang telah lewat.
Saudara juga mengharamkan kenduri arwah ( ini istilah lain dari acara tahlilan kematian ), padahal jelas2 kitab yang Saudara tulis tersebut kalimat : BID`ATUN MAKRUHATUN
بدعة مكروهة
Bermakna bid`ah yang dimakruhkan. ( Lihat penjelasan saya yang telah lewat ).
Disanapun tidak ada penyebutan untuk acara tahlilan/kenduri arwah,hanya menyebutkan penghidangan makanan oleh ahli mayit untuk mengundang manusia.
Kemudian juga Saudara melakukan pemalsuan dengan mangganti kalimat yang telah disebutkan oleh Saudara sendiri, dari kalimat yang ASLI ke kalimat PALSU agar ( menurut saya ) seolah2 pendapat Saudara didukung pendapat para Imam madzhab Syafi`i
Mari kita lihat redaksi aslinya sebagai berikut :
كاجابتهم لذلك
Dirubah oleh Saudara menjadi :
كَاِجْتِمَاعِهِمْ لِذَلِكَ
Jadi makna aslinya : Seperti jawaban mereka ( para mufti kota Haram) seperti itu diganti oleh Saudara yang bermakna : Seperti berkumpulnya mereka beramai-ramai.
Sebenarnya itu semua adalah jawaban dari mufti kota Haram yang terdapat mayoritas penejalasannya dalam kitab I`anatuth tholibin hal 145-146.
Saya tegaskan semua penjelasana Saudara mengenai kitab itu SEMUANYA SALAH ,hanya comot sana comot sini dengan tidak memahami secara kaamilah/ sempurna dari jawaban mufti tersebut.
Insya Alloh akan saya terjemahkan kitab I`anatut tholibin hal 145 sampe 146 agar tidak salah tafsir.
Lanjutan 2 :
Saya mulai terjemahkan dari baris ke 15 dari kalimat paling bawah halaman 145 kitab I`anatuth tholibin, dimulai dari kalimat :
ويكره لأهل الميت الجلوس ….. الخ
Artinya : ( Kurang lebih terjemahannya sebagai berikut : )
بسم الله الرحمن الرحيم
” Dan dimakruhkan bagi keluarga mayit duduk untuk menerima ucapan bela sungkawa/ta`ziyah dan membuat/menghidangkan makanan untuk masyarakat/manusia yang berkumpul padanya karena adanya atsar yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, berkata : Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan penghidangan makanan untuk mereka sesudah (acara) penguburannya (mayit) termasuk sebagian dari niyahah /meratap.
Disunahkan bagi tetangga ahli mayit, baik bagi keluarga dekat yang dikenalnya, kalau tidak ada maka bagi keluarga jauh walaupun bukan berasal dengan satu daerah mayit tersebut, supaya mereka (tetangga2 itu) membuat makanan untuk ahli mayit yang dapat mencukupi mereka hari itu dan malamnya ( hari kematian mayit) dan hendaklah tetangga2 itu memberikan makanan untuk ahli mayit dan haram membuat makanan untuk tujuan meratapi (mayit) karena perbuatan itu membantu kepada kemaksiatan.
Telah diajukan pertanyaan kepada mufti Makah Al-Mukarromah tentang masalah perbuatan keluarga mayit berupa ( menghidangkan) makanan dan jawaban mereka seperti ini ( Ada dua jawaban sbb ) :
Apa yang diucapkan mufti yang mulia di balad (kota) haram, semoga beliau2 selalu bermanfaat bagi manusia sepanjang hari2nya, yang sudah menjadi kebiasaan tertentu bagi penduduk di suatu negri yaitu apabila seseorang meninggal maka hadir sahabat2nya dan tetangga2nya untuk berbela sungkawa /ta`ziyah, disana terjadi kebiasaan bahwa penta`ziyah yang hadir menunggu makanan,dikarenakan ahli mayit sangat malu maka mereka menjadi terbebani yang sangat berat sehingga ahli mayit mempersiapkan makanan yang banyak ditambah menghadirkannya (makanan itu )dengan kepayahan yang sangat berat ,
(Pertanyaannya yang pertama)
Maka apakah bila pemimpin pemerintahan yang ramah, yang memelihara rakyatnya, dan mempunyai rasa simpati pada rakyatnya, melarang perkara ini secara umum supaya kembali berpegang kepada sunah yang mulia dari sebaik2 makhluk ( Nabi SAW ) dan berpegang kepada jalan Tuhanya, dimana Nabi SAW bersabda : Buatlah makanan untuk keluarga Ja`far ,lalu apakah pemimpin itu mendapatkan pahala atas pelarangan yang telah disebutkan itu ( di atas) ? Mereka mohon jawaban baik lisan maupun tulisan.
( Jawaban mufti Makah : Akhamdulillahi wahdah ) ……dan seterusnya untuk memulai khutbah,
Benar, perbuatan manusia (seperti di atas) berupa berkumpul di (rumah) keluarga mayit dan penyediaan makanan (untuk mereka) adalah sebagian dari bid`ah munkaroh yang akan mendapatkan pahala (bagi pemimpin itu ) atas pelarangannya dan supaya berpegang kepada perkara yang sudah menjadi ketetapan Alloh yaitu kaidah2 agama dan tangan islam dan muslimin.
Berkata Al-Allamah Ahmad bin Hajar dalam kitab Tuhfatul Muhtar lisyarhil minhaj : Disunahkan bagi tetangga mayit mempersiapkan makanan yang mencukupi hari itu (hari kematianya) dan malamnya karena adanya hadits shoheh : Buatlah makanan untuk keluarga Jafar karena telah datang pada mereka sesuatu yang menyibukkannya ( kesusahan ).
Memberi makanan untuk mereka sebagai perbuatan sunah karena mereka (ahli mayit) telah mengabaikan rasa malunya atau (berguna) untuk menghilangkan kesedihan (mereka).
Haram hukumnya menyediakan makanan untuk meratapi (mayit) karena perbuatan itu membantu kemaksiatan.
Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yaitu keluarga mayit menyediakan makanan untuk mengundang manusia adalah perbuatan bid`ah makruhah seperti itu jawaban mereka ( mufti Makkah) karena berdasarkan atsar shoheh dari Jarir ra : Kami menganggap berkumpul di keluarga mayit dan membuat makanan untuk mereka setelah penguburannya merupakan sebagian dari niyahah (meratap) ALASAN PERBUATAN ITU DIANGGAP SEBAGAI BAGIAN DARI NIYAHAH (MERATAP) YAITU ADANYA KESANGAT-KHAWATIRANNYA TERHADAP MASALAH YANG DAPAT MENYEDIHKAN (KELUARGA MAYIT)
Kemudian, makruh hukumnya berkumpulnya keluarga mayit dengan maksud menerima ucapan bela sungkawa /ta`ziyah bahkan yang baik adalah, mereka berpaling dari maksud2 mereka.
Barangsiapa berjumpa dengan mereka maka ucapkanlah bela sungkawa.
Dalam kitab Hasiyah Al –Allamah Al-Jaml ala Sarhil Minhaj : Dan TERMASUK BAGIAN DARI BID`AH MUNGKAR YANG MAKRUH MENGERJAKANNYA yaitu sesuatu yang diperbuat manusia berupa kesedihan/kemurungan, berkumpul dan (acara) 40 hari, BAHKAN ITU SEMUA DAPAT MENJADI HARAM HUKUMNYA JIKA acara tersebut diambil dari harta haram atau dari harta (biaya) mayit yang mempunyai hutang atau dari harta ( biaya ) yang dapat membahayakannya atau selain itu semuanya.
Bersabda Rosulalloh SAW kepada Bilal ra : ” Wahai Bilal, barangsiapa menghidupkan sunah dari sunahku sesudahku (wafatku) maka baginya akan mendapatkan pahala serupa pahala orang2 yang mengerjakannya dengan tidak dikurangi sedikitpun pahala mereka dan barangsiapa membuat perkara bid`ah yang dolalah/sesat yang Alloh dan Rosul-Nya tidak ridlo atasnya maka baginya dosa serupa dosa orang2 yang melakukannya tidak dikurangi sedikitpun dari dosa2 mereka.
Dan bersabda Rosululloh Saw bahwa kebaikan adalah perbendaharaan dan setiap perbendaharaan mempunyai kunci maka beruntunglah bagi hamba yang Alloh menjadikan kunci kebaikan untuknya dan menutup kejelekan dan celakalah bagi hamba yang Alloh menjadikan baginya kunci kejelekan dan menutup kebaikan.
Dan tidak diragukan lagi bahwa melarang manusia dari melakukan bid`ah mungkar ( seperti dalam pertanyaan di atas) maka terkandung di dalamnya menghidupkan sunah serta menjaga dari bid`ah, membuka banyak dari pintu2 kebaikan dan menutup dari pintu2 kejelekan. Maka apabila manusia (masyarakat) membebani beban yang berat maka masuk adanya penghidangan makanan itu adalah haram. Wallohu subhanahu wata`ala a`lam.
Ditulis oleh Syeh Ahmad bin Zaeni Dahlan Mufti madzhab Syafi`I di Makah , semoga Alloh mengampuninya, keluarganya, syeh2nya,dan orang2 muslim.
Demikian kurang lebihnya jawaban Mufti Makah ….mohon maaf kalau ada kekurangan dalam penerjemahannya.
Lanjutan 3 :
(Jawaban kedua dari Syeh mufti Makah Al-Mukarromah )
( Alkhamdulillah…..dst beliau memulai khutbahnya )
Benar, (pemimpin itu ) mendapat pahala, dan untuk perkara itu Alloh melipatgandakan pahalanya, dan Alloh menetapkan dengan ketetapannya atas larangan tentang perkara itu (lihat pertanyaan di atas).Perkara itu merupakan bid`ah yang buruk menurut jumhur ulama, berkata dalam kitab Roddul Mukhtar dibawah qoulil darril Mukhtar.
Berkata dalam kitab Al-Fath : Disunahkan tetangga ahli mayit dan kerabat2 yang jauh menyiapkan makanan bagi keluarga mayit yang mencukupi mereka hari itu dan malamnya, karena adanya Sabda Rosul SAW : Buatlah makanan untuk keluarga Ja`far sebab telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan (menyusahkan) . At-Tirnidzi menghasankan hadits ini dan Al-Hakim menshohehkannya.
Perbuatan itu adalah kesholehan dan kebaikan, dan juga disunahkan memberi makanan kepada keluarga mayit, karena kesedihan (mereka) menghalangi mereka ( untuk membuat makanan) disamping pada saat itu juga keadaan mereka sedang lemah.
Dan berkata juga (dalam kitab Al-Fath) : Dimakruhkan (mengadakan) jamuan makan dari keluarga mayit karena perbuatan itu masuk kategori (acara) kegembiraan dan perbuatan ini adalah bid`ah.
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad shoheh dari Jarir bin Abdullah ra, berkata : Kami menganggap berkumpul (di
rumah) keluarga mayit dan penghidangan makanan untuk mereka merupakan bagian dari niyahah/meratap.
Dalam kitab Al-Bazaziyah : dimakruhkan penghidangan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga dan seminggu sesudahnya dan juga dimakruhkan membawa makanan ke kuburan pada musim2 tertentu…dst. Penjelasan selengkapnya ada dalam kitab itu, maka bagi yang menghendaki silakan menelitinya.
Wallohu Subhanahu wata`ala a`lam.
Ditulis oleh Khodim Asy-Syari`ah wal minhaj, Syeh Abdur Rahman bin Abdullah Siraj Al-Hanafi Mufti Makah Al-Mukarromah.
Alkhamdulillah ….telah selesai terjemahan saya ini semoga bermanfaat dan mohon maaf atas kekurangannya. Terimakasih.
Tinggal bagi pembaca bandingkan terjemahan saya itu dengan terjemahan golongan salafi-wahabi seperti yang terdapat dalam artikel di atas.
Kalau kita jeli maka banyak penyimpangan2 yang dilakukan mereka dan kebohongan2nya.
Khususnya pada bagian artikel di bawah ini :
Re:KENDURI ARWAH, TAHLILAN & YASINAN MENURUT ULAM – 2007/07/19 18:16
Habib dibawah ini sebagai penguat dari teman saya yang lainnya. tetapi sama bermanhaj-kan Salaf.
Walhasil, lihatlah tulisan asli arabnya dengan demikian akan lebih selamat . Terimakasih.
assalamuallaikum…..
tahlilan,dan berdzikir akbar itu kan suaranya agak sedikit keras ya..??
coba antum baca surah al-a’rof ayat 55&205.. disitu di jelaskan bgamana cara seharusnya kita berdzikir&berdoa..
haya sekedar informasi ni…..
dan masalah tahlillan… apakah ini pernah di contohin atau di anjurkan oleh Rasulullah saw,para sahabat,tabi’in,tabi’it tabi’in dan tabi’ut tabi’in???
terima kasih….
