Syarah Hadits “Kullu bid’atin dlalalah”
Syarah Hadits “Kullu bid’atin dlalalah”
Diriwayatkan oleh Imam Muslim di dalam kitab sahihnya,
Dari Jabir bin Abdullah Ra, dari Nabi Saw.. Beliau berkata dalam khutbahnya: “Sesungguhnya sebaik-baiknya perkataan adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad Saw, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara-perkara yang baru, dan setiap bid`ah adalah sesat.
Imam Nawawi menjelaskan/mensyarah bahwa kalimat “kull”yang ada pada redaksi hadits tidaklah menjadikan seluruh bid`ah sesat, akan tetapi maknanya kebanyakan bid`ah adalah sesat. Imam Nawawi juga memaparkan perkataan ulama yang membagi bid`ah sama dengan hukum taklify yang 5; wajib, sunnah, mubah, makruh dan haram.
Imam Nawawi mengomentari hadits ini:
“Sabda Nabi Saw “dan setiap bid`ah adalah sesat” ini, merupakan bentuk umum yang dikhususkan. Dan yang dimaksudkan di dalam hadits adalah mayoritas (kebanyakan) dari bid`ah. Menurut para ahli bahasa: bid`ah dimaksudkan untuk setiap amalan yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Para ulama mengatakan: bid`ah itu terbagi kepada 5 macam;
1. Wajib,
2. Sunnah,
3. Haram,
4. Makruh dan
5. Mubah.
Diantara contoh bid`ah yang wajib: Upaya pengonsepan dalil logika, yang dilakukan oleh para ulama ahli kalam, untuk membantah para atheis, ahli bid`ah, dan orang-orang yang setipe dengan mereka.
Diantara contoh bid`ah yang sunnah: Menulis kitab-kitab ilmiah, membangun madrasah-madrasah, membuat majlis zikir, dan hal-hal seperti itu.
Diantara contoh bid`ah yang mubah: Berkreasi dalam mengolah warna makanan dan yang sejenis itu.
Sementara bid`ah yang haram dan yang makruh sudah jelas.
Apabila dipahami apa yang aku disebutkan, maka akan diketahui bahwa hadits ini adalah hadits umum yang dikhususkan. Beghitu juga dengan hadits-hadits yang semisal dengan yang diriwayatkan ini. Hadits-hadits seperti ini dikuatkan oleh perkataan Sayyidina Umar: “ni`mat al bid`ah”, sebaik-baiknya bid`ah adalah ini. Dan tidak ada halangan bentuk hadits umum yang bisa dikhususkan karena Sabda Rasul saw: كل بدعة ضلالة” setiap bid`ah adalah sesat” yang dikuatkan dengan kalimat كل “kull” (seluruh). Akan tetapi (kull ini) dimasuki oleh takhshish. Seperti firman Allah:”Yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya, maka jadilah mereka tidak ada yang kelihatan lagi kecuali (bekas-bekas) tempat tinggal mereka. Demikianlah Kami memberi balasan kepada kaum yang berdosa.(QS: Al Ahqaaf: 25)””… selesai ucapan imam Nawawi.
Pada hadits `Irbadh bin Saariyah, sabda Rasul saw:
“Dan hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang baru, karena setiap bid`ah adalah sesat.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Tumudzi dan Ibnu majah, disahihkan oleh Turmudzi, Ibnu Hibban dan Hakim.
Al Hafiz Ibnu Rajab di dalam syarah (penjelasan)nya, mengomentari:
“Dan yang dimaksud dengan bid`ah adalah: semua hal baru yang dilakukan tanpa ada dasar dari syariat yang menunjukkan boleh melakukannya. Dan apapun yang ada asal dari syariat yang menunjukkannya, maka bukanlah bid`ah secara syariat, meskipun bid`ah secara bahasa.” … selesai ucapan Al hafiz Ibnu Rajab.
Pada hadits sahih Bukhari yang diriwayatkan dari Ibnu Mas`ud, beliau berkata:
Sesungguhnya sebaik-baiknya ucapaan adalah kitab Allah dan sebaik-baiknya petunjuk adalah petunjuk Muhammad saw. dan seburuk-buruk perkara dalah semua yang baru.
Al Hafidz Ibnu Hajar (Asqalani) mengomentari:
” المحدثات (almuhdasaat) bentuk plural dari kalimat المحدثة (almuhdatsah), dan yang dimaksudkan dengannya adalah: apa-apa yang baru dan tidak memiliki dasar di dalam syariat. Di dalam terma syariat kemudian dikenal dengan nama bid`ah. Dan ada pun semua yang memiliki dasar dari syariat yang menunjukkanya, maka bukanlah bid`ah. Maka bid`ah dalam terma agama adalah mazmumah (tercela), beda halnya dengan bid`ah menurut konsep bahasa. Maka, semua yang terjadi tanpa ada misal sebelumnya dinamakan bid`ah, baik itu mahmudah (terpuji) atapun mazmumah (tercela)… selesai ucapan Al hafiz Ibnu Hajar.
Al Hafiz `Abdullah Shiddiq Ghumary mengomentari:
Apa-apa yang baru dan ada dasarnya dari syariat yang menunjukkanya, maka itu dinamakan dengan bid`ah hasanah (terpuji), beghitu juga yang dinamakan oleh Nabi Saw. Dan kebalikannya dinamakan dengan bid`ah, sebagaimana juga dinamakan dengan bid`ah sayyi-ah (tercela).
Diriwayatkan oleh Abu Na`im dari Ibrahiim Bin Junaid, dia berkata:
saya mendengar Syafi`i berkata: Bid`ah itu ada dua, bid`ah mahmudah (terpuji) dan bid`ah mazmumah (tercela). Apapun yang berkesesuaian dengan sunnah, maka ia itu adalah terpuji, dan apa-apa yang bertentangan dengan sunnah, maka ia adalah tercela.
Diriwayatkan oleh imam Baihaqi di dalam Manaqib Imam Syafi`i, diriwayatkan darinya.
Ia ( Imam Syafi`i) berkata: hal-hal yang baru itu ada dua kategori: Apapun hal-hal baru yang bertentangan dengan kitab, sunnah, atsar atau ijma`, maka ini adalah bid`ah yang sesat (dholal). Dan hal-hal baru yang masuk dalam kategori kebaikan, maka tidak ada khilaf pada masalah tersebut seorangpun dalam masalah ini. Maka ini perkara baru yang tidak tercela dan Sayyidina Umar benar-benar telah berkata ketika mengomentari masalah Qiyaam Ramadhan ” sebaik-baiknya bid`ah adalah ini” maksudnya adalah, ini perkara baru yang belum pernah terjadi. Seandaipun terjadi, maka ia tidak bertentangan terhadap apa yang telah pernah terjadi.”
Berkata al Hafidz Ibnu Hajar (Asqalani) di dalam kitab Fath Al Bari,
Adapun Sabda Rasul di dalam hadits Irbadh “maka sesungguhnya setiap bid`ah adalah sesat”, setelah sabdanya: dan hendaklah kalian untuk menjauhi hal-hal yang baru”, maka ini menunjukkan bahwa segala yang baru dinamakan bid`ah. dan sabdanya, “setiap bid`ah adalah sesat”, merupakan kaidah syar`iyah yang bersifat kulliyah (menyeluruh) secara tersurat (manthuq) dan secara eksplisit (mafhumnya). Adapun secara tersurat, seperti pernyataan:
Hukum masalah ini adalah bid`ah (premis minor)
Setiap bid`ah adalah sesat (premis mayor)
Maka masalah tersebut bukanlah dari syar`i, karena syariat seluruhnya adalah petunjuk (huda).
Apabila ditetapkan bahwa hukum yang disebutkan adalah bid`ah, maka sah kedua muqaddimah (premis). Dan kedua premis menghasilkan Natijah (result) yang diinginkan. Sedangkan yang dimaksud dengan sabda beliau: “Setiap bid`ah”, adalah apa-apa yang baru dan tidak ada dalil baginya dari syariat, baik secara khusus maupun secara umum”… selesai ucapan Al Hafidz Ibnu Hajar.
Berkata Imam Nawawi di dalam kitab Tahzib Al Asmaa` Wa Al Lughat:
Bid`ah di dalam syariat adalah mengadakan sesuatu yang tidak ada di masa Rasul saw. dan bid`ah terbagi kepada dua; hasanah (baik) dan qabihah (tercela).
Dari komentar para Huffaz diatas dipahami rambu-rambu dalam menilai sebuah perbuatan adalah bid`ah atau tidak. Bid`ah ternyata tidak dipahami dengan sempit, akan tetapi beghitu lapang!
Pembagian bid`ah kepada hukum taklify yang lima.
Di awal sudah kita paparkan tentang pemahaman ulama terhadap hadits yang menjelaskan bid`ah dan ulama memahaminya begitu lapang. Jikalau kita telusuri lebih jauh, ternyata pembagian bid`ah tidak hanya kepada dua, seperti yang dipaparkan oleh Tuan Syaikh, seorang imam yang disepakati keimaman, keagungan, kepakaran dan kedalaman ilmunya di pelbagai disiplin ilmu,
Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdul Salam ra pada akhir kitab Al Qawaa-Id:
Bid`ah itu terbagi kepada; wajib, haram, sunnah dan mubah. Beliau kemudian menjelaskan: dan cara untuk mengetahui bid`ah itu ditinjau dari kaidah-kaidah syariah, apabila masuk ke dalam kaidah-kaidah wajib, maka ia menjadi bid`ah yang wajib. Apabila masuk kedalam kaidah-kaidah sunnah, maka ia menjadi bid`ah yang sunnah. Apabila masuk kedalam kaidah-kaidah makruh, maka ia menjadi bid`ah yang makruh. Dan apabila masuk kedalam kaidah mubah, maka ia menjadi bid`ah yang mubah.
Bid`ah yang wajib, diantara contohnya;
Pertama: Sibuk dengan ilmu nahwu yang dengannya dipahami kalamullah (Al Quran) dan hadits Rasul saw., maka itu adalah bid`ah yang wajib. Karena menjaga syariat adalah wajib dan tidak akan tercapai penjagaannya, kecuali dengan menyibukkan diri mengkaji ilmu nahwu. Dan apa saja yang tidak akan terlaksana hal-hal wajib, kecuali dengannya, maka ia akan menjadi wajib juga.
Kedua: menghafal gharib (makna yang sulit dipahami) dari al Qur`an dan sunnah.
Ketiga: membukukan secara sitematis ilmu ushuluddin dan ushul fiqh.
Keempat: membicarakan masalah jarh dan ta`dil dan membedakan antara hadits yang sahih dan yang cacat.
Sesungguh sudah ditunjukkan oleh Kaidah syariah bahwa menjaga syariah adalah fardhu kifayah pada hal-hal yang di luar dari kapasitas fardhu `ain (yang diwajibkan kepada setiap individu). Maka, tidak akan tercapai (penjagaan syariah itu), kecuali dengan melakukan hal-hal yang telah kami sebutkan.
Bid`ah yang diharamkan, diantara contohnya:
Pelbagai bid`ah yang dilakukan oleh mazhab Al Qadariyah, Jabariyah, Murjiah dan Mujassimah. Sedangkan membantah mereka adalah bid`ah yang wajib.
Bid`ah yang sunnah, diantara contohnya:
Mendirikan ribath (majlis zikir), madrasah-madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada di masa awal islam, seperti; pelaksanaan tarawih, pembahasan masalah-masalah secara detail ilmu tasawwuf dan ilmu jadal. Diantaranya juga adalah mengumpulkan orang banyak untuk menunjukkan dalil-dalil dari syariat -apabila dimaksudkan hal tersebut murni karena Allah Swt-.
Bid`ah yang makruh, diantara contohnya:
menghiasi masjid dan mendekorasi mushaf, dll.
Bid`ah yang mubah, diantara contohnya:
Bersalaman setiap selesai shalat subuh dan ashar, berkreasi dalam membuat citarasa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal dan memakai thayalishah (peci) serta melebarkan lengan baju.
Memang terjadi perbedaan pendapat pada sebagian itu, sehingganya oleh ulama dimasukkan kedalam kategori bid`ah yang makruh. Sementara sebagian lain menjadikannya sebagai sunnah yang telah dikerjakan di masa rasul Saw dan setelah beliau, seperti; berta`awudz di dalam shalat dan basmalah….selesai ucapan Imam Abu Muhammad Abdul Aziz bin Abdul Salam.
Penamaan bid`ah hasanah dengan maslahah.
Diketahui dari pemaparan sebelumnya, bahwa ulama telah sepakat atas pembagain bid`ah kepada bid`ah mahmudah (terpuji) dan bid`ah mazmumah (tercela). Sedangkan Sayyidina Umar Ra. merupakan orang pertama yang mengucapkannya. Mereka juga sepakat bahwa sabda Nabi Saw. “setiap bid`ah adalah sesat”, bersifat umum yang dikhususkan.
Tidak ada yang berbeda dari kesepakatan ulama ini, kecuali Imam Syathibiy, pengarang kitab al I`tisham. Beliau mengingkari pembagian seperti ini dan menganggap bahwa “setiap bid`ah adalah mazmumah”. Akan tetapi ia mengakui bahwasanya diantara bid`ah ada yang dituntut untuk melaksanakannya dalam bentuk wajib atau sunnah. Beliau kemudian menjadikannya ke dalam kategori maslahah mursalah. Maka perbedaan yang terjadi hanya secara lafzhiy (bahasa) yang dilihat dari sisi pembagian, yaitu bid`ah yang dituntut melaksanakannya tidak dinamakan dengan bid`ah hasanah, akan tetapi dinamakan dengan maslahah.
Bid`ah tidak dilihat dari bahasanya akan tetapi dari unsur pelanggarannya terhadap syariat.
Imam Syafi`i mengatakan:
Seluruh yang ada sandarannya secara syar`i, maka bukanlah bid`ah, meskipun tidak dilakukan oleh ulama salaf, karena mereka meninggalkan beramal boleh jadi karena `uzur yang ada pada mereka pada saat itu. Atau juga karena ada hal-hal yang dirasa lebih afdhal daripada melakukannya. Atau boleh jadi belum sampai ilmu kepada mereka… selesai ucapan Imam Syafi`i
Kata Imam Ibn Al Lubb ketika membantah orang-orang yang menyatakan bahwa makruh berdo`a setelah shalat Ashar:
Paling banter yang diajukan oleh orang-orang yang menyatakan makruh berdo`a setelah shalat adalah “komitmen mereka dengan do`a seperti ini bukanlah merupakan perbuatan ulama salaf”. Dengan asumsi bahwa sahnya qaul ini, maka meninggalkan sesuatu, tidaklah menyebabkan hukum pada masalah yang ditinggalkan, kecuali menunjukkan bolehnya meninggalkan dan tidak ada halangan dalam melaksanakannya. Adapun pengharaman, atau terjadinya makruh pada apa yang ditinggalkan, maka tidaklah demikian. Terlebih lagi terhadap masalah-masalah yang ada dasarnya secara global dari syar`i, seperti: berdo`a.
