Kaidah Bid’ah: Seandainya perbuatan itu baik, pastilah sahabat lebih dahulu mengamalkannya
لو كان خيرا لسبقون اليه
“Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi”
Seandainya perbuatan itu baik, maka Rasulullah, para Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in pasti mereka lebih dahulu mengamalkannya daripada kita.
Tanggapan:
Tidak ada satupun dari Salaf yang Sholeh mengatakan bahwa “Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi” adalah kaidah agung .
Perkataan bid’ah yang menyesatkan yakni “Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi” , “Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya” ditengarai adalah hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi untuk memecah belah kaum muslim
Perkataan tersebut adalah perkara baru (bid’ah) karena bukan firman Allah Azza wa Jalla dan bukan pula perkataan Rasulullah, bukan perkataan para Sahabat atau Salaf yang Sholeh lainnya
Dari susunan kata “Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi” tak ada satupun yang dapat diartikan sebagai “para Sahabat”
Ada perkataan yang mirip dengan itu adalah pada firman Allah ta’ala, waqaala alladziina kafaruu lilladziina aamanuu law kaana khayran maa sabaquunaa ilayhi wa-idz lam yahtaduu bihi fasayaquuluuna haadzaa ifkun qadiimun, “Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman: “Kalau sekiranya di (Al-Qur’an) adalah suatu yang baik, tentulah mereka tiada mendahului kami (beriman) kepadanya. Dan karena mereka tidak mendapat petunjuk dengannya maka mereka akan berkata: “Ini adalah dusta yang lama”. (QS al Ahqaaf [46]:11 ).
Maksud ayat ini ialah bahwa orang-orang kafir itu mengejek orang-orang Islam dengan mengatakan: Kalau sekiranya Al-Qur’an ini benar tentu kami lebih dahulu beriman kepadanya daripada mereka orang-orang miskin dan lemah itu seperti Bilal, ‘Ammar, Suhaib, Habbab radhiyallahu anhum dan sebagainya. Jelas perkataan tersebut adalah perkataan orang-orang kafir.
.
Sumber diambil sebagian dari: http://mutiarazuhud.wordpress.com/2012/03/14/yasinan/
.
Catatan:
Ketika sekelompok radikal men-bid’ah sesat-kan amalan-amalan baik di masyarakat seperti yasinan, maulid dll mengunakan kaidah ini, maka argumentasi mereka pun otomatis batal. Karena kaidah yang dipakai pun bid’ah pula.
wallahu a’lam.
Assalamu’alaikum…
Menghaturkan… Minal ‘aidin wal faidzin, mohon maaf lahir bathiin.
Salam hangat selalu 🙂
–> wa’alaikum salam wrwb. Sama-sama mas.. Minal ‘aidin wal faidzin. Mohon maaf lahir batin juga. Semoga petunjuk, kesuksesan dan kebahagiaan selalu menyertai anda dan kita. amien.
kalau yasinan itu gak bid’ah, kenapa cuma surat yasin saja yang dibaca emangnya al-qur’an isinya surat yasin saja, emangnya surat yasin saja yang banyak mengandung petunjuk tentang hidup dan agama ?.dijawab …..
–> iyaa.. mas. Surat lain insya Allah juga dibaca, hanya tidak dilaporkan ke anda.
Wow berarti ilmu kebal bacok sebagian amalan warga nadiyin gak ada tuntunanya dong pak ??
kalau ada dikitab apa imam syafi’i,imam buchori or imam muslim meriwayatkanya ??
–> lhoo .. apa kaitannya sama artikel mas.
Ilmu nge-blog/internet juga gak ada tuntunannya. Anda kasih komentar juga tak ada tuntunannya. Tidak ada di imam syafi’i, tidak ada di imam buchari, or imam muslim. Itu bid’ah semua.
Aslmalaikum, mohon penjelasan tentang musik rebana dan qunut subuh beserta dalilnya, aku masih ragu apakah keduanya merupakan bid’ah atau tidak,?
–> Wa’alaikum salam wrwb. Qunut subuh insya Allah sudah ada di blog ini. Silakan cari. Tentang musik rebana bagi saya tak ada masalah. Kalau dijawab secara logika mungkin anda tak puas. Silakan tanya kepada yg lebih tahu. Kami juga ingin mengemukakan artikel ttg hal tersebut. Namun maaf.. saat ini belum memungkinkan. Semoga di waktu mendatang. amien.
Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi”
Seandainya perbuatan itu baik, maka Rasulullah, para Sahabat, Tabi’in dan Tabiut Tabi’in pasti mereka lebih dahulu mengamalkannya daripada kita.
Tanggapan:
Tidak ada satupun dari Salaf yang Sholeh mengatakan bahwa “Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi” adalah kaidah agung .