–> ada banyak sekali dalil Qur’an hadits tentang perintah berdzikir, ada banyak dalil keutamaan bacaan-bacaan dzikir. Itulah yang diamalkan di dalam majelis tahlil ini.
to Abu Hafizh,
dengan segala kerendahan hati, saya akui akal saya terbatas, tapi saya masih mending dibanding anda,
saya merujuk kepada kitab asli, sedangkan anda merujuk pada kitab yg diragukan keasliannya, yg sudah berubah isinya..
saya mengutip pernyataan ulama secara utuh, sedangkan anda mengutip pernyataan ulama dipotong2 padahal kelanjutannya masih ada..
ga percaya? coba baca komentar mas Imam, beliau sudah membongkar ke-error-an anda tersebut..
ngomong2 tentang lagee burong jampoek (pepatah yg artinya burung yg ngaku2 bisa terbang, tapi sebenarnya ga bisa terbang) yg anda sebut2, anda pun sama saja seperti burung itu,
sibuk membahas/mempelajari/mendebat hal2 semisal “tahlil” dan “Surat Yasin”, tapi anda pasti ga pernah membaca “tahlil” dan “Yasin” itu sendiri.. (koreksi saya jika salah)
sibuk memilih2 mana sunnah mana non sunnah, tapi ga ada satupun yg dipraktekkan.. koreksi saya jika salah..
pernahkah anda membaca “lailahailallah” atau surat “Yasin”?
kapan? dimana?
to Abu Hafizh
saya sedikit mengoreksi koment anda tgl April 8, 2011 pada 16:57 yg bunyinya :
“kepada akhuna wawan dan al-faqir
sepertinya anda kurang wawasan atau kurang membaca? jika yang anda maksudkan sultan shalahuddin al-ayyubi, maka anda sungguh keliru dan salah besar menuduh beliau sebagai peletak dasar maulid nabi atau ahli maulid nabi. orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi bukanlah beliau, tetapi ubaid al-qadah dari firqah fathimiyah, sekte syi’ah rafidhah. lihat lagi dalam kitab al-bidayah wa an-nihayah, XI/202, karya al-hafizh al-imam ibnu katsir. juga baca dan rujuk lagi dengan akal yang bersih dan hati yang jernih dalam al-bida’ al-hauliyah karya syaikh abdullah bin abdul aziz at-tuwaijry dan fatawa tata’allaq bil maulid an-nabawi.
semoga kita memiliki kecerdasan yang baik dalam memahami agama Allah yang sempurna ini. Imam Bukhari sendiri menuliskan satu bab dalam kitab Shahih-nya, dengan nama bab al-’ilmu qabla ‘amal. wallahu a’lam.”
koreksi saya :
saya menyebut “Sultan Saladin termasuk tokoh yang “menggalakkan” Maulid Nabi”..
saya tidak pernah menuduh Sultan Saladin sebagai “peletak dasar maulid nabi atau orang yang pertama kali mengadakan maulid nabi”, seperti yg anda tuduhkan kok..
tolong hati2lah kalo mencuplik kata2 orang lain..
saya perhatikan anda ini banyak melakukan salah cuplik, suka memotong2 pendapat orang lain untuk diambil bagian yg anda sukai..
mas Imam sudah banyak membongkar ketidaktelitian anda, dari memotong2 pendapat para Imam sampai mencuplik pendapat palsu..
tidak semua amalan ghoiru mahdhoh itu harus dicontohkan oleh Rosululloh,usia Nabi yang cuma 63 tahun tentu tidak mungkin cukup untuk mencontohkan itu semua. apalagi situasi saat Nabi masih hidup akan jauh berbeda dengan masa sesudahnya baik dari segi adat,budaya maupun kehidupan sosialnya. Yang terpenting amalan ghoiru mahdoh yang kita lakukan masih sesuai dengan jiwa nash maka itu di perbolehkan. ingat hadits “man sanna fil islami sunnatan hasanatan falahu ajruha wa ajru man amila biha ba’dahu min ghoiri an yanqusho min ujurihim syai'”
pendapat ibnu turmudzi itu yang tawassuth wal i’tidal,moderat dan menjiwakan islam rohmatan lil alamin.
stop jidalllllllllllllllllllllllllllllllll………..
Alhamdulillah dah keluar dari MR…
Jadi menurut anda MR itu sesat sehingga anda sampai perlu ngucapin alhamdulillah? Dimana sesatnya?
Saudaraku seiman yg saya cintai karena Alloh,hendaklah kita semua senantiasa santun dalam berucap, dan mari kita terus belajar Islam dengan pedoman Alqur’an dan Sunnah dengan pemahaman para sahabat coba renungkan QS.Attaubah ayat 100, karena mereka adalah generasi terbaik. Dan masing2 kita hendaklah tidak mengedepankan emosi, hawa nafsu, dan fanatik golongan, guru, dsb. Berislamlah dengan hujjah, dalil yg Shohih.
Semoga Alloh terus memberikan petunjuk,taufikNya kepada kita semua. Sukron
–> amien. itulah yang kami kedepankan, kami coba kemukakan bahwa amalan-amalan kami berdasar dalil yg Shohih.
Saya sangat heran di antara sesama muslim itu ada yang saling merasa:
1) pintar sehingga pendapat mereka yang benar
2) sholeh sehingga amal mereka sendiri yang bakal diterima oleh Allah SWT dan amal orang yang tidak sejalan dianggap bid’ah
3) paling benar, hanya pendapat dan amalannya sendiri yang benar amalan orang lain salah.
Kenapa sesama muslim itu tidak saling berkasih sayang, jangan saling mencaci, menganggap amalan orang lain salah.
Wahai kaum muslimin…mbok Anda itu jangan saling berbantah-bantah soal amalan sesama mulsim. Apakah Anda yakin bahwa AMAL Anda akan diterima oleh Allah? dasarnya apa? Yang maha tahu hanyalah Allah! Sekalipun Anda merasa amal yang Anda lakukan sesuai dengan tuntunan rasulullah SAW (menurut Anda), apakah Anda yakin bakal diterima oleh Allah SWT? Allah yang maha tahu hati dan niat setiap manusia!
Saran saya:
1. Mari kita menjadi muslim yang pandai dan cerdas
2. Janganlah saling menuduh amalah orang lain salah, amalan sendiri yang benar.
3. Mari kita saling belajar supaya menjadi umat muslim yang pandai dan cerdas.
4. Janganlah selalu mengemukakan perbedaan. Ada yang membaca al-fatehah dan surat tanpa bismillah karena itulah yang benar dan yang membaca dengan bismillah tidak benar. Mengapa tidak mengambil jalan tengah yang baik, bukankah bismillah itu ayat al quran? apakah haram membaca ayat alquran dalam shalat? Ada yang tidak melakukan yasinan dan tahlian karena menurutnya bid’ah. Bukankah bacaan yasinan dan tahlil itu ayat2 al quran? Apakah ada larangan orang membaca ayat2 alquran? JANGANLAH melarang soal kapan ayat2 itu dibaca… ayat alquran itu sunah dibaca kapan saja, kecuali pada saat di WC kan? ada yang tidak suka (bahkan melarang) membaca shalawat di masjid sebelum shalat krn dianggap bid’ah. bukankah membaca shalawat nabi diperingtahkan oleh Allah di dalam alquran? Mestinya yang perlu diperbaiki adalah:
> Membaca alquran dengan bacaan yang benar sesuai qiraah sab’ah
> Jangan membaca alquran pakai huruf latin (atau dari kiri ke kanan) karena alquran itu ditulis dalam bahasa arab dibaca dari kanan ke kiri.
> kalau mau belajar agama harus mencari guru yang shalih dan ikhlas, jangan hanya membaca buku, karena belajar dari buku saja bisa menyesatkan.
Sekali lagi kenapa ada sebagian muslim yang menganggap bid’ah orang membaca yasin dan kalimat2 tayyibah dalam tahlilal dan shalawatan? mestinya yang bid’ah adalah jika membaca yasin dan kalimah2 tayyibah dan shalawat secara tidak benar (misalnya karena memakai huruf latih) atau karena tidak pernah belajar membaca alquran dengan benar. BUkan membid’ahkan amalannya!!! Sekali lagi yang bid’ah mestinya bacaan yang salah, karena saya yakin Nabi tidak pernah membaca alquran dan shalawat dengan bacaan yang salah dan memakai huruf latin!!!!!!!!!!!
Dus kesimpulannya, JANGANLAH SESAMA MUSLIM SALING BERDEBAT SOAL BID’AH! Apakah Anda merasa orang paling shaleh???? Sebaiknya mari kita saling belajar dan membuat umat Islam menjadi pandai dan cerdas sehingga tidak mudah dibodohi orang (umat) lain.
Terima kasih.
mas Syahid
di situlah letak keganjilan wahabi&sejenisnya,
ada hadis yg menyuruh membaca ini dan itu, tapi ketika kita mengamalkannya di tempat tertentu lho kok dianggap salah/bid’ah..
misalkan, surat Yasin.. agama menyuruh kita membaca Quran, salah satunya Yasin, tapi ketika kita membacanya di samping orang yg sekaratul maut, eh divonis sesat..
begitu membaca yasin di pesawat, eh dicap sesat, ga pernah dicontohkan Nabi katanya..
jadi bingung akhirnya..
mereka, para wahabi & sejenisnya sih ga bakal bingung, soalnya mereka masih berkutat pada membahas “teori” dan belum terjun kedunia “prakteknya”..
mereka sibuk menyalahkan “praktek” saudaranya, tapi ketika ditanya bagaimana praktek yg benar, eh ga ada yg bisa jawab.. saya sih maklum saja, karena kemungkinan besar mereka tidak “mempraktekkan” apa yg mereka bahas..
contoh, sholawat, mereka sibuk membahas/menyalahkan “praktek” sholawat saudaranya, tapi ga pernah bisa mencontohkan “praktek” sholawat yg benar, karena kemungkinan besar mereka ga baca sholawat..
Assalaamu’alaikum Wr Wb.
Wahai saudara2ku sesama muslim, akhirilah perdebatan tentang bid’ah! Tak ada gunanya, hanya akan menimbulkan rasa kebencian sesama muslim. Saling mengolok2 sesama muslim. Padahal yang paling mulia di sisi Allah SWT adalah yang paling taqwa? Siapakah yang paling taqwa? Apakah kiai? ustadz? mereka yang menganggap dirinya suci dan benar dalam mengamalkan agama? Kalau Anda bisa menjawab “ya” berarti Anda telah melakukan perbuatan syirik! karena menganggap diri Anda Tuhan. Karena yang tahu ketaqwaan seseorang hanyalah Allah SWT.
Yang bisa kita lakukan sebagai hamba adalah memperbanyak ibadah!!! Dengan shalat (wajib dan sunah), puasa (wajib dan sunah), zakat (bagi yang mampu), sodakoh, haji (bagi yang mampu), membaca alquran, membaca shalawat Nabi, berbuat baik kepada sesama manusia dan ciptaan Allah, dll amalan sholeh… KAPAN dan DI MANA SAJA (Ingat…kapan saja dan di mana saja) kecuali di TEMPAT dan WAKTU yang memang ada NASnya DILARANG! Karena kita tidak tahu ibadah mana yang diterima oleh Allah SWT, maka yang bisa kita lakukan adalah memperbanyak amal…(menurut ahli statistik, dengan memperbanyak amal yang langgeng berarti memperbesar peluang amalan kita diterima oleh Allah SWT dan memperbesar peluang kita untuk masuk surga.
Selain itu, saya yakin bahwa agama itu bersifat kontekstual. Lihat saja sejarah turunnya alQuran dan riwayat hadits…kebanyakan ada penyebabnya.. itu artinya agama itu kontekstual sesuai kondisi dan zaman. Oleh karena pengamalan agama mestinya tidak bersifat LETERLEK! Ijtihad para ulama untuk memperbanyak amal ibadah berupa bacaan ayat-ayat alQuran dan shalawat dalam bentuk yasinan, tahlilan, dzikir, shalawatan, berdo’a bersama, sadakoh, dll. adalah contoh implementasi pengamalan agama secara kontekstual.
Coba bandingkan mana yang lebih baik:
1. Habis shalat berjamaah, iman dan makmum saling diam dan langsung bubar. Tidak ada proses pembelajaran.
Apakah Anda menganggap ini yang PALING BENAR?
2. Habis shalat berjamaah, iman dan makmum berdzikir bersama kemudian berdoa dipimpin imam. Makmum yang tadinya tidak bisa berdzikir dan berdoa, karena sering berjamaah dan mendengar bacaan2 dzikir dan doa menjadi pandai berdzikir dan berdoa. Setelah selesai makum dan imam saling bersalaman (jabat tangan sesama muslim akan menghapus dosa-dosa kecil keduanya). Terjadi proses pembelajaran.
Apakah Anda menganggap ini SALAH?
Para ulama dahulu (khususnya di Indonesia), mereka di dalam berdakwah tidak banyak bicara, tetapi lebih banyak memberi contoh dan praktik. Termasuk di dalam shalat berjamaah terjadi proses pembelajaran melalui dzikir dan berdoa bresama.
Beda dengan sekarang banyak yang katanya “dakwah” kemana2 baca dalil ini itu, padahal baca alQuran saja masih pake tulisan latin dan grothal grathul (bhs Jawa, Indonesianya gagap)! dalil2 yang disampaikan juga hanya dari membaca buku2 terjemahan. Memang sekarang banyak yang pengin buru-buru berdakwah. Alasanya haditz “Sampaikan dariku meski hanya satu ayat”! Pake dalil itu leterlek dan keburu2….
Yah, kesimpulannya memang kita harus menjadi muslim yang pandai dan cerdas PLUS bijaksana (ini khususnya bagi para da’i). Para ulama dulu itu juga sangat bijaksana dalam berdakwah. Beda dengan sekarang banyak yang katanya “berdakwah” tetapi kurang bijaksana dengan menyalah-nyalahkan ini itu, padahal yang disalahkan bukan sesuatu yang mestinya disalahkan, sementara yang seharusnya disalahkan tidak dibetulkan.
Betapa indahnya jika di Indonesia (bahkan di dunia) tidak ada perdebatan soal bid’ah,
yang ada saling menghargai dan saling belajar sesama muslim.