Berkata Ibnu Al `Araby:
Bukanlah bid`ah dan sesuatu yang baru menjadi tercela, karena adalanya kalimat “muhdatsah (baru)”, kalimat “bid`ah” dan makna dari dua kalimat tersebut. Adapun yang dicela dari bid`ah, adalah apa saja yang bertentangan dengan sunnah. Sedangkan yang dicela dari muhdatsah (perkara-perkara yang baru) adalah semua yang menyebabkan kepada dhalalah (kesesatan).
.
Mungkin diperlukan link: Bid’ah dalam diagram venn.
wallahu a’lam.
Sumber : http://alnof.multiply.com/journal/item/137/Komentar_Para_Ulama_Hadits_Tentang_Pembagian_Bidah_kajian_bidah_4
Sekarang saya bila mendengar perkataan ” kullu bidatin dlalaah ” di mimbar saya hanya tersenyum karena yang berbicara sekarang sudah jadi ahli zikir setelah sholat wajib dan sudah mau mengikuti sholat tarawih sampai selesai juga berdo’a dengan mengangkat tangan
berdoa mengangkat tangan tidak masalah karena disunnahkan mengangkat kedua tangan, seperti : doa meminta diturunkan hujan, jika seseorang meminta hujan didalam khutbah shalat jum’at atau khutbah shalat istisqa maka hendaklah dia mengangkat kedua tangannya, atau mengangkat kedua tangannya pada saat di Shafa dan di Marwah, mengangkat kedua tangannya di Arafah ketika berdoa, mengangkat kedua tangannya ketika jumrah ‘ula di hari-hari tasriq dan jumrah wustha sehingga di saat haji terdapat enam tempat (mengangkat kedua tangan di sini, pen) : pertama : di Shafa, kedua : di Marwah, ketiga : di Arafah, keempat : di Muzdalifah setelah shalat fajar, kelima : saat jumrah ‘ula di hari-hari tasyriq dan keenam : setelah jumrah al wustha di hari-hari tasyriq. Pada macam pertama ini, tidak disangsikan lagi bahwa seorang mengangkat kedua tangannya berdasarkan sunnah. Kalau sampai dia mengangkat doa ketika berdoa ketika duduk diantara dua sujud baru bid’ah
kalau masalah syariat agama yang dijamin pasti benar adalah mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan rosulullah saw jangan ngarang sendiri, nah kalau masalah dunia antum a”lamu bi umuriddunniakum…….
–> nggih mas. saya nggak ngarang kok mas.
Tau dari mana sesuatu itu dicontohkan apa tidak oleh Nabi?
buku hadis? kitab sejarah? atau apa?
kalo anda pernah menulis buku harian yg merekam aktivitas+yg didengar+yg dilihat+pemikiran+ucapan anda selama 24 jam, akan menghabiskan berlembar2 kertas dalam sehari..
menurut anda, apakah kitab2/buku2 hadi itu sudah cukup untuk merekam semua gerak+ketetapan+kata2+air muka+isi hati+pikiran 63 tahun kehidupan Nabi???
terlalu gegabah kalo cepat2 memvonis sesuatu hal itu dicontohkan/tidak dicontohkan Nabi berdasarkan apa yg tertulis dalam kitab/buku..
kami memang tidak mampu mengikuti sunnah nabi berdasarkan catatan dalam beribu2 kitab yang ditulis ulama terdahulu hingga kini, oleh karenanya kami mengikuti arahan, bimbingan, dan meniru perilaku terpuji dari guru dan ulama kami yg insya allah juga mengikuti guru beliau terdahulu hingga sampailah pada sahabat rasulullah saw.
simple… yang tidak tertulis, yo jangan di ikuti karena kita gak tau.. kok ribet. hoby tahlilan 7 harian 40 harian 100 harian ya? budaya hindu tuh bung..
–> hindu kok ..”laa ilaa ha illallah”
untuk mas Robin
TANGGAPAN dr kata-kata “kalau masalah syariat agama yang dijamin pasti benar adalah mengikuti apa-apa yang telah dicontohkan rosulullah saw jangan ngarang sendiri, nah kalau masalah dunia antum a”lamu bi umuriddunniakum……”
kalau anda tidak mengikuti bid’ah hasanah dalam agama maka sebaiknya anda jangan pernah membaca al-Qur’an karena nabi Muhammad tidak pernah mencontohkannya, akan tetapi anda harus menghafalkanya sesuai yang beliau contohkan. n cara menghafalkanya pun jangan baca al-Qur’an terlebih dahulu. sanggup gak anda??
sukron….
bikin musyaf kok bid’ah?
itu bukan ritual agama bung, tapi hnya fasilitas..
buat zaky
alqr’an itu sudah ditulis sejak zaman rasulullah
hanya pengumpulanya pada zaman abu bakar
jadi sahabat hanya mengumpulkan saja,pada zaman nabi mengapa tidak dikumpulkan
karna pada zaman nabi wahyu masih turun tetapi nabi memerintahkan untuk menuliskan hanya saja belum terkumpul seperti sekarang ini
kalo ini sebagai dalil bid’ah hasana itu sunggu tidak cocok
kalo disandingkan dengan tahlilan kematian
karna sahabat tidak tahlilan dalam kematian
dan juga tidak pernah zikir berjama’ah
Untuk Saudara Arief,
Komentar Anda :
bikin musyaf kok bid’ah?
itu bukan ritual agama bung, tapi hnya fasilitas..
Tanggapan saya :
Saya tidak mengerti apa yang dimaksud ritual agama dalam hal ini.
Apakah menurut Anda sahabat Nabi mengumpulkan al-Quran bukan merupakan bagian agama ataupun bukan ibadah ?
Kalau bukan urusan agama buat apa sahabat cape-cape mengumpulkan Al-Quran.
Makanya sahabat umar mengatakan sambil juga bersumpah :
هو والله خير
Demi Alloh, perbuatan mengumpulkan Al-Quran adalah baik.
Apakah pandangan Sahabat Umar mengatakan itu baik bukan artinya baik juga menurut Alloh dan kalau baik menurut Alloh artinya ibadah dan berpahala ?
ابن مسعود رضي الله عنه : ﴿ ما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن وما رآه المسلمون قبيحاً فهو عند الله قبيح
Ibnu Mas`ud mengatakan : Sesuatu yang dipandang baik menurut orang-orang muslim maka baik pula menurut Alloh.
Untuk Saudara Hakim,
Komentar Anda :
buat zaky
alqr’an itu sudah ditulis sejak zaman rasulullah
hanya pengumpulanya pada zaman abu bakar
jadi sahabat hanya mengumpulkan saja,pada zaman nabi mengapa tidak dikumpulkan
karna pada zaman nabi wahyu masih turun tetapi nabi memerintahkan untuk menuliskan hanya saja belum terkumpul seperti sekarang ini
Tanggapan saya :
Sebuah jawaban yang muter-muter dan hanya mengandalkan akal.
Pengumpulan Al-quran dalam satu mushaf adalah bid`ah ( hasanah ).
Kenapa ?
Jawabnya :
حديث زيد بن ثابت رضي الله عنهُ أنهُ قال: (( قبض النبي صلى الله عليه وآله وسلم ولم يكن القرآن جُمع في شيء
Atsar Zaed bin tsabit ra berkata : Setelah wafatnya Nabi SAW, TIDAKLAH AL-QURAN DIKUMPULKAN PADA SESUATUPUN.
Jadi jelas pada masa beliau dan sesudah wafatnya tidak ada yang namanya mushaf Al-quran tapi setelah zaman sahabat Abu bakar terjadi pengumpulan Al-Quran.
Apakah bukan dinamakan bid`ah kalau tadinya tidak ada (pada zaman Nabi dan sesudah wafatnya ) kemudian pada zaman Abu Bakar terjadi / ada ( artinya membuat perkara baru dalam agama berupa mengumpulkan Al-quran ) ?
Apakah Anda akan mengatakan itu hanya bid`ah lughowi saja ( menurut bahasa saja ) ?
Maka jawab saya :
Bagaimana disebut bid`ah lughowi sedangkan dua sahabat mengatakan :
1. Abu bakar mengatakan :كيف نفعل شيئاً لم يفعلهُ رسول الله
” Bagaimana Kami melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rosulloh ?
2. Zaid bin tsabit mengatakan yang sama : كيف نفعل شيئاً لم يفعلهُ رسول الله
“Bagaimana Kami melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rosululloh ?
ketika beliau disuruh mengumpulkan dan menulis Al-quran.
Namun kemudian Alloh membukakan hati keduanya untuk melakukan itu.
Dan yang terakhir dan yang paling membuktikan bahwa pengumpulan Al-quran adalah urusan agama dan juga urusan ibadah seperti pernyataan Zaid bin Tsabit serta bukan urusan dunia, sbb :
فو الله لو كلفوني نقل جبل من الجبال، ما كان أثقل عليّ مما كلفني بهِ أبابكر من جمع القرآن
“Demi Alloh, jikalau mereka ( Abu Bakar dan Umar ) menugaskan kepada saya untuk memindahkan gunung maka itu lebih ringan daripada beratnya tugas mengumpulkan Al-quran yang ditugaskan Abu Bakar kepada saya.”
Nah apakah Anda memandang urusan itu bukan urusan agama dan ibadah ?
Jelas pula disana disebutkan menurut Zaid bahwa memindahkan gunung lebih ringan ( karena itu urusan dunia – pent /saya).
buat imam
yang mengatakan bid’ah hasanah itu kamu kan?
dan saya tidak menganggap perkara itu bid’ah
sebab tulisan alqur’an itu sudah di tulis sejak jaman rasulullah
hanya pengumpulanya pada zaman sahabat
dan perbuatan sahabat telah mendapat recomondasi dari nabi
kalo
salawat nariyah,tahlilan dalam kematian siapa yang ngasih recomaandasi
silakan ikuti perbuatan sahabat tidak ada yang mengatakan itu bid’ah
karna perbuatan sahabat yg telah disepakati oleh para sahabat itu merupakan sunnah
makanya jadikan contoh
bagaimana perkataan zaid hanya disuruh mengumpulkan saja bukan disuruh bikin itu sudah merasa menangung beban yang berat
bagaimana kalo disuruh bikin acara ibadah seperti tahlilan,zikir berjama’ah,salawat nariyah dll
–> meluruskan.. yang mengatakan bid’ah hasanah itu imam Syafi’i. Dan diterima oleh seluruh madzab (yang empat).
Untuk Saudara Hakim,
Komentar Anda :
buat imam
yang mengatakan bid’ah hasanah itu kamu kan?
dan saya tidak menganggap perkara itu bid’ah
sebab tulisan alqur’an itu sudah di tulis sejak jaman rasulullah
hanya pengumpulanya pada zaman sahabat
dan perbuatan sahabat telah mendapat recomondasi dari nabi
Tanggapan saya :
Tidakkah Anda melihat dan membaca pernyataan saya di awal paragraf, ini saya postingkan lagi :
Pengumpulan Al-quran dalam satu mushaf adalah bid`ah ( hasanah ).
Jelas-jelas saya mengatakan : PENGUMPULAN AL-QURAN BUKAN PENULISAN AL-QURAN, apakah Anda tidak bisa membedakan ?
kalau penulisan al-quran dan hadits sudah ada pada zaman Nabi jadi itu bukan bid`ah, yang bid`ah adalah pengumpulan Al-quran dalam satu mushaf ( SEMOGA ANDA BISA MEMBEDAKAN ).
Itupun diakui oleh kedua sahabat yaitu Abu Bakar dan Zaid bin tsabit dengan mengatakan :
كيف نفعل شيئاً لم يفعلهُ رسول الله
” Bagaimana Kami melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rosulloh ?
Kata “TIDAK DILAKUKAN ROSULLOH” sama saja “TIDAK ADA PADA MASA ROSULULLOH” tidak ada pada masa Rosululloh ” ITU ARTINYA BID`AH”.
Itu sudah jelas ko pendapat sahabat, mau dipelintir kemana lagi ???
ditambah lagi perkataan Zaid bin Tsabit :
Setelah wafatnya Nabi SAW, TIDAKLAH AL-QURAN DIKUMPULKAN PADA SESUATUPUN.
Makna “TIDAK DIKUMPULKAN’ artinya tidak ada mushaf pada masa Nabi dan sesudah wafatnya.
Itulah pemahaman sahabat yang saya ikuti.
Pernyataan Anda :
hanya pengumpulanya pada zaman sahabat
dan perbuatan sahabat telah mendapat recomondasi dari nabi
Tanggapan saya :
Perbuatan sahabat telah mendapat rekomendasi dari Nabi :
Apakah sahabat Abu bakar, Umar dan Zaid bin tsabit telah mendapat rekomendasi tentang pengumpulan Al-quran oleh Nabi, tolong dalilnya mana ?
Kalau Anda mengatakan bahwa mereka mendapat rekomendasi dari Nabi untuk mengumpulkan Al-Quran lalu kenapa pada awalnya mereka menolak anjuran Umar untuk mengumpulkan Al-quran ?
Ini redaksinya :
فَلَمْ يَزَلْ عُمَرُ يُرَاجِعُنِي فِي ذَلِكَ حَتَّى شَرَحَ اللَّهُ صَدْرِي لِلَّذِي شَرَحَ لَهُ صَدْرَ عُمَرَ وَرَأَيْتُ فِي ذَلِكَ الَّذِي رَأَى عُمَرُ
Umar tiada henti-hentinya mendorongku untuk melakukan pekerjaan ini, hingga Allah melapangkan dadaku untuk melakukan pekerjaan yang dada Umar telah lebih dahulu dilapangkan terhadapnya, dan aku sependapat dengan pendapat Umar.
Demikian juga terhadap Zaid bin tsabit.
Jadi yang menjadi pertimbangan Abu Bakar dan Zaid adalah perkataan Umar bahwa perbuatan mengumpulkan Al-Quran adalah baik ( هُوَ وَاللَّهِ خَيْرٌ ), bukan melihat adanya rekomendasi ataupun tidak.
buat admin
yang mengatakan bid’ah hasanah imam safi’i kata anda
yng mengatakan kulluu bid’ah sesat RASULULLAH
anda mau yang mana
kata IMAM SAFI’I
apa RASULULLAH
kalo seorang muslim sehat jasmani dan rohaninya pasti milih
KATA RASULULLAH bukan kata ulama’ atau kiyai
–> saya hanya meluruskan kata-kata anda sebelumnya. Tentu saja saya ikuti imam Syafi’i, karena imam Syafi’i mengikut kanjeng Nabi saw.
Kayak gerbong kereta itu lhoo mas. Anda berada di gerbong belakang pasti ikut gerbong depannya. Yg paling depan loko-nya. Bagaimana pun anda klaim anda hanya ikut loko, kenyataan adalah diseret oleh gerbong depan. Kalau anda menolak ditarik gerbong depan, anda pasti tidak ikut loko.
penulisan alqur’an itu sudah ada zaman rasulullah jadi bukan bid’ah, pengumpulan alqur;an juga ada sejak zaman nabi melalui hufad
jadi alqur’an itu sudah terkumpul didada para sahabat sejak zaman rasulullah
dan penulisan sudah ada sejak zaman rasulullah
adapun menjadikan satu mushab itu hanya sarana untuk kemudahan dalam menjaga dan mempelajari alqur’an
sepertihalnya pondok pesantren madrasah dll itu hanya sarana saja
kalaupun itu di anggap bida’ah hasana
lalu ada apa dengan alqur’an itu sendiri
seluruh ummat islam diseluruh dunia tidak ada yang mempersoalkan masalah alqur’an
lalu apa hubunganya dengan bid’ah tahlilan dalam kematian zikir berjama’ah,solawat badar,salawat nariyah dll
–> tapi pengumpulan mushaf al qur’an tetap tak ada contoh dari Nabi saw mas. Sayidina Abu Bakr ra sendiri yg mengatakan demikian. Dan ini dilakukan dalam rangka agama juga.
