Daerah Istimewa Yogyakarta
Dua tulisan menarik yang berhubungan dengan sejarah keistimewaan negara Ngayojakarta Hadineingrat. Ada beberapa pertanyaan mengganjal tentang standard ganda pemerintah. Artikel dikutib persis dengan perubahan judul.
Sejarah Keistimewaan Yogyakarta
Ciri keistimewaan Yogyakarta terletak pada kepemimpinan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Paku Alam sebagai kepala daerah DIY atau gubernur dan wakil gubernur DIY. Itulah yang diyakini para pendukung propenetapan. Apakah memang begitu substansi keistimewaan DIY? Perdebatan tentang keistimewaan DIY hingga kini memang seperti tak pernah habis.
Perjalanan keistimewaan DIY dalam bingkai NKRI yang bisa dikatakan penuh liku menjadikannya tema menarik yang terus dibincangkan dari warung angkringan, jalanan, kampus, hingga lembaga negara. Satu lagi buku tentang keistimewaan Yogyakarta muncul memperkaya khasanah.
Buku itu adalah Catatan Perjalanan Keistimewaan Yogya tulisan Haryadi Baskoro dan Sudomo Sunaryo. Buku setebal 201 halaman itu diterbitkan Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Haryadi adalah aktivis lembaga swadaya masyarakat dan dosen lepas, sedangkan Sudomo adalah penulis pidato Gubernur DIY Sultan Hamengku Buwono IX dan pensiunan Asisten I Sekwilda DIY.
Haryadi dan Sudomo mencoba memasukkan berbagai catatan sejarah untuk melengkapi lika-liku perjalanan keistimewaan DIY. Buku ini memasukkan sisi sejarah, hukum, politik, sampai memberikan saran solusi mengakhiri polemik keistimewaan DIY. Keduanya mengawali penulisan buku dari tinjauan sejarah, mulai dari Kerajaan Pajang, terbentuknya Mataram Islam, dan kemudian lahirnya Kasultanan Yogyakarta.
Keistimewaan DIY, menurut Haryadi dan Sudomo, berbeda dengan Aceh. Daerah Istimewa Aceh terbentuk melalui perjalanan panjang, antara lain karena rakyat yang terus-menerus bergejolak dan menuntut otonomi khusus.
Adapun keistimewaan Yogyakarta tidak bisa dilepaskan dari keputusan Nagari Ngayogyakarta (Kasultanan dan Paku Alaman) untuk bergabung dalam NKRI. Ketika Jepang meninggalkan Indonesia, sebenarnya kesempatan bagi Yogyakarta untuk menjadi negara sendiri. Namun, kedua pemimpin Yogyakarta, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, memilih bergabung dalam NKRI.
Soekarno kemudian memberikan piagam kedudukan kepada HB IX dan PA VIII. Piagam kedudukan itu menjadi catatan sejarah penting tentang deal pemerintah RI dengan nagari Ngayogyakarta Hadiningrat. Melalui piagam itu, pemerintah RI mengakui kedaulatan Yogyakarta. Lalu, HB IX dan PA VIII mengeluarkan Amanat 5 September yang menyatakan mereka berdua bertanggung jawab langsung kepada Presiden.
Catatan: Menurut saya (orgawam), inilah mahar ijab-kabul bergabungnya nagari Ngayogyakarta Hadiningrat ke NKRI. Jika mahar itu dicabut tanpa persetujuan ke dua belah pihak, yang terjadi adalah perceraian. Jika mahar dicabut namun tetap dipaksa bersatu/bergabung, maka ini namanya pemerkosaan.
Buku ini secara singkat mengungkapkan kontribusi Kasultanan dan Pakualaman, serta rakyatnya bagi NKRI yang baru berdiri, seperti memberi dukungan fasilitas dan finansial, sampai peran-peran kunci yang dimainkan HB IX dalam mempertahankan NKRI.
Berbagai ganjalan
Perjalanan keistimewaan DIY sejak awal tidak berjalan mulus. Ada upaya-upaya menggugurkan keistimewaan DIY. Pemerintah pusat sempat ingin membentuk Komisaris Tinggi yang menjadi wakil pusat di DIY. Namun, rencana itu ditolak HB IX dan PA VIII. Kehadiran komisaris tinggi bisa menjadi salah satu sebab kegagalan sebuah daerah istimewa, seperti yang dialami Surakarta. DIY juga hampir gugur karena tuntutan otonomi oleh DPR Kota Yogya. Secara de jure, DIY baru ada setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY, tetapi secara de facto sudah ada sejak tahun 1945. Keistimewaan Yogya ditandai kepemimpinan Sultan dan Paku Alam sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah. Itu merupakan deal awal Yogyakarta dengan RI yang tertuang dalam piagam pengukuhan dan Amanat 5 September.
Pada masa Orde Baru, DIY hendak dihapuskan seiring lahirnya UU Nomor 5 Tahun 1974 yang menekankan prinsip penyeragaman sistem pemerintah daerah meski akhirnya DIY tetap dijamin.
Pandangan tentang demokrasi kini dianggap terlalu sempit, yang mendefinisikan demokrasi hanya melalui pemilihan langsung. Meski dipimpin raja, DIY justru sejak awal menerapkan demokratisasi modern dengan keberadaan lembaga legislatif (DPRD). Demokrasi di DIY bertolak dari prinsip takhta untuk rakyat.