Contohnya:
Bagi yang tidak suka amalan dzikir dan doa bersama sehabis shalat berjamaah: kalo di tempat sendiri atau berkumpul orang2 yang sepemahaman ya silakan begitu, teta[i ketika berjamaah di tempat berjamaan mereka yang mengamalkan dzikir dan berdoa bersama ya ikut bergabung. Kan tidak ada ruginya. Jangan malah mengolok2. Sebaliknya juga demikian. Mereka yang selalu mengamalkan dzikir dan berdoa sehabis shalat, ketika berjamaah di tempat mereka yang tidak sepakat dzikir dan berdoa sehabis shalat, kan masih bisa dzikir dan berdoa sendiri. Gak ada ruginya. Pahala berjamaah masih tetap dipreoleh. Pahala berdzikir dan berdoa juga diperoleh! Insyaa Allah!
Saya yakin umat islam akan kuat dan kokoh dan mampu menangkal segala penindasan dari para penentang Islam dan musuh umat Islam. Jika kita sesama muslim saling menghargai, tidak saling mengolok2.
Terima kasih. Wassalaamu’alaikum Wr WB.
ASSALAMU’ALAIKUM
AFWAN BUAT HABIB MUNZIR AL MUSAWA . saya pribadi jelas tidak sependapat dengan HABIB krn saya melihat jawaban2 habib itu identik dengan AKAL(an) juga presentase HAWA NAFSU semata .
AFWAN .
–> wa’alaikum salam wrwb. silakan… kalau saya sangat sependapat dengan HABIB karena dalil-dalil yang mendasarinya sangat kuat.
to salahuddin al ayubi,
assalamu’alaikum, maaf saya ikut nimbrung,cuma mau nanya,
“bagian mana dari pendapat habib yg anda sebut identik dgn akalan juga presentasi hawa nafsu semata?”
sama seperti simpatisan wahabi yg lain, akhirnya salahudin al ayubi pun kabur..
kalo kami berpendapat itu bid’ah boleh ajakan, dan kami ntidak akan melakukan itu, tapi kami tidak pernah menggangu apa yg kalian lakukan, …… kebenaran hanya di tangan ALLAH, dan itu dapat kita buktikan di akhirat nanti,….. tapi manusia wajib berusaha untuk mencari kebenaran …. sekedar sharing boleh aja, anda tidak sependapat juga tak mengapa …..
–> Jika anda benar begitu, terima kasih. Tetapi banyak yg lain mengkafir-kafirkan, men-sesat-kan, menjuluki sebagai ahli bid’ah, quburiyun dll .. jelas semua itu mengganggu. Untuk itu pula blog ini lahir. Sebagai jawaban/sharing ilmu bahwa amalan kami punya landasan dalil-dalil Qur’an dan sunnah Rasul saw, dan bukan bid’ah sesat.
asalamualaikum.wr.wb to : habib munzir
ana ingin bertanya tentang apa itu paham wahabi&salafi ?
mohon penjelasan yg sejelas2dari habib,karna ana awam tentang masalah ini dan ana tidak ingin terjerumus dari pandangan2 yg berkembang di masyarakat…terima kasih sebelumnya !
wassalamualaikum.wr.wb.
saya pernah dengar di radio roja’ “kita tidak mengharamkan tahlilan, tp tolong tunjukkan mana dalilnya” weleh-weleh, cari aja sendiri, sekalian sama dalil yang ngelaran tahlilan. padahal isinya tahlilan dalilnya banyak. mau apalagi sih? gitu aja kok repot. ya sudah kalao saudara ga mau tahlilan, ya sudah, ga usah bid’ah-bid’ahin, ngaram-ngaramin, apalagi kafir-kafirin yang tahlilan.
nah,ngapain juga dengerin radio rodja… mending datang langsung ke majelis-majelis dzikir….jelas keberkahannya..jelas ilmu-ilmunya….enggak apa2…kita dianggap bid’ah…haram ataupun kafir….oleh mereka yang tidak suka dengan cara kita…yang penting hati kita tetap tenang..selalu ingat Allah…selalu Rindu Rasul, Selalu bershalawat……hidup terasa indah…makan selalu nikmat walaupun dengan sate kambing…..badan sehat jasmani dan rohani……. enggak punya utang…..istri yang cantik dan shaleh…anak yang tampan dan shaleh…….masih bisa bershodaqoh setiap hari,……
Syiir tanpo waton (gus dur)
Ngawiti ingsun ngalarasi iran
Kelawan muji maring pengeran
Kang paring rohmat lan kenikmatan
Rino wengine tanpo pitungan
Duh bolo konco prio wanito
Ojo mung ngaji sareat bloko
Gur pinter ndongeng nulis lan moco
Tembe mburine bakal sangsoro
Akeh kang apal Quran hadise
Seneng ngafirke marang liyane
Kafire dewe gak di gateke
Yen isi kotor ati akale
Gampang kabujuk nafsu angkoro
Ing pepaese gebyare ndunyo
Iri lan meri sugihe tonggo
Mulo atine peteng lan nisto
Ayo sedulur jo nglalekake
Wajibe ngaji sak pranatane
Dikandelake iman tauhidte
Baguse sangu mulyo matine
Kang aran soleh bagus atine
Kerono mapan sari ngelmune
Laku torekot lan makrifate
Ugo hakekot manjing rasane
Al Quran kodim wahyu minulyo
Tanpo tinulis iso di woco
Iku wejangan guru waskito
Den tancep ake ing njeroh dodo
Kumantil ati lan pikiran
Merasuke badan kabeh jeroan
Mukjizat rasul dadi pedoman
Minongko dalan manjinge iman
Kelawan alloh kang moho sici
Kudu rangkulan rino lan wengi
Di tirakati di riyadoi
Dzikir lan suluk jo nganti lali
Uripe ayem rumongso aman
Dununge roso tondo yen iman
Sabar narimo najan pas pasan
Kabeh tinakdir saking pengeran
Kelawan konco dulur lan tonggo
Kang podo rukun
Iku sunahe rasul kang mulyo
Nabi muhammad panutan kito
Ayo nglakoni sekabehane
Alloh kang bakal ngangkat drajate
Senajan asor toto dohire
Ananging mulyo mahkom drajate
Palastro ing pungkasane
Ora kesasar roh lan sukmane
Den gadang alloh swargo manggone
Utuh mayite ugo ulese
Pada waktu kecil aku tanya sama kakek! kenapa setiap orang mati disini kok mesti diadakan acara tahlilan? Jawab beliau; kamu masih kecil nak untuk menerima jawaban yang akan kakek berikan! yang jelas biar ada bedanya antara matinya manusia dengan kucing nak!
kira – kira kalo anak kecil dijejali dalil Quran Hadis bakal ngerti ya??
saya ga mngomentari si anak kecil itu bodoh apa ga, tapi saya kagum dengan si kakek yg bicara mnyesuaikan dengan alam pikiran anak2..
Hahahahaha……….orang orang ini lucu stengah mati!!! wong tanya,di jawab kok malah mbanggel,ngata-ngatain pula…….dimana akhlak seorang mukmin kalau sperti ini……hmff…..
banyak orang bertnya hanya ntk mengetahui saja
dan yg di kasih th tak mo mengerjakannya
wassalam
assalamu alaikum wr wb
sungguh ini diskusi yang panjang . bikin mata teler membacanya
tapi alhamdulillah dalil aswaja selalu ngetop ketimbang wahhabi/salafi yang dangkal… wahhabi di bikin lari terbirit2 ..
maju terus aswaja ..
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Sesama Islam kok saling berdebat…. Islam terpecah menjadi beberapa aliran jadi kagak usah ribut pakai debat2an segala. hanya Allah SWT yang tahu segalanya…..
Wasalamu’alaikum Wr. Wb.
bagus bib, smoga aswaja tetap eksis di indinesia
kenapa salafiy ( wahabi ) selalu bernafsu menculik kata2 dari orang2 yg mengikuti madzhab termasuk madzhab syafi’i utk melemahkan pengikut mereka. padahal pengikut mereka mendapatkan kefahaman lewat mata rantai keilmuan ( sanad ) dari imam syafi’i dan ulama tersebut. sementara salafy-wahabi hanya tahu kata kmudian menafsirkannya sefaham mereka tapi merasa lebih memahami kata2 itu ?? mohon pencerahannya, syahwat apakah yg membuat salafy-wahabi sedemikian bernafsu??
debat yg telah ada diatas bernuansa tak mau kalah, debat seperti itu hanya layak diarahkan kpd org kafir itupun dg cara yg santun ( wajadilhum billaty hiya ahsan ) sedangkan kpd sesama org islam kita diajarkan saling musyawaroh/ diskusi ( tidak ada ego/merasa sdah paling benar ) ” wa syawirhum fil amri “. maaf saya tdak bernafsu debat kasar hanya utk menjatuhkan saudaranya, bahkan diarahkan kepada orang kafir pun tidak layak. kedok ilmiah tidak mampu menutu bau amis yg trcium dr nuansa debat yg merasa sok jagoan kiranya saya mnjamin seribu hadits saja tidak hafal. berbeda dg para ulama yg di culik perkataannya itu.
sampai kapanpun wahabi hanyalah sekumpulan manusia dengan kerdil akalnya dan pendek pemikirannya sependek tanduk setan yang ada di kepalanya
dr yg di kita baca dan fahami dr artikel di atas ketahuan kok siapa yg faham,dan siapa yg tak faham,siapa yg mengerti dgn jelas dan siapa yg memang tak mengerti, dan siapa yg sedang lagi di ajari ttg fiqih imam syafii…jelas kok..he..he..
malas berdzikir, sholawat, dan baca Quran aja kok menyalah2kan orang yag tahlilan..
gentlemen aja dong mengaku bahwa diri itu MALAS BACA DZIKIR SHOLAWAT QUR’an, selesai kan? ga perlu diskusi panjang lebar sampai berpuluh2 bahkan ratusan tahun..
I love majelis rosulullah
Assalamu’alaikum wr wb
Wahai saudara – saudara ku yang selalu diberi rahmat dan hidayah oleh ALLAH SWT
Sebagai sesama umat muslim yang berpegang teguh dengan AL – QUR’AN dan SUNNAH RASUL SAW janganlah kita terpecah belah oleh emosi dengan saling menyalahkan sesama saudara muslim.
Yang paling penting disini adalah sudah saatnya kita bersatu dalam sholat 5 waktu dan berpegang teguh dengan AL – QUR’AN sebagai dasar hukum utama dalam kehidupan kita beragama ISLAM yang dibuat oleh SANG MAHA SEGALANYA yaitu ALLAH SWT.
Semua permasalahan yang telah saya baca diatas sungguh membuat saya mengelus dada.
kenapa..?
Kita sedang diadu domba oleh iblis melalui emosi dan saling membenarkan diri atau membenarkan pemikiran para imam sebelum kita. Apabila terjadi perbedaan pandangan mengenai aturan2 dalam menjalankan perintah ALLAH SWT maka hendaklah kita kembali ke AL – QUR’AN, jangan sampai kita lupakan kitab hukum utama dalam agama ISLAM. Karena kitab AL – QUR’AN adalah ciptaan ALLAH SWT YANG MAHA SEMPURNA dan disampaikan melaului RASULULLOH SAW. Dalam AL – QUR’AN sudah tersusun dengan sangat terperinci semua hukum yang menyangkut ibadah kita kepada ALLAH SWT.
Ingatlah wahai saudara2 ku kita semua diwajibkan beribadah kepada ALLAH SWT.
Ingat sesama muslim jangan sampai kita dicerai beraikan oleh emosi.
Hadapilah musuh yang sebenarnya yaitu hawa nafsu, iblis, dajjal, dan kaum yahudi beserta pengikutnya yang selama ini berusaha memecah belah dan merusak generasi muda kita.
Wassalamu’alaikum wr wb
Hukum Peringatan Maulid Nabi
Asy Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz
Segala puji bagi Allah, semoga sholawat dan salam selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya, dan para sahabatnya, serta orang orang yang mendapat petunjuk dari Allah.
Telah berulang kali muncul pertanyaan tentang hukum upacara (ceremoni ) peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam; mengadakan ibadah tertentu pada malam itu, mengucapkan salam atas beliau dan berbagai macam perbuatan lainnya.
Jawabnya:
Harus dikatakan, bahwa tidak boleh mengadakan kumpul kumpul / pesta pesta pada malam kelahiran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan juga malam lainnya, karena hal itu merupakan suatu perbuatan baru (bid’ah ) dalam agama, selain Rasulullah belum pernah mengerjakanya, begitu pula Khulafaaurrasyidin, para sahabat lain dan para Tabi’in yang hidup pada kurun paling baik, mereka adalah kalangan orang orang yang lebih mengerti terhadap sunnah, lebih banyak mencintai Rasulullah dari pada generasi setelahnya, dan benar benar menjalankan syariatnya.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barang siapa mengada adakan ( sesuatu hal baru ) dalam urusan ( agama ) kami yang ( sebelumnya ) tidak pernah ada, maka akan ditolak”.
Dalam hadits lain beliau bersabda (yang artinya): “Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al qur’an) dan sunnah Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk Allah sesudahku, berpeganglah dengan sunnah itu, dan gigitlah dengan gigi geraham kalian sekuat kuatnya, serta jauhilah perbuatan baru ( dalam agama ), karena setiap perbuatan baru itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah itu sesat” ( HR. Abu Daud dan Turmudzi ).