Artinya itu bid’ah hasanah
imam bertanya
Apakah sahabat Abu bakar, Umar dan Zaid bin tsabit telah mendapat rekomendasi tentang pengumpulan Al-quran oleh Nabi, tolong dalilnya mana ?
ALAIKUUM BISUNNATI WESUNNAHTI KHULAFAA’IRASYIDIIN
ini dalilnya
kalau anda ngak mau dengan dalil ini seperti kebiasaan anda karna tidak terdapat kalimat yg anda maksud
jawanban saya
dimana ada dalilnya kalau apel itu halal
tempe itu halal
–> kalau mengikuti logika anda,.. makan tempe dengan niat ibadah itu bid’ah sesat mas. Tidak ada contoh Nabi saw, tidak pula sahabat.
zaman nabi itu alqur’an sudah di tulis
mengapa nabi memerintahkan untuk menulis padahal banyak yng hafal alqur’an dan wahyu terus berjalan,bukan kah ini merupakan sarana nabi untuk mempermudah menghafal alqur’an kalau nabi itu memerintahkan untuk menulis alqur’an apakah tidak mungkin akan terkumpul sampai 30 juz
jadi sungguh tidak tepat kalo ini di jadikan dalil
untuk membuat bid’ah hasanah semacam sekarang ini
coba lihat alasan terkumpulnya alqur’an pada zaman sahabat
karna banyaknyanya para huffad itu gugur walaupun qur’an sudah tertulis
lalu apa alasanya membuat bid’ah tahlilan dalam kematian padahal mayit sudah dikubur dan pelawat juga pada datang buku buku panduan tentang jenazah juga sudah tertulis
apa alasanya?
2 lihat alasan ketika usman bikin adzan kedua walaupun ini sebenarnya sudah ada pada adzan subuh sebagai tolak ukur
ketika umar berkutbah jum’ah datanglah seorang sahabat yang terlambat karna sibuk lalu umar bertanya kenapa kamu terlambat
aku sangat sibuk lalu aku ngak tau waktu kecuali suara adzan berkumandang
bahkan aku hanya berwudu tanpa mandi padahal nabi menganjurkan untuk mandi hari jum’ah
nah dengan kejadian inilah sahabat usman memerintahkan adzan pertama dan kedua
adzan pertama dilakukan sebelum waktu sholat tiba sebagai panggilan bahwah hari ini hari jum’ah
dan perkara ini juga kalo dikias dengan sholat subuh juga bukan perkara bid’ah
lalu apa alasanya anda membikin nyanyian di masjid setelah adzan padahal jama’ah pada sudah ngumpul dan seharusnya melakukan sholat sunnah malah anda ganggu dengan nyanyian yg bising itu
buat kaum muslimin adakah
setelah itu ummat islam diseluruh dunia yang membikin adzan ketiga ke empat dan kelima pada hari jum’ah
tidak ada bukan?
lalu apa sama orang yg bikin bid’ah adzan dalam kuburan dengan usman adzan kedua hari jum’ah
padahal usman juga menguburkan mayit
dan sahabat semua menguburkan mayit tapi tak satupun yang punya alasan untuk adzan
lalu apa alsanya kalian?
hahaha
syareat kok disamakan kereta api
lah wong nabi mengatakan semua bid’ah sesat kok
katanya ikut nabi
admin anda sulit sekali paham dalam agama
ijma’ah sahabat itu dalil
dalam pengumpulan alqur’an itu merupakan ijma’para sahabat jadi hukumnya SUNNAH BUKAN BID’AH
alqur’an juga disebut alkitab dalam banyak ayat
ALKITAB sendiri merupakan jama’ /kumpulan
ini sebagai penguat bahwa pengumpulan alqur’an itu
sudah berdasarkan dalil dari alqur’an dan sunnah
kalau maulid nabi dalilnya mana? tahlilan dalam kematian dalilanya mana? lalu siapa yang ijma’?
makan kok malah dianggap sesat itu suatu perkara yang mubah
perkara yang mubah ada yg bisa diniatkan ibadah
anda punya pendapat kok semrawut banget
mana dalilnya kalao makan suatu yang mubah menjadi bid’ah sesat
anda kalau bicara tidak mendasar asal keluar
sekarang anda lihat contoh ulama’ yang menganggab bida’ah hasanah
itu memberi contohnya hanya masalah maslahah mursalah
bukan dengan ibadah ubudiyah
lihat perkataan umar ketika memerintahkan untuk mengimami tarahweh dengan satu imam itu hanya bid’ah secara lugowi
karna sholat taraweh pernah dilakukan pada zaman nabi
kalau zikir berjama’ah justru dingkari oleh para sahabat
semoga faham
–> rupanya anda tak paham analogi saya. Saya mengikuti rel dari loko melalui gerbong di depan saya, karena saya tahu gerbong depan saya tergandeng ke loko. Semua orang menyaksikan itu. Kl anda menolak diseret gerbong depan anda, dari mana anda bisa mengikuti loko? Omong kosong mas
Tahukah anda, maslahah mursalah adalah salah satu metode dalam madzab Maliki dalam menentukan status hukum terhadap sesuatu yang baru yg tidak ada di dalam al qur’an dan hadits baginda Nabi saw. Imam Syatibi (yang anda ikuti pendapatnya ttg bid’ah) adalah salah satu ulama madzab maliki. Banyak ulama Malikiyah (yang lain) yang tidak memakai pendapat/definisi beliau ttg bid’ah dan berpendapat adanya bid’ah hasanah.
Kl makan suatu yang halal (mubah) tidak bisa jadi ibadah, trs untuk apa disunnahkan baca bismillah. Ini kan jadi ibadah mas. Kalau sudah jadi ibadah, maka makan tempe jadi bid’ah sesat (menurut logika anda) krn tidak ada contoh.
Kalau dijawab .. ohh tidak, itu pakai maslahah mursalah, maka seharusnya maulid/dzikir pun dibahas dengan cara yg sama.
Anyway .. Tahukah anda, penggunaan metode maslahah mursalah itu pun juga bid’ah.
Untuk Saudara Hakim,
buat admin
yang mengatakan bid’ah hasanah imam safi’i kata anda
yng mengatakan kulluu bid’ah sesat RASULULLAH
anda mau yang mana
kata IMAM SAFI’I
apa RASULULLAH
kalo seorang muslim sehat jasmani dan rohaninya pasti milih
KATA RASULULLAH bukan kata ulama’ atau kiyai
TAnggapan saya :
Pernyataan Anda itu kelihatan benar tapi sesungguhnya batil,
SEKARANG SAYA BALIK TANYA :
Siapakah yang lebih memahami sunah Nabi SAW ? apakah Imam Syafi`i ataukah Anda atau ulama Anda ?
Sekarang saya sebutkan tentang Imam Syafi`i menurut ulama muktabar :
قال حرملة : سمعت الشافعي يقول : سُمِّيتُ ببغداد ناصر الحديث
Berkata Harmalah : Saya mendengar Imam Syafi`i mengatakan : Saya diberi sebutan di Baghdad dengan Nasir al-hadits ( pembela hadits Nabi ).
قال إبراهيم الحربي : سألت أبا عبد الله عن الشافعي ، فقال : حديث صحيح ، ورأي صحيح
Berkata Ibrohim Al-harbiy : Saya bertanya kepada Abu abdillah ( Imam Ahmad bin hanbal ) mengenai Imam Syafi`i : beliau berkata : Haditsnya saheh dan pendapatnya ( Imam Syafi`i ) shaheh / benar.
وقال إسحاق بن راهويه : ما تكلم أحد بالرأي -وذكر جماعة من أئمة الاجتهاد- إلا والشافعي أكثر اتباعا منه ، وأقل خطأ منه ، الشافعي إمام
Berkata Ishak : Tidaklah seseorang berkata dengan pendapatnya kecuali Imam Syafi`i banyak melakukan itu dan sedikit sekali melakukan kesalahan pada pendapatnya, As-Syafi`i adalah seorang Imam.
قال الحسن الزعفراني : ما قرأت على الشافعي حرفا من هذه الكتب ، إلا وأحمد حاضر
Berkata Al-Hasan Az-Za`faroniy : Tidaklah saya membaca satu hurufpun dari kitab-kitab ini di depan Imam Syafi`i, kecuali Imam Ahmad hadir / ada.
قال يحيى بن معين : ليس به بأس .
Yahya bin Ma`in ( kritikus hadits yang sangat ketat ) mengatakan : Tidak ada halangan atau bahaya padanya ( diterima haditsnya ).
وعن أبي ززعة الرازي ، قال : ما عند الشافعي حديث فيه غلط
Dari Abu Zur`ah Ar-Rozi ( kritikus hadits ) berkata : Tidaklah ada dalam hadits Imam Syafi`i suatu kesalahan.
Demikianlah….. demikian mulyanya Imam Syafi`i dihadapan para ahli hadits, ahli fiqh dan ahli ijtihad.
Lalu coba Anda bandingkan dengan perkataan Saudara Hakim sbb :
“kalo seorang muslim sehat jasmani dan rohaninya pasti milih
KATA RASULULLAH bukan kata ulama’ atau kiyai”
Jadi perkataan Anda sama saja mengatakan orang yang menganut pendapat Imam Syafi`i adalah gila dan cacat tubuh termasuk pula terhadap Imam Syafi`i. A`udzubillah minak ya basyar ……
Sesuai dengan makna kandungan hadits Nabi bahwa nanti akhir zaman akan ada orang-orang muda yang menjelek-jelekkan ulama-ulama terdahulu (salaf) dan merasa diri paling benar ( ya seperti anda ini ).
SEKARANG SAYA BALIK TANYA :
Siapakah yang lebih memahami sunah Nabi SAW ? apakah Imam Syafi`i ataukah Anda atau ulama Anda ?
jawab
sunnah yg mana yg anda maksud?
karnah sunnah itu jelas sesuatu yg dikerjakan nabi diperintah dan didiamkanya oleh nabi
dalam salah satu pendapat mungkin imam safi’i benar
dan dalam pendapat yg lain mungkin imam yang lain yg benar
karna semua manusia tidak ma’sum dan tidak mempunyai wahyu
meniggalkan pendapat ulama’ bukan berarti melecehkan ulama’ tersebut
dan mengambil pendapatulama’ bukan berarti kita mengikuti ulama’ tersebut
karna semua ulama’ tidak berhak untuk di ikuti
melainkan hanya mengikuti ulama’jika pendapatnya sejalan dengan sunnah rasulullah
kita sebagai tulab punya perbandingan mana yang lebih dekat dengan kebenaran itulah yang kita ambil
kalau kita lihat cara anda mengambil dalil walaupun dengan akal asal baik
itu juga menyelisihi semua ulama’
karna perkara yang baik belum tentu benar
jawablah conto di bawah ini
benarkah saya masuk wc membaca do’a di bawa ini
inikan juga do’a
do’a masuk wc
الَّلهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
benarkah saya sebelum makan berdo’a ini
inikan juga do’akan ?
do’a sebelum makan
اللهم انى اعوذ بك من الخبث والخبا ئث
kalo benar do’a yang saya baca diatas karna berdalil dengan baik
mulai hari ini saya sependapat sama anda
saya cabut semua coment saya yg menentang pendapat anda
kalau anda bilang salah do’a yng saya baca di atas maka mulai hari ini
saya berhenti coment karna
akan bembuang2 waktu ok
–> anda benar..
Imam syafi’i diikuti karena beliau mengikuti baginda Nabi saw, bahkan sampai dijuluki penegak sunnah.
Sekarang .. dalam hal ini (bid’ah) anda mengatakan bahwa imam syafi’i SALAH (silakan luruskan kl persepsi saya salah).
itu pendapat anda.. atau pendapat siapakah?
Dari sini akan kita check.. siapa yang lebih mendekati kebenaran.
Kalau hanya pendapat anda.. sorry mas.. tidak saya pakai.
Dari diskusi sdh kelihatan ilmu anda tak sebanding untuk menyalahkan imam syafi’i.
mohon maaf kl tak berkenan.
Untuk Saudara Hakim,
sunnah yg mana yg anda maksud?
karnah sunnah itu jelas sesuatu yg dikerjakan nabi diperintah dan didiamkanya oleh nabi
Tanggapan saya :
Sunah bukan hanya yang diperintahkan dan didiamkan Nabi mas, sunah itu meliputi ucapan Nabi, perbuatan Nabi dan taqrir Nabi.
Bahkan definisi sunah menurut ahli hadits, ahli fiqh dan ahli lughoh itu berbeda-beda mas jadi jangan menganggap Anda yang paling benar dan yang lain salah.
Mendefinisikan Sunah aja tidak lengkap eee….. malah menganggap Imam Syafi`i salah.
Hukum fiqh juga ada yang disebut sunah qiyasi artinya sunah yang berdasarkan qiyas dan qiyas sudah menjadi ijma bahwa ia sebagai salah satu sumber hukum selain A-quran, hadits, dan ijma ( silakan baca di artikel tentang qiyas ada di sana di blog ini juga.
Komentar Anda :
meniggalkan pendapat ulama’ bukan berarti melecehkan ulama’ tersebut
dan mengambil pendapatulama’ bukan berarti kita mengikuti ulama’ tersebut
karna semua ulama’ tidak berhak untuk di ikuti
melainkan hanya mengikuti ulama’jika pendapatnya sejalan dengan sunnah rasulullah
Tanggapan saya :
Bagaimana Anda menyebut diri tidak melecehkan ulama sedangkan Anda itu mengatakan : ( ini saya posttingkan lagi komentar Anda ) :
yang mengatakan bid’ah hasanah imam safi’i kata anda
yng mengatakan kulluu bid’ah sesat RASULULLAH
anda mau yang mana
kata IMAM SAFI’I
apa RASULULLAH
kalo seorang muslim sehat jasmani dan rohaninya pasti milih
KATA RASULULLAH bukan kata ulama’ atau kiyai.
Lihat kalimat terakhir, apakah itu bukan suatu pelecehan kepada Imam besar Asy-Syafi`i dan sekaligus penganutnya ? ( Anda itu banyak pernyataan yang ngawur tapi Anda merasa benar …….ditambah tidak ilmiah lagi, sa`ban alayya ).
Sebagaimana biasa semua komentar Anda akan saya bahas, sabar ya…..
Komentar Anda :
dalam salah satu pendapat mungkin imam safi’i benar
dan dalam pendapat yg lain mungkin imam yang lain yg benar
karna semua manusia tidak ma’sum dan tidak mempunyai wahyu
Tanggapan saya :
Dan juga sahabatpun tidak maksum, begitu maksudnya makanya pendapat sahabatpun boleh dikritik karena yang maksum adalah Nabi SAW saja.