Perkataan bid’ah yang menyesatkan yakni “Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi” , “Seandainya hal itu baik, tentu mereka, para sahabat akan mendahului kita dalam melakukannya” ditengarai adalah hasutan atau ghazwul fikri (perang pemahaman) yang dilancarkan oleh kaum Zionis Yahudi untuk memecah belah kaum muslim.
Pemahaman penulis tentang“Lau Kaana Khairan Lasabaquuna ilaihi” adalah pemahaman orang yang tidak paham tentang. Tidak ada seorang pun ulama ahlus sunnah memahami seperti yang penulis pahami.
Nyamannya mengikut sunnah nabi. Tidak ditambah tidak dikurangi, antar satu komunitas dan komunitas lain seragam mengikuti sunnah. Jika ada yang beda tafsir dihormati.. Bagi yang menganggap tahlilan bid’ah ya jangan dicuragai radikal dan mengucilkan kalau gak mau tahlilan. Bagi yang menganggap tahlilan adalah syariat ya silakan jika emang sudah mantep dengan dalilnya. Ndak usah lah sikut2an.. Gak baik buat mata dan hati
Serius tidak ditambah dan dikurangi? khatib jumat anda khutbah pake bahasa apa?.. kalo pake bahasa indonesia bidah dong..tidak ada contohnya…dan kalo anda anggap bidahnya sesat otomatis jumatan anda batal..
” manusia yang dapat dibilang pintar nggak cuma bisa membedakan mana yang benar (baik) dan mana yang salah doang….tapi manusia yang pintar itu dapat membedakan mana yang paling benar (baik) diantara 2 kebenaran….dan mana yang paling salah diantara 2 kesalahan……”
+seperti tahlilan,yasinan,maulidan semuanya baik….tapi yang salah dan bidah adalah
PENETAPANNYA coba ana saranin ke antum semua tolong baca buku yang berjudul”BUKU PUTIH KIYAI NU” disitu ada keterangan sejarah tentang penetapan kebiasaan atau adat orng indonesia dalam menjalani syariat islam.
+
Silakan baca tafsir Ibnu Katsir, surah An-Najm:39. Maka di sana Anda akan menemukan kalimat ini (lau kaana khairan lasabaquunaa ilaihi).
Ibnu Katsir itu siapa mas? Termasuk ulama yang Anda akui nggak?
nulisnya dulu dibenerin,
لو كان خيرا لسبقونا اليه
hadakumullah ya akhiy
semoga Allah memberikan kepada Anda pemahaman yang lurus
Asalamualaikum, Pak ustadz tolong berikan sya qoidah yg jelas tentang amal ibadah itu bisa di sebut Bidah Hasanah ? Afwan.
Jadi Anda mau bikin amalan yang bukan di contoh Nabi dan para Sahabatnya?
–> memangnya kenapa?
Jangan asal ngomong mas…apa anda ingin meyesatkan orang lain tanpa ilmu? Apa anda anggap ibnu katsir, imam syafi’e sesat juga..?
Di antara ulama yang mengucapkan perkataan ini adalah Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah di dalam tafsirnya, ketika menafsirkan Surat An-Najm ayat 38 dan 39. Allah Ta’ala berfirman:
أَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى، وَأَن لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَى
“(Yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS An-Najm [53]: 38-39)
Dari ayat yang mulia ini, Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahullah bersama ulama yang mengikutinya dari kalangan Madzhab Syafi’i telah mengeluarkan sebuah hukum dan keputusan yang menyatakan bahwa bacaan Al-Quran tidak akan sampai hadiah pahalanya kepada orang yang telah mati. Hal itu karena bacaan itu bukan termasuk dari amal dan usaha mereka.
–> salah mas .. hadiah pahala itu sampai. Silakan cari di artikel lain di web ini juga. Mohon maaf saya tak sempat mengarahkannya.
landasan ilmunya ibadah ghairu mahdhah, tapi pelaksanaannya?
setiap ada orang meninggal anda mensyariatkan upacara tahlilan 7, 40, 100 hari dst.
Coba saya ingin anda mengabarkan upacara takziyah di daerah mana yang dilakukan orang yang sepaham dengan anda hanya 3 hari. Saya ingin mendengarnya.
Takziyah yang dicontohkan Rasul maksimal 3 hari mas .
Masih kurang? Klo ada contoh dari Rasul ini, apakah masih bisa disebut ghairu mahdhah mas?
klo jawaban anda ya, berarti anda benar2 golongan mubtadi’
Yang semestinya dicari itu kebenaran yang berasal dari Al Qur’an dan As Sunnah sesuai pemahaman para sahabat, bukan cari pembenaran.. Itu jika seseorang membutuhkan keselamatan yang nyata.
–> mohon maaf .. penambahan kata-kata “sesuai pemahaman para sahabat” ini asing bagi saya. Kapan pertama kali tambahan kata2 ini muncul? Oleh mufti siapa dan di kitab apa?