Maka dalam dua hadits ini kita dapatkan suatu peringatan keras, yaitu agar kita senantiasa waspada, jangan sampai mengadakan perbuatan bid’ah apapun, begitu pula mengerjakannya.
Firman Allah ta’ala dalam kitab-Nya (yang artinya): “Dan apa yang dibawa Rasul kepadamu, maka terimalah ia, dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah ia, dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah keras siksaan- Nya” ( QS. Al Hasyr 7 ).
“Karena itu hendaklah orang orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau adzab yang pedih” ( QS. An Nur, 63 ).
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam suri tauladan yang baik bagimu, yaitu bagi orang orang yang mengharap (rahmat ) Allah, dan ( kedatangan ) hari kiamat, dan dia banyak menyebut Allah” ( QS. Al Ahzab,21 ).
“Orang orang terdahulu lagi pertama kali (masuk Islam ) diantara orang orang Muhajirin dan Anshor dan orang orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan itu, Allah ridho kepada mereka, dan merekapun ridho kepadaNya, serta Ia sediakan bagi mereka syurga syurga yang disana mengalir beberapa sungai, mereka kekal didalamnya, itulah kemenangan yang besar” ( QS, At taubah, 100 ).
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu ni’matKu, dan telah Kuridlai Islam itu sebagai agama bagimu” ( QS. Al Maidah, 3 ).
Dan masih banyak lagi ayat ayat yang menerangkan kesempurnaan Islam dan melarang melakukan bid’ah karena mengada-adakan sesuatu hal baru dalam agama, seperti peringatan peringatan ulang tahun, berarti menunjukkan bahwasanya Allah belum menyempurnakan agamaNya buat umat ini, berarti juga Rasulullah itu belum menyampaikan apa apa yang wajib dikerjakan umatnya, sehingga datang orang orang yang kemudian mengada adakan sesuatu hal baru yang tidak diperkenankan oleh Allah, dengan anggapan bahwa cara tersebut merupakan sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah. Tidak diragukan lagi, bahwa cara tersebut terdapat bahaya yang besar, lantaran menentang Allah ta’ala, begitu pula ( lantaran ) menentang Rasulullah. Karena sesungguhnya Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-Nya, dan telah mencukupkan ni’mat-Nya untuk mereka.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan risalahnya secara keseluruhan, tidaklah beliau meninggalkan suatu jalan menuju syurga, serta menjauhi diri dari neraka, kecuali telah diterangkan oleh beliau kepada seluruh ummatnya sejelas jelasnya.
Sebagaimana telah disabdakan dalam haditsnya, dari Ibnu Umar rodhiAllah ‘anhu bahwa beliau bersabda (yang artinya), “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi, melainkan diwajibkan baginya agar menunjukkan kepada umatnya jalan kebaikan yang telah diajarkan kepada mereka, dan memperingatkan mereka dari kejahatan ( hal hal tidak baik ) yang telah ditunjukkan kepada mereka” ( HR. Muslim ).
Tidak dapat dipungkiri, bahwasanya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah Nabi terbaik diantara Nabi Nabi lain, beliau merupakan penutup bagi mereka ; seorang Nabi paling lengkap dalam menyampaikan da’wah dan nasehatnya diantara mereka itu semua.
Jika seandainya upacara peringatan maulid Nabi itu betul betul datang dari agama yang diridloi Allah, niscaya Rasulullah menerangkan kepada umatnya, atau beliau menjalankan semasa hidupnya, atau paling tidak, dikerjakan oleh para sahabat. Maka jika semua itu belum pernah terjadi, jelaslah bahwa hal itu bukan dari ajaran Islam sama sekali, dan merupakan seuatu hal yang diada adakan ( bid’ah ), dimana Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sudah memperingatkan kepada umatnya agar supaya dijauhi, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam dua hadits diatas, dan masih banyak hadits hadits lain yang senada dengan hadits tersebut, seperti sabda beliau dalam salah satu khutbah Jum’at nya (yang artinya): “Adapun sesudahnya, sesungguhnya sebaik baik perkataan ialah kitab Allah (Al Qur’an), dan sebaik baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan sejelek jelek perbuatan ( dalam agama) ialah yang diada adakan (bid’ah), sedang tiap tiap bid’ah itu kesesatan” ( HR. Muslim ).
Masih banyak lagi ayat ayat Al Qur’an serta hadits hadits yang menjelaskan masalah ini, berdasarkan dalil dalil inilah para ulama bersepakat untuk mengingkari upacara peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam, dan memperingatkan agar waspada terhadapnya.
Tetapi orang orang yang datang kemudian menyalahinya, yaitu dengan membolehkan hal itu semua selama di dalam acara itu tidak terdapat kemungkaran seperti berlebih lebihan dalam memuji Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, bercampurnya laki laki dan perempuan (yang bukan mahram), pemakaian alat alat musik dan lain sebagainya dari hal hal yang menyalahi syariat, mereka beranggapan bahwa ini semua termasuk bid’ah hasanah padahal kaidah syariat mengatakan bahwa segala sesuatu yang diperselisihkan oleh manusia hendaknya dikembalikan kepada Al Qur’an dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman (yang artinya): “Hai orang orang yang beriman, taatilah Allah, dan taatilah Rasul (Nya), dan Ulil Amri ( pemimpin) diantara kamu, kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah ( Al Qur’an ) dan Rasul ( Al Hadits), jika kamu benar benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu adalah lebih utama ( bagimu ) dan lebih baik akibatnya” ( QS. An nisa’, 59 ).
“Tentang sesuatu apapun kamu berselisih, maka putusannya (terserah ) kepada Allah ( yang mempunyai sifat sifat demikian ), itulah Tuhanku, Kepada -Nya- lah aku bertawakkal dan kepada –Nya- lah aku kembali” ( QS. Asy syuro, 10 ).
Ternyata setelah masalah ini (hukum upacara maulid Nabi) kita kembalikan kepada kitab Allah ( Al Qur’an ), kita dapatkan suatu perintah yang menganjurkan kita agar mengikuti apa apa yang dibawa oleh Rasulullah, menjauhi apa apa yang dilarang oleh beliau, dan (Al Qur’an ) memberi penjelasan pula kepada kita bahwasanya Allah subhaanahu wa ta’ala telah menyempurnakan agama umat ini.
Dengan demikian upacara peringatan maulid Nabi ini tidak sesuai dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, maka ia bukan dari ajaran agama yang telah disempurnakan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala kepada kita, dan diperintahkan agar mengikuti sunnah Rasul, ternyata tidak terdapat keterangan bahwa beliau telah menjalankannya, (tidak) memerintahkannya, dan (tidak pula) dikerjakan oleh sahabat sahabatnya.
Berarti jelaslah bahwasanya hal ini bukan dari agama, tetapi ia adalah merupakan suatu perbuatan yang diada adakan, perbuatan yang menyerupai hari hari besar ahli kitab, Yahudi dan Nasrani.
Hal ini jelas bagi mereka yang mau berfikir, berkemauan mendapatkan yang haq, dan mempunyai keobyektifan dalam membahas ; bahwa upacara peringatan maulid Nabi bukan dari ajaran agama Islam, melainkan merupakan bid’ah bid’ah yang diada adakan, dimana Allah memerintahkan RasulNya agar meninggalkanya dan memperingatkan agar waspada terhadapnya, tak layak bagi orang yang berakal tertipu karena perbuatan perbuatan tersebut banyak dikerjakan oleh orang banyak diseluruh jagat raya, sebab kebenaran (Al Haq) tidak bisa dilihat dari banyaknya pelaku (yang mengerjakannya), tetapi diketahui atas dasar dalil dalil syara’.
Sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman tentang orang orang Yahudi dan Nasrani (yang artinya): “Dan mereka ( Yahudi dan Nasrani ) berkata : sekali kali tak (seorangpun ) akan masuk sorga, kecuali orang orang yang beragama Yahudi dan Nasrani. Demikian itu (hanya) angan angan mereka yang kosong belaka ; katakanlah : tunjukkanlah bukti kebenaranmu, jika kamu orang orang yang benar” ( QS. Al Baqarah, 111 ).
“Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang orang yang berada dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah ; mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak lain hanyalah menyangka-nyangka” ( QS. Al An’am, 116 ).
Lebih dari itu, upacara peringatan maulid Nabi ini – selain bid’ah –tidak lepas dari kemungkaran kemungkaran, seperti bercampurnya laki laki dan perempuan ( yang bukan mahram ), pemakaian lagu lagu dan bunyi bunyian, minum minuman yang memabukkan, ganja dan kejahatan kejahatan lainya yang serupa.
Kadangkala terjadi juga hal yang lebih besar dari pada itu, yaitu perbuatan syirik besar, dengan sebab mengagung agungkan Rasulullah secara berlebih lebihan atau mengagung agungkan para wali, berupa permohonan do’a, pertolongan dan rizki. Mereka percaya bahwa Rasul dan para wali mengetahui hal hal yang ghoib, dan macam macam kekufuran lainnya yang sudah biasa dilakukan orang banyak dalam upacara malam peringatan maulid Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam itu.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Janganlah kalian berlebih lebihan dalam agama, karena berlebih lebihan dalam agama itu telah menghancurkan orang orang sebelum kalian”.
“Janganlah kalian berlebih lebihan dalam memujiku sebagaimana orang orang Nasrani memuji anak Maryam, Aku tidak lain hanyalah seorang hamba, maka katakanlah : hamba Allah dan Rasul Allah” ( HR. Bukhori dalam kitab shohihnya, dari hadits Umar, Radliyallahu ‘anhu ).
Yang lebih mengherankan lagi yaitu banyak diantara manusia itu ada yang betul betul giat dan bersemangat dalam rangka menghadiri upacara bid’ah ini, bahkan sampai membelanya, sedang mereka berani meninggalkan sholat Jum’at dan sholat jama’ah yang telah diwajibkan oleh Allah kepada mereka, dan sekali kali tidak mereka indahkan. Mereka tidak sadar kalau mereka itu telah mendatangkan kemungkaran yang besar, disebabkan karena lemahnya iman kurangnya berfikir, dan berkaratnya hati mereka, karena bermacam macam dosa dan perbuatan maksiat. Marilah kita sama sama meminta kepada Allah agar tetap memberikan limpahan karuniaNya kepada kita dan kaum muslimin.
Diantara pendukung maulid itu ada yang mengira, bahwa pada malam upacara peringatan tersebut Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam datang, oleh kerena itu mereka berdiri menghormati dan menyambutnya, ini merupakan kebatilan yang paling besar, dan kebodohan yang paling nyata. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan bangkit dari kuburnya sebelum hari kiamat, tidak berkomunikasi kepada seorangpun, dan tidak menghadiri pertemuan pertemuan umatnya, tetapi beliau tetap tinggal didalam kuburnya sampai datang hari kiamat, sedangkan ruhnya ditempatkan pada tempat yang paling tinggi (‘Illiyyin ) di sisi TuhanNya, itulah tempat kemuliaan.
Firman Allah dalam Al Qur’an (yang artinya): “Kemudian sesudah itu, sesungguhnya kamu sekalian pasti mati, kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan ( dari kuburmu ) di hari kiamat” ( QS. Al Mu’minun, 15-16 ).
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Aku adalah orang yang pertama kali dibangkitkan / dibangunkan diantara ahli kubur pada hari kiamat, dan aku adalah orang yang pertama kali memberi syafa’at dan diizinkan memberikan syafa’at”.
Ayat dan hadits diatas, serta ayat ayat dan hadits hadits yang lain yang semakna menunjukkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan mayat mayat yang lainnya tidak akan bangkit kembali kecuali sesudah datangnya hari kebangkitan. Hal ini sudah menjadi kesepakatan para ulama, tidak ada pertentangan diantara mereka.
Maka wajib bagi setiap individu muslim memperhatikan masalah masalah seperti ini, dan waspada terhadap apa apa yang diada adakan oleh orang orang bodoh dan kelompoknya, dari perbuatan perbuatan bid’ah dan khurafat khurafat, yang tidak diturunkan oleh Allah subhaanahu wa ta’ala. Hanya Allah lah sebaik baik pelindung kita, kepada-Nyalah kita berserah diri dan tidak ada kekuatan serta kekuasaan apapun kecuali kepunyaan-Nya.
Sedangkan ucapan sholawat dan salam atas Rasulullah adalah merupakan pendekatan diri kepada Allah yang paling baik, dan merupakan perbuatan yang baik, sebagaimana firman Allah dalam Al Qur’an (yang artinya): “Sesungguhnya Allah dan Malaikat malaikatNya bersholawat kepada Nabi, hai orang orang yang beriman, bersholawatlah kalian atas Nabi dan ucapkanlah salam dengan penghormatan kepadanya” ( QS. Al Ahzab, 56 ).
Dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda (yang artinya): “Barang siapa yang mengucapkan sholawat kepadaku sekali, maka Allah akan bersholawat ( memberi rahmat ) kepadanya sepuluh kali lipat.”
Sholawat itu disyariatkan pada setiap waktu, dan hukumnya Muakkad jika diamalkan pada ahir setiap sholat, bahkan sebagian para ulama mewajibkannya pada tasyahud ahir di setiap sholat, dan sunnah muakkadah pada tempat lainnya, diantaranya setelah adzan, ketika disebut nama Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, pada hari Jum’at dan malamnya, sebagaimana hal itu diterangkan oleh hadits hadits yang cukup banyak jumlahnya.