Makanya Anda secara tidak langsung mengkritik sahabat Zaid bin tsabit tentang pengumpulan Al-quran pada zaman nabi dan setelah meninggalnya beliau tidak ada pada lain sisi kelompok Anda mengatakan harus memahami sesuai pemahaman ulama salaf.
Untuk Saudara Sukirno,
Anda mengatakan mengikuti pemahaman sahabat tetapi Anda malah membahas pndapat sahabat, ini kan rancu, ini pendapat sahabat tentang pengumpulam Al-quran :
حديث زيد بن ثابت رضي الله عنهُ أنهُ قال: (( قبض النبي صلى الله عليه وآله وسلم ولم يكن القرآن جُمع في شيء
Atsar Zaed bin tsabit ra berkata : Setelah wafatnya Nabi SAW, TIDAKLAH AL-QURAN DIKUMPULKAN PADA SESUATUPUN.
Jadi jelas pendapat Anda melenceng dari pendapat sahabat.
Kalau Anda menganggap diri benar, maka tunjukkan dalil adakah Al-quran sudah dibukukan dalam satu mushaf pada masa Nabi dan sepeninggal beliau ?
Ataukah Anda menganggap pendapat sahabat slah karena sahabat tidak maksum ?
Komentar Anda :
Menanggapi dalil rekomendasi dari Nabi untuk membukukan Al-quran dalam mushaf :
ALAIKUUM BISUNNATI WESUNNAHTI KHULAFAA’IRASYIDIIN
ini dalilnya
kalau anda ngak mau dengan dalil ini seperti kebiasaan anda karna tidak terdapat kalimat yg anda maksud
Tanggapan saya :
1. Dalil itu adalah dalil umum yang digunakan oleh Anda untuk urusan yang khusus, kalau menurut saya menggunakan dalil umum untuk perkara khusus tidak apa-apa, tapi……sebagian dari kelompok Anda PENGGUNAAN SEPERTI ITU TIDAK DIBOLEHKAN, Jadi siapa yang benar ?
2. Kalau melihat dalil itu secara lafdzi, TIDAK SELURUH SAHABAT DIBERIREKOMENDASI OLEH NABI UNTUK MEMBUKUKAN AL-QURAN DALAM SATU MUSHOF HANYA KHULAFAUR ROSIDIN SAJA YANG DIPERKENANKAN MELAKUKAN ITU, lalu bahagaima dengan sahabat Nabi yaitu Zaid bin tsabit yang melakukan penulisan dan pengumpulan al-quran dalam mushaf ?
3. Dalil yang Anda gunakan adalah dalil yang juga menunjukkan atas direkomendasikannya bid`ah hasanah oleh Nabi, pingin tahu kenapa ?
tunggu penjelasannanya…..
admin
kita semua memang tidak sebanding dengan imam safi’i
dan kita bukan menyalahkan salah satu dari semua imam
akan tetapi kita boleh meninggalkan pendapat dari salah satu imam tersebut
jangankan kita bisa membandingi imam safi’i untuk membandingi bin bazz saja
saya kira tidak mungkin
apalagi kita sebagai orang indonesia
dari masa kemasa belum ada ulama’yang di akui dunia tentang ilmunya
anda kenapa tidak mau menjawab pertanyaan yang sangat sederhana
agar tidak bertele tele
kayaknya anda bingung juga kan?
saya ingin tanya satu lagi pertanyaan buat antum
bolehkah kiranya mengundangkan adzan dan iqomah untuk sholat terawe
kalau pertanyaan2 saya antum jawab yang ilmiyah kita teruskan diskusi ini
kalo tidak ma’a salamah
–> ketika mau di-cek.. belum2 anda mengatakan tidak berani menandingi imam syafi’i. Yaa sudah, berarti klaim anda yang menyalahkan imam syafi’i mentah semua. Nggak jadi.
saya tidak jadi ikut anda. Ikut imam syafi’i saja.
anywee.. pertanyaan yang mana mas.
Kl tentang adzan.. itu sdh ada tempatnya mas. Itu panggilan shalat wajib. Tidak ada dalil adzan untuk panggilan shalat sunnah. Silakan luruskan kl saya salah.
Sedankan dzikir (tahlil, tasbih, shalawat dsb) dianjurkan di mana pun kapan pun dan dalam keadaan apapun. Jadi tidak pass membandingkan sesuatu yg sdh ada ketentuannya dengan sesuatu yg dibebaskan.
buat admin
inilah sebagaian pendapat para imam mujtahid tentang bid’ah
tak satupun riwayat yang mengatakan bid’ah hasana
1. Bid‘ah Secara Etimologi (Bahasa)
Ibnu Manzhur berkata: “Bada‘asy syai-a, yabda‘uhu bad‘an wabtada‘ahu; artinya menciptakan sesuatu atau mengawali penciptaan sesuatu. Badda‘ar rakiyyah, artinya menggali sumur dan membuatnya. Al-Badii‘u dan al-bid‘u, artinya sesuatu yang menjadi awal permulaan.
Dalam al-Qur-an disebutkan:
قُلْ مَا كُنتُ بِدْعاً مِّنَ الرُّسُلِ
“Katakanlah: ‘Aku bukanlah Rasul yang pertama di antara Rasul-Rasul.’” (QS. Al-Ahqaaf: 9)
Maksudnya, aku (Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam) bukanlah Rasul pertama yang diutus; melainkan banyak Rasul-Rasul sebelumku yang telah diutus pula.
Terdapat ungkapan: ‘Fulaanun bid‘in fii hadzal ‘amri,’ yang artinya Fulan yang pertama kali melakukan perkara ini, tidak ada seorang pun yang mendahuluinya. Maka dari itu, kata abda‘a, ibtada‘a, maupun tabadda‘a bermakna melakukan perbuatan bid‘ah.
Pernyataan ini sesuai dengan firman Allah Ta’ala :
وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا
‘Dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah.’ (QS. Al-Hadiid: 27)
Ru’bah berkata dalam sya‘irnya:
andaikata engkau benar bertakwa dan taat kepada Allah
maka tidaklah benar engkau ada-adakan perbuatan bid‘ah
Lafazh badda‘ahu berarti menjatuhkan vonis bid‘ah atas seseorang. Adapun Abda’ta syai-a, kalimat ini berarti kamu membuat sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Al-Badii’ adalah salah satu asma (nama) Allah, yang bermakna Yang menciptakan dan mengadakan sesuatu dari ketiadaannya. Dialah pencipta pertama sebelum segala sesuatu ada. Boleh juga dimaknai dengan mubdi’ (yang mengadakan); atau, makna asal dari kata bad‘al khalqa artinya yang memulai penciptaan makhluk.
Allah Ta’ala adalah Al-Badii’ (Yang Maha Mencipta), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
بَدِيعُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
‘Allah pencipta langit dan bumi.’ (QS. Al-Baqarah: 117)
Yakni, yang menciptakan dan yang mengadakan keduanya dari ketiadaan. Dengan demikian, Allah adalah Yang Maha Mencipta lagi Maha Mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya.
Kata siqaa‘u badii‘un, artinya tempat air yang baru. Kalimat Abda‘atil ibilu berarti unta itu berlutut di tengah jalan karena lemah, sakit, atau letih. Abda‘at hiya, artinya dia (perempuan) letih dan lemah. Menurut satu pendapat, arti lafazh al-ibdaa’ adalah kelemahan yang disebabkan oleh kepincangan atau cacat.
Terdapat pernyataan: ‘Ubdi‘a ubdi‘a bihi wa abda‘a,’ yang artinya hewan tunggangan seseorang keletihan atau mogok (tidak dapat berjalan lagi), sehingga menyebabkan orang itu tidak bisa melanjutkan perjalanan karena punggung tunggangannya lelah atau tiba-tiba mendekam, yakni berhenti.
Dalam sebuah hadits disebutkan:
أَنَّ رَجُلاً أَتَى النَّبِيَّ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، إِنِّي أُبْدِعَ بِيْ فَاحْمِلْنِي
“Seorang laki-laki datang menemui Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan berkata: ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya hewan tungganganku mogok, maka tolong angkut aku.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya (III/1506, Kitab “al-Imaarah”, no. 1893)]
Maksudnya, perjalanan orang itu terputus karena hewan tunggangannya keletihan. Seolah-olah, ia menganggap mogoknya hewan tunggangan yang seharusnya terus berjalan itu sebagai sesuatu yang baru. Dengan kata lain, terjadinya sesuatu di luar dugaan atau ia mengalami sesuatu di luar kebiasaan.” [Lihat Lisaanul ‘Arab karya Ibnul Manzhur (VIII/6-8)].
Berdasarkan uraian di atas, jelaslah bahwa yang dimaksud dengan kata bada‘a adalah mengadakan sesuatu tanpa ada contoh sebelumnya, secara umum. Ibdaa‘ul ibil, yang berarti keletihan dan kelesuan unta, juga merupakan sesuatu yang baru mengingat kebiasaan unta adalah terus-menerus berjalan. Dengan demikian, kata bid‘ah adalah kata benda turunan dari kata al-ibtida’, seperti halnya kata rif‘ah yang merupakan kata benda turunan dari kata al-irtifa’, yaitu segala sesuatu yang diciptakan tanpa ada contoh sebelumnya. [Lihat al-Bid‘ah karya Dr. Izzat Athiyyah (hlm. 157)].
2. Bid‘ah Secara Terminologi (Syar’i)
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan bid‘ah menurut terminologi syar‘i (istilah syari‘at). Ada yang menjadikannya sebagai lawan dari sunnah; dan ada pula yang menjadikannya sebagai perkara umum, yang mencakup semua perkara yang diada-adakan setelah zaman Rasul, baik yang terpuji maupun yang tercela. Hal itu akan kami terangkan pada uraian berikut ini.
Pendapat pertama:
Segala sesuatu yang diada-adakan setelah zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah bid‘ah, baik yang terpuji maupun yang tercela.
Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi‘i, al-‘Izz bin ‘Abdis Salam, al-Qarafi, al-Ghazzali dalam kitab al-Ihyaa’, Ibnul Atsir dalam kitab an-Nihaayah fii Ghariibil Hadiits wal Aatsar, an-Nawawi dalam Syarh Shahiih Muslim. [Lihat Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi (VI/154-155)
Harmalah bin Yahya meriwayatkan bahwa ia mendengar Imam asy-Syafi‘i berkata: “Bid‘ah itu ada dua, bid‘ah yang terpuji dan bid‘ah yang tercela. Yang sesuai dengan sunnah Nabi itulah yang terpuji, sedangkan yang bertentangan dengan sunnah Nabi itulah yang tercela.” [Lihat Hilyatul Auliyaa’ karya Abu Nu‘aim (IX/113). Lihat juga Fat-hul Baari (XIII/253)]
Al-‘Izz bin ‘Abdis Salam berkata tentang definisi bid‘ah: “Bid‘ah adalah amalan yang tidak dikenal pada zaman Rasulullah.” [Lihat Qawaa-idul Ahkaam (II/172)].
Dalam hal ini mereka berpatokan pada perkataan yang diriwayatkan dari ‘Umar bin al-Khaththab , bahwa ia pernah berkomentar tentang shalat Tarawih: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).” [HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/250], Kitab “ash-Shalaatut Taraawiih”, no. 2010) dan Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (I/114), dengan redaksi: “Inilah bid‘ah yang terbaik!”]
Pendapat kedua:
Kata bid‘ah hanya digunakan untuk menyebut amalan-amalan yang bertentangan dengan sunnah Nabi.
Inilah pendapat asy-Syathibi [Lihat al-I’tisham (I/37)], Ibnu Hajar al-Asqalani [Lihat Fat-hul Baari (XIII/253)], Ibnu Hajar al-Haitami [Lihat al-Fataawa al-Haditsiyyah (hlm. 150-151)], Ibnu Rajab al-Hanbali [Lihat Jaami‘ul Uluum wal Hikam (hlm. 233-235)], Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah [Lihat catatan biografinya dalam kitab ad-Durarul Kaaminah (I/144-160), Dzail Thabaqaatul Hanabilah (II/378-408), Fawaatul Wafayaat (I/74-80), dan al-Bidaayah wan Nihaayah (XIV/117-121)}, dan az-Zarkasyi [Lihat al-Mantsur fiil Qawaa‘id (I/217)].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dalam kaidah sunnah dan bid‘ah telah kami tegaskan, bahwasanya bid‘ah dalam agama adalah amal ibadah yang tidak disyari‘atkan Allah dan Rasul-Nya. Bid‘ah adalah amal ibadah yang tidak diwajibkan dan tidak pula dianjurkan. Adapun amal ibadah yang diwajibkan atau dianjurkan, yakni yang berdasarkan dalil syar‘i, maka amal tersebut termasuk ajaran agama yang disyari‘atkan Allah, meskipun para ulama berbeda pendapat tentang sebagian hukumnya. Sama saja halnya, baik amal ibadah itu pernah dilaksanakan pada zaman Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam maupun belum. Amal apa pun yang dilaksanakan sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam atas dasar perintah beliau, misalnya memerangi kaum yang murtad dan kaum Khawarij, menyerang bangsa Persia, Turki, dan Romawi, mengeluarkan bangsa Yahudi dari Jazirah Arab, ataupun perbuatan lain yang semisalnya, maka semua itu termasuk sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.” [Lihat Majmuu’ Fataawa (IV/107-108)].
Al-Imam asy-Syathibi mendefinisikan bid‘ah sebagai berikut: “Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah untuk berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.”
Demikianlah menurut pendapat ulama yang tidak menggolongkan perkara adat (kebiasaan) ke dalam bid‘ah, yaitu mereka yang mengkhususkan bid‘ah hanya pada perkara-perkara ibadah.
Adapun menurut ulama yang menggolongkan perkara adat ke dalam bid‘ah, mereka berkata:
“Bid‘ah adalah suatu cara yang diada-adakan dalam agama, yang bentuknya menyerupai syari‘at, dan yang dimaksud dari penerapannya adalah sama dengan yang dimaksud dari penerapan syari‘at.” [Lihat al-I’tishaam (I/37)]
3. Beberapa Dalil Pendapat Kedua
a. Dalil dari as-Sunnah
Hadits riwayat Jabir bin ‘Abdillah ia berkata: “Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam berkhutbah, kedua matanya memerah, suaranya meninggi, dan kemarahannya memuncak, hingga seolah-olah beliau sedang memberikan peringatan kepada pasukan perang. Beliau bersabda: ‘Siap siagalah kalian setiap saat!’ Setelah itu, beliau bersabda: ‘(Antara) aku diutus dan (terjadinya) Kiamat adalah seperti kedua (tangan) ini,” seraya memberi isyarat dengan kedua jarinya, yaitu jari telunjuk dan jari tengah.’ Beliau meneruskan:أَمَّا بَعْدُ: فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الْهُدَى هُدَى مُحَمَّدٍ وَشَرَّ الْأُمُوْرِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ‘Amma ba’du, sesungguhnya perkataan yang terbaik adalah Kitabullah, petunjuk yang terbaik adalah petunjuk Muhammad, dan perkara yang terburuk adalah perkara baru (bid‘ah), dan setiap bid‘ah adalah sesat.’ [HR. Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim karya an-Nawawi VI/153-154, Kitab “al-Jumu‘ah”), an-Nasa-i dalam Sunan-nya (III/189, Kitab “ash-Shalaatul ‘Iedain”) dan Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/17, muqaddimah)].
