Menularkan ‘Demam’ Batik
Saya sangat setuju dengan pendapat di bawah ini.
Mengenai batik, kebetulan di tempat kerja situasi kondisinya memungkinkan untuk memakai batik. Maka saat ini … tiada hari tanpa batik. Hehe .. sebelum diaku sebagai milik (karya) orang lain, pakai saja dulu.
Dari batik murah (20 rb-an) sampai klas “sutra like” (sutra betulan kan haram bagi laki-laki). Kondhangan .. batik. Belanja .. pakai batik. Kerja .. seragamnya pun batik. Undangan temanten .. pakai batik. Jika anda ada undangan resmi (protokoler) yang mengharuskan pakai pakaian resmi .. batik pun memenuhi syarat. Bisnis .. pakai batik lebih berwibawa. Pengajian, semaan, maulid, manaqib, tahlil, yasinan dst .. memakai batik tidak akan menjadikannya sebagai bid’ah sesat, justru menjadikan tampak lebih elegant . DLLL.
Klaim selicik/sekeras apapun sebagai milik orang .. pokoknya ini batik pernah saya pakai. Ada buktinya dan saya punya di rumah. Maka orang tak akan mengklaim baju yang sama sebagai miliknya. Saya (kita) telah terlebih dahulu lama memakainya.
Anda ingin menirunya … silakan silakan.
Ini berlaku untuk produk-produk dan karya-karya yang lain. Jika tidak .. ehm … TAHU misalnya (itu tuhh produk turunan dari tempe) kini telah menjadi paten, justru bukan dari negeri sendiri. Padahal turun temurun itu produk nenek moyang kita.
.
Sabtu, 24/04/2010 17:16 WIB
Menularkan ‘Demam’ Batik
Jakarta – Pengakuan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia menyemarakkan kembali perbatikan di tanah air. Pegawai di kantor pemerintahan dan masyarakat umum seperti terkena demam batik.
Semaraknya batik merupakan momentum yang tepat untuk menggalakkan kembali mencintai produk Indonesia. Penjabaran cinta produk Indonesia secara lebih luas, tidak terbatas pada batik, tetapi bisa merembet ke kebutuhan kita sehari-hari. Cobala buka kulkas. Apakah semuanya produksi Indonesia? Dari buah saja apakah buah impor yang ada di rak atau buah manggis dan belimbing?
Kalau saya beli buah impor, so what? Mungkin itu yang terbetik di pikiran. Dengan membeli produk Indonesia, apel Malang dan duku Palembang misalnya, berarti kita telah menghidupi petani-petani di Malang dan Palembang. Bukan menghidupi petani di negara lain seperti Amerika, Cina, dan Thailand.
Gizi buah tentu saja sama. Harga dan rasa bersaing. So, apa yang kita cari? Semoga bukan karena gengsi.
Setali tiga uang dengan keberpihakan pada produk-produk Indonesia dengan membeli dan menggunakan produk dalam negeri. Dengan demikian, di era perdagangan bebas, pengusaha lokal bisa mendapatkan akses ke negara lain tetapi juga bisa mempertahankan bahkan meningkatkan penjualan dalam negeri. Dengan demikian, roda perekonomian dalam negeri bergerak dan memberi lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
Kalau kita berkaca ke negara lain gerakan ini sudah dilakukan. Memang bisa dibilang juga bukan gerakan baru karena Mahatma Gandhi mencanangkan swadeshi pada 1905. Kalau kita duduk di kereta Clayton-Caulfield Melbourne, Australia, kita bisa melihat slogan Buy your kids a job, buy Australian yang artinya sediakan pekerjaan untuk anak cucu dengan membeli buatan Australia.
Supermarket di Australia biasanya akan memberi label barang-barang mana yang diimpor atau dibuat di Australia. Pada kemasan produk, beberapa juga dengan bangg mencantumkan barang tersebut diproduksi di Australia. Konsumen sendiri lebi menyukai buatan lokal dan tidak mengejar life style atau prestise. Bagaimana dengan Indonesia?
Bila mengamati perilaku konsumen kita tampaknya pilihan ada pada produk bermerek impor buatan luar negeri atau produk murah buatan Cina. Di manakah letak produk Indonesia? Kebanggaan akan produksi dalam negeri bisa dikatakan masih kurang. Masih adanya persepsi kalau buatan luar lebih bagus. Padahal, produsen luar negeri memang sengaja menciptakan image itu agar produknya laku.
Potensi pasar Indonesia dengan 200 juta lebih penduduk adalah pangsa pasar yang sangat potensial bagi produsen asing. Percaya diri kita yang lemah digedor-gedor oleh iklan yang menggebu-gebu. Sampai pernah terdengar produksi dalam negeri diberi label produk luar negeri agar laku. Menyedihkan.
Tengoklah berapa banyak uang yang keluar untuk mengimpor produk-produk. Pada 2009 impor Indonesia mencapai 96,83 miliar dolar AS (data BPS) dan diperkirakan akan meningkat menjadi 132,9 miliar dolar AS di 2010. Melebihi ekspor tahun 2009 yang mencapai 116,51 miliar dolar AS dengan berlakunya Free Trade ASEAN-China. Peningkatan impor ini juga akan berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah. Semakin banyak impor, semakin banyak rupiah yang kita bayarkan kepada orang asing.
Melihat budaya Indonesia, penggalakan pembelian produksi dalam negeri seharusnya dicontohkan oleh pemimpin kita. Seperti halnya batik, begitu ada imbauan dari
pimpinan, ingar-bingarlah busana batik. Meski Hatta Rajasa telah menetapkan antara lain limit pengadaan yang harus menggunakan produksi dalam negeri dan Menperindag Mari Elka Pangestu juga telah mengenakan semua produk Indonesia kecuali sepatu, namun gaung cinta produksi dalam negeri belumlah terasa.