Allah lah tempat kita memohon, untuk memberi taufiq kepada kita sekalian dan kaum muslimin, dalam memahami agama Nya, dan memberi mereka ketetapan iman, semoga Allah memberi petunjuk kepada kita agar tetap kosisten dalam mengikuti sunnah, dan waspada terhadap bid’ah, karena Dialah MahaPemurah dan MahaMulia, semoga pula sholawat dan salam selalu dilimpahkan kepada junjungan besar Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam.
Dikutip dari Tulisan Syaikh Abdullah Bin Abdul Aziz Bin Baz, Mufti Saudi Arabia.
Penerbit Departemen Agama Saudi Arabia.
Edisi Indonesia “Waspada terhadap Bid’ah”
Judul Asli: Perayaan Maulid Rasulullah dalam sorotan Islam
Sumber: http://www.salafy.or.id versi offline
–> mau di-cut.. kasihan. Kalau diloloskan.. kok nggak nyambung.
Alhamdulillah……..
bang sholeh membuka jalan melalui Al Qur’an ( dasar hukum Islam yang hakiki )
Hanya Allah SWT yang Maha Mengetahui…………………
itu orang salafy kok tiba-tiba muncul dengan fatwa haram nya maulid nabi? berarti dia gak baca dari awal dong. menyedihkan. main nongol2 aja
mudah-mudahan semakin bnyk kaum muslimin yg mendapatkan hidayah…
@sholeh
bagus nya jika comment sesuai dengan artikel kali ya….jadi nggak ngacak
sekedar mengingatkan, dijaman rosullulloh masih hidup saja sudah banyak penyelewengan dari sunah nabi
bayangkan sampai hari ini kira2 berapa banyak penyelewengan sunah rosul,
dan syaiton dalam menjerumuskan manusia kadang kita tidak menyadarinya,
bid”ah dalam pengertian saya adalah menambah urusan dalam ibadah atau sesuatu ibadah yg tidak ada dasarnya dari nabi,
karena dalam urusan ibadah otomatis kita akan menganggap itu adalah hal yg baik,
tanpa kita sadari bisa saja kita sedang melakukan bid”ah sejalan dg kita sedang mengamalkan amalan yg menurut kita baik,
renungkanlah saudaraku….berhatihatilah…
.siapa tahu ibadah aatau amalan yg sedang kita kerjakan yg menurut kita baik, itu sebenarnya adalah perkara bid’ah seperti yg dimaksudkan oleh rosululloh,
karena orang yg sedang melakukan bid”ah kalau dilihat sekilas….orang itu juga sedang mengamalkan ibadah ( menambah sesuatu dalam ibadah otomatis dengan sesuatu yg baik bukan dengan sesuatu yg tidak baik )
dan yg selama ini kita tidak sadari adalah ORANG YG SEDANG MELAKUKAN BID’AH, PASTI ORANG ITU SEDANG MELAKUKAN KEBAIKAN ( menurut mereka ) nah lho….WASPADALAH…WASPADALAH….
–>
padahal tahlilan dan yasinan itu ada dasarnya dari nabi. Majelis Rasulullah menjelaskannya di dalam artikel. Juga halaman lain di blog ini.
Justru yg mengharam-haramkan sesuatu yg tidak haram, memusyrik-musyrikkan amal yg tidak musyrik, bahkan mengkafir-kafirkan kaum muslimin yang sedang berdzikir, itulah yang menambah-nambah/mengubah-ubah syariat di dalam agama. Itulah bid’ah sesat itu sendiri.
lalu bagaimana kaitannya komentar Anda dengan hadits Nabi :
مَا رَآهُ الْمُسْلِمُونَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللَّهِ حَسَنٌ
” Sesuatu yang dipandang baik menurut orang2 muslim maka akan dipandang baik pula oleh Alloh “.
Apakah Anda menganggap semua bid`ah adalah sesat ?
afwan, karna sy masih dangkal tentang hadist shahih dan dhoif tolong sertakan pula priwayatan dan sanad, jazakumullah khair wayahdikallah
Ini biasanya pertanyaan yang mengandung penolakan dari banyak Mukholifin mengenai adanya pembagian masalah bid`ah hasanah dan sayyiah, tapi walau demikian akan saya tuliskan sanadnya dan silakan Anda teliti mengenai kedudukan derajatnya :
أخبرنا أحمد بن جعفر القطيعي ، ثنا عبد الله بن أحمد بن حنبل ، حدثني أبي وأحمد بن منيع ، قالا : ثنا أبو بكر بن عياش ، ثنا عاصم ، عن زر ، عن عبد الله قال : ما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن ، وما رآه المسلمون سيئا فهو عند الله سيئ
anda kayaknya memaksakan banget tentang dalil padahal,tahlil itu dibacah setelah sholat fardu,bukan pada orang yang mati,jadi anda kejebak dalm bid;ah yang berkenaan dengan waktu seperti orang hajji di bulan safar,
–> mas.. kelihatan anda langsung ke komentas sini. Bacalah artikel juga. Biar nyambung.
Dalil dalil wahabi yang sudah di patahkan oleh aswaja sering dikemukakan lagi…..
capee…. deh………
mana bisa kalahin aswaja…….mas….
pemcetus wahabi, muhamad bin abdl wahab (sitanduk setan) ilmunya ngga ada se ujung kuku
muridnya imam syafe’i (jangan dibandingin sama imam syafe’i = mujtahid mutlak)
percuma segala dalil apapun gak akan mampu mnyadarkan para wahabi
cuma satu yang dapat menyadarkan wahabi yaitu : MATI…..
saya juga sering ngikut tahlilan ba’da magrib kebanyakan,tapi setelah tahlil kebanyakan langsung ngibrit ke rumah masing2,mesjid jadi sepi paling 1 shaf,tapi pas tahlilan ada 50-60 orang aneh yah,,,,,
kenapa pas tahlilan banyak orang,pas adzan isya nya malah sepi,padahal shalat berjamaah di mesjid lebih utama di banding di rumah,jadi kalah shalat berjamaah di mesjid sama tahlilan,lebih antusias hal2 tidak wajib hukum nya di lingkungan saya mas,jadi miris ngeliat nya,,,,
semoga kedepan tahlilan sama shalat berjamaah di mesjid rame nya sama.amin,,,,
apakah di daerah lain sama ga yah sama daerah saya,shalat berjamaah di mesjid kalah sama tahlilan?????
wasallam,,,,
–> gak sama mas.. di tempatku tahlilan sesudah (jamaah) isya’, bukan pas (atau sebelum) isya’.
Dan seandainya daerah anda demikian.. yg salah bukan tahlilannya, tapi orangnya. Apakah ada jaminan jika tahlilan dihapus, maka jamaah shalat jadi ramai. Saya yakin sama saja.. bahkan mungkin lebih sepi. Justru majelis ini dapat menjadi arena dakwah untk meramaikan jamaah shalat.
seharus nya begitu mas,,,,,
orang2 nya begitu sehabis tahlil langsung pulang,,,,
semoga aja ramai kaya tahlilan mas,setiap ada tahlil masyarakat di lingkungan saya langsung ngibrit bawa makanan ke rumah nya,makanya miris liat keadaan masyarakat di lingkungan saya lebih pada menghadiri tahlilan di banding langsung pergi ke mesjid untuk berjamaah, ironis,,,,,,
padahal menurut saya shalat berjamaah ibadah yang paling baik di banding tahlilan,ada solusi mas buat saya agar bisa mengajak jamaah yang suka tahlilan bisa juga melaksanakan shalat berjamaah di mesjid,jadi antusias mereka terhadap tahlilan tidak mengalah kan antusias berjamaah di mesjid,,,
saya yang sebagai warga masyarakat jadi miris,kegiatan atau ibadah yang ga ada tuntuntan di ikuti dengan penuh antusias,tapi ibadah wajib apa lagi laki2 di haruskan shalat berjamaah di mesjid malah di tinggalkan,itu keadaan di lingkungan saya mas,mohon saran nya agar masjid di sebelah rumah saya jadi rame,sama rame nya kaya tahlilan,,,,,
wasalam.
–> majelis tahlil (tahlilan) adalah majelis dzikir. Ini bukannya ibadah yang ga ada tuntunan (yg haram) .. tapi ini adalah sunnah, karena berdzikir itu sunnah (bukan wajib). Kesalahannya adalah ada (banyak) orang antusias mengerjakan yg sunnah, namun melupakan yg wajib. Seperti rajin tahajud tapi tidak mengerjakan shalat fardlu.
Tidak mudah ngomong di depan masyarakat. Apalagi kl kita masih muda, dan bukan tokoh panutan. Kalau anda tabrak saja, hampir pasti reaksi akan negatif.
Bagaimana kalau usul tahlilannya dilaksanakan sesudah isya’. Syukur-syukur dibuat acara tahlil rutin (mingguan/bulanan/selapanan) di masjid (mushala) sesudah isya’. Semoga dengan demikian lama kelamaan masyarakat terbiasa ikut jamaah shalat fardlu. Baik juga dibuat pengajian sesudah tahlilan. Undang ulama, dan/atau baca kitab2 yang banyak mengandung hikmah.
Semoga manfaat.
nah itu dia mas,saya masih muda,dan pernah saya coba buat ngajak masyarakat sesudah tahlil langsung ke mesjid,dan saya di bilang kolot mas,,,
tapi insyaallah saya ga akan nyerah buat ngajak masyarakat terutama laki-laki buat berjamaah di mesjid,,,
iya mas usul nya bagus setelah isya dan di adakan nya di mesjid,supaya bisa shalat berjamaah dulu,di lingkungan saya biasa nya tahlilan di rumah yang ngadain tahlilan,,,
ok mas terimakasih saran nya,,
wasalam,,,
–>hal yang mungkin paling mudah dilakukan adalah mengadakan tahlilan rutin di masjid anda. Undang ulama dari luar untuk memberikan tausyiah. Kalau yg memberikan pengajian itu orang luar, biasanya lebih didengar dan diresapi. Seperti anak-anak yg lebih taat kata gurunya dibanding ibu sendiri.
Dakwah selalu butuh pengorbanan. Di tempat kami pengajian hampir selalu ada minum dan makanan (kecil), dan hal-hal nonteknis lainnya. Walau mungkin nanti ada panitia, namun di saat-saat awal pasti kita yg berkorban. Nahh.. siapkah anda dengan itu? Jika belum (misal secara finansial, atau masih nebeng ortu), maka hal yg lebih wajib bagi anda adalah menyiapkan diri anda sendiri terlebih dahulu. Kejar cita2, siapkan diri agar mempunyai pondasi yang kokoh, baru setelah anda yakin mampu.. silakan berjuang menegakkan agama yang mulia ini.
semoga kesuksesan selalu menyertai anda ..
asalamualaikum all segaiseorang muslim harus ingat bahwah islam ada yg membawah yng mengemban syareat yaitu rasulullah,sebenarnya ibadah itu hanya melihat dari segi perintah yang tidak diperintakahkan maka hukumnya haram,tidak ada hukum mubah dalam ibadah, dan tidak ada larangan sebab ibadah yang tanpa perintah semua dilarang,sebabseorang yg beribadah dia mengharab pahalah kalau ada hukum mubah maka pelakunya tidak dapat apa2.
–> wa’alaikum salam wrwb. kalau sunnah bgmana mas? Sunnah Kan bukan perintah, tapi anjuran.
Atau .. Baginda Rasul saw mengatakan bahwa dzikir yang paling utama adalah Laa ilaha illallah. Jika kita mengucapkannya setiap akan tidur (misalnya), apakah menjadi haram dan sesat hanya karena tidak ada perintah, “Bacalah sebelum tidur dzikir kalimat laa ilaha illallah”. Apakah menjadi haram karena diucapkan waktu takziah di hadapan keluarga orang meninggal?
Baginda Rasul saw juga mengatakan bahwa hadiah pahala itu bisa sampai. Apakah menjadi sesat ketika orang-orang menghadiahkan pahala tahlil-nya kepada si mati, hanya karena tak ada perintah khusus tentangnya?
sungguh aneh pendapat anda.
Mas Sukirno,
Pernyataan Anda itu kelihatan dzohirnya benar tapi kalau kita teliti adalah ucapan yang batil, kenapa ?
Coba Anda definisikan makna hadits nabi, disana ada yang disebut ucapan Nabi ( Qaul nabi / hadits qauliyah ) , ada hadits berupa perbuatan Nabi ( fi`iliyah ) dan ketetapan nabi/ diamnya Nabi atas perbuatan sahabatnya ( taqririyah ).
Nah yang terakhir itu ( taqrir Nabi ) di sana tidak ada perintah dari Nabi yang dilakukan oleh sahabat, tetapi Nabi mendiamkannya sebagai tanda persetujuan Nabi karena Nabi Tidak melarangnya. Tidak melarangnya itu menandakan bahwa perbuatan itu direstui oleh Nabi.
Kemudian kalau kita melihat dari bagian apa yang diperintahkan ( seperti kata Anda itu ) maka jawab saya :
Perintah itu ada dua : perintah yang bersifat umum dan perintah yang bersifat khusus.
Nah kalau perbuatan itu masih dalam ruang lingkup perintah umum maka harus dihukumi sesuai dengan keumumannya selama tidak ada hukum kekhususannya.
Kemudian, simak pahami makna dari ;
{ وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا }
lihat tafsir Ahkaamul Quran karangan Ibnu Al-Arobi beliau menafsirkan dan ini tafsir yang paling shoheh dalam membahas ayat itu :
ما أمركم به من طاعتي فافعلوه وما نهاكم عنه من معصيتي فاجتنبوه . وهذا أصح الأقوال
Artinya : ” Sesuatu yang diperintahkan kepadamu berupa ketaatan kepadaku maka kerjakanlah dan sesuatu yang dilarang berupa kemaksiatan kepadaku maka jauhilah, Ini adalah penafsiran yang paling shoheh menurut Ibnu Al-Arobi.