Hadits riwayat al-Irbadh bin Sariyah, ia berkata: “Pada suatu hari, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam shalat mengimami kami. Setelah selesai, beliau menghadap ke arah kami dan menasihati kami dengan nasihat yang mendalam, hingga membuat air mata kami berlinang dan hati tergetar. Seorang hadirin berkata: ‘Wahai Rasulullah, sepertinya ini adalah nasihat perpisahan. Jika demikian, apa yang akan engkau wasiatkan kepada kami?’ Beliau menjawab:
أُوْصِيْكُمْ بِتَقْوَى اللهِ وَالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ وَإِنْ كَانَ عَبْدًا حَبَشِيًّا فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِيْ فَسَيَرَى اخْتِلَافًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِيْ وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ الْمَهْدِيِّيْنَ فَتَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوْا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
‘Aku berwasiat kepada kalian agar senantiasa bertakwa kepada Allah, selalu patuh dan taat (kepada yang memimpin kalian), meskipun ia seorang budak dari habasyah (berkulit hitam). Sebab, siapa saja dari kalian yang masih hidup sepeninggalku pasti akan melihat perselisihan yang begitu banyak. Maka dari itu, berpegang teguhlah kalian kepada sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku. Gigitlah sunnah tersebut dengan gigi geraham kalian (maksudnya, peganglah sunnah itu erat-erat), dan berhati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang diada-adakan. Karena setiap perkara yang diada-adakan adalah bid‘ah, dan setiap bid‘ah adalah sesat.’”[ HR. Ahmad dalam Musnad-nya (IV/126-127) dan Abu Dawud dalam Sunan-nya (‘Aunul Ma’buud XII/358-360, Kitab “al-Fitan”). Redaksi hadits tersebut adalah milik Abu Dawud. Hadits ini juga diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunan-nya (Tuhfatul Ahwadzi [VII/438-442]), dan Tirmidzi berkata: “Derajat hadits ini hasan shahih.” Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/15-16, muqaddimah)].
b. Dalil dari atsar
Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas: “Tidaklah datang satu masa kepada umat manusia, kecuali di dalamnya mereka berbuat bid‘ah dan mematikan sunnah Nabi, sehingga maraklah perbuatan bid‘ah dan matilah sunnah.” [Al-Haitsami berkata dalam kitabnya, Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah orang-orang yang dianggap tsiqah (tepercaya).” Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/188), Bab “al-Bida’ wal Ahwaa’”. Hadits ini juga diriwayatkan juga oleh Ibnu Wadhah dalam al-Bida’ (hlm. 39)].
Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud: “Ikutilah sunnah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena sesungguhnya sunnah Nabi itu telah cukup bagi kalian.”
Hadits dan atsar di atas menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang muncul di dalam syara’ (syari‘at Islam) itu tercela. [Al-Haitsami berkata dalam kitab Majmaa’uz Zawaa-id: “Hadits ini diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam al-Kabiir, dan para perawinya adalah para perawi kitab ash-Shahiih.” Lihat Majmaa’uz Zawaa-id (I/181), Bab “al-Iqtidaa’ bis Salaf”].
Pendapat yang kuat:
Kata bid‘ah itu hanya digunakan untuk menyebut perkara yang menyalahi sunnah Nabi. Dengan demikian, tidak ada bid‘ah yang terpuji atau baik. Wallaahu a’lam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah bahwa kaidah ini, yaitu kaidah menetapkan hukum bid‘ah atas sesuatu yang makruh, merupakan kaidah umum yang sangat agung. Kaidah ini merupakan jawaban sempurna atas pendapat yang bertentangan dengannya. Hal itu disebabkan ada sebagian orang yang berpendapat bahwa bid‘ah itu terbagi dua: bid‘ah hasanah (baik) dan bid‘ah qabiihah (buruk). Mereka beralasan dengan ucapan ‘Umar: ‘Bid‘ah yang terbaik adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah).’”
Namun, orang-orang yang tidak sependapat dengan pendapat ini (yakni bahwasanya semua bid‘ah adalah buruk) mengemukakan sanggahan: “Tidak semua bid‘ah itu sesat.”
Bantahan atas sanggahan tersebut adalah: “Sabda Rasulullah: ‘Sesungguhnya perkara yang paling buruk adalah perkara yang diada-adakan, dan seluruh bid‘ah (perkara yang diada-adakan) adalah sesat, dan setiap kesesatan itu akan menjerumuskan ke Neraka,’ juga peringatan beliau terhadap perkara yang diada-adakan, semua seruan itu merupakan penegasan Rasulullah. Jika demikian, tidak seorang pun boleh menolak apa yang ditunjukkan nash ini, yaitu celaan terhadap bid‘ah. Siapa saja yang membantahnya berarti ia termasuk salah seorang penentang as-Sunnah.”
Tidak seorang pun boleh menentang nash yang umum dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam itu, yaitu sabdanya: ‘Setiap bid‘ah itu sesat,’ dengan mementahkan pengertian umum nash tersebut, yaitu dengan mengatakan bahwa tidak setiap bid‘ah itu sesat. Sebab, perbuatan ini lebih tepat disebut penentangan terhadap Rasul daripada disebut takwil. [Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/582-588)].
Adapun shalat Tarawih, shalat ini bukanlah bid‘ah dalam syari’at (Islam), tetapi termasuk sunnah Nabi. Ketentuan ini berdasarkan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan pelaksanaan beliau atas shalat ini secara berjamaah. Mengerjakan shalat Tarawih secara berjamaah bukanlah bid‘ah, melainkan sunnah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melaksanakan shalat ini secara berjamaah pada tiga malam awal bulan Ramadhan. Namun pada malam keempat, beliau bersabda:
فَإِنَّهُ لَمْ يَخْفَ عَلَيَّ مَكَانُكُمْ وَلَكِنِّيْ خَشِيْتُ أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَتَعْجِزُوْا عَنْهَا
“Sesungguhnya keadaan kalian (yang melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah) tidaklah samar bagiku. Hanya saja, aku khawatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian, kemudian kalian tidak mampu mengerjakannya.” [HR. Al-Bukhari dalam Shahiih-nya (Fat-hul Baari [IV/251], Kitab “ash-Shalaatut Taraawih”, no. 2012) dan Muslim dalam Shahiih-nya (Syarh Shahiih Muslim [I/524], Kitab “ash-Shalaatul Musaafiriin”, no. 761 dan 178)].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menjelaskan alasan mengapa beliau tidak keluar (pada malam keempat itu), yaitu karena khawatir shalat Tarawih akan diwajibkan kepada umat Islam. Dengan demikian, diketahuilah alasan di balik tindakan beliau yang tidak keluar rumah untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah. Seandainya tidak ada kekhawatiran tersebut, niscaya beliau akan keluar untuk menunaikannya bersama mereka.
Pada masa kekhalifahan ‘Umar bin al-Khaththab, ia mengumpulkan kaum Muslimin (di masjid untuk menunaikan shalat Tarawih berjamaah) dengan diimami seorang imam. Ia pun menerangi masjid untuk mereka. Sehingga, keadaan ini—yakni berkumpulnya mereka di masjid dengan dipimpin seorang imam dan dengan menerangi masjid—merupakan perbuatan yang belum pernah mereka lakukan sebelumnya. Karena itulah, perbuatan tersebut dinamakan bid‘ah. Sebab dalam bahasa Arab, perbuatan itu (yakni amalan yang belum pernah dilakukan sebelumnya) memang dinamai demikian (bid‘ah). Namun, yang dimaksud darinya bukanlah bid‘ah dalam syari‘at. Pasalnya, sunnah Nabi menghendaki perbuatan itu termasuk bagian amal shalih, seandainya tidak ada kekhawatiran akan diwajibkannya shalat Tarawih kepada umat Islam.
Sekarang, kekhawatiran itu telah hilang karena Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah wafat, sehingga tidak akan ada wahyu yang turun untuk mewajibkannya. Karena kekhawatiran akan kewajiban amal tersebut sudah hilang, maka hilang pula hambatan untuk melaksanakan shalat Tarawih secara berjamaah. [Ketika itu, yang menjadi imam adalah Sahabat yang mulia Ubayy bin Ka’ab. Lihat al-Muwaththa’ (I/114)].
Mengenai perkataan ‘Umar: “Sebaik-baik bid‘ah adalah ini (maksudnya, shalat Tarawih berjamaah),” maka perlu diketahui sikap mayoritas orang yang berargumentasi dengan ucapan Sahabat seperti ini. Jika kita akan menetapkan suatu hukum syari‘at dengan perkataan ‘Umar —yang notabene merupakan perkataan Sahabat—yang tidak dipertentangkan, niscaya orang-orang itu akan berkata: “Perkataan Sahabat bukanlah hujjah (nash yang dapat dijadikan dalil)!” Jika demikian adanya, bagaimana mungkin mereka menjadikan ucapan Sahabat yang bertentangan dengan sabda Rasul di atas sebagai hujjah? Padahal, orang-orang yang meyakini bahwa perkataan Sahabat merupakan hujjah tidak meyakininya sebagai hujjah apabila bertentangan dengan hadits Nabi!
Dengan kata lain, penggunaan istilah bid‘ah untuk shalat Tarawih yang diucapkan oleh ‘Umar adalah dalam lingkup pengertiannya secara bahasa (etimologi), bukan dalam bingkai pengertian syar‘i (terminologi). Sebab, menurut pengertian bahasa, bid‘ah itu mencakup seluruh perbuatan yang dibuat pertama kali tanpa ada contoh sebelumnya.
Adapun bid‘ah menurut pengertian syar‘i adalah segala perbuatan yang tidak didukung oleh dalil syari‘at. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menyatakan bahwa sebuah amal itu mustahab (dianjurkan/disunnahkan) atau wajib dilakukan setelah beliau wafat, atau menyatakan hukum tersebut secara mutlak, lalu amal itu baru dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat, seperti pengamalan terhadap ketentuan nishab zakat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang dikeluarkan oleh Abu Bakar; jika perbuatan itu dilakukan setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam wafat, maka perbuatan ini dapat disebut bid‘ah menurut pengertian bahasa. Sebab, perbuatan itu merupakan perbuatan yang baru pertama kali dilakukan. Demikian pula halnya shalat Tarawih, mengumpulkan al-Qur-an dalam satu mushaf, dan pengusiran yang ‘Umar lakukan terhadap kaum Yahudi Khaibar dan Nashrani ke Najran serta penduduk kafir di berbagai tempat lainnya di jazirah Arab. [Lihat Iqtidhaa-ush Shiraath al-Mustaqiim karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (II/589-592)].
–> Mbok artikelnya dibaca toh mas… Anda pun rupanya copy paste tapi tak membacanya. Copas anda pun mengakui adanya bid’ah hasanah.
Ada dua pendapat tentang bid’ah, dengan definisi yg berbeda. Adanya bid’ah hasanah adalah karena sesuatu itu baru dan baik untuk dilakukan.
Sedangkan yg tidak mengakui bid’ah hasanah adalah karena bid’ah itu hanya untuk sesuatu (yg baru) yang menyalahi/melawan syariat. Sesuatu yg baru yg tidak menyalahi syariat adalah bukan bid’ah menurut definisi ini.
Kesalahan yg sering terjadi adalah men-sesat-kan hal-hal baru yg baik (bid’ah hasanah, definisi imam syafi’i, standar 1), dengan memakai standar 2. Alasannya tidak ada contoh (bid’ah standar 1). Padahal tidak ada contoh belum tentu melanggar syariat (sebagaimana dimaksud dalam standar 2). Itu kesalahan fatal.
Lihat artikel kami di Bid’ah dalam Diagram Venn (cari sendiri).
Maaf komentar saya di atas saya maksudkan untuk Saudara Hakim bukan Sukirno……( saya ingat ngeyelnya sama seperti Saudara Sukirno )
Lanjutan terhadap pemahamn hadits : alaikum bisunnati…dst
Point ke :
4. Kalau Anda menganggap dengan dalil itu bahwa kholafur rosidin telah mendapat rekomendasi dari Rosululloh SAW untuk membukukan Al-quran maka mengunakan dalil ini adalah kurang tepat karena pada saat itu Umar sebagai penggagas atau yang mempunyai ide pengumpulan Al-quran adalah bukan seorang kolifah ( pada saat itu ). Yang menjadi kholifah pada saat itu adalah Abu Bakar, makanya Umar berpandangan hanya kepada pengumpulan Al-quran adalah sesuatu yang baik dan inipun jelas dan terang benderang bahwa sesuatu yang baik menurut seorang muslim ( saya tekankan pada kata muslim ), maka baik pula menurut Alloh ( dalilnya sudah saya sebutkan dikomentar sebelumnya ).
Walaupun Abu Bakar dan Zaid mengatakan bagaimana kami melakukan sesuatu yang tidak dilakukan Rosululloh ( sama saja dengan bid`ah ), tetapi Umar, Abu Bakar dan Zaid menerima dengan lapang dada bahwa hal itu adalah memang baik.
Baiknya terletak pada kekhawatiran Umar atas banyak meninggalnya penghafal Al-quran maka dapat berakibat kepada BANYAK AYAT AL-QURAN AKAN MENGHILANG ( فَيَذْهَبَ قُرْآنٌ كَثِيرٌ ).
Itulah pendapat Umar yang menelatarbelakangi pembukuan Al-quran, bukan disebabkan seperti pendapat Anda bahwa itu adalah sarana untuk menghafal Al-quran ( ini adalah akibat setelah itu ).
Penilaian saya adalah berdasarkan hadits tentang pembukuan Al-quran yang ada dalam hadits shoheh Bukhori.
Komentar Anda :
kita sebagai tulab punya perbandingan mana yang lebih dekat dengan kebenaran itulah yang kita ambil
kalau kita lihat cara anda mengambil dalil walaupun dengan akal asal baik
itu juga menyelisihi semua ulama’
karna perkara yang baik belum tentu benar
Tanggapan saya :
Bagaimana Anda mengatakan penggunaan dalil asal baik menurut akal adalah menyelisihi semua ulama ?
Anda itu mau mengikuti pendapat Ibnu Mas`ud tidak ?
Pada saat Ibnu Mas`ud mengatakan dzikir berjamaah adalah bid`ah maka Anda pegang pendapat ini dengan gigi geraham Anda ( padahal atsar ini adalah DOIF, silakan Anda postingkan atsar Ibnu Mas`ud itu dengan redaksi arabnya lengkap, maka akan saya tunjukkan derajat perowinya dimana letak doifnya ).
ابن مسعود رضي الله عنه : ﴿ ما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن وما رآه المسلمون قبيحاً فهو عند الله قبيح
Ibnu Mas`ud mengatakan : Sesuatu yang dipandang baik menurut orang-orang muslim maka baik pula menurut Alloh.