Gaung akan lebih kuat bila slogan tidak hanya mencintai produk dalam negeri tapi membeli produk dalam negeri. Mengingat belum semua pimpinan bergerak untuk membeli produksi dalam negeri. Mari kita jadikan momentum batik ini untuk bergerak dari diri sendiri untuk membeli produk-produk dalam negeri. Membelikan pekerjaan untuk anak cucu kita.
Gita Anggraita
Staff di Bank Indonesia (tulisan ini mencerminkan pandangan pribadi)
Sumber: http://suarapembaca.detik.com/read/2010/04/24/171607/1344732/471/menularkan-demam-batik?882205470
Menularkan ‘Demam’ Batik
Gita Anggraita – suaraPembaca
Jakarta – Pengakuan batik sebagai salah satu warisan budaya Indonesia menyemarakkan kembali perbatikan di tanah air. Pegawai di kantor pemerintahan dan masyarakat umum seperti terkena demam batik.
Semaraknya batik merupakan momentum yang tepat untuk menggalakkan kembali mencintai produk Indonesia. Penjabaran cinta produk Indonesia secara lebih luas, tidak terbatas pada batik, tetapi bisa merembet ke kebutuhan kita sehari-hari. Cobala buka kulkas. Apakah semuanya produksi Indonesia? Dari buah saja apakah buah impor yang ada di rak atau buah manggis dan belimbing?
Kalau saya beli buah impor, so what? Mungkin itu yang terbetik di pikiran. Dengan membeli produk Indonesia, apel Malang dan duku Palembang misalnya, berarti kita telah menghidupi petani-petani di Malang dan Palembang. Bukan menghidupi petani di negara lain seperti Amerika, Cina, dan Thailand.
Gizi buah tentu saja sama. Harga dan rasa bersaing. So, apa yang kita cari? Semoga bukan karena gengsi.
Setali tiga uang dengan keberpihakan pada produk-produk Indonesia dengan membeli dan menggunakan produk dalam negeri. Dengan demikian, di era perdagangan bebas, pengusaha lokal bisa mendapatkan akses ke negara lain tetapi juga bisa mempertahankan bahkan meningkatkan penjualan dalam negeri. Dengan demikian, roda perekonomian dalam negeri bergerak dan memberi lapangan kerja bagi rakyat Indonesia.
Kalau kita berkaca ke negara lain gerakan ini sudah dilakukan. Memang bisa dibilang juga bukan gerakan baru karena Mahatma Gandhi mencanangkan swadeshi pada 1905. Kalau kita duduk di kereta Clayton-Caulfield Melbourne, Australia, kita bisa melihat slogan Buy your kids a job, buy Australian yang artinya sediakan pekerjaan untuk anak cucu dengan membeli buatan Australia.
Supermarket di Australia biasanya akan memberi label barang-barang mana yang diimpor atau dibuat di Australia. Pada kemasan produk, beberapa juga dengan bangg mencantumkan barang tersebut diproduksi di Australia. Konsumen sendiri lebi menyukai buatan lokal dan tidak mengejar life style atau prestise. Bagaimana dengan Indonesia?
Bila mengamati perilaku konsumen kita tampaknya pilihan ada pada produk bermerek impor buatan luar negeri atau produk murah buatan Cina. Di manakah letak produk Indonesia? Kebanggaan akan produksi dalam negeri bisa dikatakan masih kurang. Masih adanya persepsi kalau buatan luar lebih bagus. Padahal, produsen luar negeri memang sengaja menciptakan image itu agar produknya laku.
Potensi pasar Indonesia dengan 200 juta lebih penduduk adalah pangsa pasar yang sangat potensial bagi produsen asing. Percaya diri kita yang lemah digedor-gedor oleh iklan yang menggebu-gebu. Sampai pernah terdengar produksi dalam negeri diberi label produk luar negeri agar laku. Menyedihkan.
Tengoklah berapa banyak uang yang keluar untuk mengimpor produk-produk. Pada 2009 impor Indonesia mencapai 96,83 miliar dolar AS (data BPS) dan diperkirakan akan meningkat menjadi 132,9 miliar dolar AS di 2010. Melebihi ekspor tahun 2009 yang mencapai 116,51 miliar dolar AS dengan berlakunya Free Trade ASEAN-China. Peningkatan impor ini juga akan berdampak pada melemahnya nilai tukar rupiah. Semakin banyak impor, semakin banyak rupiah yang kita bayarkan kepada orang asing.
Melihat budaya Indonesia, penggalakan pembelian produksi dalam negeri seharusnya dicontohkan oleh pemimpin kita. Seperti halnya batik, begitu ada imbauan dari
pimpinan, ingar-bingarlah busana batik. Meski Hatta Rajasa telah menetapkan antara lain limit pengadaan yang harus menggunakan produksi dalam negeri dan Menperindag Mari Elka Pangestu juga telah mengenakan semua produk Indonesia kecuali sepatu, namun gaung cinta produksi dalam negeri belumlah terasa.
Gaung akan lebih kuat bila slogan tidak hanya mencintai produk dalam negeri tapi membeli produk dalam negeri. Mengingat belum semua pimpinan bergerak untuk membeli produksi dalam negeri. Mari kita jadikan momentum batik ini untuk bergerak dari diri sendiri untuk membeli produk-produk dalam negeri. Membelikan pekerjaan untuk anak cucu kita.
Gita Anggraita
Staff di Bank Indonesia (tulisan ini mencerminkan pandangan pribadi)