Jadi kalau kita lihat ayat itu maka antara perintah dan larangan adalah satu paket tidak bisa dipotong untuk menentukan suatu hukum.
Adakah suatu perbuatan itu masuk perintah secara umum ataukah secara khusus ? dan adakah suatu perbuatan itu masuk ke ranah larangan secara umum ataupun secara khusus? maka dari sana bisa ditentukan status hukumnya.
Ini juga sebagai bantahan kepada yang berdalil Aqli yang batil yang mengatakan sesuatu yang tidak ada contoh/ tidak dicontohkan nabi adalah haram/bid`ah.
Maka sayapun meminta kepada Anda dalil qur`an ataupun hadits yang menyatakan pernyataan demikian itu. Terimakasih..
buat sadaraku yang punya blok ya hukum sunnah itu hanya istilah ulama’yng membagi akan tetapirasulullah tidak pernah membagi dalm hukum,kecuali firman allah tentang kiyamulail makanyaketika sahabat dapat perintah dan anjuran mereka semaksimal mungkin melaksanakanya,karna yang menganjurkan orang yang mengemban risalah pada dasarnya semua apa yang diucapkan nabi urusan agama itu perintah dari allah swt,bukan dari pendapat beliau,kalo soal urusan dunia itu bukan urusan rasululah secara mutlak,dan rasullah pernah menegur orang yg mengawinkan thamernya SEANDAINYAKAU BIARKAN SAJA DIA AKAN LEBIH BAIK,TAPI KENYATANYATHAMERNYA MALAH TIDAK BERBUAH lalu para petani mengabarkan kpada nabi bahwa thamer kami tidak berbuah setelah kami tidak mengawinkan maka rasulullah bersabdah ANTUUM A’LAMUU FI UMURI DUNIAKUUM dan permasalahan suatu hukum tak akn bisa dipecahkan kalo kita mengacu dan tak asub pada satu golangan ato pada satu imam,yang telah mendapat rekomondasi dari allah dan rasulullah hanyalah para sahabat,maka kita punya kuwajiban untuk kembali meniti bagaimana para sahabat memahami alqur’an dan hadits,agar kita tidak larut dalam jidal ditengah2 umat yang penuh dengan fitnah,dan kita sebagai umat islam kita mensikapi pertengahan jangan melampui batas,antum rujuk pada pendapat madhab antum imam safi’i beliau mengatakan bahwa peringatan harikematian hukumya makruh,dan imam anawawi qoiru mustahab tidak ada satu ulamakpun yang menganggap baik dalm peringatan kematian,lalu ada yang menarik kedalam hukum sodaqah ini pendapat ulamak yang mana,sedangkan yang kita bahas itu khukum peringatan kematian bukanhukum yang sudah jelas dalm hadist,sodaqoh umroh hajji dll yng sudah jelas kita ngak ada yang mengingkari hal itu,thoyib kita sekarang melihat bagimana para sahabat melakukan riual dalmkematian beliau memperingati hari kematian apa ngak?karna dalam suatu ibadah itu bersifat taukifiyah,dan dalm algur;an jg dijelaskan,syarat diterimahnya ibadah yaitu harus memenuhi 2kreteriyah yaitu iklas hanya lillah dan mutaba’ah rasul.dan siapun boleh kita selisihi kecuali rasulullah dan orang yg telah mendapat rekomandasi,kita bersaudara dalm satu bangunan islam mari kitasaling naset dan menasehati dan bersabar,jangan sampai kita punya niat yang lain atau hanya menang2an kita semua berusaha mencari kebenaran,bukan pintar pintaran dalm retorika danmari kita brusaha membuang jauh 2 rasa ta’asub dan fanatik golangan
Untuk mas Suirno Hady,
Tulisan Anda :
dan permasalahan suatu hukum tak akn bisa dipecahkan kalo kita mengacu dan tak asub pada satu golangan ato pada satu imam,yang telah mendapat rekomondasi dari allah dan rasulullah hanyalah para sahabat,maka kita punya kuwajiban untuk kembali meniti bagaimana para sahabat memahami alqur’an dan hadits,agar kita tidak larut dalam jidal ditengah2 umat yang penuh dengan fitnah,
Komentar saya :
Justru dengan adanya para Imam, banyak masalah yang dapat dipecahkan, mereka berijtihad dengan ilmunya yang menurut saya susah dimiliki oleh para ulama jaman sekarang.
Para Imam dan pengikutnya dari dulu banyak bertoleransi dalam masalah furuiyah ijtihadiyah, hampir bisa dikatakan tidak ada merasa diri paling benar diantara madzhab lainnya dan percekcokan. Berbeda dengan sekarang, ada segolongan yang menganggap diri paling benar dan yang lain salah, padahal yang lain mempunyai dalil sebagai landasan mereka berbuat, disamping juga hal ini dalam masalah furuiyah alias cabang, yang disana diperbolehkan berijtihad bagi yang mempunyai “hak ijtihad”.
Anda mengatakan bahwa hanya para sahabatlah yang mendapat rekomendasi dari Alloh dan Rosulnya tetapi rupanya Anda lupa sabda Nabi yang Lainnya, berikut bunyinya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : خير الناس قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم
atau hadits yang senada :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول : إن خيركم قرني ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ، فلا أدري قال رسول الله صلى الله عليه وسلم بعد قرنه مرتين أو ثلاثا .
Artinya :
” Bersabda Rosululloh SAW : Sebaik-baiknya manusia adalah pada masaku kemudian masa sesudahnya (sahabat) kemudian masa sesudahnya ( tabiin) kemudian masa tabiinat tabiin.”
Disana disebutkan kata “sebaik-baiknya” menunjukkan bahwa pada masa itu keadaan yang baik dalam banyak hal termasuk dalam cara memahami Al-quran dan hadits.
Hadits itu juga secara maknawi menunjukkan kepada kita agar mengikuti mereka yang berada pada masa terbaik itu, karena hal ini bisa menyelamatkan kita.
Para Imam itu berada pada masa terbaik ( masa Tabiin dan tabiinat tabiin ), kita disuruh oleh rosul untuk mengikuti mereka, lalu kenapa malah Anda seolah mencela mereka atau menyarankan meninggalkan pendapat para Imam itu dan merujuk langsung kepada pemahaman para sahabat ?
Tidakkah Anda pahami bahwa hadits itu juga menunjukkan bahwa pemahaman para Imam itu juga sesuai dengan pendapat para sahabat karena Rosululloh sendiri yang menyatakan golongan itu adalah juga golongan yang terbaik seperti bunyi hadits di atas?
KOMENTAR ANDA :
antum rujuk pada pendapat madhab antum imam safi’i beliau mengatakan bahwa peringatan harikematian hukumya makruh,dan imam anawawi qoiru mustahab tidak ada satu ulamakpun yang menganggap baik dalm peringatan kematian,
Pertanyaan saya :
Tolong dimanakah redaksi dari Imam syafi`i yang mengatakan peringatan hari kematian ( dalam hal ini tahlilan ) berhukum makruh dan ghoeru mustahab menurut Imam Nawawi?
Dalam kitab apa? saya khawatir Anda itu terpengaruh terhadap pemalsuan fatwa atas nama Imam Syafi`i dan Imam Nawawi yang dilakukan oleh mudallisiin.
buat mas IMAM ya mas imam saya sependapat dengan antum ,memang ada perintahsecara kusus dan ada secara umum,tapi smua bentuk perintah itu untuk ibadah, dan larangan untuk ma’siat contoh beribadalah hanya kepada ALLAH saja dan jauhi thoqut ,lalu tentaang perintah sholat dan larangan minum khomer lalu perintah puasa sebagaimana umat yg terdahulu juga di perintah puasa lalu larangan berzinah,haramnya lahm khinjir dll ini larangan dan perintah hakiki dan ada larang dan perintah asbabi contoh silaturohim karna menyebabkan tambahnya rizky,dan sodaqoh untuk penyakit karna mendatangkan kesembuan larangan merokok karna menyebabkan penyakit dan menyebabkan kematiadan banyak contoh yng lain lalu ulama’membagi menjadi hukum sunnah wajib dan makruh,itu pembagian segi ibadah lalu MUBAH HARAM DAN MAKRUH, dari segi hukum dunia sebab semua yang tidak diperintahkan psati rasulullah larang,rasulullah melarang orang menukar emas dngan emas milh dngan milh,dll lalu yang diamkan oleh rasulullah itu menjadi sunnah karnah yang mendiamkan rasulullah yng tidak mengikuti hawa nafsu dan orang yng ma’sum ini jaminan dari ALLAH lalu kalau kita siapa yang menjamin dan ada kabarkah bahwa setelah rasulullah ada manusia yang ma’sum tidak sama sekali,sekarang kita kembali kepada pokok permasalahan apakah memperingati hari kematian itu masalah umum,tentu bukan karnah disini terikat dengan kejadian yaitu kematian lalu terikat dengan hari 1237,40,100,1000,lalu dalil mana yang memayungi ritual ini kalo sodaqah dimasukan kedalil kusus seperti pada hari kemtian ini sangat tidak ilmia dan sangat memaksakan sebab ketika orang bersodaqoh itu dalm keadaan lapang atau sempit,bukan ketika ada keluarganya yng mati maka kenyatan ini sangattidak adil karna ada ihwan yng rajin sodaqoh lalu ketikah adakelurganya yng meninggal dia tidak mengikuti ritual ini mereka menyesatkan ihwan tersebut,dia menuduh wahaby dll lalu ada apa dengan wahaby kita sebagai ummat islam jangan mudah tersulut api yang belm jelas datangnya mari kita kaji secara ilmiah,dan kita bersabar dalam mencari kebenaran,ISLAM ITU MILIK ALLAH DAN RASULNYA,kita boleh menyeliihi siapapun didunia ini baik itu ulama’kiyai tuan guru habib dll asal jangan MENYELISIHI ALLAH WERASULUH insa’allah kita akan selamad dan paling akhir ingat yng mengatakn semua bid’ah dolalah, sesat itu bukan kami tapi rasul kami,kalo antm punya tandingan ada bid’ah hasanah itu dari rasul antm
Mas Suirno Hady,
Komentar Anda :
buat mas IMAM ya mas imam saya sependapat dengan antum ,memang ada perintahsecara kusus dan ada secara umum,tapi SMUA BENTUK PERINTAH ITU UNTUK IBADAH, ( Lihat huruf besar ).
Jawaban Saya :
Ternyata Anda kurang jeli terhadap makna Al-Qur`an yang sudah ada dikomentar saya sebelumnya.
Baik saya tulis lagi :
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
ِArtinya : “Sesuatu yang diperintahkan oleh Rosul maka kerjakanlah dan sesuatu yang dilarang oleh Rosul maka tinggalkanlah.”
Ayat itu menunjukkan perintah itu ada dua, yaitu :
1. Perintah untuk mengerjakan
2. Perintah untuk menjauhi
Kalau Anda mengatakan semua bentuk perintah hanya untuk ibadah adalah pendapat keliru, kenapa ?
Karena, kalau berpendapat seperti itu artinya mentaati perintah untuk menjauhi sesuatu yang dilarang bukanlah bernilai ibadah, ini adalah pendapat konyol…
Jadi pada hakekatnya menjalankan perintah artinya mengerjakan sesuatu yang disuruh untuk mengerjakannya sekaligus menjauhi yang dilarangnya (berupa maksiat) (Lihat tafsir Ibnu Al-Arobi menjelaskan ayat di atas ), dan inilah yang disebut ketaatan atau tunduk atau ibadah.
Jadi jelasnya perintah bukan hanya untuk soal ibadah saja.
Mas Suirno Hady,
Tulisan Anda :
” semua yang tidak diperintahkan psati rasulullah larang ”
Jawaban saya :
Itu kaidah dari mana mas? mana dalil hadits atau qur`annya ?
Tidak tahukah Anda bahwa Sahabat Ustman Bin Affan membuat perkara baru (bid`ah hasanah ) berupa Adzan kedua pada hari Jum’ah?
Adzan Jumaah tidak pernah diperintahkan oleh Rosul dan tidak juga ada pada zamannya tetapi toh adzan kedua pada hari jumaah tetap dilaksanakan umat Islam baik dibelahan bumi timur maupun barat.
Ini juga sebagai dalil, bolehnya kita menetapkan (merutinkan ) waktu2 tertentu untuk beribadah, karena sahabat Utsmanpun memberikan contoh seperti itu dengan menetapkan adzan kedua pada hari jum’ah yang tidak ada contoh dan perintah dari Rosululloh.
usman orang yang dapat rekomandasi dari rasulullah,dan mustahid kalo ada orang yang bisa bertemu dengan orang mati dalam keadaan jaga bukan mimpi ini ucapan seorang penipu,ok lah saya memang cenderung paham pembahasan ulama’atau ustadz yg mengikuti paham wahabi dari pada pengikutnya asy’ariyah dan saya ucapkan jazaumullah khoiran atas bantahan antum semoga kitasemua mendapatkan hidayah dai allah berupapencerahan
Lalu bagaimana dengan kaidah Anda sendiri yang berbunyi :
” semua yang tidak diperintahkan psati rasulullah larang ”
sedangkan Rosul tidak memerintahkan Ustman bin Affan untuk membuat sunah dengan menambahi adzan kedua pada hari Jum`ah ? apakah artinya itu terlarang ???