Pendapat Ibnu Mas`ud mengatakan : Sesuatu yang dipandang baik MENURUT ORANG-ORANG MUSLIM maka baik pula menurut Alloh.
Jadi ukuran disini ADALAH AKAL ORANG-ORANG MUSLIM ( yang jelas orang2 muslim sejati, apalagi akalnya para mujtahid mutlaq ) bukan akal orang-orang kafir.
Seperti halnya akalnya sahabat Umar yang memandang baik terhadap pengumpulan Al-Quran dan diamini oleh Abu Bakar dan zaid bin tsabit, walaupun menurut akal tapi akalnya seorang muslim, semoga Anda paham….
Kemudian mengenai pembahasan Akal ( pada komentar sebelumnya sudah saya postingkan, silakan dibaca biar tidak salah tafsir ).
Komentar Anda :
kalau kita lihat cara anda mengambil dalil walaupun dengan akal asal baik
itu juga menyelisihi semua ulama’
karna perkara yang baik belum tentu benar
jawablah conto di bawah ini
benarkah saya masuk wc membaca do’a di bawa ini
inikan juga do’a
do’a masuk wc
الَّلهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
benarkah saya sebelum makan berdo’a ini
inikan juga do’akan ?
do’a sebelum makan
اللهم انى اعوذ بك من الخبث والخبا ئث
Tanggapan Saya :
Pengambilan hukum dengan akal itu diperkenankan asal akal yang mengikuti syareat bukan akal yang menjadi barometer ( akal yang bebas mutlak ) , akal hanya sekedar untuk mengkaji dan menelaah kandungan hukum yang ada dalam Al-quran maupun Al-hadits, jadi riangkasnya akal yang islami.
Berdasarkan dalil :
ابن مسعود رضي الله عنه : ﴿ ما رآه المسلمون حسناً فهو عند الله حسن وما رآه المسلمون قبيحاً فهو عند الله قبيح
Ibnu Mas`ud mengatakan : Sesuatu yang dipandang baik menurut orang-orang muslim maka baik pula menurut Alloh.
JADI BUKAN AKAL-AKALAN SEPERTI ANDA :
Ok, baik saya akan membahas akal-akalan Anda mengenai doa yang ditempatkan bukan pada tempatnya yang dicontohkan oleh Anda antara doa mau makan dan ke kamar mandi :
Doa mau makan digunakan untuk doa masuk wc, ini doanya :
الَّلهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِيمَا رَزَقْتَنَا، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ( Anda tidak mengartikan doa ini tapi saya lengkapi dengan artinya biar pembaca mudah memahaminya ).
Artinya : ” Ya Alloh, Berilah keberkahan atas apa yang Engkau riskikan kepada kami dan jauhkanlah kami dari siksa api neraka.
Doa ini diajarkan oleh Nabi ( koreksi kalao salah ) dalam kaitannya dengan makanan ( doa mau makan ) jadi pada kontek ini sesuai dengan situasinya adalah seperti itu.
Jadi kata ‘ APA YANG ENGKAU RIZKIKAN ” kaitannya dengan makanan, memang benar makanan adalah riski dari Alloh.
Sebagai seorang muslim maka meminta apa yang dirizkikan dan apa yang akan dimakan, dan yang akan masuk ke tubuh kita agar diberi keberkahan, adalah sesuatu yang disyareatkan.
Jadi doa itu pada pokok pembahasannya adalah di sana.
Sekarang kalau Anda menerapkan doa itu untuk ke wc, menurut saya adalah salah ( saya bukan seorang mufti – ini adalah menurut akal saya yang tidak akal-akalan, sebagaimana Andapun menggunakan akal untuk akal-akalan ).
Salahnya terletak pada :
1. Wc adalah tempat kotor dan tempat membuang kotoran
Bagaimana Anda membuang kotoran kemudian Anda minta keberkahan atas kotoran itu ? ( lihat terjemahan doa itu dan gunakan akal untuk menimbang ).
2. WC adalah tempat kotor dan tempat kotor adalah tempat yang disukai syetan/ tempat tinggalnya maka sudah selayaknya kita berdoa minta perlindungan kepada Alloh dengan ta`awudz ( makanya doa ke WC adalah doa ta`awudz ).
3. Di Wc Anda membuang kotoran kalau Anda berdoa dengan meminta keberkahan kepada Alloh atas kotoran , maka maaf makan saja kotoran itu, ………..tentu saja tidak ada orang yang mau melakukan itu kecuali orang2 tertentu.
lalu bagaimana kalau doa makan digunakan ditempat yang baik ( misalnya setelah sholat )——-> seharusnya Anda mengqiyaskan penggunaan doa yang setara, artinya yang baik dengan yang baik.
Menurut saya ( saya bukan mufti – tapi pendapat akal saya yang Insya Alloh tidak ngawur )
Jawabnya adalah Boleh alias tidak mengapa, karena secara lafdzi doa itu adalah doa untuk meminta keberkahan atas semua riski yang Alloh berikan, khususnya ditempatkan kalau mau makan.
Lihatlah artinya doa itu dan pahami dengan cermat.
Demikian juga dengan doa ke WC ( silakan dipikir sendiri ).
Tanggapan imam
Bagaimana Anda mengatakan penggunaan dalil asal baik menurut akal adalah menyelisihi semua ulama ?
jawab
manistahsana faqod syare’ah
barang siapa yg menganggap baik suatu perbuatan maka dia telah membikin syareat [imam syafi’i]
Anda itu mau mengikuti pendapat Ibnu Mas`ud tidak ?
pendapat ibnu mas’ud yang mana yang beliau berdalil dengan akal
asal baik
berilah contoh amalan ibnu mas’ud yg bersandarkan dalil akal
Untuk Saudara Hakim,
Komentar Anda :
alqur’an juga disebut alkitab dalam banyak ayat
ALKITAB sendiri merupakan jama’ /kumpulan
ini sebagai penguat bahwa pengumpulan alqur’an itu
sudah berdasarkan dalil dari alqur’an dan sunnah
Tanggpan saya :
Anda belajar bahasa Arab dimana mas ? bahasa Arabnya masih sedangkal itu ko menganggap salah Imam Syafi`i ….ngaji dulu saja tidak usah mengkritik orang, itu lebih bagus untuk Anda.
Al-kitab itu BUKAN BENTUK JAMA` MAS TAPI BENTUK MUFROD JAMAKNYA ADALAH KATA KUTUB, semakin lama Anda semakin ngawur…..
Al-kitab makna sebenarnya adalah tulisan tetapi kata ini juga mempunyai banyak makna atau arti seperti antara lain buku, risalah, surat ,takdir, halaman dan takdir.
Benar Al-kitab juga merujuk kepada Al-quran dan juga bisa merujuk kepada Injil , ini ada dalam Al-quran.
Al-kitab yang merujuk kepada Al-quran bukan berarti menunjukkan bahwa al-Quran` pada masa Rosululloh sudah dibukukan, karena pada masa beliau masih ditulis di kulit-kulit, di tembikar, masih terpencar-pencar bukan dalam satu mushaf dan sebagai dalilnya perkataan zaid yang melihat dan menjadi saksi pada saat itu ( dalilnya sudah saya sebutkan sebelumnya).
Dalil yang digunakan dalm pembukuan Al-quran adalah sesuai dengan pendapat Umar Bahwa perbuatan itu adalah baik ( Ini sudah jelas dan terang benderang ada dalam hadits dan tidak usah cari yang sulit-sulit malah akan nyasar ).
imam berkata
Anda belajar bahasa Arab dimana mas ? bahasa Arabnya masih sedangkal itu ko menganggap salah Imam Syafi`i ….ngaji dulu saja tidak usah mengkritik orang, itu lebih bagus untuk Anda.
Al-kitab itu BUKAN BENTUK JAMA` MAS TAPI BENTUK MUFROD JAMAKNYA ADALAH KATA KUTUB, semakin lama Anda semakin ngawur….
sanggahan saya
kalau KUTUUB namanya bukan QUR’AN saja syech imam
berarti ada INJIL ada TAUROT/TUMPUKAN KITAB itu baru KUTUUB
ALIF LAM MIM THELIKAL KITAB mengapa ALLAH katakan kitab kok ngak alqur’an atu ayat /surat ?karna alqur’an terdiri dari beberapa ayat dan surat dan keseluruan itulah disebut kitab
kalau KITAB bukan JAMA’maka
itunamanya kertas/lembaran/suhub atau apalah yg anda mau
karna beberapa kertas/lembaran terkumpul baru di namakan kitab
atau mungkin anda punya qowaid tersendiri
dan memang saya yg ngawur
jadi kalau kitab bukan jama’ maka dari dulu sewaktu nabi masih hidup kitab qur’an sudah ada.karna sudah tertulis dilembaran lembaran
kalau anda bisa menerangkan lagi lebih rinci itu juga lebih baik
apakah sewaktu nabi memerintahkan menulis alqur’an itu hanya perayat /perhurup/persurat lalu harus pindah lembaran berikutnya
kalau jawaban tidak
inikan menunjukan sebagai pengumpulan dari beberapa hurup/ayat /surat berkelanjutan sehingga terkumpulnya alqur’an lalu mana yg bid’ah
dan alqur’an pada zaman nabi mustahil bisa terkumpul karna wahyu turun tidak sekali gus melainkan berangsur angsur
bahkan ketika sahabat menanyakan tentang zulkarnain nabi mengatakan besuk aku jawab nabi masih menunggu wahyu
dan ternyata Allah menahanya sampai 1 bulan
wellahu a’lam
dan pertanyaan saya anda belum jawab tentang do’a
aku tunggu jawabanya nanti saya lanjutkan
soal pelecehan ulama’ itu prasangkah anda
Untuk Suadara Hakim,
Inilah kengawuran Anda mengenai lafadz Al-kitab adalah jama` padahal dia adalah mufrod ( kata tunggal ), kalau Anda merasa benar ya silakan mas….
Komentar Anda :
kalau KITAB bukan JAMA’maka
itunamanya kertas/lembaran/suhub atau apalah yg anda mau
Tanggapan saya :
Memang benar pada masa Rosulullloh, Al-quran masih bentuk lembaran-lembaran dan banyak ditulis di kulit artinya masih lembaran-lembaran atau al-kitab atau shohifah (lembaran).
Dan juga pendapat sahabat Zaid bi tsabit juga mengatakan demikian, kenapa malah Anda melawan pendapat sahabat yang jelas-jelas mengatakan itu, ini dalil terang benderang mas seperti kasyamsi / matahari.
Saya berpatokan pada dalil perkataan sahabat sedangkan Anda berpatokan akal Anda yang ngawur lagi….
Semakin Anda berkomentar maka semakin Anda jauh dari kebenaran, yang menilai itu orang lain mas atau pembaca bukan Anda.
DAN YANG PENTING LAGI SILAKAN ANDA TANGGAPI PERNYAATAAN SAYA YANG SUDAH MENANGGAPI PERNYATAAN ANDA YANG HAMPIR SEMUANYA JANGAN SEPOTONG-POTONG.
KOMENTAR ANDA AKAN SAYA JAWAB SEMUANYA TIDAK USAH KHAWATIR SILAKAN DITIMBANG-TIMBANG SEMOGA ANDA SADAR.
Kemudian mengenai pelecehan ulama :
Komentar Anda :
soal pelecehan ulama’ itu prasangkah anda
Tanggapan saya :
Ini Buktinya ( saya tidak sembarang ngomong mas ) :
yang mengatakan bid’ah hasanah imam safi’i kata anda
yng mengatakan kulluu bid’ah sesat RASULULLAH
anda mau yang mana
kata IMAM SAFI’I
apa RASULULLAH
KALO SEORANG MUSLIM SEHAT JASMANI dan ROHANINYA pasti milih
KATA RASULULLAH bukan kata ulama’ atau kiyai. (lihat huruf besar !!!).
Anda mengatakan kalo muslim sehat jasmani dan rohani artinya kalo muslim yang tidak sehat jasmani dan rohani artinya seorang muslim yang gila dan cacat itu akan mengikuti ulama dan kyai bukan Rosululloh.
Artinya Imam Syafi`ipun mengikuti syeh-syehnya (gurunya), gurunya juga ulama maka artinya pula Imam Syafi`i gila dan cacat.
Kalau Anda seorang tokoh sudah pasti Anda akan dituntut di pengadilan atas ucapan Anda tapi sayang Anda bukan seorang tokoh….jadi buat apa buang2 waktu di pengadilan.
pada masa abu bakarpun sampai umar bin khotob alqur’an juga
belum berbentuk mushab
sampai keduanya wafat alqur’an disimpan habsha masih berbentuk aslinya
jadi anda pun ngak benar kalau qur’an itu dibukukan dimasa abu bakar dan umar
setelah khalifa usmanlah baru dibukukan alqur’an sampai sekarang ini dan usman merupakan khulafairasyidiin
zaid atas perintah khulafarsyidiin jadi jelas ngak ada yang bid’ah dalam penulisan alqur;an
karna di lakukan dimasa rasulullah hingga dimasa sahabat
semuanya berdasarkan dalil
bukan seperti orang adzan dikuburan untuk mayit
ini sama sekali ngak pakai dalil aqli maupun naqli
kalau anda mengangap itu bid’ah hasana datangkan dalil cukup
karna abu bakar umar zaid juga tidak pernah mengatakan ini bid’ah hasana
karna anda selalu ingin membahas secara ilmiyah
maka kita bisa buktikan
kalo semua perbuatan sahabat itu hanya maslahah untuk ummat
adapun perkataan anda karna takut hilangnya alqur’an itu ngak ada dalilnya
AKU TURUNKAN ALQUR’AN DAN AKU YANG MENJAGANYA
buktinya alqur’an itu dari masa rasulullah hingga sekarang masih tersimpan didada kaum muslimin/huffadh
al kitab maknanya addhobu wejjamru yaitu artiya mengumpulkan
Untuk Saudara Hakim,
Pertama Anda mengatakan bahwa Alkitab adalah jamak kemudian saya bantah bahwa Al-kitab bukanlah bentuk jamak tapi Anda malah menyalahkan saya.
Baik saya buktikan kesalahan Anda dengan membuka kitab Lisan Al-Arobi, disana sebutkan bahwa :
الكِتابُ: معروف، والجمع كُتُبٌ وكُتْبٌ
Al-kitab maknanya ma`ruf ( sudah dikenal ) dan JAMAKNYA ADALAH LAFADZ ” KUTUBUN ” DAN ” KUTBUN ” ( selesai ….)
Kata Itu diambil dari fiil : kataba ( كتب ) dan yaktubu ( يكتب ) artinya menulis dan masdarnya : كَتْباً وكِتاباً وكِتابةً ( katban, kitaaban dan kitaabatan ) artinya tulisan.
Kemudian Dari segi penggunaan makna itu maka begeser dari makna aslinya yaitu :
kata Al-Azhariy : الكِتابُ اسم لما كُتب مَجْمُوعاً ( Al-kitaab adalah Isim / sebutan untuk sesuatu yang ditulis dengan cara dikumpulkan ).
Jadi definisi ini al-kitab artinya buku atau kitab.