Menurut buku ini, bila DIY ingin tetap dipertahankan, hendaknya tetap bertujuan menyejahterakan rakyat. Jika substansi DIY tetap memasukkan unsur kepemimpinan Sultan dan PA, raja dan kerabat keraton dituntut memiliki kapasitas dan kompetensi supaya benar-benar dapat menyejahterakan rakyat.
Buku ini sangat jelas memihak penetapan Sultan dan PA sebagai gubernur dan wakil gubernur DIY, sebagai bagian dari keistimewaan DIY. Buku ini juga cukup banyak mengungkap perjalanan lika-liku sejarah keistimewaan Yogyakarta meskipun secara singkat. Banyaknya hal yang ingin dimasukkan membuat pemaparan dalam bab dan subbab pada buku terkesan terlalu singkat dan padat. Namun, secara umum buku ini memberi pengetahuan yang diperlukan untuk memahami keistimewaan Yogyakarta.
http://koranbaru.com/lika-liku-keistimewaan-yogyakarta/
.
Beberapa Standard Ganda Pemerintah Sehubungan Dengan Yogyakarta
Negara ini adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), bukan Republik Indonesia Serikat (RIS). Artinya, kedaulatan ada di tangan pusat, bukan daerah. Keistimewaan dan otonomi di daerah adalah semata-mata pemberian dari pusat, bukan karena milik daerah dari sananya. Pusat pun sewaktu-waktu berwenang untuk mencabut keistimewaan atau otonomi itu.
Sejak Yogyakarta menyatakan bergabung ke NKRI, harusnya sudah sadar hal ini dari awalnya. Biar dikatakan pemerintah pusat tak menghargai sejarah jasa Yogyakarta, atau dikatakan kacang lupa kulitnya, tetap saja hal ini adalah kewenangan pusat. Yogyakarta yang bersedia bergabung dengan NKRI tentu harus menanggung konsekuensinya.
Suka atau tidak, itulah kenyataan sebenarnya dalam sebuah Negara Kesatuan.
Namun, di sisi lain, NKRI adalah negara demokrasi. Karena itu, pemerintah pusat sudah sepatutnya menggunakan kewenangannya sesuai kehendak rakyat.
Jika pemerintah pusat beranggapan kerajaan bertentangan dengan demokrasi, apakah demokrasi namanya jika penghapusan monarki bertentangan dengan keinginan rakyat?
Jika pengangkatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dengan penetapan (bukan pemilihan) dianggap tidak demokratis, bagaimana dengan semua Walikota/Bupati di DKI Jakarta yang ditunjuk langsung oleh Gubernur (bukan dipilih)?
Jika Sultan dan Paku Alam adalah Gubernur dan Wakil Gubernur DIY seumur hidup dianggap tidak sesuai dengan persamaan kedudukan tiap warga negara di dalam hukum dan pemerintahan, bagaimana dengan peraturan bahwa Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) yang harus muslim, dan Gubernur Papua serta Gubernur Papua Barat yang harus suku asli Papua?
Jika keberadaan Sultan dan Paku Alam dianggap merusak sistem ketatanegaraan, bagaimana dengan pemberlakuan Syariat Islam dan partai politik lokal di Aceh, serta kedudukan Majelis Rakyat Papua (MRP) yang menjadi parlemen kamar kedua di Papua?
Saya berharap pemerintah pusat dapat mempertimbangkan dari segala sisi, segala aspek, serta segala akibatnya. Dan pada akhirnya, semoga pemerintah pusat dapat memutuskan apa yang terbaik bagi Yogyakarta pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Sekian.
http://politik.kompasiana.com/2010/11/29/nkri-dan-keistimewaan-yogyakarta/
jika rakyat jogja menginginkan monarki dihapus,itulah demokrasi.. Sbaliknya jika rakyatnya mempertahankan monarki, itupun juga demokrasi..
Sbenarnya (mungkin) masalah akan slesai jika keinginan rakyat bisa diketahui.. Melalui sejenis
“dengar pendapat” mungkin..
Namun di sisi lain,dengan mempertimbangkan “kebelumdewasaan” masyarakat kita, wacana dengar pendapat kemungkinan besar akan memicu perpecahan atau bahkan konflik..Karena wacana ini pasti akan membagi masyrakat kedalam 2 kubu, promonarki vs antimonarki..
Dlm rentang waktu trtentu mungkin promonarki berjaya,tapi tidak tertutup kmungkinan diwaktu yg lain antimonarki yg menang.. Contoh dekatnya dapat kita lihat pada Timor Timur..
kesimpulan saya “dengar pandapat” justru berpotensi menimbulkan perpecahan..
Akhirnya, alangkah baiknya tatanan yg ada (baca:monarki) tetap ada, toh selama berpuluh2 tahun ini belum terjadi “kediktatoran” gubernurnya..
Biarlah sang waktu saja yg merubah/menetapkannya secara alami..
Saya lahir dan besar di bumi Pasundan dan hanya pernah tinggal dua tahun di Yogyakarta waktu kuliah. Saya hampir tiap hari bicara bahasa Sunda dan bahkan tak bisa bahasa Jawa.
Tapi entah kenapa saya selalu merasa saya adalah orang Jawa, dan tidak rela jika keistimewaan DIY dihilangkan.