Kalau Anda mengatakan soal rekomendasi dari Rosululloh, bukan cuma sahabat saja mas Suirno, bahkan ulil amri minkum juga dapat rekomendasi dari Rosulluloh SAW, silakan baca saja tafsir Qur`annya.
Saya sudah banyak menjawab kelemahan pola pikir Anda tapi Anda tetep saja keukeuh/ berpegang kepada madzhab Anda itu.
Akhirnya saya hanya bisa mengatakan seperti kata orang Arab, Alloh yahdik ( Semoga Alloh memberi Anda petunjuk ), Amiin…. Terimakasih.
buat mas imam ok lah ana juga sepaham tentang tiga masa keemasan itu bukan berarti masa setelah nabi dan sahabat itu jelek,akan tetapi setelah masa sahabat itu lebih besar penyelewengan dan fitnah bahkan seorang amirul muminin usman bin afanpun dibunuh, lalu ali bin abi tholib juga di bunuh,dan setelah masa sahabat firgo2 yng dikabarkan oleh rasulullah mulai berani menyebarkan pemahamannya yang sudah jauh dari sunnah,dan tentang rekomandasi kusus untuk sahabat itubanyak sekali riwayatnya,bahkan abu bakr dan umar ra ada rekomandasi kusus dari nabi dan yang paling jelas ketika nabi mengatan dalam satu hadist bahwa sahabatku adalah penjaga umatku kalo dia pergi maka umatku akan ditimpa fitnah seperti yang ALLAh janjikan,lalu juga perinta ALLAH PUN apa bila berselisih sesuatu maka kita kembalikan kepada alqur’an dan hadist,bukankah orang yg pertama kali memahamialqur’a dan hadist itu para sahabat yng di bimbing langsung oleh nabi,tentu iya bukan? lalu setiap orang itu pasti meyelisihi salah satu imam sadar atau tidak contoh,tentang anda qunut subuh saya tidak karna ana pegang bahwa qunut subuh dalilnya lemah menurut pendapat imam selain safi’i,bukankah secara autumatic saya menyelisihi imamsafi’i karna saya ambil pendapat yang lain,masalah furu’iyah semua ulama’ ahlusunnah memang ada toleran akan tetapi disini masalah akidah,ulama’ yang mana yng membolehkan menyeruh kepada orang yg telah mati untuk beristiqotsyah,ulama’mana yng berpendapat orang yg sudah mati sama dengan orang yg masih hidup,tidak satupun dari kalangan ulama; ahlusunah yn pnya pendapat seperti ini,mas imam bagaimanapn kita adalah saudara dalam islam selamah keislaman kita belum gugur,kita mencinta karna ALLAH dan kita mmbenci karna ALLAH,bukan karna golangan ato yg lainya,bagaimanapun sejelek apapun ISLAM adalah mutiara yng mungkin mutiara itu tidak tampak disebabkan adanya kotoran,marilah kita berjuang antukmembersihkan kotoran2itu jangan sampai kita terpancing oleh adu dombah oleh orang2 yng ingin menghancurkan islam,antum termasuk orang yng punya tangungjawab karna antum punya kemampuan untuk itu,kalo antum ada yng kurang berkenan dengan ihwan kita salafy antum bisa datangi mereka ajak dia diskusi secara ilmiyahitu lebih bermanfaat untuk agama yang mulya ini.
Mas Suirno Hady,
Walaupun beberapa pertanyaan saya tidak Anda jawab dipostingan2 di atas tetapi tidak apalah, silakan Anda dan pembaca renungkan terhadap sanggahan2 saya terhadap pernyataan Saudara Suirno Hady di atas.
Melihat komentar Anda di atas, tentang firqoh2 yang ada di zaman sahabat sampai sesudahnya ( seperti dari ulasan Anda ) adalah firqoh2 yang bukan ahli sunah wal jamaah.
Golongan ahli sunah wal jamaah adalah sebutan bagi golongan yang berpegang teguh terhadap Al-quran dan hadits yang pada masa itu ( masa setelah sahabat ) diwakili oleh para Imam 4 madzhab itu dan pengikutnya.
Golongan ini juga yang menentang para ahli bid`ah dan ahli hawa ( silakan Anda baca literatur mengenai Para Imam 4 madzhab ).
Kenapa kita perlu bermadzhab ?
Jawab singkat saya adalah karena mengikuti salah satu dari 4 Imam madzhab lebih memudahkan kita untuk beragama karena sebagian besar hukum Islam sudah dijelaskan oleh mereka dengan dalil2nya, baik dari Al-quran atau Al-Hadits dengan dilengkapi hasil ijtihad mereka atas suatu perkara yang tidak ada dalilnya secara qot`i.
Hal di atas semuanya sudah tersusun rapi dibahas dalam perbabnya dan sistematis.
Berbeda dengan madzhab para sahabat, mereka belum menyusun seperti pada masa para Imam 4 madzhab. Jadi sebenarnya para Imam itu menyusun dan meneruskan dari pendapat/madzhab para sahabat.
Sekarang pertanyaan saya kepada pembaca, kalau saya ibaratkan makanan, lebih enak dan gampang mana antara makanan yang tinggal siap saji dan kita tinggal memakannya yang telah dimasak oleh ahli masak tingkat dunia dibandingkan dengan kita masih perlu mencari bahannya2 kemudian memasaknya ? itupun kalau tidak keasinan, silakan tanya ke hati Anda pembaca.
Tapi walaupun demikian bagi mereka yang mempunyai ilmu dan mempunyai kelengkapan2 untuk berijtihad silakan mengambil langsung kepada Al-quran dan hadits kemudian mengolahnya untuk menentukan suatu hukum.
Kalau saya sendiri melihat ulama2 terdahulu seperti Imam Nawawi, Imam Suyuti, Imam Ibnu Hajar dll, mereka tetap bermadzhab juga, padahal dunia tahu bahwa para imam besar itu mempunyai segudang ilmu agama, sangat jauh dengan kita yang kenal satu hadits saja langsung berfatwa ini itu.
Saya sendiri tetap bermadzhab plus dengan keilmuan saya yang sedikit ini mencoba mencari dalil2 yang menjadi landasan madzhab saya sehingga hati saya menjadi lebih kuat berpegang kepadanya.
Mengenai qunut,
Banyak sudah tulisan2 saya di atas membuka kelemahan2 tulisan Anda di atas. kalau saya misalkan tidak berqunut bukan artinya saya menyelisihi Imam Syafi`i sebab hukum qunut itu sunah menurut madzhabnya artinya kerjakan berpahala tidakpun tidak apa2. Wong Imam Syafi`i juga pernah tidak membaca qunut subuh ko waktu sholat dekat makam gurunya sebagai penghormatan terhadap pendapat beliau yang tidak berqunut subuh, Anda itu aneh……
Mengenai tawasul dan istighosah,
Anda mengatakan ulama mana yang membolehkan melakukan itu, hal ini disebabkan Anda itu tidak tahu dalilnya tapi langsung memvonisnya.
Carilah referensinya jangan hanya referensinya dari golongan Anda saja, sehingga Anda bisa menimbangnya. Terus terang saya mempunyai referensi beberapa kitab dari aliran Wahabi, sedangkan untuk kitab2 ahli sunah wal jamaah ya…lumayanlah.
Silakan Anda Tanya Bab Tawasul dan Istighosah sama Admin, kalau tidak salah ada di artikel membahas masalah itu di sini. Terimakasih.
buat mas imam ana sudah baca kok apa yang menjadi referensinya bab ma’tam dan istighotsyah yng di tulis oleh mundir musawa dan ana juga baca bantahanya oleh ihwan salafi,bahwah mundir musawa megatakan orang mati sama orang yg hidup itu sama saja,ketika dia seorang yg sholeh,ma’tam ditarik jadi sodaqoh ya ok lah mungkin perbedaan paham salafi dan asy’ary gak mungkin bisa bertemu/atau menyatu maka harus kita akhiri sampai disini aja wesalam
–> jaga akhlak.. saya kira pertama kali anda salah ketik dalam menulis nama habib munzir al musawa. Tapi sampai 2x menuliskan sama.. itu bukan salah ketik. itu penghinaan dan itu sengaja.
Dan imam abu hasan al asy’ari itu adalah salafy itu sendiri. Beliau hidup di era salafiyah (300-an H). Jelas beda dengan pengaku2 salafy yg bukan salafy, yang hidup di era kini.
Saudara Suirno Hady,
Saat seseorang berhujjah/ menunjukkan dalil aqli maupun naqli mengenai sesuatu perbuatan yang dilakukannya, kemudian Anda sudah kehabisan amunisi maka larilah Anda sehingga pembahasan ini tidak ada manfaatnya buat Anda, ini adalah sifat yang sering dilakukan oleh golongan Anda, berupa Anda merasa paling benar dan yang lain salah.
Seharusnya sebagai seorang muslim sejati memikirkan apa yang sudah menjadi pembasahan di atas, direnungkan dan direnungkan…..
Mengenai sodakoh setelah kematian,
Silakan Anda baca Hadits sbb :
Dalam kitab Shoheh muslim dalam bab sampainya pahala sodaqoh kepada mayit :
عن أبي هريرة رضي الله عنه (( أن رجلاً قال للنبي صلى الله عليه وسلم : إن أبي مات وترك مالا ولم يوصِ فهل يُكفَّر عنه أن أتصدّق عنه ؟ قال : نعم ))
Artinya : ” Dari Abu Huraeroh ra bahwa seorang laki2 bertanya kepada Rosulalloh SAW : Sesungguhnya bapakku telah meninggal dunia dengan meninggalkan harta tetapi beliau tidak berwasiat mengenai hartanya itu maka apakah dapat menutupi dosa2nya jika saya sedekahkan dengan atas namanya ? Rosululloh menjawab : ya.
Apa yang bisa kita petik dari hadits di atas ?
Jawabnya : kita boleh bersedekah pada saat sesudah kematian berdasarkan hadits di atas.
Kemudian mengenai cara bersedekah setelah kematian di sana tidak ada ketentuan khususnya, artinya caranya diserahkan kepada umat.
Boleh dengan mengumpulkan orang kemudian diberi sedekah (misalkan acara tahlilan ) atau cara yang lainnya.
Kalau Anda mengatakan seperti pada komentar Anda no. 120 yaitu :
” apakah memperingati hari kematian itu masalah umum,tentu bukan karnah disini terikat dengan kejadian yaitu kematian lalu terikat dengan hari 1237,40,100,1000,lalu dalil mana yang memayungi ritual ini kalo sodaqah dimasukan kedalil kusus seperti pada hari kemtian ini sangat tidak ilmia dan sangat memaksakan sebab ketika orang bersodaqoh itu dalm keadaan lapang atau sempit,bukan ketika ada keluarganya yng mati ”
Komentar Anda di atas menunjukkan ketidaktahuan Anda mengenai hadits di atas.
Justru dalam hadits itu menunjukan anjuran tentang kebolehan bersedekahnya ahli mayit yang pahalanya di hadiahkan untuk mayit itu.
Mengenai tahlilan,
Saya melihat paling tidak ada dua hal yang bisa ditelaah :
1. Bagi keluarga yang mampu atau ada harta peninggalan dari mayit, kemudian berniat untuk mengumpulkan orang dengan niat memberikan sedekah kepada mereka yang pahalanya dihadiahkan kepada mayit itu adalah perbuatan terpuji seperti penjelasan saya dalam hadits di atas.
2. Bagi keluarga yang tidak mampu dan juga keluarga yang mampu, kemudian berniat mengumpulkan orang untuk membaca kalimat toyyibah ( Al-qur`an atau dzikir ) yang pahalanya dihadiahkan ( diatasnamakan ) kepada mayit itu adalah perbuatan terpuji karena kalimat toyyibah adalah sedekah berdasarkan hadits dalam kitab Soheh Bukhori berbunyi :
الكلمة الطيبة صدقة ( kalimat toyyibah adalah sedekah ).
Jadi minimal bagi keluarga tidak mampu bersedekah dengan kalimat toyyibah yang diatasnamakan mayit itu.
Itulah antara lain dalil acara tahlilan dari banyak dalil yang bisa menjadi dasarnya.
Tegasnya bersodaqoh setelah kematian itu boleh dan yang membolehkan adalah Rosulloh sendiri. Terimakasih.
buat mas imam akhlak yang mana yang harus kita jaga,karna panggilan munzir musawa antum anggap aku ngak punya akhlak kamu sunggu ngak paham apa itu akhlak bukan nabi memanggil mertuanya ya abu bakar,salahkah kalo aku memanggil orang yang ngak aku kenal dengan panggilan namanya,aku berada didaerah arob hampir 20 tahun disudan dimisry disaudi arabia aku ngak pernah menjumpai panggilan habib bagi orang yng dianggap a’lim sekalipun dia dari keluarga nabi kecuali orang suffi yang qulluh, habib panggilan umum atau memanjakan saja bukan sampai keluar dari keburukan akhlak dan kami orang lebih tau tentang apa itu akhlak,kau lihat bagaimana munzir memanggil dengan menyebut kekurang pisik seorang ulama’dengan meyebut yg buta mata itu, siapakah yang ngak berakhlak aku apa habibmu munzir musawa, itukah akhlaknya orang yang kau jadikan patokan dalam beragama,beribadah dengan musik dan lagu itukah aklaknya terhadap nabi yang muliya
–> nahh .. kali ini anda menyebut/menulis nama dgn benar.. Tapi anda jawaban anda ini tidak nyambung dengan mas imam.