والكِتابُ، مُطْلَقٌ: التوراةُ؛ وبه فسر الزجاج قولَه تعالى: نَبَذَ فَريقٌ من الذين أُوتُوا الكِتابَ.
وقوله كتابَ اللّه؛ جائز أَن يكون القرآنَ، وأَن يكون التوراةَ، لأَنَّ الذين كفروا بالنبي، صلى اللّه عليه وسلم، قد نَبَذُوا التوراةَ.
Imam Az-Zajjaj menafsirkan kata Al-kitab secara mutlak bermakna At-taurot, seperti friman Alloh : نَبَذَ فَريقٌ من الذين أُوتُوا الكِتابَ .
Perkataan beliau mengenai kitabulloh adalah boleh digunakan untuk Al-quran dan boleh juga At-taurot, kaena orang-orang kafir mengkufuri terhadap Nabi SAW karena mereka telah jelas membuang kitab At-taurot.
Menurut Al-Lihyaniy :
والكِتابُ الصحيفة والدَّواةُ، عن اللحياني. قال: وقد قرئ ولم تَجدوا كِتاباً وكُتَّاباً وكاتِـباً؛ فالكِتابُ ما يُكْتَبُ فيه؛
Al-kitab artinya sohifah Atau lembaran dan tempat tinta dan juga bermakna sesuatu yang ditulis di atasnya.
والكِتابُ الفَرْضُ والـحُكْمُ والقَدَرُ؛ قال الجعدي
Berkata Al-Ja`diy : Al-kitab artinya : Kewajiban, hukum dan qodar.
والكِتابُ يُوضَع موضع الفَرْض. قال اللّه تعالى: كُتِبَ عليكم القِصاصُ في القَتْلى.
وقال عز وجل: كُتِبَ عليكم الصيامُ؛ معناه: فُرِضَ
Al-kitab adalah lafadz yang digunakan untuk menggantikan kata fardu atau wajib, seperti Firman Alloh : كُتِبَ عليكم القِصاصُ atau كُتِبَ عليكم الصيامُ ( kutiba alaikum As-siyaamu / diwajibkan atas kalian ibadah puasa ), al-kitab maknanya diwajibkan.
Dll.
Dalam kotek ini pada masa pengumpulan Al-quran, jelas pada masa itu masih lembaran-lembaran ditulis tidak terkumpul, makanya sahabat perlu mengumpulkannya.
Sebagai bukti perkataan Zaid bi tsabit dan beliau adalah sahabat dan penulis wahyu pada zaman Nabi dan beliau sebagai saksinya dengan mengatakan :
حديث زيد بن ثابت رضي الله عنهُ أنهُ قال: (( قبض النبي صلى الله عليه وآله وسلم ولم يكن القرآن جُمع في شيء
Atsar Zaed bin tsabit ra berkata : Setelah wafatnya Nabi SAW, TIDAKLAH AL-QURAN DIKUMPULKAN PADA SESUATUPUN.
Ditambah pula pendapat Umar dan Abu Bakar.
Cukuplah bagi saya berpegang kepada ketiga pendapat mereka.
BERSAMBUNG……
saya tidak menyalahkan anda
al kitab maknanya addhobu wejjamru yaitu artiya mengumpulkan
dari perintah untuk penulisan sendiri ini sudah ada indikasi sebagai isayarat pengumpulan alqur’an
apakah sewaktu nabi memerintahkan menulis alqur’an itu hanya perayat /perhurup/persurat lalu harus pindah lembaran berikutnya
kalau jawaban tidak
inikan menunjukan sebagai pengumpulan dari beberapa hurup/ayat /surat berkelanjutan sehingga terkumpulnya alqur’an lalu mana yg bid’ah
dan alqur’an pada zaman nabi mustahil bisa terkumpul karna wahyu turun tidak sekali gus melainkan berangsur angsur
bahkan ketika sahabat menanyakan tentang zulkarnain nabi mengatakan besuk aku jawab nabi masih menunggu wahyu
dan ternyata Allah menahanya sampai 1 bulan
wellahu a’lam
Sekarang untuk lebih jelaskan Akan saya artikan atsar yang saya ambil dari kitab soheh Bukhori tentang pengumpulan Al-quran dan semuanya membantah argumen Anda yang hanya berdasarkan akal saja.
Artinya :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaidullah Abu Tsabit, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin sa’d dari Ibnu Syihab dari Ubaid bin Sibaq dari Zaid bin tsabit mengatakan, Abu bakar mengutus seseorang menemuiku karena banyaknya korban yang gugur pada perang Yamamah, ketika itu Abu bakar bersama Umar. Abu Bakar berkata; ‘Umar mendatangiku dan mengatakan; ‘Korban perang telah meluas pada perang yamamah hingga merenggut qurra` (penghafal) alquran, dan saya khawatir jangan-jangan dengan meninggalnya qurra` alquran di banyak tempat, mengakibatkan sekian banyak ayat quran akan menghilang, dan saya berpendapat jika engkau perintahkan untuk mengumpulkan alquran.’ Maka Saya menjawab; ‘bagaimana aku lakukan sesuatu yang belum pernah Rasulullah lakukan? ‘ Umar kontan mengemukakan pendapatnya; ‘Demi Allah, ini adalah suatu kebaikan, ‘ Umar tiada henti-hentinya mendorongku untuk melakukan pekerjaan ini, hingga Allah melapangkan dadaku untuk melakukan pekerjaan yang dada Umar telah lebih dahulu dilapangkan terhadapnya, dan aku sependapat dengan pendapat Umar.’ Zaid mengatakan, Abu Bakar berkata; ‘Sungguh engkau adalah laki-laki yang masih muda, cerdas, dan kami sama sekali tidak menyangsikan kemampuanmu, sebab engkau sudah terbiasa menulis wahyu untuk Rasulullah. Maka susurilah alquran (yang masih terpencar-pencar) dan kumpulkanlah.’ Maka Zaid menjawab; “Demi Allah, sekiranya Abu bakar menugasiku untuk memindahkan sebuah gunung, itu tidak lebih berat bagiku daripada menugasiku untuk menghimpun alquran. Maka aku berkata; ‘Bagaimana mungkin anda berdua melakukan sesuatu yang tidak pernah di lakukan Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam? ‘ Abu Bakar menjawab; ‘demi Alllah, pekerjaan ini adalah kebaikan.’ Tiada henti-hentinya Abu Bakar memotivasi pertimbanganku hingga Allah melapangkan dadaku untuk melakukan suatu hal yang Allah telah melapangkan dada Abu Bakar dan Umar untuk melakukannya. Dan aku sependapat dengan keduanya, maka kutelusuri alquran yang terpencar-pencar dan kuhimpun dari pelepah, kulit, tembikar, tulang dan dada para penghapal, dan kutemukan di akhir surat at taubah ayat yang berbunyi; ‘Telah datang kepada kalian seorang rasul dari jenis kamu sendiri,,,, hingga akhir ayat (QS. Attaubah 128) pada Khuzaimah atau Abu Khuzaemah, sehingga aku masukkan dalam suratnya. Kemudian shuhuf (manuskrip pencatatan asli alquran) ini berada di Abu Bakar ketika hidupnya sampai Allah mewafatkannya, kemudian keberadaan shuhuf ini pada Umar ‘azza wajalla semasa hidupnya sampai Allah mewafatkannya, kemudian pada Hafshah binti Umar.’ Muhammad bin Ubaidullah mengatakan; maksud al likhaf ialah tembikar (tanah liat yang dibakar).
Semoga Anda diberi hidayah……
Berkata Syeh Muhammad bin As-sayyid Alawwiy al-malikiy dalam kitab Minhaj As-Salaf :
قال الشيخ السيد محمد بن السيد علوي المالكي في منهج السلف : وقد قبل الناس ما جد بعد عهد الخلفاء الراشدين وعصر الصحابة من تشكيل آيات القرآن ونقط حروفه وتنظيم الأجزاء والأرباع والسجدات ، ووضع العلامات على كل عشر آيات ، وعد سور القرآن ، وترقيم آياته ، وبيان المكي والمدني في رأس كل سورة ، ووضع العلامات التي تبين الوقف الجائز وممنوع ، وبعض أحكام التجويد كالإدغام والتنوين ونحوها من سائر الاصطلاحات التي وضعت في المصاحف ، وكذلك قبل الناس تدوين علوم اللغة وأصول الفقه وأصول الدين ، وسائر العلوم الخادمة للشريعة .
فكل هذه الأمور وقعت بعد عهده r
ولم يجعلها أحد من محدثات وبدع الضلالة ، ولم يقل أحد إن حديث ” كل بدعة ضلالة ” يشملها بل عدوا ذلك من المستحسنات
” Apa yang ada di hadapan Manusia yaitu SESUATU YANG BARU dari masa sesudah Khulafur Rosidin dan masa sahabat yaitu bentuk ayat-ayat al-quran, titik pada huruf-hurufnya, pengaturan juznya, alamat rubu`, alamat ayat sajadah, dan alamat setiap sepuluh ayat, dan jumlah surat Al-Quran, dan penomoran ayat-ayatnya, dan penjelasan Al-Makiyah dan Almadaniyah pada kepala setiap surat, dan peletakkan alamat waqof jaiz dan mamnu`, dan sebagian hukum tajwid seperti idhom,tanwin, dan semua istilah-istilah dalam mushaf, DEMIKIAN JUGA pembukuan ilmu bahasa, Ilmu ushol fiqh, dan ushul ad-din, dan segala Ilmu yang mendukung syareat dan semuanya itu terjadi atau ada pada masa setelah Rosululloh tetapi TIDAK ADA SEORANGPUN MENGANGGAP ITU SEMUA ADALAH HAL YANG BARU ( MUHDATSAAT DAN BID`AH DOLALAH ALIAS SESAT, DAN TIDAK ADA SEORANGPUN MENGATAKAN HADITS : KULLU BID`ATIN DOLALAH / SEMUA BID`AH ADALAH SESAT ” YANG MELIPUTI PERKARA ITU SEMUA DI ATAS tapi malahan mereka MENGANGGAP ITU SEMUA ADALAH BAIK.
Kenapa ?
Jawabnya kata beliau :
لأنها لا تصادم نصاً ولا شيئاً من أسس التشريع
KARENA SEMUA HAL YANG DISEBUTKAN DI ATAS TIDAK BERLAWANAN DENGAN NASH AL-QURAN DAN HADITS DAN JUGA BUKANLAH SESUATU YANG BURUK MENURUT AZAZ SYAREAT.
[…] Syarah Hadits “Kullu bid’atin dlalalah” […]
Sanggahan- sanggahan Saya terhadap postingan Anda tanggal Agustus 7, 2012 pada 12:29
Inilah kalimat permulaan Anda dan akan saya buktikan bahwa kesimpulan Anda adalah salah.
buat admin
inilah sebagaian pendapat para imam mujtahid tentang bid’ah
tak satupun riwayat yang mengatakan bid’ah hasana.
Sub : Sanggahan-sanggahan Terhadap dalil penolakan adanya bid`ah hasanah
POSTINGAN ANDA ( yang diambil kelihatannya dari google ) sbb :
b. Dalil dari atsar ( yang diambil dari perkataan Ibnu Mas`ud ).
Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas: “Tidaklah datang satu masa kepada umat manusia, kecuali di dalamnya mereka berbuat bid‘ah dan mematikan sunnah Nabi, sehingga maraklah perbuatan bid‘ah dan matilah sunnah.”
Dan
Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud: “Ikutilah sunnah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena sesungguhnya sunnah Nabi itu telah cukup bagi kalian.”
Sanggahan untuk Atsar Ini :
Riwayat yang dikeluarkan oleh Imam Bukhori, Imam Tirmidzi, Imam Thobroni dalam kitab Al-Kabir dan Al-haetsamiy dalam kitab Mujma` Az-zawaid disebutkan bahwa :
أَبَا الطُّفَيْلِ قَالَ قَدِمَ مُعَاوِيَةُ وَابْنُ عَبَّاسٍ فَطَافَ ابْنُ عَبَّاسٍ فَاسْتَلَمَ الْأَرْكَانَ كُلَّهَا فَقَالَ لَهُ مُعَاوِيَةُ إِنَّمَا اسْتَلَمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرُّكْنَيْنِ الْيَمَانِيَّيْنِ قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ لَيْسَ مِنْ أَرْكَانِهِ شَيْءٌ مَهْجُورٌ
” Abu Thufail berkata; Mu’awiyah dan Ibnu Abbas datang. Lalu Ibnu Abbas melakukan thawaf, lalu mengusap semua rukun ka’bah. Lalu Mu’awiyah berkata kepadanya, “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam hanya mengusap dua rukun yamani”, Ibnu Abbas berkata; tidak ada satu pun rukun yang ditinggalkan (tidak diusap).”
Pemahaman Atsar tersebut :
1. Perkataan Mu`awiyah ( bahasa lainnya : kritik muawiyah ) terhadap perbuatan Ibnu Abbas yang tidak mengikuti atau tidak meniru perbuatan Nabi, yang Nabi hanya mengusap dua rukun ( pojok ) yamani bukan semua rukun ka`bah, menandakan bahwa Perbuatan Ibnu Abas adalah BId`ah tapi bid`ah hasanah karena pebuatan itu tidak ada pada zaman Nabi.
2. Telah tsabit dari Rosulillah dari riwayat Bukhori dan Muslim dan selain keduanya bahwa Rosululloh SAW hanya mengusap dua rukun yamaniy dan tidak mengusap selain keduanya. Maka disini jelas bahwa Perbuatan Ibnu Abbas adalah bid`ah tapi hasanah.
3. Dalam menanggapi kritik dari Muawiyah, Ibnu Abbas hanya mengatakan :
لَيْسَ مِنْ أَرْكَانِهِ شَيْءٌ مَهْجُورٌ
” Ibnu Abbas berkata; tidak ada satu pun rukun yang ditinggalkan (tidak diusap).”
Jadi dengan akal beliau yakni akal Islami, beliau cukup menjawab seperti itu atau bisa dimaknai walaupun Nabi memberi contoh hanya mengusap dua rukun ka`bah tetapi beliau mengusap keempat rukun ka`bah karena ka`bah adalah mulya atau dimulyakan.
Ini jelas beliau melakukan bid`ah syareat ( tapi hasanah ) bukan bid`ah lugowi atau bahasa karena beliau menambahi mengusap rukun ka`bah dari dua dari contoh Nabi menjadi empat.
Dan jelas pula bahwa yang dimaksud dalam pernyataan beliau yang ada dipostingan Anda adalah bid`ah sayyiah bukan bid`ah hasanah.
Ini pernyatan beliau :
Perkataan ‘Abdullah bin ‘Abbas: “Tidaklah datang satu masa kepada umat manusia, kecuali di dalamnya mereka berbuat bid‘ah dan mematikan sunnah Nabi, sehingga maraklah perbuatan bid‘ah dan matilah sunnah.”
Berdasarkan perbuatan beliau dalam hal menambahi dalam mengusap rukun ka`bah maka dapat diambil kesimpulan bahwa PERNYATAAN DI ATAS YANG DIMAKSUD BELIAU adalah BID`AH SAYYIAH yang mematikan atau menggantikan sunah.
yang mengatakan bid’ah sayyiah itu siapa?ibnu mas’ud tidak mengatakan demikian
ulama’sepakat, ijma’sahabat yang menjadi dalil kalau tidak ijma’ itu bukan dalil siapapun dia sahabat mau ibnu mas’ud abu hurairah dll yang menjadi dalil ijma’faham anda
Komentar Anda :
yang mengatakan bid’ah sayyiah itu siapa?ibnu mas’ud tidak mengatakan demikian
Tanggapan saya :
Bagaimana Anda mengatakan sudah mempelajari apa yang sudah saya parparkan, sedangkan Anda keliru dalam komentar di atas itu, ini sebagai bukti bahwa Anda hanya sekedar membalas tanpa memahami komentar orang lain.
Mas Hakim , saya belum membahas pendapat Ibnu Mas`ud, saya baru membahas pendapat Ibnu Abbas.
Pendapat Ibnu Mas`udpun akan saya bahas setelah itu. ( dan Anda silakan bahas komentar saya secara menyeluruh jangan hanya mencuplik saja ya….).
Komentar Anda :
ulama’sepakat, ijma’sahabat yang menjadi dalil kalau tidak ijma’ itu bukan dalil siapapun dia sahabat mau ibnu mas’ud abu hurairah dll yang menjadi dalil ijma’faham anda
Tanggapan Saya :
Ulama yang mana mas ? coba dalam kitab mana disebutkan hanya ijma sahabat saja yang bisa sebagai dalil ? Kirim redaksi arabnya tidak usah diterjemahkan sebab takut dipelintir….biar saya terjemahkan ok…??
Lah wong Anda sendiri yang mengetengahkan pendapat / fatwa Ibnu Mas`ud ko………. artinyakan Anda menganut dalil beliau, aneh Anda ini….hanya pemahaman Nafsu belaka….
saya sudah pelajari semua apa yang anda paparkan tapi anda yng ngengkel kalo itu semua bid’ah hasana
padahal tidak ada nas yng mengatakan kalo itu bid’ah
semua itu hanyalahMASLAHAH MURSALAH untuk memudahkan
lalu bandingkan sama bid’ah ADZAN DALAM KUBURAN,TAHILILAN DALAM KEMATIAN, JAUH BUKAN?
Bid`ah hasanah belum saya jelaskan dan contohkan secara keseluruhan dari ulama salaf. ( Jadi sabar saja )
Kalau Anda mengatakan Azan di kuburan dan tahlilan salah, terus salahnya dimana ?
Dalil yang sudah menjadi Ijma para ulama ada empat ( ada diartikel silakan Anda baca ) sedangkan maslahah mursalah bukanlah termasuk ijma.
walaupun kamu tulis dalil apapun itu ngak akan anda dapat hujjah bahwa adanya BID’AH hasana
imam safi’i sendiri mengatakan
BARANG SIAPA MENGANGGAP BAIK SUATU AMALAN,DIA TELAH MEMBIKIN SYAREAT
dan juga imam MALIK mengatakan perkataan yg sama
jangankan kita ,ulama’,sahabat bahkan nabipun tidak bikiin syareat sendiri
semuanya melalui wahyu
kadang kala pendapat umar lebih di pilih dari pada pendapat nabi,itulah ketentuanALLAH tapi sekarang wahyu sudah terputus maka ikuti apa yng di sunnah kan oleh rasulullah
AMIN SEMOGA HIDAYAH SELALU MENYERTAIKU
dan andapun aku do’akan semoga menyusul mendapat HIDAYAH
sifat manusiawi itu semua dimiliki oleh setiap manusia tidak terkecuali
dan buktinya walaupun terkumpul semua alqur’an dalam bentuk aslinya bukan bentuk mushab seperti dugaan anda
itu hanya disimpan oleh abu bakar,lalu umar,dan hafsho
dan huffad tidak pernah habis hingga sekarang
dimasa usmanlah baru semua di revisi sampai dari penyatuan bacaan
karna banyaknya perselisihan dikalangan kaum muslimin
dan tidak ada yng mengatakan ini bid’ah hasanah ini merupakan MASLAHAH MURSALAH
kalau anda tetap mengatakan ini semua bid’ah hasanah MONGGO
dan datangkan dalil
Pembahasan Atsar Ibnu Mas`ud yang sudah Anda postingkan :
Tambahan bacaan oleh Ibnu Mas`ud pada bacaaan tasyahud akhir dalam sholat, padahal Rosululloh Bersabda : Sholluu kama roaetumuunii usholli ( Sholatlah kalian sebagaimana kalian melihatku sholat ).
Imam Thobroni meriwayatkannya dalam kitab Mu`jam Alkabir dan rijalnya shoheh seperti juga yang terdapat dalam kitab mu`jam Az-Zawaid bahwa Abdulloh bin Mas`ud menambahi bacaan dari bacaan Rosululloh pada tasyahud akhir setelah bacaan ” warohmatullohi wabarokaatuh ” dengan bacaan ” As-salaamu alaina min robbinaa ” .
Lalu bagaimana hukum golongan ahli sunah yang hanya menambahi kata ” sayyidina Muhammad ” ?
Di lain sisi Ibnu Mas`ud memerintahkan ITTIBA` dan melarang IBTIDA` namun beliau sendiri secara qaul dan perbuatan beliau menambahi bacaan itu padahal tidak ada turun wahyu kepadanya dan juga tidak ada riwayat seperti itu dari Rosululloh SAW.
Perkataan Ibnu Mas`ud sebagai berikut :
Perkataan ‘Abdullah bin Mas’ud: “Ikutilah sunnah Nabi dan janganlah kalian berbuat bid‘ah, karena sesungguhnya sunnah Nabi itu telah cukup bagi kalian.”
Apakah kita tega atau diperkenankan menyalahkan mereka sedangkan mereka ( Ibnu Abbas dan Ibnu Mas`ud ) lebih tahu dari hadits dari pada kita dan juga mereka golongan salaf ?
Apakah kita tega mengatakan kepada mereka adalah ahli bid`ah dan siap-siap dipanggang di api neraka ? A`udzubillah min hadza qaul …..
Sebenarnya kita dapat mengambil kesimpulan bahwa fatwa / ucapan mereka yang ” berbeda ” atau “kelihatannya bertentangan ” dapat diambil jalan tengah yaitu menggabungkan antara ucapan beliau dan perbuatan beliau agar kita tidak membuang salah satu atsar tersebut, inilah jalan tengah yang ditempuh oleh para ahli hadits.
Caranya dengan menyimpulkan – misalnya pada konteks Ibnu Mas`ud :
المراد من قوال أبن مسعود (أتبعوا) أي اتبعوا ما جاء به الشارع أو كل ما له أصل في الشرع. ( ولا تبدعوا) أي كل شيء يخالف الشرع أو ليس له أصل في الشرع .
Yang dimaksud perkataan Ibnu Mas`ud dengan perkataan ” ITTABI`UU ATAU ITTIBA` ‘ adalah mengikuti syareat yang sudah ada atau mengikuti sesuatu yang mempunyai hukum asal dalam syareat dan perkataan “janganlah kalian membuat bid`ah ” maksudnya membuat bid`ah yang bertentangan dengan syareat atau bid`ah yang tidak mempunyai asal syareat.
Disamping itu perbuatan lebih kuat sebagai dalil dari pada perkataan atau dalil perbuatan harus didahulukan dari pada dalil perkataan demikian kaidah ilmu hadits.
Masih ada contoh-contoh lainnya …….Isya Alloh akan saya postingkan, semoga pembaca sabar……Terimakasih.
Sebagai Tambahan :
Atsar dari Abdulloh bin Umar
Dalam kitab shoheh Bukhori dan Muslim, Imam As-sunah wal jama`ah Abdulloh bin Umar menambahi ” bismillah ” pada permulaan bacaan tasyahhud dan menambahi bacaan talbiahnya Rosulloh dengan mengucapkan :
لَبَّيْكَ لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ وَالْخَيْرُ بِيَدَيْكَ لَبَّيْكَ وَالرَّغْبَاءُ إِلَيْكَ وَالْعَمَلُ
“LABBAIKA LABBAIKA WA SA’DAIKA WAL KHAIRU BIYADIKA LABBAIKA WARRAGHBAA`U ILAIKA WAL’AMAL
(Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah untuk mencari ridla-Mu. Kebaikan ada dalam kekuasaan-Mu. Aku penuhi panggilan-Mu, ya Allah, sebagai amal ibadah untuk mencari ridla-Mu).”
Demikianlah Ibnu Abbas, Ibnu Mas`ud dan Ibnu Umar , mereka sangat kuat berpegang dengan sunah dan mereka pula menambahi sesuatu yang baru yang tidak ada diajarkan oleh Rosululloh / tidak ada nashnya inilah yang disebut bid`ah tapi hasanah karena mempunyai asal syareat .
Imam Syafi`i mengatakan :
ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا وهذه محدثة غير مذمومة
“Sesuatu yang baru dari kebaikan yang tidak berlawanan dengan salah satunya ( Al-Quran, As-Sunah, atsar dan Ijma ) maka ini disebut MUHDATSAT ( BID`AH) YANG TIDAK TERCELA. ( alias bid`ah hasanah ). “
Perkataan bid`ah yang dikatakan oleh ulama salaf bukanlah secara mutlak merujuk kepada bid`ah dolalah / bid`ah sesat, terkadang juga merujuk kepada bid`ah hasanah.
Misalnya perkataan atau penyebutan Ibnu Umar terhadap sholat dhuha berjamaah di masjid dengan penyebutan bid`ah padahal hal itu termasuk perkara yang baik.
Tersebut dalam kitab shoheh Bukhori dan Muslim :
عَنْ مُجَاهِدٍ قَالَ دَخَلْتُ أَنَا وَعُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرِ الْمَسْجِدَ فَإِذَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا جَالِسٌ إِلَى حُجْرَةِ عَائِشَةَ وَإِذَا نَاسٌ يُصَلُّونَ فِي الْمَسْجِدِ صَلَاةَ الضُّحَى قَالَ فَسَأَلْنَاهُ عَنْ صَلَاتِهِمْ فَقَالَ بِدْعَةٌ
“Dari Mujahid berkata; Ketika aku dan ‘Urwah bin Az Zubair masuk kedalam masjid disana ada ‘Abdullah bin ‘Umar radliallahu ‘anhu sedang duduk di bilik rumah ‘Aisyah radliallahu ‘anha, sedang orang-orang melaksanakan shalat Dhuha dalam masjid”. Mujahid berkata: “Maka kami bertanya kepadanya ( Ibnu Umar ) tentang shalat yang mereka kerjakan, Ibnu Umar menjawab : “Itu adalah bid’ah”.
Dalam kitab Fathul Barri disebutkan Atsar dari riwayat Ibnu Abi Syibah dari Ibnu Umar, ia berkata : Adzan Awwal pada hari Jum`ah adalah bid`ah.
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar :
فيحتمل أن يكون قال ذلك على سبيل الإنكار ، ويحتمل أنه يريد أنه لم يكن في زمن النبي – صلى الله عليه وسلم – وكل ما لم يكن في زمنه يسمى بدعة ، لكن منها ما يكون حسنا ومنها ما يكون بخلاف ذلك .
” Kemungkinan atsar itu dimaksudkan sebagai penolakan, kemungkinan juga yang dimaksud Ibnu Umar adalah Perbuatan itu ( adzan awwal itu) tidak ada pada masa atau zaman Nabi SAW dan semua yang tidak ada pada masa beliau maka disebut bid`ah TETAPI ada yang kategori baik ( hasanah ) dan ada pula yang sebaliknya ( buruk / sayyiah ).”
Hem
Orang bodoh tidak perlu dibalas dengan dalil-dalil kitab mas imam.. cukup doakan “semoga anda selamat..” 🙂 Jelas sekali si “hakim” tidak bisa mengimbangi anda, dia cuma ikut-ikutan guru-gurunya yang dalilnya juga sangat lemah. Semoga Allah memberkahi anda mas imam, dan semoga orang-orang seperti hakim segera diberi hidayah oleh Allah swt.
–> amien
Sudah jelas kita semua Ahlussunnah melaksanakan bid’ah setiap Romadhon dengan tarawih berjamaah yang dimulai oleh Khalifah Umar bin Khottob RA.
Bukankah beliau sendiri yang menyebut tarawih berjamaah dengan, “Hadza bid’atun hasanah !”
Dua puluh rokaat pula asal mula tarawih berjamaah seperti yang dicontohkan Khalifah Umar RA.
Kaum Salafy sendiri membantah, bahwa menurut mereka tarawih berjamaah sudah dimulai dari Rasul SAW.
Ini tantangan saya, mohon bisa dijawab kaum Salafy bila ada membaca artikel ini:
1. Dimana ada hadis yang eksplisit menyebut Rasul SAW meng-imam-i tarawih berjamaah ? Memang ada hadis dimana Rasul SAW muncul 3 malam berturut-turut dimana umat mengikuti Beliau SAW ke Masjid pada malam Romadhon, tapi dimana ada disebut kemudian Rasul SAW meng-imam-i umat ? Sangat mungkin mereka semua sholat sendiri-sendiri, lihat lagi 2 bukti dibawah.
2. Katakan perawi hadis ada terlupa menyebut kemudian Rasul SAW meng-imam-i, sekarang pertanyaan saya dimana ada hadis disebut dalam satu tarawih Rasul SAW mengimami 8 rokaat ditambah witr 3 rokaat ? Kita faham tidak ada hadis seperti ini, yang berpendapat 8 rokaat ditambah witr 3 rokaat karna meng-qiyas-kan dengan sholat tahajjud Rasul SAW, dimana Beliau biasa melakukan 8 rokaat tambah witr 3 rokaat.
3. Katakan lagi, mungkin saja hal no.2 terlewat tidak sempat diriwayatkan sahabat-sahabat, pertanyaan saya kemudian, apa surat yang biasa dibaca Rasul SAW dalam meng-imam-i tarawih berjamaah ? Kita mendapat kabar surat-surat yang biasa dibaca Beliau menjadi imam sholat Maghrib, Isya, Subuh, sholat Jum’at, sholat Ied bahkan sholat gerhana. tapi tidak ada kabar tentang surat yang biasa dibaca Rasul SAW dalam meng-imam-i tarawih berjamaah.
Kesimpulannya adalah dari 3 hal diatas yang memang tidak pernah ada hadis yang eksplisit Rasul SAW mengimami tarawih berjamaah, karna itu benar ketika Khalifah Umar menyuruh Ubay bin Kaab mengimami tarawih jamaah muslimin muslimat Madinah, beliau berseru,”Hadza bidatun hasanah !” karena memang tidak pernah dikerjakan oleh Rasul SAW dan Abubakr. Tetapi kita Ahlussunnah tetap menerima sebagai bid’ah yang baik, dan jangan pula menuduh 20 rokaat yang dicontohkan Umar RA sebagai bid’ah dholalah, karna kita sudah sepakat tarawih berjamaah itu sendiri sebagai bid’ah hasanah.
Dan menjadi bukti bahwa bid’ah tidak melulu berarti dholalah.
Semoga semua tercerahkan, salaam