Untuk Mas Suirno Hady,
Sekarang saya menjadi tahu, saya kira Anda itu berbeda dengan orang2 yang sering bermujadalah/ munaqosah dengan saya, saya kira Anda bisa menahan emosi.
Saya saja dituduh Anda dan dicap oleh Anda sebagai seorang pelaku bid`ah saja tidak marah ke Anda ko, yang penting tuduhan Anda itu tidak benar ( itu tuduhan yang berat lho bukan tuduhan sembarangan ), Anda disuruh oleh Admin untuk menjaga akhlak, Tetapi Anda marah2……sampai2 jawaban Anda salah alamat….
Komentar /Tulisan Anda yang menunjukkan kebanggaan Anda sbb :
” nabi memanggil mertuanya ya abu bakar,salahkah kalo aku memanggil orang yang ngak aku kenal dengan panggilan namanya,aku berada didaerah arob hampir 20 tahun disudan dimisry disaudi arabia aku ngak pernah menjumpai panggilan habib bagi orang yng dianggap a’lim ”
Tanggapan saya,
Istilah Abu adalah kuniyah / julukan sebagai bentuk penghormatan kepada seseorang.
Adat/ kebiasaan orang arab kalau memanggil seseorang yang diketahui nama anaknya maka ia akan memangil dengan Abu mutlaq misalnya ( kalau anaknya bernama Mutlaq ) atau Abu Abdulloh misalnya, atau Abu Sulthon misalnya, sedangkan untuk memanggil ibunya dengan sebutan Ummu Mutlaq, Ummu Abdulloh, Ummu Sulthon dst…
Pangilan Abu dan Ummu yang diikuti nama anaknya itu adalah panggilan penghormatan, sedangkan bagi orang yang tidak mempunyai anak biasanya dipanggil dengan Abu Muhammad.
Sejauh yang saya tahu jarang sekali orang memanggil orang lain dengan sebutan namanya ( kecuali untuk anak muda ) karena itu tidak sopan.
Saya jadi ingat ada kaidah berbunyi Al-`Aadatu Muhakkamah ( Adat itu bisa menjadi hukum ),dalam makna luas bisa saya gunakan dalam masalah ini.
Adat/ kebiasaan suatu negri bisa menjadi hukum/ norma dalam masyarakat itu.
Contoh di Indonesia :
Kalau ada seorang yang pandai agama maka akan dipanggil kyai, ustad sedangkan di daerah arab dipanggil dengan syeh untuk kyai dan ustadz panggilan untuk mu`allim ( guru ).
Di Arab orang hafal Al-qur`an saja sudah dipanggil syeh tapi kalau di Indonesia tidak demikian.
Nah, demikian juga dengan panggilan habib untuk daerah selain Saudi Arabia seperti di Yaman, Suria, Masr kata itu memang digunakan untuk keturunan Nabi SAW, termasuk di Indonesia.
Itu adalah kebiasaan atau Adat sebagai bentuk penghormatan kepada yang lebih berilmu atau sebab yang lainnya.
Anda mengatakan : ” kami orang lebih tau tentang apa itu akhlak ”
Menurut Anda ucapan itu kategori akhlak yang bagaimana mas?
Terakhir, andaikan ada orang yang berahlak buruk kepada kita, entah itu ucapan, ataupun perbuatan apakah kita harus meniru seperti itu dan juga membalasnya sama dengan itu ?
Terus terang saya menanggapi tulisan Anda dan juga Salafy-Wahaby lainnya dengan santai-santai saja tidak kebaran jenggot, saya tidak suka mencap orang yang tak sepaham dengan saya dengan kata bid`ah, musyrik, kafir ( maaf ini bukan kepada Anda ) dll yang dapat mengkibatkan keislaman kita luntur . Terimakasih.
affan ana bukan mundur karna kehabisan amunisi sebab mustahil orang pelaku bid’ah itu bertaubat hanya di karnakan jidal,karna dia berdalil dengan akalnya bahwa perkara yngbaik itu dapat pahala,amin atas da’anya dan semoga anda tetap kokoh dengan sunnah antum,
–> julukan yg anda berikan kepada yg tak sepaham sungguh amat buruk (pelaku bid’ah). Kami berlindung kepada Allah dari yang demikian. Jika hal itu tak benar.. ingatlah julukan itu akan berbalik kepada anda sendiri. Hanya Allah yang Maha Mengetahui.
kami berdalil dengan al Qur’an, hadits, ijma’, qiyas sebagaimana madzab kami, Syafi’i. Artikel di atas dan diskusi yang panjang telah memperlihatkan secara gamblang.
Biar pembaca/penonton yg menilai.. siapa yg berdalil dengan apa.
jangan salah imam safi’i bukan pengikt paham asy’ary jangan sampai salah membawah nama ulama’ besar sekaliber imam sapi’i asy’ary banyak mengingkari ayat2 alqur’an sblm dia bertaubat
–>imam safi’i memang bukan pengikut asy’ary. Justru imam al asy’ari adalah pengikut madzab imam syafi’i. ehh.. sapi’i itu siapa mas?
Saya kira komentar anda mulai melebar ke mana2.. tidak fokus lagi.
buat yang punya blog ok terserah antum yang menilai, yang jelas ana dah baca semua blognya RM,mulai dari karomah bah anom sampai karomah munzir musawa dll yang jelas ini blognya orang toreqot dan tasawub mungkin ana salah masuk,karna saya dah baca semuanyaaa isinya kesaktian para wali ,,,,,,,,dan qullu dengan mereka,anda berari belum kenal akhidahnya imam safi’i kalo asy’ary dibilang pengikut imam safi’i asy’ary sebelum dia bertaubat sama dengan zahmiyah kemana saja antum ngentib dibaik layar ya,,,,,,mana yang ngak pokus ketika orang pamit dengan baik bicaranya kemana2 yg Dak berakhak yang habis amunisi dll seharusnya ketikangak ada kesepahaman dalm berdebat ya kita keluar dengan baik,karna dilanjukanpun ngak ada gunanya saya sebagai tamu tadinya ana pamit baik2 tapi jawabanya kemana2 ok semoga andaselalu dapat barakanya habaib,dan soga Allahselalu memberkahtiku dan semaga para habaib membimbingmu dan semoga ALLAH senantiasa membimbingku AMIN,,,,
buat yng punya blog tidak menyambung yng mana dalm bahasa arabketika di tulis dengan hurup latin tidak ada kaedah baku semua trgantung apa yng dimaksud mau mundir atau munzir, semua gak sama dengan mahroj arab kalo itu yang dima’sud berarti antum yg kurang paham dngan kaedah
mas imam rosululloh memangil abu lahab abu jahal itu bukan karna penghormatan memang seperti itu panggilan keseharianya,lalu kalo kebiasaan jadi suatu hukum bagaimana seorang yg biasa mandi dan berak dipingir kali dengan membuka auratnya maka kalo itu juga ngak bole disalahi bukan?karna sudah menjadi hukum, siapapun akan marah ketika seorang menegur langsung menyangkut akhlak,karna akhlak itu tidak ada sangkut pautnya dengan adat,hampir semua orang arab ketika dia memangil kakaknya atau yg lebih tua tidak harus dengan sebutan akhuna au ukhti fulan kecuali yng memang punya hak mutlak seperti ayah dll kalo antum ingin tau bahasa yang paling buruk setiap hari yg iya gunakan antum pergi ke yaman,hal yng lumrah dia bicara ibnu kalb ibnu zina tapi tak seorangpun mereka mengatakan tak berakhlak,sekalipun diaberperangai buruk,kalo antum ingin tau apa itu akhlak lihatla nabi yng dalam hadist disebutkan akhlak beliau adalah alqur’an bukn adat sebuah negara/kampung,maka dari awal ana katakan kita boleh menyelisihi siapapun di dunia ini itu termasuk adat dll kecuali ALLAH dan RASULNYA. SEMOGA ANTUM PAHAM NGAK MUTER 2 KEMANA2LAGI diarab sendiri tidak semua orang yang hafal qur’an dipanggil syech /orang yang kaya juga tidak demikian,itu memang panggilan penghormatan tapi ketika tidak memanggil syech bukan tidak berakhlak,tidak sama sekali bahkan dia lebih suka di perlakukan demikian,
Tahukah Anda Abu lahab dan Abu Jahal adalah orang terhormat dan terkemuka di kaumnya hingga diutusnya Rusulloh SAW kemudian keduanya tak beriman kepada Rosulloh SAW sehingga berderajat rendah di mata Islam.
Sudah saya katakan kata Abu dan Ummu adalah kuniyah atau julukan kepada seseorang sebagai bentuk penghormatan tapi bukan berarti orang itu adalah orang terhormat secara mutlak. Bedakan julukan sebagai penghormatan dan Kehormatan orang itu sendiri.
Kebiasaan yang sudah menjadi norma hukum yang tak tertulis ( disini saya perjelas biar Anda tidak muter2 ) di suatu masyarakat, apabila kita tidak melaksanakannya maka akan terasa janggal alias tidak sopan dan ini dapat dirasakan oleh yang mempunyai nilai rasa berbahasa ( saya tidak tahu apa Anda termasuk golongan ini atau bukan ) – ( ingat yang saya katakan ini berkaitan dengan kuniyah bukan yang lainnya atau melebar masalah lainnya ).
Kalau kita memanggil seseorang dengan yang lebih tua dengan namanya maka akan terasa berbeda dengan kalau memanggilnya dengan kata Bapak / Abu atau Ibu/ Ummu, Bapak Bambang atau Ibu Faizah atau Bapaknya Bambang atau Ibunya Faizah.
Begitu pula memanggil yang lebih muda dengan panggilan mas atau de adalah sebagai bentuk penghormatan baik itu penghormatan untuk diri sendiri atau untuk orang lain.
Nah di Arab ( bukan cuma di SAudi ) memanggil saudara kandung/ tiri misalnya tidak dengan kata akhi atau ukhti ( Ini tidak secara mutlak ) tapi dengan namanya langsung, itu membuktikan kaidah saya itu Al-Aadatu Muhakkamah ( adat bisa menjadi hukum/ norma ).
Norma hukum tak tertulis, di Arab memanggil saudara sendiri dengan namanya adalah tidak apa2 dan itu adalah hal biasa, maka berlakulah keadaan yang biasa itu (adat) yang tidak berkaitan dengan rasa kesopanan. Lalu bagaimana untuk Indonesia khususnya daerah jawa ? maka kaidah yang saya sebut menjadi berlaku. ( Semoga Anda paham masalah ini ).
Penggunaan kata2 kasar sepeti Ibnu kalb ( anak anjing ), ibnu zina ( anak zina ), Ibnu hinzir ( anak babi ) adalah kata2 yang digunakan oleh orang yang sedang marah/ makian, sangat jelas berkaitan dengan ahlak orang itu.
Akhlak adalah sifat sedangkan almaushuf bih ( yang disifati dengan sifat itu adalah orang ) baik itu perkataannya ataupun perbuatannya.
Kalau orang mengucapkan dengan kata2 kotor maka menunjukkan sifat orang itu, yang akan menunjukkan kepada akhlak orang itu juga, baik itu perbuatan atau perkataannya.
Kalau bicara adat yang bisa menjadi hukum, silakan Anda baca kitab Al-qoidah Alfiqhiyyah Al-Asybah wan Nadzooir karangan As-Suyuti, biar lebih jelas. ( Jadi tidak debat yang ngawur ,atau akal-akalan).
Mengenai penggilan Syeh, ini tulisan saya tak ambil dari komentar sebelumnya :
” Di Arab orang hafal Al-qur`an saja sudah dipanggil syeh tapi kalau di Indonesia tidak demikian.”
Saya katakan di Arab bukan hanya di Saudi saja dan saya katakan kalimat saya itu bukan menunjukkan semuanya dipanggil syeh, pahami kata2 saya itu.
Yang memanggil syeh adalah jamaahnya bukan dari orang alim itu sendiri yang minta dipanggil syeh demikian juga dengan para habaaib tidak minta dipanggil habib kecuali yang gila kehormatan.
Komentar Anda :
” maka dari awal ana katakan kita boleh menyelisihi siapapun di dunia ini itu termasuk adat dll kecuali ALLAH dan RASULNYA. SEMOGA ANTUM PAHAM NGAK MUTER 2 KEMANA2LAGI ”
Jawab saya :
Lalu bagaimana firman Alloh yang artinya :
” Hai orang2 yang beriman, taatilah Alloh dan Rosulnya dan ulil amri di antara kamu “.
Disana menggunakan fiil amar/ kata perintah untuk mentaati Alloh, Rosul dan Ulil amri tapi malah Anda seolah menganjurkan atau membolehkan menyelisihi selain keduanya, Anda itu berdalil pakai Al-quran ataukah hawa nafsu Anda ?
Sebenarnya komentar2 Anda yang terakhir2 ini tidak bersesuaian dengan topik tentang tahlil dan setiap saya jawab masalah A, Anda membahas masalah lainnya yang tidak sesuai ( Silakan cek lagi komentar Anda ).
Sehingga kadangkala tidak ingin saya tanggapi, cuma saya hanya memberi masukan ke Anda antara bahwa Anda masih perlu mencari referensi2 lainnya, saya juga demikian. Terimakasih.
taat pada ulil amri tidak mutlak kalo taat pada pada ALLAH DAN RASULNYA taat yg mutlak karna tidak ada ketaatan pada makhluk kalo ma’siat kepada yng kholik, maka boleh menyelisihinya, ULIL AMR bukan manusia yng maksum hanya ketika tidak menyelisihi ALLAHdan RASULNYA maka berlaku ketaatan padanya,bukan